Lilin yang Tak Pernah Padam di Rumah Cantik yang Penuh Luka

“Bertambahnya usia bukan jaminan bertumbuhnya jiwa. Kadang tubuh menua, tetapi ego tetap berkuasa. Maka, siapa yang mampu melepaskan beban ego, dialah yang sungguh dewasa.”

“Ada jiwa yang tidak pernah dewasa karena takut membuka luka. Ada jiwa yang tetap menyala karena berani memaafkan masa lalu.”

.

Malam menjelang di sebuah kota pesisir yang sibuk, jalan protokol masih gemetar oleh arus kendaraan, klakson menyalak, lampu toko menutup satu demi satu bagai kelopak yang kembali ke kuncupnya. Di ujung gang dengan pohon kamboja yang tua, berdiri rumah tembok berwarna gading yang catnya mengelupas seperti kulit kering musim kemarau. Di jendela lantai satu, tampak seberkas cahaya kekuningan: lilin kecil di atas tatakan logam, menyala sejak magrib, menolak padam bahkan ketika angin malam menyusup lewat sela daun jendela.

Itu rumah Cantik. Di usia hampir tujuh puluh, namanya tak sekadar pemberian—ia menyulam arti pada setiap langkah: belanja sayur sambil menanyakan kabar pedagang, menata bangku di ruang konsistori gereja, menjemput senyum jemaat yang baru pertama kali datang, mengemas sisa roti prosesi untuk pembagian malam. Wajahnya bersih tanpa polesan berlebih; keriput di sekitar mata seperti parit kecil tempat doa dan tawa sering mengalir. Sejak kecil, Cantik diajar Nena—ibunya—bahwa hidup adalah menyalakan lilin, bukan mengutuk gelap. Tetapi siapa sangka, rumah yang dulu diimpikan sebagai tempat pulang malah bertahun-tahun menjadi medan uji, tempat segala yang rapuh dipertahankan agar tak patah.

Tampan, suami yang dulu membuatnya berdebar karena senyumnya yang hangat dan mata jenaka, kini lebih mirip bayang-bayang panjang di dinding: hadir, tetapi dingin. Ia putus sekolah SMA. Berkat jaringan keluarga, sempat bekerja di perusahaan distribusi. Lalu kebiasaan lama—melempar dadu keberuntungan di meja judi pinggiran kota—menariknya kembali seperti pusaran air. Pekerjaan lepas masuk-keluar; tanggung jawab bocor seperti ember tua. Ketika akhirnya dia menetap di rumah Cantik, menumpang pada tanah dan tembok atas nama pernikahan, mulutnya semakin tajam. Sumpah serapah jadi bahasa sehari-hari, terutama diarahkan kepada Cantik. Yang lucu: pada Ragil, adik bungsu Cantik yang sudah empat tahun tinggal menumpang, ia bungkam. Dua pria dewasa, sama-sama enggan memikul beban, saling membiarkan ketidakteraturan menjadi norma—sebuah konspirasi sunyi.

“Manusia kalau nyaman pada kekacauan, akan membela kekacauan seperti kebenaran,” gumam Cantik pada dirinya sendiri suatu sore, ketika ia baru pulang dari pelayanan lansia dan mendapati cucian piring menggunung—sisa makan siang yang tak seorang pun berinisiatif mengurus.

Di sudut ruang tengah, Nena duduk di kursi goyang, rambut putihnya disanggul longgar. Usianya mendekati sembilan puluh. Sesekali matanya kosong, seolah menembus dinding waktu kembali ke masa ketika ia kecil di kampung, perang menjadikan keluarga terbelah, ibunya pergi tanpa pesan, tinggal nenek yang keras menjaga nilai dengan disiplin yang tak memberi ruang air mata. Luka-luka tua itu tak pernah betul-betul sembuh. Di hari ini, luka-luka itu memancar dalam bentuk tuntutan yang tak habis-habis: ingin diperhatikan, ingin dimenangkan, ingin diutamakan bahkan untuk hal paling kecil—posisi teko, susunan bantal, keras-lemak lauk pauk. Ketika Tampan menegur, Nena meloncat, menunjukkan kuku masa lalu yang masih tajam. Setiap silang pendapat seperti percikan kecil yang bisa menjalar menjadi kobaran api, dan dalam kebakaran emosi itu, Cantik menjadi penengah—atau mungkin pemadam; ujung jarinya sering getir karena terlalu dekat dengan panas.

