Senyum di Balik Topeng

“Yang terlihat kuat sering kali sekadar topeng yang menahan runtuhnya langit di dalam dada.
Keberanian sejati adalah menaruh topeng itu di meja—lalu belajar bernapas sebagai diri sendiri.”

.

Lintang Seta. Namanya seindah pagi yang tenang, tetapi hidupnya seperti senja yang menyisakan bayang pada kaca-kaca gedung di koridor Darmo, Surabaya. Orang-orang mengenalnya sebagai perempuan yang ramah, ceria, cekatan mengejar tenggat. Di kantor—sebuah firma arsitektur dan brand hospitality—ia datang paling awal, pulang paling akhir. Ia menata ruang seperti menata napas: presisi, rapi, dan tidak menyisakan celah bagi air mata.

Di layar Instagram, hidupnya tampak seperti pengumuman kemenangan yang tak pernah berhenti: brunch di rooftop, senam pernapasan menghadap matahari, foto-foto indoor plants berjejer di kusen jendela. Orang menyebutnya teladan profesional masa kini. “Lintang itu kuat,” kata rekan kerjanya, Jayeng—copywriter yang semua orang panggil karena cepat seperti Jayengrana dalam cerita Topeng Menak Madura. Tidak ada yang tahu: kekuatan itu sering dibayar dengan keheningan yang retak-retak.

Lintang tumbuh dari rumah yang kehilangan ibu terlalu dini. Ayahnya menikah lagi. Perempuan baru di rumah itu tidak jahat, tetapi tak pernah sungguh-sungguh mengizinkan Lintang menjadi anak. Sejak itu, Lintang belajar tiga hal: jangan mengeluh, jangan bertanya, jangan berharap. “Kalau menangis, usaplah sampai tak berbekas,” pesan dirinya kepada diri sendiri. Ia hafal sudut cermin mana di kamar mandi kantor yang paling bersahabat untuk memastikan eyeliner tetap tegas setelah badai kecil di mata.

Di kota, semua bergerak cepat. Proyek hotel, restoran, ruang publik: setiap ruang menuntut cerita. Dan Lintang selalu menyiapkan cerita itu. Ia memimpin tim desain interior seperti dirigen, sementara tim brand menata narasi di sisinya. Di antara para penulis, fotografer, dan konsultan, ada satu orang yang jarang bicara—Rakai Anggoro. Konsultan brand hospitality dari Jakarta itu tak pernah berceloteh, tetapi tatapannya seperti lampu baca di malam hari: tenang, tidak menyilaukan, dan hadir untuk menemani.

“Kenapa kamu selalu terlihat tenang?” tanya Rakai pada pertemuan ketiga mereka, di ruang presentasi yang menghadap panorama kota.

“Kalau tak bisa mengubah dunia, kadang kita belajar mengubah wajah,” jawab Lintang, tersenyum.

Rakai tidak membalas. Ia cuma menatap dokumen presentasi yang berjudul “Adaninggar—A Calm Wing Concept”: tema desain yang Lintang pilih untuk lobi hotel bintang lima di tepi danau buatan Pakuwon. Nama “Adaninggar” ia petik dari cerita Menak Madura. Bagi Lintang, Adaninggar adalah sayap yang tampak manis, tetapi bisa menahan badai dengan sepotong sunyi.

.

Proyek itu menjadi ritme baru bagi hari-hari Lintang. Setiap Jumat senja, mereka mengecek mock-up kamar: tekstur kain, temperatur lampu, simfoni warna yang membuat tamu ingin meletakkan beban sebelum meletakkan koper. Di food hall, tim marketing mengusulkan nama “Umar Maya” untuk corner kopi—karena ingin ada magis yang lembut di antara riuh espresso dan mesin penggiling. Seorang barista berkaos hitam memutar musik keroncong elektrik, membuat ruang itu seperti halaman buku yang tak jadi ditutup.

Pada suatu malam panjang, setelah revisi entah keberapa, Lintang dan Rakai duduk berdampingan di tepi danau buatan proyek. Angin membawa aroma hujan yang menunda. Lampu-lampu memantul di permukaan air, seperti kalimat-kalimat yang belum sempat dicatat.

“Aku lelah, Kai,” suara Lintang jatuh pelan, nyaris seperti pengakuan yang takut ketahuan. “Aku lelah harus selalu tersenyum. Ada hari-hari ketika aku ingin diingat bukan dari caraku kuat, tapi dari caraku manusia.”

Rakai tidak memberikan nasihat. Ia hanya menautkan jemari pada punggung telapak tangan Lintang. “Yang pergi karena kamu jujur,” katanya akhirnya, “memang tidak pernah sungguh-sungguh tinggal.”

