Jatuh Cinta Makes Me Wonder

AKU BERTERIAK DALAM KESEPIANKU
YA TUHAN… AKU JATUH CINTA!

Tuhan, mengapa perasaan ini begitu berat membebaniku?
Aku lelah menahannya.
Dia… tak memiliki rasa yang sama denganku.

 

 

Aku sudah menyatakan semuanya, mencoba meringankan sesak di dada.
Aku bercerita kepada teman-temanku.
“Teman, aku jatuh cinta…
Tapi orangnya nggak mau.”

Lucu, ya?
Aku terjebak oleh hatiku sendiri, seolah dipermainkan.
Harapan itu tak mau pergi, terus bertahan.
Hingga suatu saat dia membalas pesanku dengan kata-kata biasa.
Tapi aku berbunga-bunga.

Aku menunggu, berharap dia menelepon, memberikan tanda bahwa mungkin…
Tapi tak terjadi.
Aku mencoba lagi.
Dan lagi.
Hingga akhirnya aku menyerah, memutuskan untuk menahan diri, membiarkan waktu menjawab semuanya.
Namun kabar darinya tak kunjung datang.
Aku sadar, aku harus berhenti berharap.

Tapi… suatu sore, dia menelepon.
Saat itu waktu yang sangat tidak tepat.
Aku sedang rapat dengan atasan, membicarakan pekerjaan.
Namun dia menunggu. Hampir dua jam.

Akhirnya aku menemuinya tanpa harapan apa-apa.
Di satu tempat yang tak sengaja mempertemukan aku dengan orang-orang yang kukenal.
Sedikit menghilangkan gugupku.
Lalu, tanpa rencana, aku mengajaknya makan malam.
Dia setuju.

Ternyata, harapan itu belum sepenuhnya padam.
Aku kembali menyampaikan perasaanku, kali ini dengan lebih tegas.
Dan dia…
Dia menuliskan jawabannya lewat email yang aku baca dua hari kemudian.

Isi emailnya mengusik pikiranku.
“Kalau kamu nggak bisa atau nggak mau ada hubungan romantis denganku, bilang saja. Jangan kasih harapan.”
Membacanya, aku bertanya-tanya: bukankah itu kalimat yang seharusnya aku sampaikan?

Aku takut berharap, takut terluka.
Namun di sisi lain, kata-katanya tentang ada yang berbeda saat dia memandangku, terus terngiang.
Seriuskah dia?
Atau hanya kata-kata kosong?

Dua hari aku memikirkannya.
Hingga akhirnya aku merasa lega, karena bisa bicara jujur kepadanya—meski hanya lewat email.
Mungkin, ini yang dia rasakan ketika pertama kali menyatakan perasaannya padaku.

Waktu berlalu.
Satu malam di akhir Desember, beberapa hari sebelum tahun baru, aku kembali bertemu dengannya tanpa sengaja.
Aku sedang menyetir tanpa tujuan, mencari tempat untuk mengisi perut.
Lalu aku teringat makanan Palembang.
Tanpa berpikir panjang, aku berbalik arah.

Di sana, dia menyapaku dengan hangat.
Bersama seseorang yang wajahnya familiar, tapi aku tak ingat siapa dia.
Aku kikuk, berusaha keras mengingat, namun gagal.
Saat dia berpamitan, aku mengulurkan kartu nama—berharap dia membalas dengan hal yang sama.
Namun dia tidak melakukannya.

Ketika dia pergi, tiba-tiba aku merasa kehilangan.
Wajahnya terus terbayang hingga aku sampai di rumah.
Bahkan, kasarnya telapak tangan saat berjabat tangan dengannya masih terasa.
Aku mencari nomornya dan mengirim pesan, bercanda bahwa aku terkena pelet.
Tapi jantungku tak berhenti berdebar sejak itu.

Mengapa harus dia?
Aku bertanya pada Tuhan…
Apakah dia jawaban dari doa-doaku?
Aku tak tahu.

Yang aku tahu, dia masuk ke hidupku di saat aku sudah berhenti berharap.
Aku tak lagi mengejar asmara, tak lagi ingin.
Namun kini, untuknya, aku merasakan sesuatu yang berbeda.

Aku tidak bisa menjanjikan banyak.
Aku tak bisa menjadi matanya saat dia tak bisa melihat.
Aku tak bisa menjadi tangannya saat dia tak mampu menjangkau.
Namun… jika aku masih ada di sisinya, aku akan melakukan yang terbaik.

Aku tak ingin menjadi pacarnya.
Karena ini bukan soal hasrat atau keinginan.
Ini soal kasih.

Dan kasihku…
Adalah rumah.
Adalah tempat di mana dia bisa pulang.

Lalu, dia mengisi hidupku.
Walau hanya semusim.

Bali, 22 April 2015
Jeffrey Wibisono V.

 

Leave a Reply