Senyum di Balik Topeng

“Kadang yang paling kuat adalah mereka yang paling diam. Mereka yang tertawa paling keras justru menyimpan tangis paling dalam.”

.

Lintang Seta. Namanya seindah pagi yang tenang, namun kehidupannya seperti senja yang penuh bayang. Orang-orang mengenalnya sebagai perempuan yang ramah, ceria, dan tak pernah kehabisan tawa. Ia manis dalam berbicara, cekatan bekerja, dan bijak ketika dimintai nasihat.

Namun, tak banyak yang tahu bahwa di balik wajah cerahnya, ada gurun sunyi yang luas. Lintang bukan sekadar nama—ia adalah simbol dari seseorang yang tetap menyinari, meski dirinya sendiri gelap.

.

Dunia yang Tertata Rapi

Lintang adalah kepala divisi desain interior di sebuah firma arsitektur ternama di Surabaya. Setiap hari, ia datang paling pagi dan pulang paling akhir. Semua deadline terpenuhi. Semua klien puas. Dan semua rekan kerja percaya, bahwa Lintang adalah contoh sempurna profesional masa kini.

Di balik meja rapat, Lintang selalu tersenyum. Bahkan ketika klien menghina hasil desainnya, atau atasan bersikap tidak adil, ia hanya menarik napas dan berkata, “Baik, akan saya perbaiki.”

Di media sosialnya, penuh foto-foto cantik: brunch di rooftop, yoga saat matahari terbit, dan kutipan motivasi setiap Senin pagi. Banyak yang ingin menjadi sepertinya.

Padahal, Lintang sering menangis dalam diam di kamar mandi kantor. Ia menyeka air matanya sebelum keluar, memastikan eyeliner-nya tak luntur. Ia paham satu hal: dunia menyukai yang kuat, bukan yang rapuh.

.

Jejak Luka yang Tersembunyi

Masa lalu Lintang bukan halaman yang ingin ia buka sembarangan. Ibunya meninggal ketika ia SMA. Ayahnya menikah lagi dengan perempuan yang tidak pernah benar-benar menerima keberadaan Lintang. Dari situlah ia belajar untuk tidak mengeluh, tidak bertanya, tidak berharap. Ia belajar menyembunyikan tangis dengan senyum.

Saat kuliah, Lintang sempat bertunangan dengan lelaki bernama Damar. Lelaki itu penuh janji, tapi hilang di tengah badai hidup. “Aku butuh perempuan yang bisa mengerti aku, bukan yang penuh beban masa lalu,” kata Damar suatu malam, lalu pergi.

Lintang tidak menangis hari itu. Ia hanya mengangguk, menutup pintu, dan kembali ke meja gambar. Ia mendesain kamar hotel bertema “ketenangan” sambil menahan guncangan di dadanya.

.

Pertemuan dengan Rakai

Satu malam di galeri desain, Lintang bertemu seseorang: Rakai Anggoro. Ia bukan tipe pria flamboyan. Ia pendiam, kalem, dan memperhatikan Lintang dari kejauhan. Rakai adalah konsultan brand hospitality dari Jakarta, sedang menggarap proyek kolaborasi.

“Kamu selalu terlihat tenang. Apa kamu memang benar-benar setenang itu?” tanya Rakai di pertemuan ketiga mereka.

Lintang tersenyum. “Ketika kamu tidak bisa mengubah dunia, kamu harus belajar mengubah wajahmu.”

Rakai diam. Ia melihat sesuatu yang lebih dalam dari sekadar balasan ringan.

Hari-hari berikutnya, Rakai mulai sering mengajak Lintang makan malam sepulang kerja. Obrolan mereka ringan, tapi kadang menusuk. Rakai pernah berkata, “Aku pernah hancur. Tapi orang bilang aku beruntung karena cepat bangkit. Padahal, aku cuma diam.”

Itu pertama kalinya Lintang merasa seseorang tidak menuntutnya untuk kuat.

.

Tumpah Tanpa Suara

Suatu malam, saat mereka berdua duduk di tepi danau buatan di proyek hotel bintang lima, Lintang menangis. Bukan meraung. Hanya air mata yang mengalir tanpa isak.

“Aku lelah, Kai,” katanya lirih. “Aku lelah harus selalu tersenyum. Aku takut kalau aku berhenti tersenyum, orang-orang akan pergi.”

Rakai menggenggam tangannya. “Mereka yang pergi karena kamu jujur, memang tidak pernah benar-benar tinggal.”

Sejak malam itu, Lintang mulai membuka diri. Ia mulai belajar berkata tidak. Ia mulai menyisihkan waktu untuk dirinya. Ia bahkan menulis jurnal. Dalam salah satu tulisannya ia menulis:

“Hari ini aku sedih. Tapi tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksa diriku bahagia. Aku akan membiarkan diriku bernapas.”

.

Nyai Sri Resmi

Dalam proses healing-nya, Lintang bertemu seorang konselor bernama Nyai Sri Resmi, seorang wanita tua yang bijak.

“Kamu tidak perlu membuktikan bahwa kamu baik-baik saja, Lintang,” katanya. “Orang yang benar mencintaimu akan bertahan, bahkan ketika kamu hancur.”

Nyai Sri Resmi mengajarkan teknik pernapasan, journaling harian, dan berbicara dengan inner child. Di ruangannya yang dipenuhi tanaman dan harum kayu manis, Lintang merasa menjadi manusia seutuhnya—bukan robot penghibur dunia.

.

Panggung Terbuka

Setahun kemudian, Lintang diundang menjadi pembicara dalam forum arsitektur nasional. Ia berdiri di podium dengan percaya diri, mengenakan kebaya modern berwarna biru laut.

Alih-alih hanya bicara soal desain ruang, ia menutup presentasinya dengan kisah pribadi:

“Saya adalah perempuan yang pernah takut kehilangan cinta karena menangis. Tapi hari ini, saya tahu bahwa menangis bukan kelemahan. Ia adalah bentuk keberanian.”

Tepuk tangan bergema.

Di kursi penonton, Rakai menatapnya penuh bangga. Ia tahu, senyum Lintang kali ini bukan topeng. Itu adalah senyum dari seseorang yang sudah berdamai dengan luka.

.

Satu Senyum Satu Waktu

Lintang tidak selalu tersenyum sekarang. Kadang ia marah, sedih, menangis. Tapi semua itu adalah bagian dari dirinya. Ia tidak lagi memaksa sempurna.

Ia tahu, senyum yang tulus tidak perlu ditarik paksa. Dan tawa yang sejati datang bukan dari penyangkalan, tapi dari penerimaan.

Dan jika suatu hari kamu melihat seseorang tertawa paling keras di ruangan, jangan langsung mengira ia bahagia. Mungkin, seperti Lintang Seta, ia hanya sedang belajar kuat—satu senyum dalam satu waktu.

.

.

.

Jember, 5 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#cerpentopengsenyum #kisahperempuankuat #healinglukabatin #inspirasikesehatanmental

Leave a Reply