Langit yang Tidak Pernah Meminta Payung

“Kadang, orang yang tampak paling kuat bukan karena tak butuh dicintai. Ia hanya terlalu menghargai tenangnya hidup sendiri.”

 

Langit dan Kopi Pagi

Langit tidak suka terburu-buru. Jam tangannya bukan untuk mengejar waktu, tapi untuk menyapa detik-detik yang lewat dengan sadar. Setiap pagi, sebelum dunia sibuk menggila, ia menyeduh kopi—tanpa gula, tanpa suara. Hanya musik jazz lembut dari speaker Bluetooth di sudut dapur kecilnya yang minimalis.

Langit adalah pria empat puluh satu tahun yang tinggal sendiri. Apartemennya rapi, tapi tidak kaku. Dingin, tapi tidak beku. Di dinding tergantung lukisan abstrak, di rak buku berjajar biografi tokoh besar dan beberapa novel klasik.

Ia tidak merasa kesepian. Sama sekali tidak.

Karena kesendirian bukan hal yang menyakitkan bila kamu sendiri yang memintanya.

Bukan Karena Trauma, Tapi Pilihan

Banyak orang mengira ia trauma. Ditolak cinta? Gagal menikah? Punya masa lalu gelap?

Tidak.

Langit bukan tipe pria yang membawa luka lama sebagai alasan untuk menolak masa depan. Ia hanya tahu, sejak dulu, dirinya tidak pernah nyaman dengan kata “kepemilikan”.

Ikatan? Ia paham. Tapi bagi Langit, ikatan pernikahan terasa seperti mendesain taman di bawah atap: terlalu banyak aturan, terlalu sedikit ruang bernapas.

Ia pernah jatuh cinta. Beberapa kali, bahkan. Tapi setiap kali hubungan itu mulai dibawa ke arah yang “serius”, ia melangkah mundur dengan tenang. Bukan lari. Tapi pamit, dengan sepenuh kesadaran.

Karena Langit bukan pengecut. Ia hanya terlalu menghormati hidupnya yang telah damai.

Semua Orang Ingin Jadi Dia

Di kantor, Langit adalah bintang. Divisi pengembangan bisnis di perusahaan teknologi tempat ia bekerja sudah lima tahun dipimpin olehnya. Target? Selalu tercapai. Tim? Mengaguminya. Bos besar? Memberinya ruang tanpa syarat.

Ia ganteng, tapi tidak norak. Cerdas, tapi tidak sombong. Mudah bergaul, bisa masuk ke semua kelas. Dari sopir kantor hingga direksi luar negeri, semua bisa ngobrol nyaman dengannya.

Beberapa karyawan baru bahkan pernah bertaruh: siapa yang bisa membuat Langit membuka hatinya?

Tak ada yang menang. Karena hatinya bukan tertutup. Ia hanya tidak membiarkan sembarang orang memasukinya.

Ketika Ada yang Menawarkan Payung

Namanya Aira. Senior analyst yang baru bergabung dua bulan. Cerdas, ceria, dan punya intuisi kuat. Ia tidak agresif, tapi kehadirannya mudah dirasakan.

Aira mulai memperhatikan Langit. Dengan cara yang halus, tidak berisik. Membawakan kopi hitam tanpa diminta. Menanyakan kabarnya bukan karena sopan santun, tapi karena tulus ingin tahu. Ia bukan tipikal wanita yang memaksa. Tapi ada yang lembut dari sorot matanya saat menatap Langit.

Dan Langit tahu itu. Ia merasakannya.

Sore itu, setelah presentasi besar, mereka duduk berdua di pantry. Hujan turun deras. Aira mengeluarkan payung dan menawarkannya.

“Aku bisa antar kamu sampai mobil. Biar nggak basah.”

Langit menatap hujan, lalu memandang Aira. Lama. Tapi tak ada senyum di wajahnya.

“Aku lebih suka basah, Air. Karena aku terbiasa berjalan sendiri, bahkan saat hujan.”

Menjauh Bukan Karena Tidak Merasa, Tapi Karena Terlalu Mengerti

Setelah hari itu, Langit mulai menjaga jarak. Tidak ada lagi percakapan yang terlalu lama. Tidak ada lagi tatapan yang dibiarkan menggantung. Ia kembali menjadi Langit yang profesional, ramah, tapi berjarak.

Aira tidak bodoh. Ia paham.

Dan justru karena itulah, ia tidak memaksa.

Karena beberapa orang tidak butuh diselamatkan. Mereka hanya butuh dimengerti, lalu dibiarkan hidup dalam caranya sendiri.

Dialog Batin Seorang Langit

Di malam yang senyap, Langit menyalakan lilin aromaterapi, duduk di kursi rotan dekat jendela, dan menuliskan satu paragraf dalam jurnal kulitnya:

“Kadang aku iri pada mereka yang bisa tidur dengan tangan orang lain menggenggam erat. Tapi aku lebih takut terbangun dan kehilangan diriku sendiri dalam prosesnya. Maka aku memilih sendiri, bukan karena takut mencinta. Tapi karena aku sudah mencintai diriku, dan itu cukup.”

Ia tidak menangis. Tidak pula tersenyum. Ia hanya menatap ke luar jendela, pada kota yang masih menyala, lalu mengucap pelan:

“Aku baik-baik saja.”

Semua Orang Ingin Menjadi Langit, Tapi Tak Siap Menjalani Pilihannya

Di luar sana, banyak orang iri pada Langit.

Ia punya semuanya: karier, kebebasan, stabilitas, tampang, wibawa. Tapi mereka tak tahu: untuk punya semua itu, Langit mengorbankan satu hal yang tak semua orang siap kehilangan — kebersamaan.

Bukan karena ia tak mampu. Tapi karena ia sadar, setiap pilihan butuh konsekuensi. Dan ia memilih sendiri… agar bisa utuh.

Saat Langit Tidak Menyesal

Satu hari Minggu pagi, Langit berjalan di taman kota. Seorang anak kecil menabraknya saat berlari. Ibunya datang tergopoh-gopoh, meminta maaf, dan mengajak anak itu pergi.

Langit duduk di bangku taman, memperhatikan mereka. Ada senyum kecil di sudut bibirnya. Bukan senyum iri. Tapi senyum pengakuan: “Mungkin, itu hidup yang tidak kupilih.”

Dan tidak apa-apa.

Karena tidak semua orang ditakdirkan menjadi matahari. Ada yang memang terlahir menjadi Langit
Tenang. Luas. Sendiri.
Tapi selalu menjadi tempat semua orang menggantungkan harapan.

“Aku bukan setengah yang menunggu disempurnakan. Aku adalah Langit—utuh meski tanpa siapa-siapa. Damai, meski tak ada yang memeluk. Bahagia, meski hanya ditemani langkah sendiri.”

.

.

.

Jember, 4 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

#CerpenLangit #CeritaPriaSendiri #LoneWolfStory #CerpenReflektif #PriaMandiri
#SelfSufficientMan #SendiriTapiBahagia #TidakKosong #CerpenKehidupan

Leave a Reply