Tenang Itu Pilihan
“Tenang itu bukan ketiadaan suara, melainkan pilihan untuk tidak menambah bising yang tidak perlu.”
“Ketika seseorang memilih untuk diam, bukan berarti ia tak mampu berkata.
Saat seseorang memilih untuk tenang, bukan berarti ia tak punya daya melawan.
Dan saat seseorang tampak pasif, bukan berarti ia tidak peduli.”
.
Di tengah kepadatan Malang yang berdenyut—lampu-lampu simpang Balapan menyala, klakson angkot bersahut, motor meliuk seperti ikan kecil di arus sungai beton—Hotel Hastina berdiri di perbatasan kota dan kabut. Dari rooftop, garis lampu kota merentang; dari sisi timur, kelam kehijauan Arjuna mengintip seperti bahu tua yang masih tegap. Di lobby, aroma kopi tubruk menempel pada marmer dan kain batik receptionist. Beberapa tamu menenteng koper, beberapa lain menenteng lelah.
Di dinding ruang kerja Rama, General Manager Hotel Hastina, tersemat tulisan yang kelak menjadi jantung cerita ini:
“Yang lemah: Diam karena takut. Mengalah karena minder. Pasif karena merasa tak berdaya.
Yang tenang: Diam karena bijak. Mengalah karena dewasa. Terkesan pasif karena percaya proses.”
Rama bukan tipe yang gemar menonjol. Wajahnya biasa saja, selalu rapi, dengan mata yang seperti rel kereta: lurus, sabar, menuntun. Ia tidak suka gebrakan yang tujuannya sekadar dilihat. Ia mengingat satu hal paling penting dalam dunia kerja yang sering lupa pada manusia: hotel hanya bisa hangat bila hati-hati di dalamnya dibiarkan utuh.
.
Suara Kota, Suara Hati
Pagi itu, Malang separuh cerah separuh cemas. Ramalan cuaca di layar ponsel menunjukkan hujan pukul tiga. Rama meneguk teh tubruk di pantry staf—tempat favoritnya—lalu menyapa satu per satu: Tono bellboy yang baru lulus probation, Ningsih housekeeping yang anaknya demam, juga barista muda yang masih salah menyebut macchiato.
“Mas Tono,” katanya pelan, “kalau tamu nanya arah kuliner, jangan cuma sebut alun-alun. Tawarkan jalur kaki lima yang aman, pegangkan payung kalau hujan. Hotel kita bukan hanya kamar—kita adalah kompas.”
Tono mengangguk, menyimpan kalimat itu seperti mantera.
Sementara itu, di lantai dua, Shinta mengetik press release. Ia PR yang tajam mata dan lembut kata. Ia sedang menyiapkan kampanye Hastina Healing City Retreat—konsep yang mempertemukan hiruk-pikuk kota dengan ritme nafas yang disederhanakan. Copy-nya jernih:
“Kota boleh ramai, tapi hati tidak wajib ikut menjerit.”
Shinta seharusnya bahagia. Namun dunia kerja tidak selalu menimbang dengan adil. Sejak ia menolak ajakan makan malam dari Rahwana—Director of Sales yang terkenal pandai menjaring klien dengan kata-kata manis yang tajam di ujungnya—angin menjadi dingin. Bisik-bisik menyamai desis ban saat hujan pertama menyentuh jalan.
.
Luka yang Dibungkam
Fitnah jarang berlari sendirian; ia menggandeng penasaran. Suatu siang, tersebar foto Shinta yang diedit kasar—seolah ia menghadiri pesta liar. Grup WhatsApp internal bergetar. Ada yang hanya melihat, ada yang tertawa kecil, ada yang pura-pura buta.
Shinta masuk ke ruang Rama dengan mata yang merah tapi suara yang ditahan.
“Kenapa Bapak diam?” tanyanya, nadanya pecah seperti gelas tipis. “Kenapa Bapak tidak membantah di grup? Kenapa Bapak tidak menulis klarifikasi?”
Rama menatapnya lama, bukan untuk mengulur, melainkan untuk memastikan kata-kata yang keluar tidak menambah luka.
“Karena,” katanya akhirnya, “bantahan yang tergesa sering kalah oleh gosip yang telaten. Aku akan berjalan di jalur prosedur: audit digital, investigasi HR, pelaporan resmi. Diamku bukan untuk membiarkanmu sendirian, Sin. Diamku untuk menyelamatkanmu dari kebisingan yang tak kau ciptakan.”
