Luka yang Tak Terucap

“Kadang, luka terdalam bukanlah karena ditinggalkan,
tapi karena tidak pernah dijelaskan.
Dan penutupan terbaik bukan datang dari mereka,
melainkan saat kita sendiri memilih untuk berdamai.”

“Yang tak terucap sering lebih bising dari yang berteriak.
Diam bisa jadi dentang jam—perlahan tapi pasti,
menghitung jarak kita dari diri sendiri.”

.

Sore itu Jakarta menggulung awan seperti selimut yang terlalu tebal. Bukan gelap yang menakutkan, melainkan redup yang menggantung, seperti hati yang menggenggam tanya tanpa tahu bagaimana meletakkannya. Di Kuningan, angin menempel pada kaca-kaca kantor yang memantulkan lampu kendaraan. Di apartemen studio lantai dua belas, Gayatri duduk di dekat jendela. Kopinya—hitam, pahit—mendingin perlahan. Ponselnya menyala sebentar: layar putih, notifikasi biru, degup yang tak jadi.

Pesan itu datang—biasa saja, sama seperti ratusan pesan yang pernah mampir. Kelak, Gayatri akan mengingatnya sebagai gerbang yang menutup perlahan.

“Nanti aku kabari ya, agak sibuk hari ini.”
—Faris.

Jari-jarinya terlatih untuk tenang. “Okay, semangat ya :)” Ia mengetik, menekan kirim, lalu menunggu. Tak ada yang istimewa—kecuali kelak, yang istimewa adalah ketiadaan balasan. Sesudah hari itu, Faris menghilang seperti bayangan yang memilih tidak kembali ikut langkah empunya.

.

Mereka bertemu di sebuah agensi desain interior di Jakarta Selatan, gedung kaca dekat MRT Haji Nawi. Gayatri baru magang; Faris sudah lama—manajer konten yang senyap, rapi, dan seperti tahu cara memilih kata yang menempel di dahi orang. Di pantry, sendok yang licin karena sabun melompat dari genggaman Gayatri. Faris memungutnya, tersenyum yang tidak memaksa, “Kopi pagi itu wajib. Tapi kalau tumpah, tandanya harus mulai ulang.”

Kata-kata itu sederhana, tetapi hangat seperti lampu kuning di kafe sempit: tak menerangi semuanya, tetapi cukup membuat mata berhenti menyipit. Percakapan pertama soal pekerjaan. Percakapan kedua tentang buku. Ketiga tentang hujan. Keempat tentang film yang membuat pipi Gayatri diam-diam basah. Kelima tentang masa kecil. Keenam—tanpa angka—tentang mimpi-mimpi yang tak berani mereka sebut di siang hari.

Faris tidak hangat seperti api unggun; ia hangat seperti kain tebal yang ditaruh di pundak ketika kau tak minta. Gayatri, yang selama ini merasa jadi kursi tambahan dalam pesta orang lain, tiba-tiba seperti duduk di bangku depan—dilihat, dipanggil, dihitung.

Tak ada label. Tidak ada “kita ini apa.” Tak ada cincin di chat. Namun ada hadir yang konsisten, ada perhatian yang halus, ada cara memanggil nama tanpa suara—cukup mengetik “Tri,” dan Gayatri mengerti ia diajak pulang.

Setiap malam, telepon Faris singgah sebentar. “Sudah makan? Jangan lupa air putih.”
Setiap pagi, sebuah pesan kecil: “Cuaca tak stabil. Payungmu di tasmu, ingat?”

Kenyamanan yang tumbuh tanpa janji memang paling ringan untuk dijalani, dan paling ringan pula untuk dilepas. Di minggu keempat bulan Juni, ritme mulai tersengal. Balasan datang terlambat. Telepon jatuh ke voicemail. Di kantor, Faris lebih pendiam, tatapannya seperti menutup tirai dari dalam. Gayatri belajar membiarkan, mencoba tak menuntut. Tetapi dalam diamnya ia mencatat: chat yang tak dibalas, janji yang tiba-tiba dipindahkan, kata “sibuk” yang datang seperti payung pinjaman—selalu ada alasan mengapa ia harus kembali.

Suatu malam di sebuah coffee shop kecil di Cipete, mereka duduk berhadapan. Lampu kuning lembut, tiramisu tanpa sendok cadangan. “Faris, kamu kenapa?” tanya Gayatri, pelan. Faris menghela napas, merebahkan punggung ke kursi, menatap cangkir. “Nggak apa-apa. Cuma banyak pikiran.”

