Luka Tanpa Kata

“Beberapa luka tidak meninggalkan darah—hanya diam yang dalam, dan air mata yang tidak sempat jatuh.”

Langit sore menua di luar jendela apartemen lantai 11 yang menghadap ke pusat kota Jakarta. Di dalamnya, Farid duduk menatap kosong layar laptop yang sudah menyala sejak dua jam lalu, tapi tak satu huruf pun tertulis di sana. Suaranya hilang. Bukan karena tidak tahu harus menulis apa, tapi karena terlalu banyak yang ingin ia sampaikan, namun tak tahu dari mana harus memulai.

Ia menghela napas panjang. Seperti itulah setiap malamnya sejak beberapa bulan terakhir. Setiap mencoba bicara, hatinya hanya bisa berbisik. Setiap ingin bercerita, pikirannya menolak membuka lembaran lama. Dan luka-luka itu, alih-alih sembuh, justru tumbuh akar.

Farid bukan orang yang mudah ditebak. Ia pria berusia 34 tahun, wajahnya tenang, tutur katanya teratur, dan ia sukses sebagai konsultan kreatif di sebuah agensi branding ternama. Semua orang mengaguminya. Tapi tak satu pun tahu, di balik rapinya presentasi dan tegasnya keputusan, Farid sedang menjalani hari-hari berat—menyembuhkan luka yang tak pernah punya kata.

Pertemuan Pertama dengan Rani

Semuanya mulai bergeser sejak kehadiran Rani, perempuan 30-an dengan senyum lembut dan nada bicara yang penuh empati. Ia baru bergabung sebagai senior client manager di proyek gabungan Farid.

“Mas Farid… boleh ngobrol sebentar? Aku mau diskusi soal moodboard klien kita yang di Bali kemarin.”

Farid mengangguk. Suaranya biasa saja, tapi hatinya sempat bergetar. Bukan karena Rani cantik. Tapi karena Rani menghadirkan suasana yang berbeda. Ia bukan tipikal perempuan karier yang galak dan ambisius, tapi justru sebaliknya—tenang, penuh perhatian, dan… tak banyak bertanya. Dan entah mengapa, itu justru membuat Farid pelan-pelan merasa nyaman.

Luka yang Tak Terlihat

Rani tidak pernah bertanya terlalu dalam. Tapi kehadirannya selalu memberi ruang. Ia bisa duduk bersebelahan dengan Farid tanpa berkata apa-apa, dan keheningan itu justru terasa hangat. Ia tidak memaksa Farid untuk bercerita, tapi dengan tatapannya, ia seperti mengatakan: aku di sini kalau kamu butuh teman bicara.

Sampai suatu sore, di kafe langganan mereka selepas meeting, Rani berkata pelan:

“Kamu tahu, Mas… kadang yang paling menyakitkan itu bukan yang ditinggalkan. Tapi ketika kita dipaksa berpura-pura kuat saat hati kita berantakan.”

Farid menoleh cepat, tapi tidak menjawab.

Ia hanya menggenggam cangkir kopinya lebih erat. Dalam diamnya, luka lama seperti disentuh kembali. Ia belum pernah bercerita kepada siapa pun tentang malam saat ibunya pergi tanpa pamit. Tentang bagaimana ia bangun pagi dan mendapati rumah kosong. Tentang ayahnya yang mendadak keras dan dingin setelah itu. Tentang tangis yang selalu ia tahan sendiri di kamar kecil tanpa suara.

Puncak Keheningan

Hubungan Farid dan Rani bukanlah hubungan asmara. Tidak ada deklarasi cinta, tidak ada kalimat romantis. Tapi ada sesuatu di antara mereka yang lebih dalam dari sekadar suka. Mereka saling hadir. Dan itu cukup.

Sampai suatu hari, Rani pamit.

“Aku ditugaskan ke Surabaya untuk cabang baru. Mungkin tiga bulan, mungkin juga permanen… belum tahu. Tapi yang pasti, aku akan kangen suasana tim di sini.”