“Orang tua itu kadang keras kepala seperti remaja yang terjebak di usia lima belas,” kata Cantik, meminjam kalimat dari sebuah renungan yang pernah ia baca dan ia amini. “Waktu fisik dan waktu jiwa tak selalu berjalan seiring.”

.

Pagi di rumah itu selalu dimulai lebih cepat dari matahari. Cantik bangun, menyalakan kompor kecil untuk merebus air. Ia menyeduh kopi untuk Nena—tanpa gula—lalu menata obat harian di kotak plastik bertuliskan Senin-Minggu. Di samping kotak obat, ada tas kain kecil berisi rosario dan Kitab Suci yang pinggir halamannya penuh tanda penanda. Setiap hari, sebelum menjalankan tugas—di gereja, di komunitas lansia, di dapur umum—Cantik membaca Mazmur. Kadang-kadang ia meneteskan air mata bukan karena sedih, melainkan karena ada sesuatu dari kata-kata tua itu yang memeluk tulang rusuknya.

“Aku memilih menjadi baik, meski hidupku tidak selalu diperlakukan dengan baik,” begitu mantra yang diam-diam ia ulang-ulang. Awalnya ia pikir, dengan cukup cinta dan doa, Tampan akan berubah, Ragil akan bangun dewasa, Nena akan melunak. Bertahun-tahun Cantik patah di tempat yang sama, berdiri lagi, patah lagi. Lama-lama, ia memahami sesuatu yang pahit tetapi terang: tugasnya bukan mengubah orang lain, melainkan tidak ikut menjadi gelap.

Suatu siang, selepas pelatihan di aula gereja, seorang mahasiswa praktikum bernama Amir—anak kota yang rambutnya selalu agak acak, matanya seperti menyimpan cahaya—mengajak Cantik jalan kaki pulang, menenteng kantong berisi roti tawar dan dua bungkus tahu bakso titipan ibu-ibu. Amir sedang menulis tugas akhir tentang jaringan solidaritas urban—bagaimana komunitas agama dan warga saling menolong di tengah krisis ekonomi pasca gelombang PHK pabrik sepatu di kota itu. Cantik menjadi narasumber; ia membuka daftar nama, alamat, usia—data yang ia rawat seperti buku keluarga.

“Bu, kok Ibu tetap bisa tenang, padahal…” Amir menghentikan kalimatnya, sopan menahan asumsi.

“Padahal rumah saya bukan rumah damai?” Cantik tersenyum. Mereka berhenti sejenak di bawah pohon trembesi yang menjatuhkan bayang seperti payung besar. Angin membawa bau asin dari pelabuhan dan aroma sate dari gerobak yang baru dipanggang.

“Tenang itu bukan karena tak ada ribut,” kata Cantik, menatap lalu lintas, menunggu kesempatan menyeberang. “Tenang itu karena memilih siapa yang boleh tinggal di kepala.”

Amir mengangguk, lalu seperti anak kecil, ia mengulang katanya pelan—as if mematri dalam ingatan: “Memilih siapa yang boleh tinggal di kepala.”

Di ruang tamu rumah gading, Amir berkenalan dengan Nena. “Siapa ini? Wartawan?” tanya Nena, curiga sekaligus girang karena rumah ditembusi tamu. Dari dapur, Tampan bergumam, “Anak muda sekarang sibuk wawancara, kerja kapan?” Ragil keluar dari kamar tanpa salam, meraih gelas, meneguk air, lalu menghilang lagi. Pemandangan biasa.