Kalimat itu menampar dan memeluk sekaligus. Tidak nyaman, tapi menenangkan. Rama menandatangani surat permohonan penelusuran forensik IT. Dua minggu yang panjang. Dua minggu di mana mata Shinta lebih sering bertemu lantai ketimbang tatapan orang lain.
Pada malam yang hujan turun seperti tirai, hasil investigasi tiba: foto itu editan. Jejak metadata membuktikan sumbernya dari laptop Rahwana; ia memanfaatkan freelancer nakal untuk membangun narasi palsu.
Pagi berikutnya, Rama tidak mengumumkan kemenangan. Ia hanya memanggil dua saksi, perwakilan HR, dan Komisaris. “Fakta,” katanya, “berbicara pelan. Tapi kalau kita diam supaya fakta punya panggung, kita tidak kalah.”
Rahwana dipindahkan ke posisi non-strategis. Tak ada tepuk tangan. Shinta duduk di pojok ruang kerja, menggenggam tisu seperti menggenggam nyawanya.
“Saya sempat membenci Bapak,” bisiknya. “Tapi sekarang saya paham.”
Rama tersenyum tipis. “Boleh saja membenci, asal hati tetap bersih.”
.
Ledakan Darah Muda
Laksmana, Assistant Front Office Manager, adalah kaki cepat yang belum menemukan cara untuk memperlambat kepala. Suatu sore, AC kamar tamu eksekutif mati. Tamu—seorang entrepreneur start-up—protes seperti saham jatuh: cepat, tajam, di depan umum. Laksmana meledak, menegur teknisi di koridor hingga suara mengiris reputasi.
Rama memanggilnya usai briefing pagi.
“Kamu punya energi bagus,” katanya, “tapi energi yang tak diarahkan adalah angin ribut yang merobohkan tenda yang kita bangun bersama. Ingat ini: pause before respond. Mengalah bukan kalah. Mengalah adalah cara melindungi yang rapuh agar punya kesempatan tumbuh.”
Laksmana menunduk, merasa kecil tapi dituntun. Ia memulai kebiasaan baru: menarik napas tiga detik sebelum bicara dalam situasi menekan. Dua bulan kemudian, review Google mencatat pujian yang jarang: “Front office-nya adem. Ada masalah kecil, tapi cara mereka menanganinya bikin saya ingin kembali.”
Rama menempelkan print-out itu di papan back-of-house. “Kita tidak berlomba tanpa cela,” tulisnya di bawah review itu, “kita berlomba paling tulus.”
.
Api di Ruang Banquet
Hanoman, Banquet Manager, menanggung beban yang tak selalu tampak: jadwal padat, permintaan vendor, klien yang mengubah warna backdrop sejam sebelum acara, dan timeline yang sering dipegang satu tangan—tangan yang lain memadamkan api yang entah dari mana.
“Mas Rama terlalu santai,” katanya suatu malam, setelah event nikah yang molor tiga jam. “Dunia hotel ini kejam, bukan panggung pertapaan.”
Rama tak marah. “Kekejaman bisa ditambah, bisa juga tidak. Pilihan kita menentukan arahnya.”
Seolah semesta ingin menguji kalimat itu, audit mendadak dari holding company datang. Checklist panjang: keuangan, standar layanan, K3, PIRT dapur, hingga kelayakan fire alarm. Semua panik. Hanoman menyalakan walkie-talkie seperti komandan di medan perang. Rama mengajak auditor duduk, menyuguhkan teh hangat, tidak tergesa.
“Kami bukan sempurna,” ujar Rama, “tapi kami jujur. Kalau hendak diperbaiki, mari diperbaiki dengan cara yang membuat kami bisa bernafas.”
Audit berjalan. Ada temuan minor; ada pujian pada SOP evakuasi yang terpasang jelas; ada catatan tentang log sheet yang bolong dua malam. Tidak sempurna, tapi jujur. Selesai.
Hanoman menghampiri Rama di corridor yang dinginnya menggantikan panas siang. “Maaf,” katanya, “saya lupa, ketenangan juga senjata.”
Rama menepuk bahunya. “Kau tetap api, Han. Hanya pastikan api itu menjadi kompor, bukan kebakaran.”