Satu kalimat yang terasa seperti pintu yang sebelumnya terbuka sedikit, kini ditutup dari dalam. Ada bunyi klik. Ada jarak yang bukan jarak meja.

Keesokan paginya, ponsel Gayatri tak menyapa. Siang, sore, malam—hening. Besoknya, ia menelepon, tak diangkat. Besoknya lagi, ia memberanikan diri ke kantor. Meja Faris bersih seperti baru. Tanpa figura, tanpa cangkir, tanpa kertas post-it dengan huruf miringnya.

“Faris resign,” kata Siti—desainer yang cekatan dan ramah—sambil menempel mood board di dinding. “Katanya pindah ke Bandung, pegang proyek freelance. Cepat banget prosesnya.”

Gayatri berdiri di depan meja kosong itu lebih lama daripada yang sopan. Ia berpikir, ruang yang kosong lebih keras suaranya ketimbang ruangan penuh orang.

.

Hari-hari sesudahnya seperti lorong kaca: ia melihat bayangannya pecah-pecah. Kereta KRL membawanya melewati stasiun-stasiun yang namanya seperti potongan kalimat—Tebet, Manggarai, Sudirman, Tanah Abang—tetapi tak satu pun menyambung dengan yang ingin ia ucapkan. Ia mencari Faris di tempat-tempat yang pernah mereka bagikan: bangku pojok di M Bloc, bangunan tua di Kota Tua, kedai soto Betawi dekat Radio Dalam. Yang ia temukan hanya kursi kosong, gelas bekas bibir orang lain, dan dirinya sendiri yang duduk lebih diam daripada biasanya.

Ia menelusuri chat—memperbesar, memperkecil, menyimpan, menghapus, menyimpan lagi. Ia mendengarkan ulang voice note Faris: suara bariton yang menertawakan sepotong video kucing, suara yang memberi tahu arah kiri-kanan menuju toko buku bekas di Pasar Santa. Ia berhenti di sebuah pesan yang pernah ditulisnya: “Kalau suatu saat kamu perlu diam, kabari ya. Biar aku yang jaga pintu.”
Pesan itu tak pernah dibalas. Entah karena Faris lupa, entah karena Faris memilih tidak memerlukan pintu lagi.

Malam-malamnya panjang tanpa bintang. Ia duduk di balkon yang sempit, memandang flyover yang memeluk lampu-lampu kota. Jakarta seperti jantung yang tak pernah kehabisan darah. Tetapi di dada Gayatri, ada yang kehabisan nama. Ia menulis surat-surat yang tidak pernah ia kirim. “Aku tidak marah,” tulisnya, “Aku hanya ingin tahu kenapa kamu memilih tidak bicara.”

Di hari-hari tertentu, ia merasa bodoh—bagaimana mungkin ia menaruh hati pada seseorang yang bahkan tidak memberinya kata “selamat tinggal”? Pada hari-hari lainnya, ia merasa dewasa—bagaimana pun, setiap orang berhak pergi dengan caranya. Di sisa hari-hari, ia hanya merasa manusia—kadang kuat, sering rapuh, lebih sering lagi berjalan sambil memeluk udara.

“You never said you broke my trust,
Just left my heart to gather dust…”
Ia menulis bait itu di halaman belakang buku agenda, lalu menutupnya. Debu tak bersuara, pikirnya, tetapi ia pintar memilih tempat tinggal.

.

Di kantor baru—sebuah studio kecil di Kemang—Gayatri mulai dari awal. Siti, yang kebetulan pindah juga, menempati meja di seberang. Ada Adipati, fotografer yang senang tertawa pada hal-hal kecil; ada Rukmini, ilustrator yang suka menaruh bunga plastik di atas CPU; ada Andini, copywriter yang menulis caption seperti orang menabur garam di telur dadar—tepat, cukup, bikin nagih. Pagi-pagi diisi dengan ide yang masih setengah matang, siang hari makan siomay gerobak, sore-sore berdebat tentang tebal tipis garis pada mockup. Malam datang dengan mata lelah yang memantulkan layar.

Secara perlahan, hidup memperlihatkan trik lamanya: memasukkan hari-hari baru agar kita lupa menghitung luka yang lama. Tetapi luka yang baik tidak menuntut dilupa; ia hanya menuntut diakui. “Tak semua yang menyakitkan harus diberi nama,” tulis Gayatri pada catatan tempel di meja, “Tetapi yang tidak dinamai sering menuntut darah.” Ia tertawa sendiri setelah menulisnya; terlalu dramatis, pikirnya. Lalu ia tidak mencabut catatan itu—biarkan ia mengingatkan.

