Cerita untuk Kita yang Terluka

“Ada waktunya kita berhenti berbicara, bukan karena kalah, melainkan karena sadar: sebagian telinga memang ditakdirkan tak mau mendengar.”

PROLOG

Hujan baru saja berhenti sore itu. Udara di Jakarta terasa lengket oleh sisa gerimis yang belum sempat menguap. Di sebuah trotoar sempit yang dipenuhi daun-daun gugur, Satriya berjalan pelan, kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket abu-abu favoritnya.

Di dalam kepala Satriya, kalimat sahabatnya terus bergaung:
“Pilihanmu cuma dua, Ri. Pergi atau terus membuang waktu.”

Ia menarik napas dalam. Mungkin memang hari ini saatnya memilih.

AWAL YANG INDAH

Beberapa bulan lalu, hidup Satriya seakan menemukan warna baru saat bertemu dengan Ajeng. Wanita yang cerdas, memesona, dan penuh ambisi. Mereka bertemu di sebuah diskusi buku, dan sejak itu sering berbagi pemikiran tentang banyak hal.

Di awal hubungan, diskusi mereka terasa hidup. Setiap kalimat Satriya disambut antusias, bahkan Ajeng kerap berkata, “Aku suka cara kamu melihat dunia.”

Namun, seperti pelangi yang perlahan memudar, hubungan mereka pun mulai berubah warna.

PERUBAHAN YANG PELAN-PELAN MEMBISUKAN

Waktu berlalu. Entah sejak kapan, setiap pembicaraan mereka menjadi ajang debat. Satriya merasa, apapun yang ia katakan, selalu ditanggapi Ajeng dengan sikap meremehkan.

“Kamu terlalu idealis, Satriya. Dunia ini tidak sesederhana buku-buku yang kamu baca,” ujar Ajeng suatu malam di kafe favorit mereka.

Satriya terdiam. Bukan karena tak mampu membalas, tapi ia mulai lelah. Setiap diskusi kini terasa seperti mengetuk pintu rumah orang tuli—sia-sia.

KELELAHAN YANG MENUMPUK

Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, Satriya duduk sendiri di sudut kamar. Laptopnya terbuka, kursor berkedip di layar kosong. Ia ingin menulis, tapi pikirannya terlalu sesak.

Di layar ponselnya, sebuah pesan dari Ajeng masuk:
“Kamu harus belajar memahami bahwa aku tidak suka diatur. Aku tidak butuh nasehat.”

Kalimat itu menohok. Padahal, semua yang Satriya lakukan hanyalah bentuk perhatian.

Di meja, secangkir kopi hitam sudah dingin. Satriya menatap cermin. Sosok di depannya tampak lelah—bukan fisik, melainkan jiwanya.

“Aku sedang mengetuk pintu yang tak akan pernah terbuka,” batinnya lirih.

CURHAT PADA SAHABAT

Tak sanggup memendam sendiri, Satriya menemui sahabat lamanya, Rino, seorang psikolog yang bijak.

Di sebuah kedai kopi yang hangat, Satriya menceritakan semuanya.

Rino mendengarkan dengan tenang, lalu berkata pelan:
“Ri, kadang dalam hidup ini, orang seperti Ajeng bukan tak mendengar, tapi memang tak mau mendengar. Kamu bukan kurang bijak. Kamu hanya sedang berbicara di tempat yang salah.”

Satriya menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Pilihannya cuma dua, Ri. Pergi atau terus membuang harga dirimu.”

MALAM PENUH PERENUNGAN

Malam itu, Satriya tak bisa tidur. Ia berjalan bolak-balik di kamarnya. Setiap kenangan bersama Ajeng berputar seperti film usang.
Tawa mereka. Pelukan hangat. Tatapan mata yang dulu penuh rasa.

Namun perlahan, semua itu tergerus oleh ego yang makin mengakar.

Di meja kerja, Satriya menulis di jurnal kecil:

“Ada kalanya cinta harus dikalahkan oleh akal sehat. Ada waktunya hati harus dipandu oleh martabat.”

“Kadang yang paling melelahkan bukan perjalanan panjang, melainkan berhenti terlalu lama di pintu yang salah.”

PERJUMPAAN TERAKHIR

Pagi yang mendung mengiringi langkah Satriya menuju taman tempat biasa mereka bertemu. Di sana, Ajeng sudah duduk menunggu, wajahnya datar.

Tanpa banyak basa-basi, Satriya bicara:

“Ajeng… aku mencintaimu. Tapi aku lebih mencintai diriku sendiri. Aku ingin hidupku berarti. Aku ingin suaraku didengar, bukan dibungkam. Aku tidak ingin lagi mengetuk pintu yang tidak akan pernah terbuka.”

Ajeng terdiam. Mulutnya setengah terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.

Satriya tersenyum lirih, bangkit dari bangku, dan melangkah pergi tanpa menoleh.

LEMBARAN BARU

Bulan demi bulan berlalu. Satriya merasa lebih ringan. Ia mulai menulis lagi, membaca buku-buku favoritnya, dan bahkan berani membuka diri untuk pertemuan-pertemuan baru.

Suatu hari, ia merilis buku berjudul “Mengetuk Pintu yang Tak Akan Pernah Terbuka”. Buku itu laris, banyak pembaca yang merasa relate.

Di salah satu babnya, Satriya menulis:

“Pergi bukan berarti kalah. Pergi adalah kemenangan bagi mereka yang memilih menjaga kewarasan.”

“Mencintai diri sendiri bukan egois. Itu kebutuhan, agar kita tak kehilangan jiwa demi orang yang bahkan tak mau mendengar.”

EPILOG

Di sebuah acara bedah buku, seorang peserta bertanya:

“Mas Satriya, bagaimana caranya tahu kapan harus berhenti berjuang?”

Satriya tersenyum.
“Saat kamu merasa berbicara kepada dinding, saat lelahmu tak lagi membawa makna, saat itulah waktunya. Ingat, hidup kita terlalu singkat untuk dihabiskan mengetuk pintu yang tak akan pernah terbuka.”

Di sudut ruangan, Rino mengangguk pelan, bangga pada sahabatnya yang kini telah benar-benar merdeka.

Dan malam itu, saat Satriya pulang ke apartemen kecilnya, ia berdiri lama di depan cermin.
Ia menatap bayangannya sendiri—pria yang dulu begitu takut ditinggalkan, kini justru berani meninggalkan demi harga dirinya.

Ia tersenyum tipis. Tidak ada lagi rasa bersalah. Tidak ada lagi kecemasan tentang apa yang akan dikatakan orang lain.

“Kadang, dalam hidup ini, yang paling bijak bukanlah bertahan. Tapi tahu kapan harus pergi. Dan hari ini… aku telah memilih untuk mencintai diriku sendiri, lebih dari siapapun yang tak mau mendengar.”

Ia mematikan lampu, menutup jurnalnya, dan tidur dengan tenang.
Untuk pertama kalinya, dalam sekian lama, tanpa beban.

“Pergi bukan berarti menyerah. Kadang itu satu-satunya cara untuk tetap waras dan bermartabat.”

.

.

.

Malang, 9 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

 

 

#CeritaInspiratif #SelfLove #HubunganToksik #BijakMemilih #MotivasiHidup #PergiDenganMartabat

 


 

One Comment

Leave a Reply