.
Musuh dalam Selimut
Rahwana masih sering muncul di timeline orang-orang. Foto sarapan di hotel lain, seminar penjualan, caption motivasi yang manis tapi menggigit. “GM kok nggak bisa gebrak meja?” demikian status-nya tiga bulan sebelum mutasi.
Waktu berjalan seperti arus Brantas: tenang di permukaan, menggerus pelan di bawah. Tim Hastina tetap solid; turnover menurun; indeks kepuasan staf naik. Saat evaluasi tahunan, Komisaris berkata di ruang rapat yang memantulkan bayangan mereka di kaca tinggi: “Rahwana itu lantang tapi melemahkan. Rama itu tenang tapi menguatkan.”
Rama tidak menunjukkan gembira. Ia hanya menutup buku catatan. “Terima kasih. Kita lanjutkan plan kuartal depan.”
Di ruang-ruang yang lain, gosip mencari tuan baru. Tapi tanpa bahan bakar, gosip adalah korek yang kehabisan gas.
.
Malam Patah Listrik
Kota adalah makhluk yang mudah marah. Malam minggu, hujan turun deras, kilat memahat langit, dan listrik padam menyapu sebagian Malang. Genset Hastina bekerja, tapi restoran full house. Live music berhenti, tamu bersorak kecewa, anak kecil menangis karena balon meletus.
Rama turun dari kantor seperti air menuruni tangga: tidak jatuh, mengalir. Ia meminta pelayan membagikan lilin, meminta barista membuatkan signature hot chocolate gratis untuk semua tamu, dan memindahkan musisi ke sudut lounge akustik—tanpa mikrofon, hanya gitar dan suara.
“Bawa lagu-lagu 90-an,” katanya. “Biarkan tamu menyanyi bersama.”
Lampu-lampu kecil menerangi meja seperti bintang yang turun ke piring. Orang-orang yang semula mengeluh kini bernyanyi lirih: Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu. Manager engineering mengirim update tiap sepuluh menit; Rama berdiri memandang kerlip kota yang separuh gelap, separuh berjuang.
Seorang tamu—ibu paruh baya yang wajahnya menyimpan lelah bekerja—menghampiri. “Pak GM?”
Rama menoleh. “Iya, Bu.”
“Anak saya autis ringan. Dia takut gelap. Tapi cara kalian menyalakan lilin dan menyanyi membuatnya tenang. Terima kasih.”
Rama menunduk, tidak untuk merendah, melainkan untuk menyembunyikan mata yang basah. “Tenang itu menular, Bu, kalau kita tidak pelit.”
Setelah satu jam, listrik kota kembali. Live music menggelegar lagi. Tetapi ada sesuatu yang tidak ingin pergi dari ruangan itu: rasa bahwa manusia bisa memilih tidak panik.
.
Patah Tak Selalu Terdengar
Setahun berlalu. Shinta tumbuh. Ia menjadi PR Manager; tulisannya kian matang. Ia mendapat tawaran consultant dari hotel saingan di Surabaya—di sana, kabarnya, Rahwana menjadi Sales Manager.
“Pak Rama,” katanya, “saya harus bagaimana?”
Rama menatap kota dari jendela—lampu-lampu seperti judul surat kabar, tegas, tak sabar. “Jangan membalas. Pengalamanmu bukan untuk mengulang luka orang lain. Pergi kalau itu membuatmu tumbuh, tetap bila itu membuatmu damai. Tenang bukan berarti tidak bergerak.”
Shinta menerima tawaran. Di hari terakhirnya, ia meninggalkan sepucuk surat di inbox Rama:
“Terima kasih karena Bapak tidak melawan agar dilihat, tapi memilih tenang agar kami bisa melihat diri kami sendiri.”
Rama membalas dengan satu kalimat pendek: “Kau tidak perlu lantang untuk terdengar oleh orang yang tepat.”
.
Menang Tanpa Mengklaim Kemenangan
Rooftop lounge Hastina, malam baru saja tiba. Di kejauhan, lampu kota seperti serangkaian doa yang belum sempat diucapkan. Laksmana dan Hanoman mengobrol kecil tentang banjir inquiry MICE—tiba-tiba kota ingin mengadakan pertemuan lagi, seolah hujan listrik tempo hari bukan apa-apa.
