Ketika Kabut Menghalangi Langkah

“Beberapa luka tidak berdarah. Tapi tetap nyeri. Dan kita hanya perlu duduk diam, sampai hati kita pulih dengan caranya sendiri.”
Catatan Sunyi Nayla

Senin yang Murung

Bandung tidak turun hujan pagi itu. Tapi langitnya suram. Kabut menggantung rendah, seolah menutupi separuh kota.

Nayla, 30 tahun, duduk di meja kerjanya. Di layar laptop, spreadsheet terbuka. Kolom-kolom anggaran menunggu diisi. Kopi di sebelahnya sudah dingin. Bahkan dia lupa kapan terakhir kali menyesapnya.

Biasanya, dia bisa menyelesaikan tiga tugas sebelum jam sembilan. Tapi pagi itu, satu tugas pun belum disentuh. Fokusnya buyar sejak ponselnya bergetar: pesan dari Raga.

“Budget-nya belum kamu masukin, Nay?”

Sederhana. Tapi cukup untuk membuat Nayla menyandarkan tubuhnya dan menatap langit-langit. Dia tahu, bukan pesan itu masalahnya. Tapi segalanya yang belum mereka selesaikan sejak pekan lalu.

Dua Dunia, Satu Rasa

Nayla dikenal sebagai orang yang rapi, presisi, dan terstruktur. Ia creative lead di sebuah agensi ternama. Setiap kampanye yang ia pegang, hasilnya terukur.

Raga berbeda. Lulusan desain juga, tapi memilih jalur kuliner. Ia membangun bisnis dari nol. Mengandalkan insting. Menyukai kejutan. Ia bisa membatalkan semua rencana, hanya karena merasa “tidak sreg”.

Mereka bertemu di workshop lima tahun lalu. Berpacaran tiga tahun terakhir. Dan kini, mencoba proyek kolaborasi antara desain dan makanan.
Awalnya seru. Lalu mulai rumit.

Ketika Semuanya Terasa Kabur

“Nay, kenapa sih harus rapi banget? Gak bisa improvisasi sedikit?” suara Raga di ujung telepon terdengar kesal.

“Aku nggak bisa asal taruh angka. Klien butuh kejelasan.”

“Aku gak nyaman dihitung terus. Aku kerja pakai rasa. Kamu tahu itu.”

“Dan aku kerja pakai sistem, Ga.”

Setelah itu, tidak ada suara. Lalu telepon terputus. Tanpa pamit.

Itulah titiknya. Sejak hari itu, Nayla berhenti mengejar kabar. Ia tahu, ia hanya akan kelelahan sendiri. Ia mulai menolak ajakan teman. Membalas pesan kerja seperlunya. Dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya diam.

Pesan yang Terlambat Tapi Tidak Salah Waktu

Tiga hari kemudian. Jumat malam. Kabut masih turun lebih cepat dari biasanya.

Ponselnya kembali bergetar.

“Mau ketemu? Aku tahu kita kacau. Tapi aku butuh kamu, bahkan saat aku belum tahu cara menyesuaikan diriku.”

Nayla membaca pesan itu sambil menatap keluar jendela. Tidak langsung dibalas. Tapi malam itu, ia melangkah ke kedai kopi tempat biasa mereka bertemu.

Raga sudah duduk di meja sudut, mengenakan jaket abu-abu. Wajahnya lelah. Tapi tidak kehilangan sorot yang ia kenal.

Bukan Tentang Siapa yang Benar

“Aku tahu kamu butuh struktur. Dan aku tahu, aku ini kayak badai,” Raga membuka pembicaraan.

“Aku gak minta kamu berubah, Ga. Aku cuma pengin kamu hadir penuh. Kita nggak bisa jalan bareng kalau kamu terus lari pakai insting, sementara aku menyeret semua logikaku.”

“Aku pikir aku cukup hadir karena kita saling sayang. Tapi ternyata, itu nggak cukup ya?”

“Sayang tanpa niat menjaga, cuma bikin lelah.”

Mereka terdiam lama. Tapi kali ini bukan karena canggung. Mereka hanya… mengerti.

“Aku akan belajar, Nay. Pelan-pelan. Kalau kamu masih mau jalan bareng.”

Nayla menunduk. Menatap cangkirnya. Lalu tersenyum kecil.

“Aku juga akan belajar, Ga. Bahwa hidup gak harus selalu rapi. Tapi tetap harus punya arah.”

Kabut Tak Lagi Menakutkan

Proyek mereka akhirnya berjalan. Tidak secepat sebelumnya. Tapi lebih jujur. Mereka mulai membagi peran. Menuliskan yang sebelumnya hanya diasumsikan. Menanyakan, bukan menebak.

Minggu berikutnya, mereka kembali duduk di kedai kopi yang sama. Di meja yang sama.

Tidak bicara panjang. Tidak ada agenda kerja. Hanya duduk. Bersama.
Karena kadang, yang kamu butuhkan bukan kepastian. Tapi seseorang yang tetap duduk di sebelahmu, meski kabut belum sepenuhnya pergi.

Catatan Akhir

“Cinta bukan tentang siapa yang paling benar, siapa yang paling rapi, siapa yang paling romantis. Tapi tentang siapa yang tetap tinggal saat semuanya terasa kabur.”
Catatan yang ditulis Nayla di halaman belakang jurnalnya

.

.

.

Jember, 3 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

.

Insight & Refleksi untuk Pembaca

  • Hubungan bukan kompetisi ritme, tapi upaya saling mendengar dan menyesuaikan langkah.

  • Tidak apa-apa mengambil waktu diam, bila itu membantu kita merapikan batin.

  • Komunikasi yang tulus seringkali datang bukan saat marah, tapi saat rindu mulai berbicara.

  • Cinta dewasa bukan tentang menyamakan cara, tapi menyamakan arah.

Leave a Reply