Di jeda itu, Lintang membiarkan air mata turun tanpa suara. Bukan meraung—hanya aliran yang menandai bahwa sungai masih ada di dalamnya.

.

Tak ada keajaiban esok pagi. Lintang tetap bangun, menyeduh teh seduhannya, membuka laptop, menjawab email klien yang menagih revisi. Namun ada satu pergeseran kecil: ia tidak lagi memaksa “baik-baik saja” menjadi satu-satunya bahasa. Ia belajar berkata, “Tidak hari ini.” Ia belajar menunda rapat yang bisa ditunda. Ia menaruh waktu untuk menulis jurnal—hanya sepuluh menit setelah Subuh, cukup untuk menanyakan, “Apa kabarmu, Lintang?” tanpa tergesa menyelamatkan dunia.

Di sebuah sesi konseling yang ia tempuh diam-diam, Lintang bertemu Nyai Sri Resmi—perempuan sepuh yang ruangan prakteknya harum kayu manis dan berisi tanaman merambat sampai ke bingkai jendela. Tidak ada poster motivasi di sana, hanya jam dinding yang berdetak seperti doa.

“Kamu tidak perlu membuktikan bahwa kamu baik-baik saja, Lintang,” kata Nyai Sri Resmi. “Yang mencintaimu akan tetap duduk di bangku ini bahkan ketika kamu sedang jatuh.”

Sesi itu sederhana. Latihan napas: empat hitungan untuk menarik, empat hitungan menahan, empat hitungan melepas, empat hitungan beristirahat—box breathing. Sebuah latihan menengok ke dalam. “Tangismu sah,” ujar Nyai. “Senyummu pun sah. Keduanya cukup manusia untuk tinggal dalam satu tubuh.”

Lintang pulang dengan selembar kertas kecil: tugas menulis surat pada diri remaja—pada inner child yang dulu tak sempat bertanya. Di malam sunyi, Lintang menulis: “Maaf, aku dulu terlalu sibuk untuk jadi kuat. Mulai hari ini, aku memelukmu.”

.

Di kantor, perubahan Lintang terlihat sekilas. Ia tidak lagi mengiyakan semua permintaan. Ketika seorang klien—yang dipanggil semua orang sebagai Madi karena gemar mengganti arah seperti tokoh Umar Madi di panggung topeng—meminta revisi bentuk lampu gantung hanya karena “mood pagi ini beda”, Lintang tidak menunduk. Ia membuka data: pantulan cahaya, rasio tinggi ruang, alur pergerakan tamu. “Kita bisa ubah jika berdampak pada pengalaman. Kalau tidak, kita simpan energi untuk bagian yang benar-benar mengubah cerita,” katanya. Ruang rapat hening. Madi menatapnya, lalu mengangguk—enggan, namun mengangguk.

Para junior memperhatikan. Ninggar—desainer baru yang nama panggilannya juga terambil dari kisah Adaninggar—mendekat suatu sore. “Mbak, boleh nggak saya belajar tentang cara bilang ‘tidak’ yang tidak menyakiti?”

Lintang tertawa kecil. “Belajar dari napas,” ujarnya, “bukan dari suara.”

Ia mulai membagi hal-hal yang dulu disimpannya sendiri: template komunikasi dengan klien, ritme kerja sehat, seni menyusun boundary. Ia menulis catatan di dinding pantry: “Pulang sebelum lelah berubah menjadi benci.” Seperti melati di pot yang berpindah dari sudut minim cahaya ke ambang jendela, orang-orang di timnya pelan-pelan mekar.

.

Suatu pagi, Lintang mendapat pesan dari ayah. Sebuah foto berbingkai: dirinya kecil dalam gaun bunga, berdiri di samping almarhum ibu. “Aku menemukan ini,” tulis ayah. “Jika kamu sempat, mampir. Rumah ini menua sendiri.”

Lintang menatap layar cukup lama. Ada luka yang tak lagi memedih, tetapi tetap menuntut diakui. Ia pulang. Di ruang tamu, ada taplak meja yang dulu sering ia benci karena motifnya terlalu ramai. Ayah duduk, suaranya getir. “Maaf kalau dulu Bapak lambat.”

Lintang tidak menjawab dalam kalimat besar. Ia menuang teh. “Aku juga lambat memaafkan,” katanya pelan, “tapi aku datang.”

