Kepak Sayap Tunjungputih
“Pemimpin yang baik bukanlah yang membuat orang lain tunduk padanya, tapi yang mampu membuat orang lain berdiri dengan kekuatannya sendiri.”
— Anonim, adaptasi dari pitutur Jawa
.
Awal Musim: Warisan yang Berat
Di sebuah desa di lereng Gunung Lawu, berdirilah sebuah padepokan bernama Giri Kinasih. Padepokan itu bukan tempat biasa, melainkan pusat pembelajaran dan perenungan bagi para pemuda yang ingin menjadi pemimpin sejati. Tokoh utama kita, Raden Tunjungputih, adalah anak dari pemimpin legendaris padepokan itu—Adipati Jayengpati.
Setelah sang ayah wafat secara mendadak karena serangan jantung saat mengisi pengajian kepemimpinan, seluruh beban tanggung jawab jatuh ke pundak Tunjungputih. Ia baru berusia 27 tahun, dengan idealisme tinggi namun belum teruji oleh badai dunia nyata.
.
Di Balik Sayap Ayah
Tunjungputih tumbuh dalam bayang-bayang kebesaran ayahnya. Adipati Jayengpati dikenal sebagai pemimpin yang tegas namun lembut, arif namun tak mudah ditipu. Semua orang di desa menghormatinya, dan semua pemuda mengidolakannya.
Tapi Tunjungputih merasa tidak siap. Ia terbiasa disuruh, bukan menyuruh. Terbiasa mengikuti, bukan memimpin.
“Bapak terlalu sempurna,” gumamnya suatu malam pada Raden Suraadipura, sahabat karib yang kini menjabat sebagai pengawas ladang dan logistik padepokan.
Suraadipura hanya tersenyum. “Kalau kau pikir tugas pemimpin itu memberi perintah, kau belum paham. Bapakmu tidak pernah menyuruhku. Ia membuatku ingin bertindak.”
.
Perekrutan yang Salah
Bulan-bulan pertama kepemimpinan Tunjungputih adalah kekacauan. Ia merekrut banyak orang—dari pendekar muda hingga lulusan perguruan tinggi kota. Mereka pintar, tapi bingung.
Mereka terbiasa menunggu instruksi. Ketika Tunjungputih sibuk mengurus pertanian organik di lereng bukit, tak ada satu pun dari timnya yang berani mengambil keputusan saat generator listrik mati. Mereka hanya mengirim pesan: “Menunggu arahan, Raden.”
Frustrasi itu memuncak saat festival panen—acara tahunan yang digelar untuk mengenang jasa Adipati Jayengpati—berantakan. Tak ada koordinasi. Tamu datang, makanan belum jadi. Petugas sound system tak muncul karena menunggu kepastian anggaran yang tak ditandatangani oleh Tunjungputih.
Di ujung acara, Tunjungputih menatap langit. “Aku lelah, Bapak. Mereka semua pintar, tapi lumpuh.”
.
Intervensi Ki Cendhala
Malam itu, datanglah Ki Cendhala Geni, sahabat lama sang ayah. Ia adalah guru spiritual yang dikenal bijak dan nyentrik, sering keliling desa dengan sepeda bambu dan payung kertas bergambar wayang.
“Raden Tunjungputih, boleh aku bertanya satu hal saja?” katanya sambil duduk bersila.
“Tentu, Ki.”
“Apakah kau sedang membangun kerajaan? Atau sedang menumbuhkan pemimpin?”
Tunjungputih tak menjawab.
Ki Cendhala melanjutkan, “Rekrut orang bukan untuk diperintah. Tapi rekrutlah orang yang bahkan saat kamu tak ada, mereka tetap bisa membuat keputusan bijak. Kalau kau sibuk menjawab semua pertanyaan, itu artinya kau tak memberdayakan. Kau hanya membangun ketergantungan.”
.
Reorientasi: Membangun Tim Mandiri
Tunjungputih mulai mengubah pendekatannya.
Ia mengadakan pertemuan terbuka setiap Jumat. Tapi bukan untuk memberi perintah, melainkan membuka ruang diskusi: “Apa yang kamu lihat, kamu pikir, dan kamu mau lakukan?”
Ia mulai memberi kepercayaan pada Sekarjaya, penanggung jawab acara, untuk menentukan sendiri desain dan alur festival. Ia menunjuk Ranggalawe, pemuda berjiwa seni, untuk memimpin proyek mural edukatif tanpa intervensi.
Dan yang terpenting: ia belajar untuk mundur selangkah.
Ia menyaksikan bagaimana padepokan mulai bergerak dengan irama sendiri. Tak selalu sempurna, tapi bernyawa.
.
Ujian Sejati
Suatu hari, Tunjungputih harus berangkat ke luar negeri—undangan dari lembaga pelatihan internasional tentang “Empowerment Leadership.” Selama tiga minggu ia tak bisa dihubungi karena berada di wilayah pegunungan di Nepal.
Ketika ia kembali, yang ia lihat membuat matanya berkaca-kaca.
Festival panen kali ini sukses. Lebih ramai. Lebih terorganisir. Bahkan ada program inovatif: pertunjukan wayang anak muda, bazar produk lokal, dan sesi pembelajaran publik.
“Siapa yang memutuskan semua ini?” tanyanya kepada Suraadipura.
“Kami semua. Tapi keputusan final diambil oleh Sekarjaya. Dia bilang, ‘Kalau Raden Tunjungputih ada, beliau pasti bilang: Aku percaya padamu.’”
.
Tangis di Bawah Rembulan
Malam itu, di pelataran padepokan, Tunjungputih menatap langit. Rembulan bersinar tenang.
Ia menutup mata, mengucap lirih, “Bapak, aku tak ingin jadi bayanganmu. Aku ingin jadi cahaya baru.”
.
Warisan Sejati
Dua tahun berlalu. Padepokan Giri Kinasih berkembang pesat. Banyak alumni yang membuka pusat pemberdayaan di desa-desa lain. Tunjungputih kini lebih banyak menjadi fasilitator, bukan instruktur. Ia bukan pemimpin dalam artian klasik—ia adalah penyala obor, bukan pembakar api.
Dan di setiap diskusi, ia mengulang pesan warisannya:
“Pemimpin yang cerdas tidak membangun ketergantungan, tapi memberdayakan. Kita tidak sedang mencari pengikut. Kita sedang menumbuhkan pemimpin.”
— Tunjungputih, dalam buku Warisan Giri Kinasih
.
.
.
Jember, 2 Juli 2025
.
.
#PemimpinYangMemberdayakan #CerpenIndonesia #CeritaMotivasi #TereLiyeStyle #MenakJawa #LeadershipEmpowerment #GiriKinasih #PituturJawa #MotivasiHidup