Amir diam, tetapi sorot matanya menangkap: ada api berkobar tanpa suara di rumah itu. Ia mencatat hal lain: di meja sudut, lilin kecil menyala, juga sebuah pigura foto hitam putih Nena dan Cantik di tahun tujuh puluhan, dua perempuan berdiri di halaman gereja yang baru selesai dibangun—dindingnya masih kasar, langit-langitnya meminjam awan. Ada sejarah yang lebih tua dari konflik hari ini.

“Bu,” kata Amir sebelum pamit, “kalau Ibu tidak keberatan, saya ingin bantu kalau ada kerja bakti perbaikan atap atau… apa pun yang Ibu perlukan.”

“Kau sudah bantu,” jawab Cantik. “Kau datang dan mendengar.”

.

Malam kian kental. Dari televise tabung di kamar depan, suara sinetron bertalu, diseling sumpah serapah Tampan terhadap alur cerita yang ia anggap bodoh. “Hidup kok diatur-atur penulis, macam orang bener aja,” katanya, tak sadar betapa lucunya kalimat itu. Di kursi goyang, Nena merajut gelisah. Ragil mengurung diri dengan gitar dan wifi tetangga yang dicuri. Lampu-lampu tetangga satu per satu padam, tinggal lampu tangga rumah Cantik dan nyala kecil lilin di meja yang seakan bernapas.

Di kamar, Cantik membuka jendela sedikit; udara malam menyelinap masuk, membawa dengung jauh klakson kapal. Ia duduk di tepi ranjang, menengok kedua tangannya—urat-uratnya menonjol seperti sungai-sungai tua di peta. Ia membayangkan masa lalu yang masih menegur. Ia teringat hari ketika ia memergoki Tampan menjual ponsel hadiah ulang tahunnya untuk modal berjudi: wajah merah, bibir bergetar, dan sebuah pengakuan palsu yang seperti permen—manis di lidah, pahit di perut. Ia teringat hari ketika Ragil pulang dengan bau alkohol, menolak melepas sepatu, menendang pintu kamar karena merasa “rumah ini juga milikku”—kalimat yang ia teriakkan keras-keras, padahal ia tak pernah mencicil listrik. Ia teringat Nena yang suatu sore menampar pipi Cantik karena roti gulung dia rasa terlalu asin; Nena lalu menangis sesenggukan seperti anak dua belas tahun yang menyesal tetapi tak bisa meminta maaf. Semua itu bergulung di kepalanya. Lalu ia menutup mata, dan berdoa dengan kata-kata yang tidak muluk: “Tuhan, ajari aku tetap lembut.”

Keesokan harinya, sesuatu yang kecil tetapi notabene penting terjadi. Di kapel rumah singgah, selesai doa, Cantik—yang biasanya cepat-cepat pulang—memutuskan duduk lebih lama. Ada ruang kosong di dada yang tak ingin buru-buru diisi; ada kesadaran baru: ia tidak harus selamanya berdiri di tengah baku hantam perasaan seperti wasit. Ia boleh—ia perlu—menyelamatkan nyawanya sendiri. Di altar kecil, patung Maria berdiri dengan wajah yang bukan kebetulan: tidak terlalu cantik, tidak terlalu muluk, bukan boneka salon. Di bawah patung, panci sup untuk makan siang tunawisma mengeluarkan uap. Segala yang sakral dan sehari-hari menyatu di ruangan itu. Cantik tersenyum pada ketidaksempurnaan dunia.

Sejak hari itu, ia mulai mengatur ritme: jam dua sampai tiga, waktu hening. Jam tujuh malam, lilin dinyalakan. Jam sembilan, telepon disenyapkan. Ia memberitahu rumah: “Kalau kalian butuh, panggil. Tapi kalau tidak darurat, biarkan jam heningku berjalan.” Tampan menertawakan, Ragil mendengus, Nena mengomel, “Apa-apaan aturan baru ini?” Tetapi Cantik bertahan. Aturan bukan untuk mengubah orang lain; aturan untuk menjaga api di dadanya agar tidak padam tersapu angin kekecewaan.