Shinta datang khusus untuk pamit, berdiri di sisi angin.
“Mas,” katanya pelan kepada Rama, “apakah Mas tidak pernah kesal waktu dijatuhkan diam-diam?”
Rama menyesap teh. “Aku pernah diam, tapi bukan karena lemah,” ujarnya. “Aku diam karena tahu tidak semua harus dibalas dengan suara. Bila kau bisa menahan diri untuk tidak reaktif saat hatimu terbakar, itu tandanya kau sedang memimpin dirimu sendiri.”
Angin mengibaskan rambut Shinta. Suara kota jauh di bawah seperti lautan bernafas. Di momen itu, ketiganya tahu: tenang tidak sama dengan menyerah—tenang adalah cara berdiri tanpa perlu mendorong.
.
Kota yang Belajar Pelan-Pelan
Hastina bertahan bukan karena harga yang paling murah. Ia bertahan karena energi: staf yang saling menatap mata saat meminta tolong, supervisor yang mengakui salah sebelum mencari kambing hitam, GM yang menolak membuat panggung untuk egonya sendiri.
Rama mengajar training kecil untuk seluruh lini, judulnya “Hening 120 Detik.” Mereka belajar duduk, menutup mata, mendengar napas. Dua menit yang canggung lalu perlahan menjadi kebutuhan. Check-in terasa lebih empatik, complaint handling lebih pendek, handover lebih rapi. Kota di luar tetap gaduh; tetapi di dalam tubuh Hastina, kebisingan belajar sopan.
Suatu pagi, Rama berdiri di pintu belakang, mengantar troli housekeeping yang lewat. Ningsih menoleh, mengucap terima kasih tak bersuara. Mata mereka bertemu, cukup untuk memahami: pekerjaan yang paling baik kadang hanya memastikan orang lain tidak merasa sendirian.
.
Kabar yang Tidak Dirayakan
Waktu punya cara sendiri. Rama memasuki usia 55. Tanpa pesta besar; tanpa backdrop nama yang dibungakan; hanya ucapan yang datang menyerupai rintik: satu-satu, tulus, menggenang.
Ia meninggalkan satu catatan kecil di whiteboard ruang meeting:
“Tenang bukan berarti lemah. Sama-sama ‘nggak reaktif’, tapi niat dan dampaknya beda jauh.”
Di bawahnya ia tambahkan:
“Kita tidak selalu butuh menang. Kita butuh pulang.”
Sebelum turun ke lobby untuk menyalami staf satu per satu, Rama menatap sekali lagi dinding ruang kerja yang dulu sering jadi saksi orang mencari perlindungan dari bising. Kata-kata yang digantung di sana tidak pudar:
“Yang lemah: Diam karena takut. Mengalah karena minder. Pasif karena merasa tak berdaya.
Yang tenang: Diam karena bijak. Mengalah karena dewasa. Terkesan pasif karena percaya proses.”
Di luar, Malang tetap sibuk. Angkot tetap bersiul, ojol tetap menunggu order, pedagang cilok tetap menyanyikan nada sengau yang entah mengapa menenangkan. Rama melangkah ke tengah semuanya, tidak untuk menghilang, melainkan untuk menjadi bagian dari kebisingan yang telah ia ajari caranya menurunkan volume.
Dan di Hotel Hastina—yang kini punya banyak cerita, sedikit rahasia, dan cukup luka untuk membuat orang-orangnya mengerti—ketenangan tidak lagi diperdebatkan; ia dipraktikkan.
.
.
.
Jember, 29 Juni 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #TenangItuPilihan #HospitalityStory #KepemimpinanTenang #CeritaUrban #Malang #NarasiEmosional #StorytellingFilmis #KerjaDenganHati
.
Kutipan Tambahan (Relate dengan Cerita)
-
“Tenang itu tidak selalu sunyi; kadang ia adalah musik latar yang menyelamatkan adegan.”
-
“Buru-buru membela sering kalah oleh gosip yang sabar.”
-
“Mengalah bukan mundur; mengalah adalah cara melindungi yang belum kuat.”
-
“Fakta berbicara pelan. Tugas kita memastikan bising tidak menenggelamkannya.”
-
“Kau tak perlu lantang untuk terdengar oleh orang yang tepat.”
-
“Kita tidak selalu butuh menang. Kita butuh pulang.”