Di lemari buku, Lintang menemukan naskah usang: buku catatan ibu. Ada resep rawon favorit, ada daftar tamu pengajian, ada satu halaman berjudul “Hal-Hal yang Ingin Ibu Katakan pada Lintang.” Ia membaca dengan perasaan seperti menekan pipi pada kaca jendela saat hujan: “Jadilah kuat, tapi jangan lupa pulang. Kalau tak ada rumah, jadilah rumah.”

Kalimat itu menempel di dadanya berminggu-minggu.

.

Proyek “Adaninggar” akhirnya rampung. Launching malam itu sederhana, tetapi elegan. Lintang memilih kebaya modern berwarna biru laut, rambutnya diikat rendah, hanya sepasang anting kecil memantulkan cahaya chandelier. Di panggung, MC menyebut namanya sebagai pimpinan desain. Lintang melangkah ke podium.

“Selamat malam,” suaranya stabil. “Saya ingin menceritakan ruang ini bukan dari lantai dan dindingnya, tetapi dari napas. Ada masa ketika saya percaya senyum adalah satu-satunya jawaban. Ternyata, yang lebih sulit itu menangis. Malam ini, saya ingin mengajak Anda menyapa ruang ini sebagai tempat untuk beristirahat dari topeng.”

Semula, ia bermaksud berhenti di sana. Namun mata menangkap sesuatu: di baris ketiga duduk Rakai, menatap dengan cara yang sama sejak awal—seperti lampu baca di malam hari. Lintang menambahkan satu kalimat:

“Jika Anda pernah menahan runtuhnya langit di dalam dada, semoga lobi ini memberi Anda kursi. Kursi untuk menaruh topeng sebentar, lalu bernapas.”

Tepuk tangan mengembang pelan, kemudian deras.

Setelah acara, mereka berdua berdiri di luar, di bawah lampu taman. Udara membawa wangi kopi dari corner “Umar Maya” yang malam itu ramai. “Kamu mengubah cara orang memandang ruang,” kata Rakai.

“Aku hanya memulai dari cara memandang diriku,” jawab Lintang.

“Bolehkah kita memulai dari cara memandang yang sama?” tanya Rakai, setengah bercanda, setengah sungguh.

Lintang tersenyum. Senyum yang tidak dibuat untuk menutup apa pun, melainkan untuk membuka jalan.

.

Hari-hari berikutnya tetap memuat riuh: tender baru, klien baru, revisi yang lahir dari revisi. Namun sesuatu pada Lintang telah bertambah: ia memiliki kompas. Ia menyiapkan kelas internal “Studio Rengganis”—mengambil nama dari tokoh Topeng Menak Madura yang dalam beberapa versi berdamai dengan duka. Kelas itu bukan seminar inspirasi; hanya pertemuan hangat yang membicarakan pola kerja yang berkeadilan pada tubuh, cara bernegosiasi yang menghormati diri, bagaimana memelihara tim agar produktif tanpa jadi mesin.

“Ruang yang paling ingin kita desain,” katanya pada pembukaan kelas, “adalah ruang di dalam dada. Kalau itu terang, ruang lain ikut mendapat cahaya.”

Ia membagi praktik sederhana:

  1. Ritual lima napas sebelum rapat. Tujuan: mengurangi reaktif, menambah respons sadar.

  2. Jurnal tiga pertanyaan malam: Apa yang membuatku bangga hari ini? Di mana aku memaksakan topeng? Apa satu hal kecil yang bisa kuberikan pada tubuhku besok?

  3. Batasan jam kerja realistis. “Kerja lembur bukan kehebatan yang dianugerahkan,” katanya, “sering kali itu alarm yang dinonaktifkan.”

  4. Satu jam sunyi tiap Jumat. Tanpa rapat, tanpa notifikasi, untuk belajar kembali mendengarkan.

Junior-juniornya menyalin, menambahkan catatan. Ninggar menulis di sticky note: “Menangis boleh. Mundur satu langkah supaya bisa menari lagi.”

.

Suatu sore, saat matahari memanjang di antara deretan pohon trembesi, ayah mengirim pesan: “Bapak ingin melihat ruangmu.” Lintang menjemput, mengantar ayah ke lobi “Adaninggar.” Pria itu berdiri lama menatap kursi-kursi biru, memegang sandaran seolah memeluk sesuatu yang tak kasat mata.

“Indah,” katanya akhirnya. “Ibumu pasti senang melihat ini.”

Lintang merasakan sesuatu di tenggorokan naik, tetapi ia belajar membiarkannya lewat. “Aku belajar memulangkan diri,” ujarnya. “Rumah tidak selalu alamat. Kadang ia sebuah kursi.”

