Langkah Pertama Alex

“Jangan tunggu aba-aba untuk jadi berguna. Terkadang langkah pertama yang kau ambil tanpa disuruh, justru yang menyelamatkan segalanya.”

Di Bawah Bayangan Gedung-gedung Tinggi

Gedung-gedung pencakar langit Jakarta tidak pernah tidur. Mereka menyimpan ribuan cerita tentang ambisi, kompetisi, dan juga… keheningan.

Di lantai 22 gedung pusat keuangan digital bernama Finoverse, seorang pria muda duduk diam menatap layar. Namanya Alex. Bukan siapa-siapa, hanya staf junior di divisi data dan analitik. Seorang fresh graduate yang tak pernah jadi pusat perhatian. Tapi hari itu, ia mengetik sesuatu yang bisa mengubah semuanya.

Hari itu, bukan siapa pun yang memerintah. Tidak ada rapat mendadak. Tidak ada deadline. Tapi Alex melihat anomali kecil dalam pola transaksi pengguna aplikasi mereka. Kebanyakan orang akan mengabaikannya. Angka yang loncat sedikit. Bisa jadi bug biasa. Tapi bukan Alex.

Ia tidak menunggu. Ia tidak berpikir dua kali. Ia percaya bahwa mengambil inisiatif bukan soal menjadi pahlawan, tapi tentang mencegah kekacauan lebih besar dari hal kecil yang terlihat.

Alex, Bukan Anak Emas

Alex bukan lulusan luar negeri. Ia hanya anak dari pensiunan guru Matematika di Bogor. Lulus dari universitas negeri dengan beasiswa dan IPK cukup. Biasa saja. Ia tidak datang dari dunia glamor, tidak punya koneksi besar, dan bahkan tidak cukup vokal dalam rapat.

Tapi Alex punya satu hal: rasa ingin tahu dan dorongan untuk tidak tinggal diam. Ia tidak suka hanya “mengikuti alur”. Jika sesuatu terasa tidak beres, ia menyelidiki. Jika timnya stuck, ia mencari jalan lain. Bukan karena ingin menonjol. Tapi karena ia tak tahu cara lain untuk hidup.

“Kalau kamu bisa bantu, bantu. Jangan tunggu dipanggil,” begitu pesan ibunya sejak kecil. Ibunya—perempuan kuat yang membesarkannya sendirian setelah ayahnya meninggal karena serangan jantung saat Alex kelas dua SMP.

Sejak kecil, Alex terbiasa mencari jalan sendiri. Membantu ibunya mengajar les. Menjual modul pelajaran cetak sendiri. Menjadi tutor untuk anak-anak tetangga. Semuanya dilakukannya tanpa diminta.

Inisiatif, bagi Alex, adalah warisan hidup. Ia belajar bahwa diam bukan selalu emas. Kadang diam itu pelan-pelan membunuh potensi.

Ketika Masalah Tak Menunggu Komando

Dalam dunia teknologi finansial, detik bisa berarti jutaan rupiah. Dan saat Alex melihat kejanggalan kecil dalam traffic backend sistem, ia tidak menunggu. Ia menyalin data. Menyusun laporan. Menandai kode. Menghubungi dua engineer senior secara pribadi.

“Aku bukan siapa-siapa. Tapi boleh aku share sesuatu yang aneh dari data semalam?”

Engineer itu membaca. Terdiam. Lima menit kemudian, ruang meeting darurat dibuat. Ternyata, kejanggalan kecil itu adalah awal dari upaya fraud lintas akun yang sangat rapi.

Seseorang mencoba menyusup sistem dengan teknik fragmentasi data dan memanfaatkan celah validasi. Dan jika bukan karena Alex, mungkin perusahaan akan kehilangan miliaran.

“Siapa yang inisiatif lacak ini?” tanya Chief Risk Officer dalam ruang rapat malam itu.

“Alex, Pak. Anak baru dari tim data.”

