Kupikir Aku Sudah Sembuh, Sampai Lagu Itu Mematahkanku Lagi

“Tidak apa-apa jika kamu merasa sudah sembuh, lalu tiba-tiba terpuruk kembali. Tidak apa-apa jika kamu hancur lagi, meski kamu pikir sudah bisa mengendalikan semuanya. Kamu bukan lemah. Penyembuhan itu berantakan. Dan tak ada batas waktu untuk sembuh.”

.

Luka Lama yang Mengendap

Kau bisa saja berdiri tegak di atas podium prestasi. Berbicara lantang dalam rapat tertutup para bangsawan. Tersenyum sopan saat semua mata memujimu. Tapi tetap saja… satu lagu lama bisa merobohkanmu seketika.

Begitulah yang terjadi padaku — Wiramenggala, bangsawan muda dari pesisir timur. Pada suatu sore, saat kupikir semuanya sudah selesai. Ternyata tidak.

.

Tiga Tahun yang Dipikir Menyembuhkan

Aku telah menjadi pelaksana utama dalam dewan dagang kerajaan. Dikenal sebagai pria muda yang penuh ide, taktis, dan cepat bergerak. Setelah kepergian Dewi Kumaladewi—tunangan yang kucinta bertahun-tahun lamanya—aku menenggelamkan diri dalam kerja.

Ia pergi tanpa penjelasan. Tanpa jejak yang cukup. Hanya surat bertuliskan: “Jangan cari aku. Aku tidak cukup baik untukmu, Ggala.”

Itu tiga tahun lalu. Kini, aku mengira semua sudah usai. Luka sudah tertambal. Jiwaku sudah utuh kembali.

.

Lagu yang Membuka Luka

Sampai hari itu.

Kedai teh tempat aku singgah tak ramai. Hanya dua pasang tamu lain dan seorang pelayan tua yang tenang. Interiornya bersahaja. Lampu gantung berwarna keemasan menggantung rendah, dengan meja-meja kayu yang mulai lapuk namun bersih. Suara hujan rintik-rintik di luar jendela memberikan latar yang lembut.

Aku duduk di pojok, memesan teh kayu manis panas dan kudapan manis. Aku ingin menenangkan kepala. Tapi sebelum minuman datang, lagu itu mulai dimainkan. Lagu yang dulu selalu diputar Kumaladewi di ruang musik belakang. Lagu yang ia nyanyikan sambil merawat anggrek kesayangannya.

Tanganku membeku. Mataku panas. Nafasku sesak. Tak peduli berapa banyak waktu telah berlalu, ternyata kenangan bisa kembali dalam satu kedipan.

.

Pertemuan Tak Terduga

Aku menunduk, menyembunyikan wajah. Aku benci ini. Aku benci menjadi rapuh.

“Tidak apa-apa,” suara itu datang perlahan.

Aku menoleh pelan. Seorang perempuan duduk di kursi seberang. Rambutnya disanggul sederhana. Matanya tenang seperti danau pagi.

“Saya Adaninggar,” katanya. “Boleh saya duduk di sini?”

Aku tak menjawab, tapi aku juga tak menolak. Dia meletakkan sapu tangan di meja.

“Kadang, lagu bukan sekadar lagu. Ia pintu menuju ruang yang belum kita kunci benar.”

.

Di Hadapan Orang Asing

Aku menghela napas panjang. “Kupikir aku sudah baik-baik saja.”

Adaninggar menyesap tehnya, pelan. “Healing itu tidak lurus. Tidak semua luka sembuh dalam garis waktu yang kita inginkan.”

Aku menatap cangkir kosongku. “Kenapa aku bisa begini padahal aku sudah bertahan selama ini?”

“Karena kamu manusia, Wiramenggala. Bukan dewa.”

Tak ada yang menenangkan seperti kalimat itu. Dalam dunia yang menuntutku untuk selalu menjadi sempurna, Adaninggar hadir seperti jeda. Seperti hening di antara dua perang.

Kami tak banyak bicara setelah itu. Tapi kehadirannya cukup.

.

Malam yang Membuka Jurnal Lama

Malam itu, aku pulang dan membuka jurnal yang pernah diberikan Kumaladewi. Kosong. Tak pernah kutulis. Kali ini, aku mulai menggoreskan kalimat:

“Hari ini aku menangis. Di kedai teh, di hadapan orang asing. Tapi air mata itu tidak malu-malu. Ia jujur.”

Hari-hari berikutnya, aku menulis terus. Tentang rasa yang kupendam, tentang marah yang kutahan, tentang rindu yang kubungkam. Adaninggar kadang mengirimiku catatan kecil melalui pengantar pesan kerajaan:

“Hari ini tak perlu sembuh. Cukup berdamai.”

“Air mata adalah bahasa tubuh yang tak bisa dimanipulasi.”

.

Menerima Bahwa Aku Belum Usai

Aku mulai belajar: bahwa yang selama ini kulakukan bukanlah penyembuhan, tapi pelarian. Aku membungkus lukaku dengan kesibukan, bukan keikhlasan.

Tiga bulan kemudian, aku menulis satu esai berjudul: “Jika Hari Ini Kamu Menangis Lagi, Itu Tidak Apa-Apa” dan mengunggahnya ke laman kerajaan.

Responsnya mencengangkan. Dari prajurit, pedagang, hingga petapa. Semuanya merasa terwakili.

Aku menyadari: ternyata luka bukan untuk disembunyikan. Tapi untuk dibagikan, agar sembuh bersama.

.

Pelan-pelan, Aku Berdamai

Kini, jika lagu itu kembali terdengar, aku tidak lagi menangis. Tapi tersenyum. Karena aku tahu: aku pernah mencintai dengan utuh. Dan tak ada yang salah dengan itu.

Wiramenggala bukan lagi lelaki yang memaksa dirinya sembuh. Tapi lelaki yang belajar berdamai. Dan dalam damai itu, ia bertumbuh.

Jika hari ini kamu pun terjatuh, ingatlah ini: kamu tidak sendirian. Dan kamu tidak gagal.

Kamu sedang bertumbuh.

Dan itu… sudah sangat cukup.

.

“Berjalanlah meski tertatih. Menangislah jika perlu. Bangkitlah pelan-pelan. Karena setiap proses pulih itu unik. Tidak ada yang bisa mendikte waktunya. Yang penting kamu tetap melangkah, sekecil apa pun.”

.

.

.

Jember, 5 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMenakJawa #HealingJourney #Wiramenggala #Adaninggar #CerpenEmosional #SelfLove #SelfCompassion

Leave a Reply