Jakarta bergerak seperti biasa: hujan turun pada jam pulang kerja, kemacetan memantulkan merah lampu rem seperti parade bisu, ojol menyelinap seperti doa yang mencari celah, TransJakarta berhenti, berjalan, berhenti lagi, dan di trotoar orang-orang memilih untuk tak lagi menoleh. Di dalam segala rutinitas itu, Gayatri bertahan. Ia belajar cara baru untuk menata ruangan: cukup terang, cukup kosong, cukup tanaman agar udara merasa punya teman.

.

Suatu malam Sabtu, Siti menarik pergelangan Gayatri ke luar kantor. “Kita ke Gelora Bung Karno,” katanya, “Lari pelan-pelan. Biar oksigen mengajari kita cara melupakan.” Mereka berlari kecil di bawah lampu stadion, napas teratur yang kadang kalah oleh tawa. Di kursi tribun, Adipati menunggu sambil menyodorkan air mineral, “Tenang saja, kalian tidak sedang lomba. Kalian hanya sedang berpamitan.”

“Berpamitan sama siapa?” tanya Gayatri, mengusap keringat dari pelipis.

“Dengan versi dirimu yang menunggu balasan pesan,” jawab Adipati, setengah bercanda. Jawaban itu terdengar seperti selembar kain yang melap kaca jendela. Tidak membuat semuanya jernih, tetapi cukup untuk melihat lampu-lampu kota lebih tajam.

Di perjalanan pulang, mobil melambat di Senayan; lampu merah menahan semua orang untuk berpikir. Jalan basah memantulkan neon. “Tri,” kata Siti, “Kalau kamu ketemu dia lagi, kamu mau apa?”

Gayatri membuka mulut, menutupnya. “Aku ingin menanyakan apa kabar. Lalu mungkin… terima kasih. Karena dengan kepergiannya, aku belajar kembali ke rumah yang kutinggalkan—diriku sendiri.”

Siti tak menjawab. Ia hanya mengangguk, lalu menepuk bahu sahabatnya. Ada bahasa yang tak perlu didefinisikan.

.

Tahun berganti. Di kalender, angka-angka melanjutkan kebiasaan mereka untuk mengusir kemarin. Gayatri pindah kerja sekali lagi—kali ini ia menjadi creative lead pada proyek kota kreatif di Matraman. Ia mengajar kelas kecil tentang storytelling untuk UMKM: bagaimana menata rak, bagaimana memotret produk dengan cahaya pas, bagaimana bercerita tanpa bergantung pada kata “jangan lupa beli”. Ia merasa berguna, itu saja sudah cukup untuk membuat tidur malamnya lebih tebal.

Tetapi setiap hujan yang turun dengan bau tanah yang tajam, ada beban ringan di ulu hatinya. Ia tidak mengusirnya. Ia membiarkan perasaan itu duduk seperti kucing di kaki. “Kau tidak lagi sakit,” katanya pada diri di cermin suatu pagi, “Kau hanya ingat.”

Pada sebuah Minggu yang lelah, ia berjalan ke taman dekat apartemennya. Angin Jakarta memainkan suara daun seperti kaset pita lama. Ia duduk di bangku beton, mengeluarkan jurnal kulit yang sudut-sudutnya mulai kusam. Di halaman terakhir, ia menulis:

“Faris,
Aku tidak tahu apa yang membuatmu pergi.
Mungkin yang pergi bukan kamu—mungkin harapan yang tak mau duduk.
Hari ini aku memilih berhenti menunggu penjelasan.
Aku tidak butuh penutupan dari bibirmu.
Aku menutup sendiri pintuku.
Aku memaafkanmu, karena aku ingin tenang.
Bukan karena kamu layak—tetapi karena damai itu tugasku sendiri.”

Air mata jatuh singkat, seperti hujan lima menit yang menyadarkan tukang parkir untuk memindah kursi. Gayatri tersenyum; dadanya lapang dengan cara yang tak mengundang tepuk tangan. Di atas kepalanya, langit bergerak tanpa izin darinya—tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa ikut memegang peta.

.

Dua tahun berlalu. Dunia menukar musim, Jakarta menukar wajah trotoar. Pada sebuah seminar desain interior di Senayan, di aula dengan karpet tebal dan proyektor yang terlalu terang, Gayatri berdiri di belakang mendengarkan paparan seorang narasumber tentang ruang yang inklusif. Ia memutar katalog, menggarisbawahi statemen, merapikan rambut. Lalu di antara kerumunan, ia melihat seseorang.

