Tanda Hatinya Sudah Damai
“Kesempurnaan batin bukan saat kau tidak lagi menangis, tapi saat air matamu tidak lagi membutakanmu dari kebenaran.”
Diam yang Menyembuhkan
Namanya Arga. Ia bukan pria yang pandai bicara dalam keramaian. Tapi ia selalu hadir — dengan mata yang tajam membaca suasana, dengan hati yang lebih dulu tahu apa yang sedang tidak dikatakan orang lain.
“Orang-orang terlalu sibuk menjelaskan, terlalu sedikit yang berusaha memahami,” begitu katanya suatu malam pada dirinya sendiri di teras rumahnya.
Ia belajar banyak hal bukan dari buku atau seminar, tapi dari mengamati. Bahkan keheningan pun baginya adalah guru yang baik. Arga tahu, diam itu bukan kelemahan. Justru di balik diam, banyak yang sedang bekerja — pikiran, intuisi, dan niat yang tak pernah bisa dilihat orang lain.
Kepergian yang Tidak Membutuhkan Izin
Hari itu, Arga duduk di pojok ruangan saat rapat besar berlangsung. Suasana tegang, penuh ego dan suara tinggi. Ia hanya menarik napas panjang. Matanya menatap jam dinding. Pukul 10.45. Dan ia berdiri, mengambil laptopnya, dan keluar ruangan.
Tidak ada yang mengerti. Bahkan pimpinannya tampak tersinggung.
Tapi Arga tidak butuh validasi. Ia tahu batas kenyamanan jiwanya. Ia tahu kapan harus pergi, bukan karena kalah, tapi karena enggan mengotori batinnya sendiri dengan kebisingan dunia yang tak mau mendengar.
Beberapa hari kemudian, ia hanya mengirim pesan pendek:
“Maaf saya tidak bisa melanjutkan. Bukan karena saya tidak mampu, tapi karena saya tidak ingin kehilangan bagian terbaik dari diri saya sendiri.”
Bicara dengan Diri Sendiri, dan Tidak Gila
Banyak orang takut sendirian karena takut berhadapan dengan dirinya sendiri. Tapi Arga tidak.
Setiap malam, ia punya rutinitas sederhana: secangkir teh hangat, musik instrumental pelan, dan sebuah jurnal. Bukan untuk menulis prestasi, tapi untuk menuliskan kegagalan-kegagalan kecil yang membuatnya lebih bijak hari ini.
Ia menulis:
“Aku kecewa hari ini, tapi aku tidak marah. Aku kehilangan sesuatu, tapi aku tidak hancur. Karena aku mulai belajar, bahwa kehilangan bukan akhir dari segalanya, tapi bagian dari pertumbuhan.”
Menembus Waktu, Bukan dalam Cerita Fiksi
Suatu kali, saat mengunjungi makam ibunya di kampung halaman, Arga duduk lama di tanah merah yang baru saja dilapisi rumput. Ia terdiam, memejamkan mata.
Ia tak merasa sendiri.
Ia bisa merasakan kehadiran ibunya, bisa mendengar suara kecil masa kecilnya, dan ia pun tersenyum di tengah kesedihan. Semua waktu terasa menyatu. Bukan hal mistik, tapi perasaan mendalam yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang tenang.
Waktu bukanlah garis lurus bagi jiwa yang sudah berdamai.
Pergi Tanpa Tujuan, Tapi Selalu Sampai
Jam 5 pagi. Arga bangun dan merasa harus pergi ke suatu tempat yang bahkan belum ia putuskan. Ia hanya membawa ransel kecil, mengenakan hoodie hitam, dan membeli tiket kereta ke arah barat — entah ke mana.
Sesampainya di stasiun kecil Cirebon, ia turun. Tak ada rencana, tak ada itinerary.
Tapi seperti ada yang menuntunnya. Ia berjalan menyusuri gang sempit di dekat pelabuhan, hingga tiba di sebuah musholla kecil yang hampir roboh. Di sana, duduk seorang kakek yang sedang membaca kitab tua.
Mereka tidak saling mengenal, tapi berbincang seolah sudah lama bersahabat. Tentang hidup, tentang kehilangan anak, tentang cinta yang tidak bisa dipaksa, dan tentang kerelaan melepaskan.
Arga merasa seperti sudah tahu, bahwa pertemuan ini bukan kebetulan. Batin yang tenang memang tahu ke mana ia harus pergi, bahkan saat pikiran belum tahu apa-apa.
Memandang Semua Orang Sebagai Saudara
Setelah itu, Arga menjadi lebih hening. Tapi tidak dingin. Ia menyapa semua orang dengan ketulusan yang bahkan tidak dibuat-buat.
Ia tidak lagi menilai orang dari jabatan, penampilan, atau reputasi. Ia menyapa office boy seperti sahabat lama. Ia tertawa bersama tukang becak. Ia mendengarkan cerita patah hati dari orang asing yang duduk di sebelahnya di warung kopi.
Dan ia menganggap semua itu penting. Tidak ada yang terlalu kecil untuk didengarkan. Tidak ada yang terlalu remeh untuk dicintai.
Batin yang sudah tenang akan memandang siapa pun sebagai pantulan dari dirinya sendiri. Dan dengan itu, ia tidak lagi merasa kesepian, meski hidup sendiri.
Kesempurnaan Batin Itu Bukan Ilusi
Kesempurnaan batin bukanlah ketika kamu tidak pernah sakit hati, tapi ketika kamu tahu bagaimana menata luka tanpa menyalahkan dunia.
Arga tidak pernah mengaku sudah sempurna. Ia hanya tahu, ia sudah tidak lagi bertarung dengan dirinya sendiri. Ia sudah berhenti memaksa dunia memahami dirinya, karena ia sudah memahami dirinya sendiri.
Dan di akhir cerita ini, jika kamu bertanya siapa Arga, mungkin ia adalah kamu… yang mulai diam, mulai pergi dari keramaian, mulai berbicara dalam hati, mulai mencintai orang tanpa syarat… dan mulai pulang ke dalam dirimu sendiri.
“Kesempurnaan batin adalah saat kamu tidak lagi butuh banyak kata, karena hatimu sudah menjelaskan semuanya.”
.
.
.
Jember 6 Juni 2025
Jeffrey Wibisono V.
.
.
.
#CerpenBatin #CeritaReflektif #PerjalananArga #HeningYangMenyembuhkan #BatinTenang #CerpenKlikbait #CeritaKehidupan