Setetes yang Tak Pernah Absen
“Jangan remehkan yang kecil. Sering kali, nasib kota besar bergerak karena hal-hal yang tak pernah absen.”
“Kita tak akan pernah tahu kekuatan sebuah tetesan air, sampai ia melubangi batu. Bukan karena derasnya, tapi karena ia tak pernah absen.”
.
Subuh dan Langkah yang Selalu Ada
Pukul 04.30. Sunyi masih menggantung di langit Jember. Kabut tipis membelai jalanan gang yang hanya muat satu sepeda motor. Di situlah langkah Wiryam terdengar pertama kali, setiap hari. Suara sendalnya menyentuh tanah basah dengan ritme tetap, seperti detak jam tua yang tak pernah kehabisan daya.
Wiryam, lima puluh lima, berjalan membawa dua termos air panas dan satu kantong besar berisi gelas-gelas bening. Di pundaknya, handuk kecil tergantung, menyerap peluh yang bahkan belum sempat muncul. Ia tidak mengejar pelanggan, tidak ingin viral. Ia hanya ingin hadir. Seperti biasa.
Warungnya bukan warung. Lebih tepat: sebuah sudut. Satu meja panjang yang kayunya mulai melengkung, empat bangku plastik warnanya pudar, etalase kaca tipis berisi kripik singkong, rengginang, dan gula aren yang dibungkus kertas koran. Di sana, setiap pagi, ia menyeduh kopi hitam, menggoreng tempe, menyalakan radio butut, dan menyambut matahari dengan diam yang punya isi.
Ia menaruh termos pelan-pelan, mengelap meja, menghela napas. Yang ia miliki kini tinggal waktu, tangan, dan kebiasaan. Tiga hal yang, kalau ditata, bisa menjadi perahu melintas hujan.
.
Dua Bulan yang Sepi dan Sabar
Dua bulan pertama, hampir tak ada yang datang. Kecuali Slamet, tukang parkir pasar, yang lewat hanya untuk menyapa lalu meneruskan tugasnya. Wiryam tetap datang. Ia menyapu lantai semen, menyusun bangku, menyeduh kopi, lalu duduk. Menunggu. Tanpa keluhan. Waktu seperti anak kecil yang perlu diajak main setiap hari agar tidak ngambek.
“Kenapa buka terus, padahal sepi?” tanya Iqrit, pemuda dua puluh tujuh tahun yang baru pulang dari Surabaya. Namanya terdengar asing di telinga sebagian orang, pemberian ayahnya yang pernah jatuh cinta pada kisah Menak dari Madura—kisah lama tentang kebesaran dan jatuh bangun manusia. Iqrit lewat setiap pagi, heran melihat sudut itu selalu hidup.
Wiryam tersenyum kecil. “Perubahan besar datang dari yang kecil. Dan kecil itu harus hadir dulu, meski tak dilihat siapa-siapa.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tetapi menempel bagai bau tanah setelah hujan. Iqrit membeli segelas kopi, duduk, merasakan pagi yang pelan. Untuk pertama kalinya setelah lama, jantungnya tidak mengejar sesuatu.
.
Tetesan yang Mengundang Kehadiran
Hari berganti. Minggu berlalu. Bulan mengalun seperti lagu anak-anak tanpa reff. Konsistensi Wiryam seperti tetesan air di atas batu. Tidak tampak hebat, tetapi menembus kebiasaan orang-orang.
Pelanggan pertama datang bukan karena rasa kopi, melainkan karena butuh kursi untuk menunggu istrinya yang belanja sayur. Pelanggan kedua datang karena ingin ngobrol—bukan soal politik, bukan soal harga bahan bakar, melainkan tentang bunyi hujan di atap seng. Pelanggan ketiga datang karena mendengar kabar bahwa di pojok pasar ada sudut yang tak pernah tutup. Lama-lama, sudut kecil itu menjadi ruang pulang: tempat menaruh lelah, menata ulang alasan.
Di dinding, Wiryam menempelkan selembar kertas: “Boleh duduk walau tidak beli. Boleh cerita walau tidak kuat.” Tulisan tangan yang bengkok, tetapi sampai.
Pada suatu pagi, seorang perempuan datang dengan mata sembab. Namanya Inggita, akuntan di sebuah bank swasta, tinggal di kawasan perumahan elit di kota. Jam bekerjanya rapi, hidupnya rapi, targetnya rapi. Tetapi malam itu ia baru saja bertengkar dengan suami—pertengkaran yang kapannya tidak pernah rapi. Ia duduk, memesan teh, lalu diam.
“Tehnya nanti saja diminum,” kata Wiryam.
“Kenapa?”
“Karena teh yang terlalu cepat disesap akan kehilangan kesempatan menenangkanmu.”
