Diam Jadi Penjara

“Kadang diam bukan pilihan bijak. Ia hanya cara lain untuk memenjara diri sendiri.”

–nJawani

.

Ketika Diam Menjadi Duka yang Membatu

Dalam diam, tidak semua luka bisa sembuh. Sebagian justru mengakar. Seperti halnya Gadhing, putra Werkudara, yang dikenal bijak, tangguh, tapi memilih membungkam suaranya sendiri demi menjaga ketentraman yang palsu. Ia mewarisi darah ksatria Pandawa, namun di balik tubuh tegapnya, tersembunyi luka-luka lama yang tak sempat disembuhkan, hanya disimpan. Lalu disangkal.

“Diam bukan berarti tidak tahu. Diam bisa jadi karena terlalu tahu, namun tak tahu bagaimana lagi menyuarakan.”

Gadhing, Cangik, Semar, dan Pendawa yang Bungkam

Gadhing adalah anak Werkudara dari istri selir yang tak diakui di lingkar istana. Ia besar dalam bayang-bayang kakaknya, Gatotkaca, sang pahlawan langit. Namun tak seperti kakaknya, Gadhing tak menyukai peperangan. Ia memilih menjadi pengelola rumah penginapan kerajaan di wilayah Madukara, tempat pelancong dan tamu agung menginap.

Cangik—perempuan tua pembantu istana, cerewet tapi tajam mata batinnya. Ia satu dari sedikit yang tahu luka Gadhing.

Semar—tokoh Punakawan agung, menjadi figur ayah bagi semua yang tersesat, juga saksi diam kehidupan istana.

Yudhistira, Arjuna, dan Werkudara tahu Gadhing ada. Tapi tak satupun mengakuinya terang-terangan.

Rumah Penginapan sebagai Tempat Pelarian

Gadhing bekerja dari pagi hingga larut. Ia menyambut tamu, menata bunga, mengatur menu, mengecek linen dan menyajikan wedang jahe hangat bagi tamu-tamu kelelahan. Semuanya ia lakukan dengan senyum. Namun di malam hari, ia sering terdiam di pelataran, menatap bintang, lalu menahan air mata.

Bukan karena lelah fisik. Tapi lelah menanggung diam.

Ia pernah mengalami pelecehan verbal dari salah satu pejabat kerajaan. Dituduh tidak layak jadi pengelola karena darahnya setengah. Ia ingin bicara. Tapi Semar hanya berkata, “Ngono yo ngono, ning ojo ngono. Kesabaran adalah senjata ksatria.”

Dan ia pun diam.

Antara Petuah dan Pelarian

“Gadhing, bocah. Kadang wong becik kuwi kudu wani nyeluk ala dadi ala, ben ora dadi kebiasaan,” kata Cangik suatu malam saat menemani Gadhing merapikan catatan tamu.

“Tapi semua diam, Mbok. Aku dianggap lebay kalau bicara.”

“Lha ya sak karepe dewe. Wong bodho wae pantes ngomong nek disakiti. Kowe pinter, kok malah meneng.”

Semar pun masuk pelan. “Anakku, diam itu emas hanya jika orang lain mendengarkan dengan hati. Kalau mereka tuli oleh jabatan, diam itu hanya membusukkan hati sendiri.”

“Bicaralah meski suara kita kecil. Karena di balik keheningan, ada hati yang ingin sembuh.” – Gadhing

 

Gadhing yang Meledak Setelah Sekian Lama

Hari itu datang juga. Salah satu pangeran Kerajaan Astina menginap. Ia memaki pelayan yang salah mengantar wedang. Gadhing turun tangan. Ia ditegur kasar di depan semua tamu. Dituduh tak becus.

Dan Gadhing… berdiri. Tak lagi diam.

“Saya diam bukan karena saya salah. Saya diam karena saya tahu bicara hanya jadi permainan politik. Tapi hari ini, saya tak mau jadi penjara bagi kenyataan yang disangkal.”

Suasana membeku.

Pangeran murka.

Tapi beberapa tamu—termasuk Bhisma dan Kresna yang kebetulan hadir—mengangguk dalam diam. Seperti baru sadar, selama ini mereka terlalu nyaman dengan kebisuan orang-orang baik.

“Kebaikan tanpa suara bisa dianggap kelemahan. Tapi kebenaran yang diucapkan dengan tulus, bisa membebaskan.” – Semar

Saat Suara Menjadi Cahaya

Hari itu Gadhing diberhentikan. Tapi suara diamnya kini terdengar di luar tembok kerajaan. Banyak penginapan lain yang menawarkan posisi. Beberapa bahkan mulai membuka ruang diskusi tentang ‘kekerasan verbal dalam dunia pelayanan’.

Semar datang ke pelataran malam itu.

“Kowe ngerti, Gadhing. Suaramu memang kecil. Tapi gaungnya besar. Kadang memang perlu ada yang nyaut, baru orang sadar.”

Cangik menambahkan sambil mengusap air mata, “Kowe dudu bocah cengeng. Kowe ksatria sejati sing wani ngaku lara.”

“Ketika semua memilih aman, kebenaran akan mencari suaranya sendiri. Dan kadang itu datang dari mereka yang paling sering diam.” – Cangik

Luka yang Tidak Lagi Sendiri

Gadhing kini menjadi pembicara di banyak padepokan pelatihan hospitality dan etika pelayanan kerajaan. Ia mengajarkan bahwa suara bukan untuk menyakiti, tapi menyelamatkan. Diam kadang penting, tapi tidak jika membuat luka semakin membatu.

“Kadang yang kau butuhkan bukan keberanian untuk berperang, tapi keberanian untuk mengucap: Aku tersakiti, dan aku tidak akan diam lagi.”

.

.

.

Jember 29 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenEmosional #DiamItuPenjara #Gadhing #Semar #Cangik #MahabharataJawa #FilsafatHidup

Leave a Reply