Warna yang Tak Lagi Diam

“Jangan terus-terusan menormalisasi ‘yang waras ngalah’. Sekali-sekali jadilah orang yang ‘nggak waras’ dan speak up. Kadang kita perlu menerjemahkan warna pada mereka yang hanya melihat abu-abu.”

.

Langit belum sepenuhnya biru ketika Wiratmaja membuka jendela kecil di lantai enam belas apartemen mungilnya. Kota Jakarta masih menggigil, diselimuti embun dan asap knalpot yang mulai menyesaki udara. Di meja kayu dekat jendela, segelas kopi hitam mengepul pelan, seperti menyimpan rahasia.

Di samping gelas itu, selembar post-it kuning terpampang diam-diam, tulisannya sederhana, tapi tegas:

“Berani bicara.”

Hari itu, untuk pertama kalinya, Wiratmaja menyeduh kopi dengan tangan yang sedikit gemetar.

.

Mantra yang Diwariskan

Sejak kecil, Wiratmaja dibesarkan dengan ajaran ibunya, Nyai Kanthi, yang keras namun penuh kasih:

“Nak, yang waras ngalah. Lebih baik kita disalahkan daripada harus menyalahi nurani.”

Ajaran itu melekat seperti warisan darah. Wiratmaja tumbuh menjadi lelaki yang sabar, tidak banyak menuntut, dan selalu menurunkan suara di saat-saat panas. Bahkan ketika teman-temannya di kampus ramai-ramai bersuara karena ketidakadilan dosen, ia memilih menulis puisi untuk meluapkan marah.

Begitu pula dalam dunia kerja.

Wiratmaja, kini berusia tiga puluh dua tahun, bekerja di Keraton Rasa Creative Studio — sebuah konsultan branding yang sedang naik daun di Jakarta Selatan. Kantornya bergaya modern, penuh mural dan lampu gantung industrial. Tapi di balik ruang-ruang estetik itu, mengendap budaya diam yang sangat kuno.

“Siapa yang bicara, dibenci.
Siapa yang diam, aman.
Siapa yang mengalir, selamat.
Siapa yang bersuara, dicurigai.”

Wiratmaja termasuk yang memilih aman. Selalu diam, bahkan saat karyanya dijiplak. Bahkan saat jam lemburnya tak dihitung. Bahkan saat diberi tugas tiga kali lipat rekan kerja lainnya tanpa apresiasi.

Semua dijalani dalam diam.
Karena bagi Wiratmaja, diam adalah bentuk kasih sayang. Bentuk kesadaran. Bentuk dari ‘waras.’

Namun kesabaran, jika terus dieksploitasi, akan berubah menjadi luka yang pelan-pelan menganga.

.

Nama yang Dicuri

Proyek “Metaswara 2025” menjadi panggung peristiwa.

Proyek besar dari klien luar negeri ini menjanjikan nilai miliaran rupiah. Seluruh tim kreatif diturunkan. Wiratmaja ditunjuk sebagai konseptor utama presentasi visual dan storytelling. Ia bekerja siang dan malam, menyusun desain, warna, nada, hingga filosofi narasi sesuai brief.

Dan seperti biasa, dokumen final itu ia kirimkan ke atasannya: Maktal Satrawijaya — tokoh strategis di kantor yang lihai bicara, pintar membungkus retorika, dan sudah lama dikenal sebagai “pengambil alih momentum.”

“Santai aja, Matja,” ucap Maktal waktu menerima file-nya. “Nanti aku submit ke direktur. Kita semua satu tim, kan?”

Wiratmaja mengangguk. Percaya.

Hari H tiba.

Presentasi dilakukan di hadapan direksi, partner luar negeri, dan Sultan CEO sendiri.

Slide pertama muncul di layar 80 inci:

“Ide dan Desain: Maktal Satrawijaya”

Wiratmaja duduk membeku. Slide demi slide yang ditampilkan — mulai dari layout, pemilihan tone warna, hingga penggabungan ilustrasi dan puisi pendek — semuanya miliknya. Tapi tak satu pun mencantumkan namanya.

Maktal berbicara lancar, penuh percaya diri, seolah semua lahir dari otaknya.

Di sekeliling, ruangan hening. Beberapa orang manggut-manggut.
Tak ada yang bertanya.
Tak ada yang menengok ke arah Wiratmaja.

Ia duduk diam, seperti biasa. Tapi dadanya berontak.

“Kalau kamu terus diam, kamu bukan waras, Matja. Kamu pengecut.”

