Menuju Titik Tiba
“Yang ditakdirkan untukmu tak akan tersesat jalan. Ia datang bukan karena dipaksa, tapi karena waktunya telah sempurna.”
Langit yang Goyah
Langit Yogyakarta menggantung abu-abu sore itu. Tak hujan, tapi mendungnya cukup untuk membuat siapa pun merasa kosong. Di dalam mobil hitam yang terparkir di bawah pohon trembesi tua di bilangan Kotabaru, Dewa masih memegang setir meskipun mesinnya sudah lama mati. AC dimatikan, tapi udara dingin masih mengendap di kabin. Ia tak bergerak. Pandangannya kosong menembus kaca depan.
Tiga tahun sudah sejak ia meninggalkan Jakarta. Tiga tahun sejak ia berhenti dari pekerjaannya sebagai desainer kreatif senior di agensi iklan raksasa. Tiga tahun sejak ia memutuskan membangun agensi sendiri di Yogyakarta, demi mimpi yang lebih manusiawi, lebih personal, dan katanya: lebih bermakna.
Namun hari itu, semua yang diyakininya terasa goyah. Tender besar dari perusahaan fashion lokal yang ia kejar berminggu-minggu, jatuh ke tangan agensi lain. Sekali lagi. Bukan pertama kalinya. Tapi kali ini rasanya lebih pahit. Rasanya seperti dipukul tepat di dada oleh harapan yang hancur.
“Yang datang tepat waktu, tidak perlu mengetuk keras,” batinnya getir. Tapi ia belum benar-benar percaya.
Masuknya Suara Sunyi
Ia membuka dasbor dan menarik sebuah notes lusuh yang dulu sering ia bawa saat pitching. Di dalamnya tertulis satu kalimat dengan spidol merah:
“Yang sabar, yang datang lambat biasanya yang paling tulus.”
Ia nyaris merobeknya. Tapi urung.
Dewa keluar dari mobil. Jalan kaki pelan. Langkahnya membawa dia ke sebuah toko buku kecil yang selama ini hanya ia lewati. Belum pernah masuk. Hari itu ia masuk. Entah kenapa. Seolah ada suara sunyi yang mengarahkan langkahnya.
Pertemuan Tanpa Rencana
Di rak bagian tengah, tangannya menyentuh sebuah buku yang tampaknya sudah sering dibolak-balik: Man’s Search for Meaning karya Viktor Frankl. Di saat bersamaan, seorang perempuan juga menyentuh buku yang sama.
“Buku yang berat untuk hari yang berat?” tanya si perempuan. Wajahnya tenang. Suaranya ringan.
Dewa tersenyum singkat. “Kadang yang berat justru menenangkan.”
Namanya Nayla. Dosen psikologi di salah satu universitas swasta di Yogya. Mereka akhirnya duduk di sudut kecil toko buku itu, saling membaca diam-diam, lalu bertukar cerita. Tanpa rencana. Tanpa naskah.
Dalam Diam, Bertumbuh
Pertemuan itu bukan kebetulan. Tapi juga bukan takdir instan. Ia adalah hasil dari langkah panjang dua manusia yang sedang mencari pulang, tapi belum tahu ke mana arah rumah sebenarnya.
Dewa mulai mengenal Nayla lebih dalam. Nayla bukan tipe perempuan yang hadir untuk membuat Dewa merasa cukup. Ia hadir untuk menunjukkan bahwa Dewa sebenarnya sudah cukup, bahkan sebelum ia menyadarinya. Setiap percakapan bersama Nayla seperti membuka jendela yang sudah lama terkunci dalam batin Dewa.
Malam-malam mereka tak selalu berisi tawa. Kadang diam. Kadang hanya saling berbagi playlist. Tapi dalam keheningan itulah Dewa merasakan sesuatu yang jarang ia temui: tenang.
“Menunggu bukan berarti pasif,” kata Nayla suatu malam. “Tapi percaya bahwa waktu tahu kapan harus mengantar.”
Dan kalimat itu tinggal dalam kepala Dewa jauh lebih lama dari yang ia perkirakan.
Titik Tiba
Suatu malam, Dewa duduk di teras rumah kontrakannya. Laptop di pangkuan, tapi layar kosong. Ia mengetik satu kalimat:
“Apa jadinya bila kita lelah mengejar, lalu justru disambut oleh hal-hal yang datang pelan, tapi pasti?”
Dari kalimat itu, lahirlah blog pertamanya setelah dua tahun vakum: Titik Tiba. Sebuah ruang digital untuk menuliskan ulang perjalanan hidup, bukan dari sudut kemenangan, tapi dari sudut kerelaan.
Tulisannya menyebar. Tak viral. Tapi merayap tenang. Banyak yang membaca diam-diam, lalu mengirim pesan pribadi. Mereka semua seperti Dewa: pernah merasa ditinggalkan oleh rencana hidup sendiri. Tulisan Dewa menjadi semacam oase di tengah dunia yang berisik oleh pencapaian semu.
Komentar yang Menggetarkan
Nayla membaca semuanya. Tapi tak pernah berkomentar. Sampai suatu ketika, Dewa menulis satu tulisan berjudul: “Yang Tiba Tanpa Disuruh Pergi”. Di akhir tulisan itu, Nayla meninggalkan komentar:
“Kadang kita tidak tahu, kita ini ditunggu atau menunggu. Tapi yang pasti, dua-duanya sedang menuju.”
Dewa tahu itu Nayla. Ia membalas dengan dua kata: “Terima kasih.”
Mengubah Arah, Menerima Arah Baru
Setahun setelah pertemuan pertama, Dewa memutuskan menutup agensinya secara resmi. Ia memulai profesi sebagai penulis independen dan konsultan naratif. Tidak mewah. Tidak stabil. Tapi cukup. Dan yang paling penting: ia merasa utuh.
Di luar dugaan, karya-karya Dewa menarik perhatian. Beberapa perusahaan mengundangnya sebagai pembicara. Komunitas psikologi mengajaknya kolaborasi. Tapi yang paling berkesan adalah ketika ia dan Nayla memutuskan membuka kelas daring bertema The Arrival Theory.
“Jangan terburu-buru,” ujar Nayla dalam sesi perkenalan pertama mereka. “Bisa jadi kamu sedang diuji kesiapannya, bukan ditolak keinginannya.”
Dewa mengangguk. Kini ia benar-benar percaya.
Hadiah Terindah: Diri Sendiri
Di hari ulang tahunnya yang ke-35, Dewa menulis:
“Hari ini aku tidak merayakan keberhasilan, tapi kedatangan. Bukan orang, bukan pencapaian. Tapi diri sendiri. Yang akhirnya pulang.”
Nayla datang ke rumahnya dengan kue sederhana. Di atasnya tertulis:
“Selamat sampai.”
Dan untuk pertama kalinya, Dewa menangis. Bukan karena sedih. Tapi karena tahu, bahwa dalam hidup, ada bentuk kebahagiaan yang tidak perlu dijelaskan. Cukup dirasakan.
“Terkadang,” gumamnya sambil memandang senja, “pulang bukan ke tempat, tapi ke versi dirimu yang paling damai.”
.
.
.
Jember, 19 Juni 2025
.
.
#CerpenInspiratif #RefleksiHidup #TheArrivalTheory #CeritaMotivasi #MaknaWaktu #PerjalananDiri #StorytellingIndonesia #KisahCintaDewasa #TitikTiba