Inggita tertawa kecil. Suara tawa yang mengembalikan kemanusiaan dirinya sendiri.
.
Hadir Meski Hujan Menggenang
Suatu malam, hujan mengguyur Jember hingga lampu-lampu perumahan terlihat seperti pulau-pulau kecil di laut gelap. Pagi itu, banjir kecil menggenangi pinggir gang. Tetapi pukul 04.30, pintu kayu sudut itu terbuka. Celana Wiryam digulung sampai lutut. Ia membawa termos dan handuk.
Iqrit membuka tirai jendelanya, menatap air yang berputar di selokan. “Buka, Yang?”
“Hujan itu tugas langit. Hadir itu tugas saya,” jawab Wiryam.
Hari itu tak ada yang datang. Wiryam tetap menyeduh satu gelas kopi untuk dirinya sendiri, memegangnya seperti memegang nyala lilin. “Membiasakan hadir adalah bagian dari ibadah,” gumamnya. Ia menatap air, memikirkan anaknya yang merantau ke luar negeri dan jarang pulang, memikirkan istrinya yang telah lebih dulu pergi, meninggalkan kenangan yang tidak menuntut apa pun.
Di jam enam, seorang pengantar koran mampir, setengah basah. “Pak, saya boleh numpang taruh tubuh saya sebentar?”
“Tubuhmu boleh, lelahmu lebih boleh lagi,” kata Wiryam.
Keduanya tertawa. Tawa yang tak mampu menahan hujan, tetapi cukup untuk menghangatkan dua pasang telapak tangan.
.
Tamu Tak Biasa, Tawaran Tak Terduga
Lima bulan setelah sudut itu hidup, seorang pria berjas hitam datang. Duduk, memesan kopi, memperhatikan sekitar. Wiryam menyajikan kopi tanpa bertanya. Ia tak pernah memaksa siapa pun untuk bercerita; cerita akan menemukan jalannya sendiri.
“Nama saya Aryaseta,” ujarnya belakangan. “Saya bekerja di perusahaan teh. Kami sedang mencari figur asli Indonesia untuk kampanye ‘Setia pada Rasa.’”
“Figur itu harus siapa?”
“Orang yang tidak berpura-pura.”
Aryaseta bercerita bahwa selama tiga minggu ia mengamati sudut itu. Ia datang pukul lima, kadang setengah enam. Hujan, angin, subuh yang keburu menjadi pagi—Wiryam selalu ada. “Saya ingin mengabadikan yang seperti ini,” katanya. “Bukan pencitraan, tetapi keteladanan.”
“Saya bukan siapa-siapa,” ujar Wiryam. “Saya hanya orang yang jujur pada jam bangun saya.”
“Justru itu.”
Kamera-kamera pun dipasang. Tidak besar, tidak menyala terang. Seperti mata ketiga yang belajar sopan. Mereka merekam tanpa merapikan. Mengambil yang ada, bukan yang diada-adakan. Dan yang ada itu—gelas bening, tempe goreng, kabut yang turun, bangku pudar—berubah menjadi puisi yang bisa disentuh.
.
Viral Tapi Tetap Sama
Tayangan singkat itu melesat di layar ponsel sepanjang negeri. Mengundang komentar “hangat,” “merinding,” “kaya makna,” dari orang-orang yang tidak tahu alamat gang kecil itu. Pengunjung berdatangan. Mobil dengan kaca gelap berhenti di ujung gang, sepatu kulit menjejak genangan, wangi parfum masuk bersama angin. Orang mengambil foto, memotret gelas, memotret tangan, memotret jam dinding yang selalu menunjukkan 04.30 ketika warung dibuka—jam yang diam-diam seperti doa.
Tetapi satu hal tidak berubah: jam 04.30, pintu terbuka. Wiryam menyapu lantai, menyeduh kopi, menyalakan radio. Ia menolak memasang harga khusus “paket konten.” Ia menolak kursi tambahan yang terlalu mewah. Ia menolak mengganti gelas bening dengan cangkir keramik berlogo. “Yang membuat orang pulang,” katanya pelan, “bukan bentuk cangkirnya, tapi rasa dilihatnya.”
Orang-orang baru datang, tetapi orang-orang lama tak pergi. Slamet tetap mampir untuk menyapa, Inggita tetap duduk di pojok ketika hatinya rumit, pengantar koran tetap merebahkan lelahnya. Sudut kecil itu belajar menampung semuanya. Seperti laut: asin bagi semua, rumah bagi tak satu orang.
.
Orang-Orang yang Datang
Suatu pagi, seorang remaja bernama Jayeng berdiri di depan etalase. Ia belum sarapan, bajunya masih ada sisa bau bensin dari bengkel tempatnya magang. “Boleh saya bantu, Pak?” tanyanya.
