Jalan Pulang ke Dalam Diri: Cerita tentang Jeda

“Terkadang, kita tidak sedang lelah dengan dunia. Kita hanya lupa bagaimana caranya duduk diam dan mendengarkan hati sendiri.”

Pagi yang Biasa, Tapi Tidak Biasa

Langit Jakarta masih setia dengan kebiasaannya: kelabu. Pagi itu, Senin. Tidak ada hujan, tidak juga matahari yang terang. Udara seperti menggantung, dan entah kenapa, Keira merasa… kosong.

Ia duduk di dalam gerbong Commuter Line menuju Sudirman, mengenakan setelan kantor warna krem. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya polos tanpa riasan. Di pangkuannya, ada tas laptop. Di tangannya, ponsel yang berulang kali ia buka, hanya untuk menatap layar kosong.

Bukan karena tak ada notifikasi. Justru sebaliknya. Terlalu banyak. Dan itu masalahnya.

Siapa Keira?

Keira, 31 tahun. Manajer pemasaran di sebuah startup teknologi edukasi. Ia tinggal sendiri di apartemen kecil di Tebet. Hidupnya tampak sempurna dari luar: pekerjaan bagus, gaji cukup, rutinitas sehat. Tapi belakangan ini, semua itu terasa seperti skrip yang terus diputar ulang. Ia bahkan bisa menebak isi hari-harinya seperti menebak alur sinetron yang terlalu sering tayang.

Lemari pakaiannya terdiri dari warna-warna senada. Rak bukunya penuh dengan teori brand, strategi komunikasi, dan literatur pengembangan diri. Semua tertata. Semua seperti seharusnya. Tapi perasaan di dalam dirinya… berantakan.

Satu Jari, Satu Kota, Satu Tiket

Saat makan siang, Keira membuka aplikasi peta digital di ponselnya. Tidak tahu kenapa, ia hanya men-scroll tanpa arah. Sampai jemarinya berhenti di sebuah nama kota yang tidak terlalu populer: Wonosobo.

Ia mengerutkan kening. Kota ini tidak masuk daftar destinasi favorit atau trending topic traveler Instagram. Tapi entah kenapa, terasa akrab. Seolah-olah ia pernah ke sana dalam mimpi.

Lima menit kemudian, tanpa terlalu berpikir, ia memesan tiket kereta dan satu kamar di penginapan sederhana di lereng Dieng.

Tiga Hari yang Tidak Ia Rencanakan

Keira mengajukan cuti tiga hari. Di email, ia menulis: “Butuh waktu untuk memikirkan ide kampanye kuartal berikutnya. Perlu observasi lapangan.”

Ia tidak bohong. Tapi juga tidak sepenuhnya jujur. Yang ia cari bukan ide kampanye. Yang ia cari adalah dirinya sendiri—yang sudah lama tidak ia temui.

Perjalanan menuju Wonosobo tenang. Begitu ia turun dari kereta dan melangkah keluar stasiun, udara sejuk langsung menyapa. Tidak ada polusi. Tidak ada klakson. Hanya suara burung, daun bergesek, dan aliran sungai kecil dari kejauhan.

Rumah Kayu, Secangkir Kopi, dan Sebuah Kalimat

Penginapan yang ia pilih sangat sederhana. Rumah kayu berdinding anyaman bambu, dengan beranda kecil menghadap bukit. Di pagi hari, kabut turun pelan. Di malam hari, bintang-bintang bisa dilihat jelas.

Di warung dekat penginapan, ia bertemu seorang ibu tua yang sedang menyeduh kopi. Obrolan ringan berlanjut menjadi percakapan hangat. Ibu itu memberinya sebuah buku tua berbahasa Jawa. Keira tidak paham bahasanya, tapi si ibu membacakan satu kalimat yang terekam kuat:

“Urip kuwi ora mung kudu metu omah, ning kudu mlebu omah atimu dhewe.”
(Hidup bukan hanya keluar rumah, tapi masuk ke rumah hatimu sendiri.)

Keira hanya diam. Tapi hatinya bergerak.

Godaan Realita

Malam ketiga, Keira duduk di beranda. Suhu dingin, tapi tidak menusuk. Ia membuka laptop, menulis catatan kecil tentang perjalanan ini. Tapi baru lima menit, sebuah email masuk:

“Brief dari klien utama dimajukan. Zoom besok pagi. Harap hadir. Urgent.”

Ia menatap layar laptop lama. Pikirannya berkecamuk. Logikanya berkata, “Pulang. Kamu dibayar untuk itu.” Tapi hatinya berbisik, “Sekali saja, pilih dirimu sendiri.”

Pilihan yang Tidak Sempurna, Tapi Jujur

Akhirnya, ia mengetik balasan:

“Saya sedang dalam perjalanan pribadi untuk reset. Saya akan kirim outline ide dan draf presentasi malam ini. Namun saya tidak akan hadir di Zoom. Saya percaya tim bisa membawa materi ini dengan baik.”

Ia menekan “kirim.” Lalu mematikan notifikasi.

Malam itu, ia duduk lebih lama. Menulis ide-ide kampanye yang lebih manusiawi. Bukan sekadar konten jualan, tapi kampanye edukasi yang menyentuh budaya lokal, empati, dan cerita.

Kembali dengan Hati yang Pulih

Tiga hari kemudian, Keira kembali ke Jakarta. Tidak ada hal besar yang berubah di luar, tapi banyak yang berubah di dalam dirinya.

Dan yang mengejutkannya—ide kampanye yang ia kirim via dokumen justru disukai klien. Bahkan direksi memberinya tanggung jawab baru: mengembangkan lini edukasi berbasis budaya lokal.

Keira tidak merasa hebat. Ia hanya merasa… utuh.

Akhir yang Sederhana

Beberapa minggu setelahnya, Keira mulai merancang mini retreat untuk timnya. Bukan outing ke tempat mahal, tapi perjalanan ke desa-desa kecil untuk belajar, diam, dan mendengar. Ia juga menulis blog pribadi tentang pengalaman ini. Judulnya: “Pulih dan Pulang.”

Dan malam-malam di balkon apartemennya kini terasa berbeda. Lampu jalan Jakarta tetap ramai, tapi hati Keira sudah tidak sepi.

Pulang yang Sesungguhnya

“Pulang tidak selalu berarti kembali ke tempat lama. Kadang, itu berarti menemukan kembali bagian dirimu yang selama ini kamu tinggalkan.”

Cerita Keira adalah cerita banyak dari kita. Yang lupa bahwa hidup bukan hanya tentang tujuan besar. Tapi tentang keberanian mengambil jeda. Mendengar hati. Dan pelan-pelan… pulang ke dalam diri sendiri.

.

.

.

Jember, 3 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

#CerpenInspiratif #Burnout #UrbanLife #MentalHealth #Retreat #DigitalDetox #HikmahKehidupan #BelajarDariKisah #JalanPulang

Leave a Reply