Perubahan itu kecil, hampir tak terlihat. Namun seperti rumput yang perlahan merebut tanah yang retak, lambat laun rumah itu pun bergeser. Ragil—suatu sore—memungut piring kotor dan meletakkannya di bak cuci. Ia tidak mencuci, tapi meletakkan di bak pun sudah berita. Tampan—malam itu—mengeraskan volume televisi, tetapi ketika jam sembilan lewat lima, ia menurunkannya sendiri, tanpa protes. Nena—siang berikutnya—mengeluh roti kurang manis, tetapi tidak lagi melempar piring. Cantik tak menuntut syukur; ia hanya mengangguk, mengantar tubuhnya tetap tegak.

.

Di kota itu, berhembus kabar: pabrik sepatu akan merumahkan seribu pekerja. Jalanan di sekitar kantor dinas dipenuhi spanduk, poster tuntutan, isu seliweran seperti lalat di pasar. Gereja membuka posko dapur umum—Cantik menjadi salah satu penjaganya. Datang pula pemuda-pemudi—Retna, Jayeng, Hamzah—nama-nama yang membuat Nena berkomentar, “Kayak dalam cerita wayang Menak Madura…” Mereka tertawa, tak paham, tetapi menyukai bunyinya: Retna yang cekatan, Jayeng yang selalu membawa gitar, Hamzah yang pandai berbicara dengan aparat. Mereka belajar dari satu perempuan tua yang kelelahan tetapi bersinar: bagaimana menata meja, menyapa tanpa bertanya luka, menutup pintu gosip sebelum angin membukanya lebih lebar.

“Bu Cantik, ajari kami menyalakan lilin yang awet,” kata Retna suatu malam, ketika dapur hampir beres dan wajan-wajan kering.

“Lilin itu bukan barang,” jawab Cantik, menatap langit kapel yang berlumur asap, “Lilin itu kebiasaan kecil yang diulang sampai jadi karakter: memilih kata, menahan reaksi, mengakui ego sendiri dulu sebelum menuding orang lain.”

Jayeng mengangguk, memetik gitar pelan, mengiring kata-kata itu seperti doa. Hamzah menulis di buku catatannya.

“Dan kalau lilin meratap?” tanya Hamzah. “Api mengecil, sumbu habis?”

“Bukan lilinnya yang salah. Mungkin angin keras. Mungkin ruangan terlalu lembap.” Cantik tersenyum. “Kau boleh padam sebentar. Tapi jangan memadamkan hati.”

Kata-kata itu, tanpa disadari, merambat ke rumah. Malam Jumat itu, Tampan pulang lebih awal. Ia duduk di kursi rotan, menyalakan rokok, memandang nyala lilin yang kecil di meja. “Untuk apa sih lilin begini?” gumamnya.

“Supaya kita ingat, gelap itu bukan musuh, hanya keadaan,” ujar Cantik. “Kita tak melawan gelap—kita menyalakan terang.”

“Filosofis amat,” ejeknya. Namun ia memperhatikan api yang tenang. Pada momen itulah—tanpa fanfare—Tampan menyaksikan sesuatu yang ia tak punya kata-kata untuknya: keteguhan yang tidak menyalahkan. Malam itu ia tidak memaki. Ia menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia menanyakan hal yang sederhana namun penting, “Besok Bu ke gereja jam berapa? Mau kuantar.”

Cantik menatapnya, berterima kasih tanpa kata. Di samping, Ragil memandangi layar ponsel, tetapi jempolnya berhenti menggulir. Ia menoleh ke arah mereka sejenak, lalu berdiri. “Mau kopi, Mbak? Biar aku bikin.”