“Boleh,” kata Wiryam. “Bantu hadir dulu. Pekerjaannya belakangan.”
Sejak itu, setiap subuh, Jayeng datang lebih awal. Ia belajar menyapu tanpa bunyi, menggoreng tanpa tergesa, menyapa tanpa basa-basi. Dengan upah kecil yang sebetulnya tidak kecil jika diukur dari rasa percaya. Iqrit sesekali mengantar Jayeng pulang naik motornya, melewati jalan raya yang masih berkabut, lampu-lampu toko yang padam, baliho yang tetap tersenyum walau tidak ada yang menatap.
Di sore lain, seorang dokter muda bernama Ratna Inggita—ternyata Inggita yang sama—mengajak rekan-rekan kantornya. Mereka membawa cerita-cerita mengenai kartu kredit, target, KPI, gaji yang naik tapi hati yang turun. “Di sini,” kata salah satu dari mereka, “kita diajari sesuatu yang tak diajarkan kampus: disapa tanpa syarat.”
Malam itu, setelah semua pergi, Wiryam duduk bersama Iqrit dan Jayeng. “Kalian tahu,” katanya, “yang rumit dalam hidup bukan memilih jalan besar atau kecil, tapi bagaimana jalan kecil tetap ditempuh meski jalan besar ramai.”
“Maksudnya?” tanya Jayeng.
“Setiap orang punya ‘jalan kecil’ masing-masing: menelepon orangtua, menyapa penjaga malam, membaca satu halaman, menjemur matahari di wajah anak, menepuk bahu rekan kerja. Jalan kecil itu menembus batu kalau ditempuh tiap hari.”
Iqrit menatap lantai semen, melihat bercak minyak yang tidak pernah mau hilang. “Bagaimana kalau absen, Yang?”
“Tidak apa-apa. Tetesan tidak ditakdirkan deras. Ia hanya diminta setia.”
.
Kepergian yang Meninggalkan Hadir
Pagi itu, pintu kayu tidak terbuka. Orang-orang menunggu. Jam berlalu. Radio tidak menyala, gelas tidak keluar, wangi kopi tidak naik. Iqrit datang dengan napas cepat. “Yang?”
Di rumahnya yang kecil, Wiryam tertidur damai. Tangan kanan memegang handuk kecil, tangan kiri menyentuh termos. Seperti hendak berangkat, tetapi memutuskan tinggal. Pada wajahnya, sesuatu yang mirip senyum menempel tipis.
Kabar menyebar seperti air di lantai miring: cepat, tidak bisa ditahan, dan meninggalkan bekas. Orang-orang datang. Slamet berdiri lama di depan pintu, pengantar koran menaruh seikat bunga krisan putih, Inggita memeluk anak Wiryam yang pulang dari Malaysia dengan mata merah. Jayeng duduk di tangga, memegang kunci warung erat-erat.
Pemakaman berlangsung sederhana. Doa-doa dibacakan singkat tetapi penuh. Setelah tanah ditutup, Iqrit menyentuh bahu Jayeng. “Jam berapa besok kita buka?”
Jayeng menatapnya, mata basah. “Seperti biasa. 04.30.”
“Kenapa begitu cepat?”
“Karena hadir adalah cara kita berterima kasih.”
Keesokan subuh, dua termos air panas berdiri di atas meja. Handuk kecil tergantung di paku dinding. Bangku-bangku disusun. Pintu kayu dibuka. Orang pertama yang datang adalah seorang perempuan muda yang tidak pernah ke sana sebelumnya. Ia memesan teh, duduk, menangis pelan. Tidak ada yang bertanya. Karena di sudut itu, orang boleh datang dengan apa saja.
.
Warisan Tanpa Sorak
Sudut itu kemudian diberi nama “Satu Tetes”. Di dindingnya, tergantung foto Wiryam sedang menyeduh kopi. Di bawahnya, kalimat yang ditulis Inggita: “Kita tak perlu jadi hebat setiap hari. Tapi jangan pernah absen untuk hadir. Dunia berubah bukan oleh badai besar, melainkan oleh tetesan kecil yang tak pernah lelah.”
Aryaseta datang, melepas topi, lama berdiri di depan foto itu. Iklan “Setia pada Rasa” yang semula hendak dirilis sebagai kampanye musiman, akhirnya menjadi program tahunan: beasiswa untuk penjaga-penjaga kecil kota—penjaga taman, penyapu jalan, pedagang koran, perawat lansia, guru PAUD—mereka yang membuat kota tetap manusiawi tanpa meminta tepuk tangan.
“Bapak saya dulu bukan orang besar,” kata Aryaseta suatu sore, “tapi ia pendengar yang baik. Ia mengajari saya: kalau kamu ingin membuat orang ingat, jangan cari volume, cari frekuensi.” Ia tersenyum. “Wiryam memilih frekuensi.”