Faris.

Lebih kurus. Lebih banyak garis di sekitar mata. Senyum tipis yang sama—yang pernah membuat pagi-pagi terasa punya tujuan. Waktu tidak bertanya; waktu hanya membawa mereka pada jarak tiga langkah yang bisa dihapus oleh sepatah kata. Faris menoleh, tatapan mereka bertemu. Ada getaran kecil yang lebih mirip kenangan daripada harapan. Faris tampak ingin melangkah, bibirnya bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu.

Gayatri mengangkat dagu, memberi senyum kecil, lalu mengangguk singkat—salam paling ringkas yang pernah ia miliki. Tidak ada kata yang keluar. Tidak perlu. Karena pintu sudah ditutup dengan halus dari dalam. Karena ruang di dadanya sudah ditata ulang, sehingga namanya tidak lagi perlu kursi khusus.

Selayang pandang, ia berpikir tentang semua kemungkinan kalimat: “Ke mana aja?” “Apa kabar?” “Kenapa waktu itu?” “Apakah kamu bahagia?” Ia menyimpannya di saku, seperti koin yang tidak jadi dipakai. Ia memilih keluar dari aula, mengambil napas di lobi yang terlalu dingin. Di luar, Jakarta menyambut dengan angin yang membawa bau hujan dari jauh. Ia mengirim pesan pada Siti: “Aku barusan lihat dia.” Tak lama, balasan datang: stiker peluk, lalu kalimat, “Kamu baik-baik saja?”

Gayatri menatap jari-jarinya. “Aku baik,” tulisnya. Dan untuk pertama kalinya, kalimat itu tidak lagi terasa seperti latihan.

.

Malam itu, di kamar apartemennya, Gayatri menyalakan lampu meja yang akhirnya punya penutup baru. Ia membuka laptop, kursornya berdenyut di layar kosong. Ia mulai mengetik cerita ini—bukan untuk mengundang simpati, bukan untuk menangkap kembali orang yang telah melangkah. Tetapi untuk mengikat dirinya ke tanah yang baru: tanah yang ditanaminya sendiri dengan benih yang ia punya.

“Still, I forgave without your plea—
For peace was something meant for me.”

Ia menutup file, menyimpan, menamai foldernya “Yang Kita Pilih”. Jendela memantulkan wajahnya. Sudut bibirnya naik dengan tenang. Di kepala, ia mendengar sebuah kalimat yang dulu pernah ia tulis, kini terdengar rapi:

“Kita tidak bisa mengontrol siapa yang melukai kita.
Tapi kita selalu bisa memilih, bagaimana kita sembuh darinya.”

Di sisi lain kota, mungkin Faris membaca buku yang sama sekali berbeda, menyesap minuman yang ia suka. Mungkin juga tidak. Hidup tidak selalu butuh kesimultanan untuk menjadi lengkap. Esok, Gayatri akan mengecek draft kampanye UMKM, akan mengajar kelas kecil, akan tertawa pada lelucon Adipati, akan mengirim voice note pada Siti tentang resep tempe orek yang tak terlalu manis. Esok, ia akan bangun masih sebagai dirinya, tetapi sedikit lebih utuh dari kemarin.

“Aku bukan setengah yang menunggu disempurnakan,” ia berbisik pada dirinya sendiri sebelum tidur. “Aku adalah langit—utuh meski tanpa siapa-siapa. Damai, meski tak ada yang memeluk. Bahagia, meski hanya ditemani langkah sendiri.”

Di luar, Jakarta tetap bising—tetapi di dalam, heningnya bukan lagi milik luka. Heningnya milik seseorang yang akhirnya pulang.

.

Kutipan Tambahan (untuk pembaca)

  • “Penjelasan yang tidak datang adalah penjelasan itu sendiri: kita diajari menutup pintu tanpa menyakitkan jari.”

  • “Tak semua luka butuh pelaku untuk sembuh; kadang kita memegang sendiri perbannya.”

  • “Bahagia tidak menunggu orang lain minta maaf; bahagia menunggu kita mengizinkan.”

.

.

.

Jember, 16 June 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#LukaYangTakTerucap #CerpenUrban #Jakarta #Ghosting #Berdamai #PenyembuhanDiri #CintaTanpaLabel #NamakuBrandkuStyle

Leave a Reply