Kejadian-kejadian kecil itu, kalau kau tidak memperhatikannya, akan lewat seperti angin. Tetapi di buku kehidupan Cantik, mereka dicatat: satu-satu, tanggal, jam, cuaca. Bukan sebagai bukti kemenangan, melainkan sebagai pengingat: orang pelan-pelan bergerak.

.

Di gereja, pada sesi berbagi pengalaman, Cantik membagikan kalimat yang ia tulis sendiri di kertas bekas liturgi: “Jiwa yang matang adalah jiwa yang bisa pulang ke dalam dirinya sendiri, tanpa perlu dikagumi atau diakui siapa pun.” Anak-anak muda mengangkat ponsel, memotret, membagikannya di status singkat. “Kalian boleh suka, boleh lupa,” kata Cantik. “Yang penting, ketika hari kalian berat, kalian tahu jalan pulang ke dalam.”

Selesai sesi, Amir menyusul, menyerahkan buku tugas akhir yang sampulnya sederhana. “Saya menulis tentang Ibu,” katanya. “Maksudnya, tentang yang Ibu lakukan. Saya ganti nama—Ibu jadi ‘Lilin’. Bolehkah saya titip satu eksemplar di rumah Ibu?”

Cantik menerima, tersenyum seperti menerima kue ulang tahun. “Terima kasih.” Mata mereka bertemu, sejenak merasakan arus yang sama: rasa syukur karena yang kecil ternyata cukup berarti untuk ditulis.

Malam itu, Cantik pulang dijemput Tampan. Di atas motor tua, mereka melewati jembatan yang membelah kota, lampu-lampu kendaraan memantul di permukaan sungai. Udara asin menggigit. Cantik memeluk punggung Tampan tanpa menuntut, hanya menjaga agar tubuhnya tidak jatuh. Sampai di gang kamboja, Tampan mematikan mesin, menuntun motor pelan. “Lilinnya nanti kupadamkan, ya,” katanya datar, tidak memerintah, lebih seperti menawarkan. Cantik mengangguk. Di dalam rumah, Nena sudah tertidur, napasnya berat tetapi teratur. Ragil duduk di lantai, gitar di pangkuan, memetik pelan nada-nada yang ia pelajari dari Jayeng. Di meja, lilin masih menyala.

“Api kecil seperti itu,” ujar Tampan, “kok bisa bikin ruangan terang, ya?”

“Karena ruangan ini bersedia diterangi,” jawab Cantik. Keduanya tertawa kecil—bukan bahagia sempurna, bukan pula pahit, melainkan semacam waktu istirahat di tengah pertandingan yang belum usai, ketika pemain menghirup air dan menatap matahari yang jatuh.

.

Tentu tidak semua hari berubah menjadi puisi. Ada hari ketika Nena kembali memarahi cara Cantik menata lemari; ada malam ketika Tampan tergelincir lagi ke meja taruhan; ada sore ketika Ragil hilang seharian tanpa kabar—pulih tidak selalu garis lurus, lebih sering seperti sungai yang harus memutar, menghindari batu, lalu kembali ke alur. Tetapi di setiap kelokan, Cantik belajar menimbang bobotnya sendiri: kapan harus lembut, kapan harus berjarak. Ia menggambar batas di lantai tak kasat mata—garis yang hanya ia lihat—dan meyakinkan diri bahwa mencintai bukan berarti membiarkan. Di pagi tertentu, ia bahkan berani mengunci kamar untuk dua jam, menulis surat pada dirinya sendiri: “Kau tidak salah menjaga dirimu.”

Surat itu diselipkan di antara halaman-halaman Kitab Suci. “Jika suatu hari lelah menyeretmu ke lantai,” tulisnya, “ingatlah, kau boleh duduk. Kau boleh menangis. Kau boleh meminta tolong. Dewasa bukan berarti tak pernah roboh, melainkan tahu cara bangun tanpa menginjak orang lain.”