Semua diam. Ruangan hening seperti sedang menahan napas.

Tapi ada satu suara yang kemudian memecah sunyi. CTO perusahaan berdiri dan menatap ke arah Alex. “Anak muda, kamu tahu risikonya kalau kamu salah?”

Alex mengangguk. “Tahu, Pak. Tapi lebih takut kalau saya diam dan ternyata benar.”

Ruangan tertunduk. Bukan karena malu, tapi karena sadar… bahwa malam itu mereka diselamatkan bukan oleh senior, bukan oleh manajer, tapi oleh seseorang yang bahkan belum diberi meja tetap.

Antara Sorotan dan Kerendahan Hati

Esoknya, nama Alex mulai dibicarakan. Ia dijuluki si ‘Radar Sunyi’. Orang yang mendeteksi hal penting tanpa suara. Tapi Alex tetap sama. Datang lebih awal, pulang paling akhir. Tidak berubah gaya. Tidak berubah sikap.

Suatu hari, manajernya mendekat dan bertanya pelan, “Kenapa kamu nggak menunggu perintah? Kalau kamu salah, bisa bahaya.”

Alex menjawab tanpa marah, “Kalau saya menunggu, bisa lebih bahaya lagi, Pak. Karena saya tahu, kadang yang dibutuhkan bukan solusi besar, tapi keberanian kecil untuk bertindak.”

Ia bukan tipe yang suka spotlight. Ia lebih suka menyalakan lampu dari belakang layar.

Promosi Tanpa Lobi

Tiga bulan kemudian, Alex dipromosikan jadi Koordinator Analitik. Bukan karena politik kantor. Bukan karena pencitraan. Tapi karena kerja nyata yang terlihat.

Tapi hari paling menyentuh bagi Alex bukan saat ia mendapat email promosi. Tapi ketika ibunya menelpon dari rumah, menangis. “Kamu hebat, Nak. Bapak pasti bangga…”

Alex tak menjawab. Hanya menahan suara di tenggorokan yang tercekat. Ia melihat ke luar jendela—Jakarta malam itu ramai, tapi hatinya tenang. Ia tahu, ia sedang berjalan di jalan yang benar.

Ketika ditanya dalam wawancara internal, Alex hanya berkata:

“Inisiatif itu bukan soal cepat-cepat ingin naik. Tapi soal sadar bahwa tanggung jawab kadang tidak datang dalam bentuk perintah, tapi dalam bentuk kesempatan diam-diam yang muncul di depan mata.”

Dan mungkin, itulah sebabnya ia tetap rendah hati. Karena yang benar-benar besar, tak perlu teriak.

Dunia Milik Mereka yang Memulai

Beberapa bulan kemudian, Alex dipilih untuk memimpin proyek baru: integrasi kecerdasan buatan dalam sistem keamanan data. Ia kaget. Tapi ia menerima.

Dalam pidatonya yang sederhana di depan tim baru, ia hanya berkata:

“Jangan tunggu aba-aba untuk jadi berguna. Terkadang langkah pertama yang kau ambil tanpa disuruh, justru yang menyelamatkan segalanya.”

Ruangan hening. Lalu terdengar tepuk tangan pelan. Tapi yang paling keras adalah denyut hati orang-orang yang mendengarnya. Mereka tahu, mereka sedang mendengar seseorang yang bukan sekadar pemimpin—tapi pelopor.

Dan dunia memang milik mereka… yang berani memulai duluan.

“Proaktif itu bukan reaktif yang cepat. Tapi kreatif yang berani menciptakan arah.”

“Inisiatif tidak menunggu panggung. Ia menciptakan panggung untuk orang lain ikut bergerak.”

.

.

.

Jember 19 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#AlexInisiatif #BeraniMemulai #CeritaKarier #CeritaProaktif #MotivasiKerja #CerpenInspiratif #BlogKarier

Leave a Reply