Di bawah lampu sorot yang lembut, Jayeng belajar mengukur air, menakar gula, mengenali jeda. Ia perlahan menemukan ritmenya sendiri. Ia tidak meniru Wiryam; ia melanjutkan. Karena yang baik tidak untuk ditiru bulat-bulat, melainkan untuk ditafsirkan di tubuh masing-masing.
.
Kota yang Belajar Datang
Satu per satu, orang-orang membawa jalan kecil mereka. Seorang arsitek yang biasa merancang rumah jutaan dolar datang membawa sketsa taman bermain untuk sekolah dasar di pinggir kota. Seorang content creator yang tadinya hanya datang untuk membuat video, kini membawakan kelas gratis tentang literasi digital untuk ibu-ibu pasar. Seorang pebisnis membuka program paid internship untuk lulusan SMK yang belum percaya diri melamar kerja. Mereka semua mengaku: inspirasi bukan dari pidato, melainkan dari “pintu yang selalu terbuka jam 04.30.”
Kota pun pelan-pelan belajar. Jalan kecil ditambal, bukan hanya jalan besar. Zebra cross diperjelas di dekat sekolah, bukan hanya di dekat mal. Wali kota tiba-tiba muncul suatu pagi, tanpa pengawalan berlebihan. Ia duduk, memesan kopi, dan mendengar—betul-betul mendengar—keluh cerita orang-orang. “Kami akan coba biasakan hadir,” katanya. Janji yang terukur: bukan yang bombastis, melainkan yang bisa diulang besok pagi.
.
Nasihat untuk Mereka yang Lelah
Suatu malam, setelah semua pergi, Iqrit menulis pada papan kecil di dekat pintu:
-
Atur satu kebiasaan kecil yang bisa diulang setiap hari. (Contoh: menelepon orangtua, tiga menit hening sebelum kerja, satu gelas air putih begitu bangun.)
-
Pasang jamnya. Tidak harus 04.30, yang penting bisa dihadiri diri sendiri.
-
Terima hari absen tanpa rasa bersalah, tetapi pastikan kembali besok.
-
Jangan tunggu sorak. Sorak adalah efek, bukan bahan bakar.
-
Kalau sudah kuat, titipkan kebiasaanmu pada orang lain. Ini yang disebut warisan.
Ia menulis bukan sebagai motivator, melainkan sebagai seseorang yang pernah merasa kosong lalu menemukan bahwa yang ia butuhkan bukan tepuk tangan, melainkan ketukan kecil di pintu pagi.
.
Rumah Pulang
Waktu berlalu. Foto-foto baru menggantikan beberapa yang lama. Tetapi jam dinding tetap, pintu tetap, dan kata-kata pada dinding tetap. Suatu sore, seorang anak kecil bertanya pada ibunya, “Ibu, kenapa di sini banyak orang duduk diam?”
“Iya, Nak. Mereka lagi mengisi ulang hati.”
“Kayak HP?”
“Kurang lebih.”
Anak itu tertawa. Lalu menunjuk foto Wiryam. “Itu siapa?”
“Dia yang mengajarkan kita bahwa setetes pun bisa melubangi batu,” jawab ibunya. “Asal tak pernah absen.”
Di luar, awan bergerak pelan. Kota menyiapkan malamnya. Di dalam, air panas diseduh, uap naik, dan telapak tangan saling berbagi hangat. Satu tetes jatuh. Dan tidak berhenti.
.
Catatan Reflektif – Edukasi & Solusi Kecil untuk Hidup yang Ramai
-
Konsistensi kecil mengalahkan intensitas sesaat. Mulailah dari kebiasaan yang memudahkanmu hadir tiap hari.
-
Definisikan jam hadir. Bukan untuk orang lain, tapi untuk dirimu sendiri.
-
Rangkul jeda. Kopi paling nikmat tidak diseruput buru-buru. Begitu juga keputusan.
-
Berbagi peran. Jika kebiasaanmu membawa manfaat, ajak satu orang untuk menjaga ketika kamu absen.
-
Ukur dampak dengan frekuensi. Seminggu sekali membantu tetangga bisa lebih mengubah kota daripada satu kali acara besar yang ramai foto.
.
“Setiap orang punya jalan kecil. Tempuhlah ia sampai menjadi jalan pulang.”
.
.
.
Jember, 2 Juli 2025
.
.
#SetetesYangTakPernahAbsen #KonsistensiKecil #CerpenKompasMinggu #KotaYangBelajar #HadirSetiapHari #CeritaJember #UrbanIndonesia #EtosKerja #HabitBaik #SetiaPadaRasa