Kota pun mengikuti ritme yang sama: berita PHK berganti program pelatihan, spanduk protes berganti baliho rekrutmen pabrik garmen baru. Di pelabuhan, kapal kontainer datang pergi membawa nama-nama asing, sementara di gang kamboja, anak-anak berlatih sepeda tanpa roda. Semuanya bergerak, pelan atau cepat, pasti meninggalkan jejak. Rumah gading yang catnya masih mengelupas itu tetap menjadi rumah: tempat orang kembali meski membawa lelah dan amarah, tempat lilin dinyalakan walau minyak lampu habis.

Pada hari ulang tahunnya yang ke tujuh puluh, Cantik tidak mengadakan pesta. Retna datang membawa puding cokelat, Jayeng membawa gitar, Hamzah membawa tiga pot tulip plastik—dipilih karena katanya “awet, Bu.” Amir membawa buku satu lagi: edisi perbaikan tugas akhir. Nena duduk di kursi, mata berkaca-kaca, memegang tangan putrinya lama-lama, seolah mengikat waktu yang selalu lolos. Tampan berdiri di ambang pintu, tampak canggung—atau mungkin malu—tetapi akhirnya masuk, meletakkan sesuatu di meja: korek api baru dan satu kotak lilin.

“Supaya… kalau padam, tinggal ganti,” katanya pendek. Ragil mendekat, merangkul bahu Tampan setengah hati, setengah malu. Mereka tidak berjanji. Mereka tidak saling berlutut meminta maaf. Mereka hanya berdiri bersama di bawah cahaya kecil yang menjadikan wajah-wajah mereka tampak lebih lunak.

Cantik meniup lilin di atas puding—bukan untuk memadamkan doa, melainkan untuk membaginya: satu potong untuk Nena yang tersenyum dan menyeka air mata, satu untuk Tampan yang menahan kata-kata agar tidak bertaring, satu untuk Ragil yang akhirnya berkata, “Makasih, Mbak,” satu untuk anak-anak muda yang menamai sepotong malam ini sebagai pelajaran. Selebihnya untuk tetangga-tetangga yang mengetuk pintu, membawakan doa, entah diam-diam berharap menumpang hangat.

Ketika malam kembali padat dan jalan protokol masih bersuara, Cantik duduk lagi di kamar, membuka jendela sedikit. Ia tidak meminta hidup yang baru; ia meminta hati yang selalu bisa mulai lagi. Di meja, sebuah lilin kecil menyala—api seukuran kuku, tetapi cukup untuk mengusir rasa gentar dari pojok ruangan.

“Jiwa yang matang,” bisiknya, mengulang kata-kata yang dulu ditulisnya di kertas bekas liturgi, “adalah jiwa yang bisa pulang.”

Dan malam itu, untuk kesekian kalinya, Cantik pulang. Bukan ke alamat di gang kamboja, bukan ke rumah gading dengan cat yang mengelupas, tetapi ke ruang sunyi di dadanya sendiri. Di sana, ia meletakkan semua yang berat, mengikatnya dengan karet doa. Ia menutup mata, dan api kecil itu—lilin yang tak pernah padam—menjaga.

.

.

.

Jember, 11 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #KompasMingguStyle #Keluarga #Pengampunan #TraumaGenerasi #Spiritualitas #KotaPesisir #Indonesia #MenakMadura #CeritaMengharukan

.

Quotes terkait isi cerpen:

  • “Kita tak melawan gelap—kita menyalakan terang.”

  • “Tenang bukan karena tak ada ribut, melainkan karena kita memilih siapa yang boleh tinggal di kepala.”

  • “Dewasa bukan berarti tak pernah roboh; dewasa adalah tahu cara bangun tanpa menginjak orang lain.”

  • “Mencintai bukan berarti membiarkan; batas adalah pagar agar kasih tetap tumbuh.”

  • “Orang pelan-pelan bergerak; tugas kita adalah tidak ikut menjadi gelap.”

 

Leave a Reply