Ayah mengangguk. Mereka duduk tanpa perlu berbicara banyak. Di sudut, seorang ibu muda menggendong bayi. Seorang pria tua menutup mata sejenak. Seorang resepsionis—yang di badge-nya tertulis Sela, diambil dari Kelaswara—menawarkan air mineral. Lobi itu memang dirancang untuk memperlambat dunia. Dan malam itu, dunia menyesuaikan diri.

.

Hubungan Lintang dan Rakai tumbuh perlahan, seperti tanaman sirih di ruangan Nyai Sri Resmi. Mereka belajar mengukur kata, menakar jeda, menghormati sejarah. Ada hari-hari ketika mereka tidak bertemu berminggu-minggu karena proyek memisahkan kota. Ada juga malam ketika mereka berjalan di Tunjungan, melihat orang-orang menertawakan hal-hal kecil, merayakan hal-hal yang barangkali besok akan terlupa.

“Kalau suatu hari topengku kembali terlalu berat, bisakah kamu mengingatkanku menaruhnya di meja?” tanya Lintang.

“Kalau suatu hari aku terlalu diam sampai lupa berbagi, bisakah kamu mengetuk—sekali saja?” balas Rakai.

Mereka sepakat pada hal-hal kecil: saling mengingatkan tanpa menggurui, saling menemani tanpa menyelamatkan. Tidak selalu mudah, tetapi tidak lagi mustahil.

.

Puncaknya adalah ketika Lintang diundang berbicara di forum arsitektur nasional. Ia menyusun presentasi yang tidak hanya bicara soal estetika ruang, melainkan juga etika ritme. Slide terakhir menampilkan kutipan dalam huruf kecil di dasar layar:

“Bahagia bukan soal kuat atau rapuh. Bahagia adalah berani mengakui: ada hari ketika aku kuat, ada hari ketika aku rapuh—keduanya masih aku.”

Setelah sesi, seorang mahasiswi menghampiri. “Mbak,” suaranya gemetar, “terima kasih. Hari ini saya merasa diizinkan untuk tidak baik-baik saja.” Lintang menatap mata anak itu dan memegang bahunya. “Jangan buru-buru sembuh,” katanya, “cukup jangan berhenti bernapas.”

Di kursi belakang, Rakai memotret diam-diam. Foto itu tidak pernah diunggah ke mana pun. Ia simpan di ponsel, sebagai pengingat bahwa keberanian kadang berbentuk sebaris kalimat yang diucapkan tepat ketika tangan masih bergetar.

.

Malam ketika kota mengembuskan napas lebih pelan dari biasanya, Lintang duduk sendirian di lobi “Adaninggar.” Lampu-lampu dipadamkan setengah, musik latar berganti menjadi denting yang nyaris tak terdengar. Ia membuka jurnalnya:

“Hari ini aku masih takut. Tetapi aku tahu ke mana harus pulang ketika takut: ke pangkuan doa, ke kursi di lobi yang kubuat sendiri, ke dada seseorang yang berjanji mengetuk ketika aku terlalu diam. Topengku masih ada. Bedanya, kini aku yang memilih kapan memakainya, kapan menaruhnya.”

Ia menutup buku, menatap kaca yang memantulkan senyum. Senyum yang tidak lagi menjadi pagar antara dirinya dan dunia—melainkan jembatan. Di balik topeng, ia menemukan wajah. Wajah itu miliknya, lengkap dengan garis-garis kecil yang tumbuh seperti peta perjalanan: tidak sempurna, tetapi jujur.

Dan di kejauhan, seorang perempuan menertawakan lelucon sederhana, seorang pria tua bersandar lebih tenang, seorang anak kecil berlari kecil menuju ayahnya. Lintang tahu: mungkin kebahagiaan memang tidak pernah hinggap lama-lama. Tetapi ketenangan bisa diajak tinggal, kalau kita berani mengetuk pintu yang tepat—pintu di dalam dada sendiri.

.

.

.

Jember, 5 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #UrbanIndonesia #KompasMingguStyle #MenakMadura #Hospitality #Arsitektur #Mindfulness #SelfCompassion #Healing #Surabaya

.

Quotes yang terkait isi & pesan cerpen:

  1. “Kuat bukan berarti tak pernah menangis; kuat adalah tahu kapan berhenti pura-pura.”

  2. “Yang tinggal saat kita jujur adalah rumah; yang pergi adalah debu.”

  3. “Ruang terindah adalah ruang yang membiarkan kita menjadi manusia—tanpa izin, tanpa syarat.”

  4. “Topeng ada gunanya, tapi wajah adalah tujuan.”

  5. “Kalau dunia terlalu bising, dengarkan napasmu: di sana ada peta pulang.”

Leave a Reply