Suara itu menggelegar di dalam.

.

Malam yang Panjang

Pulang dari kantor malam itu, Wiratmaja naik Transjakarta. Ia duduk dekat jendela, memandangi kota yang bergerak tanpa arah.

Langit Jakarta tetap kelabu.

Seperti suasana batinnya.
Antara marah, kecewa, dan… takut.

“Apa benar ini saatnya aku bicara?”

Pukul 22.46.
Wiratmaja membuka laptop. Menyusun email — bukan dengan marah, tapi dengan bukti.

Ia menuliskan kronologi pengerjaan desain: tanggal, waktu, siapa melakukan apa. Ia lampirkan semua file asli dengan metadata. Bahkan jejak digital revisi di Google Drive.

Lalu ia tuliskan satu paragraf di akhir surat:

“Saya terlalu lama diam. Terlalu lama percaya bahwa diam adalah bentuk kebaikan. Tapi ternyata, diam tak selalu bijak. Maka malam ini, saya memilih bersuara. Bukan karena benci. Tapi karena saya harus menghargai diri saya sendiri.”

Pukul 23.58 — ia klik Send.

.

Ledakan yang Tenang

Keesokan harinya, kantor heboh.

Email itu beredar cepat. Dari ruang HRD, ke meeting room, hingga ke telinga direksi.

Maktal panik. Ia membela diri. Menyebut kerja tim. Mengklaim ada miskomunikasi.

Tapi bukti digital tidak bisa dibohongi.
File-file desain menunjukkan nama pembuat: Wiratmaja.
Timestamps, log edit, bahkan screenshots mendukung narasinya.

Dalam rapat internal manajemen, Direktur Utama, Ki Jatmiko, berkata:

“Jika benar seperti ini, maka bukan hanya nama yang dicuri, tapi juga harga diri.”

Keputusan dibuat:

  • Maktal dikenai peringatan keras.

  • Nama Wiratmaja dikembalikan dalam proyek.

  • Internal SOP direvisi untuk menghindari kejadian serupa.

Tapi yang lebih penting:
Di ruang-ruang kecil kantor, mulai terdengar bisikan baru:

“Ternyata bisa ya speak up.”
“Gak selalu harus diam, ya.”
“Matja ngajarin kita berani.”

.

Warna yang Menular

Beberapa minggu setelahnya, terjadi hal tak terduga.

Rekan-rekan kerja mulai terbuka. Ide-ide segar bermunculan. Suasana kantor tak lagi ditekan diam. Budaya takut berubah jadi budaya terbuka.

Ada yang memberanikan diri mengusulkan revisi sistem lembur.
Ada yang menyarankan pengadaan ruang konseling.
Ada pula yang menulis puisi di papan pengumuman kantor:

“Warna-warni muncul karena ada yang berani.
Dan diam tak selamanya mulia.”

Wiratmaja menjadi inspirasi.
Bukan karena ia bicara paling lantang.
Tapi karena ia pernah diam terlalu lama, dan saat akhirnya bersuara — ia memilih kata yang benar, dengan cara yang terhormat.

.

Ibu yang Tersenyum

Sebulan kemudian, Wiratmaja pulang ke rumah ibunya di Wonosobo. Di beranda kayu tua yang menghadap sawah, mereka duduk bersama.

Nyai Kanthi menatap putranya.

“Kamu kelihatan beda, Le. Ada yang berubah.”

Wiratmaja tersenyum.

“Masih pegang wejangan Ibu: ‘yang waras ngalah.’ Tapi sekarang aku tahu, ngalah pun ada batasnya.
Kadang, waras juga berarti tahu kapan harus bicara.
Dan kadang, berani bicara itulah bentuk kasih sayang — pada diri sendiri.”

Nyai Kanthi mengangguk pelan.
Ia tahu, anaknya telah dewasa.

Di dalam kamarnya, Wiratmaja menempelkan sticky note kuning baru di atas meja belajar masa kecilnya.

Tulisan tangan itu kini berubah:

“Yang waras tahu kapan bicara.
Dan suara yang jujur — adalah warna yang tak bisa dibungkam.”

.

Ngene

“Warna akan terus jadi abu-abu jika tak ada satu pun yang berani menyuarakan merah, biru, atau kuning.”

.

.

.

Jember, 7 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#WiratmajaSpeakUp #MenakJawaModern #BudayaKantor #SpeakUpIndonesia #CerpenFilosofiJawa #BeraniBicara #WorkplaceCulture #CeritaMotivasi #KisahPekerjaMuda

Leave a Reply