Farid hanya mengangguk. Ia ingin berkata: Jangan pergi. Aku belum sempat bilang bahwa kamu satu-satunya orang yang membuat aku merasa aman untuk menjadi rapuh. Tapi yang keluar hanya: “Jaga diri baik-baik, ya.”

Rani tersenyum. “Kamu juga, Mas Farid. Kadang, menyembuhkan diri sendiri itu dimulai dari keberanian untuk mengaku sedang tidak baik-baik saja.”

Dan sore itu, Rani pergi.

Kehilangan yang Tak Terdefinisi

Hari-hari setelahnya berjalan seperti biasa. Tapi tidak benar-benar biasa. Farid kembali fokus pada kerja, rapat, presentasi, dan tenggat waktu. Tapi setiap malam, sebelum tidur, ia memutar ulang percakapan-percakapan kecil dengan Rani. Kalimat-kalimat yang tak selesai. Isyarat-isyarat yang tak sempat ditangkap.

Dan akhirnya, malam itu tiba.

Farid membuka laptopnya, dan mulai menulis. Bukan laporan. Bukan proposal. Tapi surat.

Kepada Rani,

Terima kasih sudah hadir. Maaf aku tidak sempat bilang, bahwa diamku bukan karena tidak percaya. Tapi karena aku bahkan tidak tahu bagaimana bercerita. Setiap kali aku mencoba mengucap, lidahku kelu, hatiku lumpuh. Terlalu lama aku menyimpan semuanya sendiri. Terlalu takut aku dianggap lemah. Tapi kamu—kamu membuatku merasa bahwa mungkin tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja.

Aku masih belajar bicara, Rani. Tapi setidaknya, kali ini aku mencoba.

Menulis sebagai Terapi

Surat itu tidak pernah ia kirim. Tapi sejak malam itu, Farid mulai menulis di blog pribadinya. Tanpa nama. Hanya kisah-kisah tentang luka yang tak berdarah. Tentang trauma masa kecil. Tentang kehilangan. Tentang diam yang mencekik. Tentang ketidakmampuan untuk menceritakan segalanya, namun tetap ingin dimengerti.

Beberapa bulan berlalu. Komentar demi komentar muncul di blognya:

“Tulisan ini seperti suara hatiku sendiri. Terima kasih.”

“Saya kira hanya saya yang menyimpan luka seperti ini… ternyata ada juga yang mengerti.”

Farid mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasa sebelumnya: ringan.

Penutup yang Terbuka

Rani belum kembali. Dan mungkin tak akan kembali dalam waktu dekat. Tapi Farid tahu satu hal pasti: ia telah berubah. Ia bukan lagi laki-laki yang membungkus lukanya dalam senyum palsu. Ia bukan lagi laki-laki yang hanya bisa berkata “tidak apa-apa” meski hatinya hancur.

Kini, ia tahu bahwa menyembuhkan diri tidak harus selalu dengan kata-kata besar. Kadang cukup dengan keberanian untuk berkata pada diri sendiri: Aku terluka. Dan aku ingin sembuh.

Dan dari situ, semuanya pelan-pelan membaik.

Masih Sembuh dari Hal yang Tak Pernah Diceritakan

Beberapa luka memang tak pernah benar-benar sembuh. Tapi dengan diakui keberadaannya, ia tidak lagi membusuk di dalam diam. Ia menjadi bagian dari perjalanan, bukan kutukan.

Dan Farid? Ia masih belajar. Masih menulis. Masih diam di beberapa hari. Tapi sekarang, diamnya bukan lagi karena hancur—melainkan karena sedang merangkai ulang dirinya sendiri, dengan lebih jujur, lebih utuh.

Karena beberapa luka… memang tak butuh kata.

.

.

.

Jember, 20 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#LukaTanpaKata #CerpenHealing #CeritaFarid #EmosiYangDiam #HealingDalamDiam #CerpenDewasa #BlogReflektif

 

Leave a Reply