Tentang Hutang dan Kesempatan yang Hilang

“Hutang memang bisa kau kembalikan kapan pun. Tapi kesempatan yang hilang bagi si pemberi hutang — takkan pernah bisa kau ganti.”

Prolog

Di sudut kota Amarta Jaya, kedai Kopi Pagi Sore milik Legawa Wicaksana ramai setiap pagi.
Bukan sekadar tempat ngopi — di sana mengalir kisah hidup yang berwarna.

Dan suatu hari, hidup Legawa tersentuh oleh satu pelajaran pahit:
hutang yang bukan sekadar membuatnya rugi — tetapi membuatnya kehilangan kesempatan yang tak bisa kembali.

Permintaan di Tengah Badai

Malam hujan deras. Pintu kedai diketuk keras.
Di baliknya, Reza Saputra, teman masa SMA Legawa.

“Leg… aku butuh bantuan. Bisnis jatuh. Rumah mau disita. Anak butuh sekolah. Aku butuh 50 juta. Aku janji, tiga bulan aku balikin.”

Legawa termenung. 50 juta — itu tabungan darurat yang sudah ia siapkan untuk membuka cabang kedua kedai — impian lama yang hampir ia wujudkan.

Ia bicara dengan sang istri, Alya.

“Mas, tabungan itu untuk mimpi kamu. Untuk kedai kedua.”

“Aku tahu. Tapi Reza sahabatku. Aku tak tega membiarkannya tenggelam,” ujar Legawa.

Alya menggenggam tangan suaminya.

“Kalau kamu yakin, bantu. Tapi ingatkan dia… uang ini bukan hak dia. Ini kesempatan hidup yang kita pertaruhkan.”

Janji yang Membeku

Legawa menyerahkan uang itu.
Tanpa surat. Tanpa saksi. Dengan kepercayaan.

Bulan pertama, Reza mengabari: tender belum cair.

Bulan kedua, kabar makin jarang.

Bulan ketiga… senyap.

Enam bulan kemudian, Legawa mengirim pesan.

“Za, kabar gimana? Aku harus tunda buka cabang. Semua uang kupinjamkan ke kamu. Tolong kabari.”

Pesan dibaca, tak dibalas.

Luka yang Dalam

Setahun berlalu.
Legawa duduk di kedai.
Ruko yang sudah dia DP untuk cabang kedua — hangus.
Pemilik memberi ke orang lain.

Di tengah rasa kecewa, Legawa membuka media sosial.
Melihat Reza liburan ke Bali.

“Za… bahkan kau tak ingat, bukan sekadar uang yang kutitipkan. Tapi kesempatan yang kini telah lenyap,” batin Legawa.

Di malam sunyi, Alya memeluk suaminya.

“Kamu masih percaya dia akan balikin?”

“Bukan soal balikin atau nggak, Yank. Kedai keduaku… yang kuimpikan bertahun-tahun… kesempatan itu sudah hilang. Uangnya mungkin bisa kembali kapanpun. Tapi momen itu… tak akan kembali.”

Konfrontasi Pertama

Di reuni SMA, Legawa mendekati Reza.

“Za… aku nggak marah. Aku cuma ingin kau sadar. Yang kau tahan bukan cuma uangku. Tapi kesempatan hidupku.”

Reza mengelak.

“Leg… kamu kok kayak nggak ikhlas. Nanti pasti kubalikin.”

Legawa menatap dalam.

“Aku tidak minta uangmu. Aku minta uangku, yang kini kau pegang. Tapi yang paling menyakitkan — kesempatan hidupku yang sudah terlewat. Itu takkan bisa kau ganti.”

Pukulan Bertubi

Tak lama kemudian, anak Legawa sakit parah.
Biaya rumah sakit membengkak.

Motor kesayangan dijual. Pinjam ke bank.

Alya bicara lirih.

“Mas… aku nggak marah kamu bantu teman. Tapi aku marah karena dia tak sadar: kita kehilangan mimpi, kehilangan kesempatan, kehilangan banyak hal… karena kepercayaannya kita korbankan.”

Legawa hanya diam.
Di dadanya luka kian dalam.

Pinisi di Tengah Gelombang
(Quotes di tengah naskah — silakan ditampilkan / di-highlight juga di blog)

“Hidup ini seperti kapal pinisi di tengah gelombang.
Saat kau meminjam hak orang lain, ibarat kau tambatkan jangkar diam-diam di badan kapal mereka.
Mereka mungkin masih berlayar — tapi laju dan arah kapalnya akan terganggu.
Dan saat kau baru mengembalikan hutang bertahun kemudian, mungkin angin terbaik sudah berlalu, pulau tujuan sudah berpindah, dan kesempatan itu lenyap dibawa ombak.”

Konfrontasi Terbuka

Satu setengah tahun berlalu.

Legawa dengar kabar: Reza beli mobil baru.

Ia datang ke rumah Reza. Bicara sopan.

“Za… aku datang bukan mau marah. Tapi aku mau kau mengerti. Uang itu, bisa saja kau cicil. Tapi kesempatan hidupku… sudah pergi. Ruko cabang kedua itu… hilang. Anak kami sempat tak bisa sekolah. Waktu, kesempatan, mimpi — itu tak bisa dikembalikan.”

Reza terdiam.

Titik Balik

Tak lama setelah itu, Reza bangkrut. Mobil dijual. Rumah hampir disita.

Di titik nadir, ia merenung.

“Setiap detik kau tunda melunasi hutang, kau sedang menahan hak yang bukan milikmu. Dan mungkin, kau sedang memadamkan impian orang lain.”

Air matanya jatuh.

Penebusan Sejati

Pagi itu, di kedai Kopi Pagi Sore, Reza datang. Wajah tirus, mata sembab.

Ia membawa amplop.

“Leg… aku tak pantas datang. Aku tahu aku salah. Ini 25 juta dulu. Sisanya aku cicil. Aku… aku sudah menghancurkan bukan cuma kepercayaanmu — tapi mimpimu.”

Legawa memandang lama.

“Za… uang memang bisa kembali. Tapi mimpi, kesempatan… itu sudah pergi. Semoga ini jadi pelajaran buatmu. Jangan pernah abaikan amanah lagi.”

Mereka berpelukan. Tangis pecah.

Epilog

Butuh satu tahun hingga hutang lunas.
Hubungan mereka perlahan membaik.

Di dinding kedai, Legawa pasang tulisan:

“Orang yang nagih hutang padamu itu dia minta duitnya yang ada padamu, bukan minta duitmu.
Dan ingatlah — di balik itu, mungkin ada kesempatan hidup yang tak bisa kau kembalikan.”

Banyak pelanggan membaca.
Banyak yang mulai memahami arti tanggung jawab yang sejati.

 

“Hutang itu bukan sekadar angka. Ia cermin karaktermu.
Uangnya bisa kembali kapan saja — tapi seperti kapal pinisi yang tertahan di gelombang, mungkin angin terbaik sudah berlalu.
Mungkin pulau impian sudah tak bisa dicapai lagi.
Jangan kau biarkan janji yang kau gantung mematikan layar kapal orang lain.”

.

.

.

Jember, 10 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

 

 

#EtikaBerhutang #HutangItuAmanah #KesempatanYangHilang #PelajaranHidup #PinisiDiGelombang #BayarHutang

Leave a Reply