Pergi Karena Harga Diri

“Kadang, kita harus pergi. Bukan karena menyerah, tapi karena harga diri tidak bisa ditawar.”

Senja tak pernah bohong. Ia tahu kapan harus datang, kapan harus pamit. Ia tidak tergesa, tidak pula mencari pengakuan. Ia datang dalam diam, pulang dengan tenang. Seperti Daru.

Sore itu, dermaga tua di ujung kota menjadi saksi dari satu keputusan yang diam-diam telah tumbuh selama berbulan-bulan di hati seorang lelaki. Daru berdiri di ujung papan kayu, mengenakan jaket tua yang selalu ia pakai saat pikirannya penuh. Angin laut menerpa wajahnya, dan ia hanya diam, mematung, menatap horison yang perlahan ditelan cahaya jingga.

Lelaki yang Tak Lagi Sama

Daru Prasetya, 34 tahun. Dari luar, hidupnya tampak biasa saja. Seorang konseptor pemasaran digital di sebuah agensi ibu kota. Tapi di dalam, Daru sudah lama retak. Ia datang bekerja setiap hari, menyelesaikan semua tanggung jawab, tapi hatinya tak lagi berada di sana.

Ia bukan korban pertama. Tapi ia mungkin satu dari sedikit yang memilih diam, mengamati. Di kantor itu, semakin tinggi kamu memuji, semakin besar peluangmu naik. Tapi Daru bukan tipe pemuja. Ia bicara saat perlu. Diam saat tahu omong kosong tidak layak diladeni.

Kabut di Balik Jendela Kantor

Semua bermula dari presentasi yang tidak menyebut namanya. Strategi kampanye besar yang ia kerjakan hingga larut malam disampaikan oleh orang lain—lengkap dengan pujian dari jajaran direksi. Tidak ada yang tahu siapa yang mengerjakan detailnya. Daru tidak keberatan soal pujian. Tapi ia keberatan dengan penghapusan jejak.

Selama berbulan-bulan, ide-idenya diambil, dipoles, dan diakui oleh orang lain. Teman-teman yang dulu satu tim, kini ikut bersandiwara. Mereka belajar cara bertahan: berpura-pura loyal, berpura-pura peduli.

Daru memilih tidak ikut.

Obrolan Terakhir di Pantry

Karin—satu-satunya yang tersisa dari lingkar kepercayaan Daru—mendapati pria itu diam di depan mesin kopi.

“Kamu ngelamun?”

“Nggak. Lagi mikir… harusnya kopi ini bisa ngebangunin sesuatu dalam diri orang, bukan cuma bikin melek.”

Karin tertawa, lalu serius. “Kamu resign, ya?”

Daru menatapnya lama. “Kita tumbuh dengan prinsip. Tapi hidup memaksa kita untuk lupa. Aku takut bangun suatu hari nanti, dan menyadari bahwa aku berubah jadi sesuatu yang dulu aku benci.”

“Terus kamu mau ke mana?”

“Aku belum tahu. Tapi lebih baik tersesat mencari arah, daripada terus tinggal di tempat yang bikin kehilangan arah.”

Surat Tanpa Nama

Daru menulis surat pengunduran dirinya malam itu. Bukan surat penuh amarah, bukan pula surat penuh kata-kata indah. Hanya dua paragraf.

Satu paragraf menjelaskan bahwa ia pergi bukan karena kalah, tapi karena memilih. Paragraf kedua, hanya berisi satu kalimat:

“Jangan pernah bangga berdiri di atas jerih payah orang lain.”

Ia meninggalkannya di atas meja HRD. Tanpa lampiran, tanpa permintaan formalitas.

Dermaga Tempat Kita Bisa Jujur

Dan di sinilah ia sekarang. Dermaga tua tempat dulu ia biasa memancing dengan ayahnya. Tempat pertama ia belajar arti kata “menunggu.”

Ia duduk di ujung papan, membiarkan angin laut menyapu wajahnya. Di tangannya, ada satu buku catatan yang ia bawa kemana-mana. Di halaman belakangnya, ia menulis:

“Terkadang, kita perlu pergi, bukan untuk menghindari kenyataan, tapi agar bisa kembali dengan versi terbaik dari diri kita.”

Ia belum tahu ke mana akan melangkah besok. Tapi ia tahu satu hal—ia tidak akan kembali ke tempat yang membuatnya lupa siapa dirinya.

Karena Harga Diri Tidak Bisa Dibayar dengan Gaji

Hidup bukan soal menang atau kalah. Bukan soal posisi di kantor atau jumlah bonus akhir tahun. Kadang, hidup hanya tentang satu hal kecil tapi besar: bisa tidur nyenyak tanpa merasa mengkhianati diri sendiri.

Dan Daru?

Malam itu ia tidur dengan damai, di kamar kos sederhana, tanpa AC, tanpa notifikasi dari grup kerja. Tapi dengan hati yang utuh.

.

.

.

Jember, 4 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

 

 

#CerpenResign #FiksiInspiratif #CerpenIndonesia #HargaDiri #IntegritasKerja #CeritaPendekProfesional #NamakuBrandku #CerpenBermakna

Leave a Reply