Di Balik Punggung Waktu

“Hidup itu seperti meja kerja yang tak pernah rapi—ada beban yang bisa dibersihkan, ada yang harus diselesaikan, dan ada yang harus diikhlaskan. Tapi yang membuatmu tetap kuat adalah saat kamu berhenti mengeluh dan mulai menyentuh hati orang lain.”

 

Suara notifikasi kembali menyambar kesunyian pagi itu.

Drrt.
Ting.
Ping.

Dayin menatap layar laptopnya dengan mata lelah. Tiga puluh dua email belum dibuka. Enam file revisi dari klien. Dua belas tab browser terbuka, dan grup WhatsApp kantor sedang berisik menanggapi satu status dari atasan yang ambigu: “Kinerja bukan tentang sibuk, tapi hasil.”

Ia menutup mata sejenak, lalu menyeruput kopi hitam yang tinggal setengah dan sudah dingin. Meja kerjanya penuh sticky notes berwarna-warni, tapi tak satu pun memberi rasa hidup.

Di sudut jendela apartemen lantai 18 yang menghadap gedung-gedung tinggi Jakarta, langit pagi tampak semburat jingga. Tapi indahnya tak lagi ia lihat. Semuanya seperti film hitam-putih. Hampa.

 

Kosong

Dayinta Kusumawardhani, atau biasa dipanggil Dayin, adalah wanita karier berusia 34 tahun. Sejak lima tahun terakhir, ia menjadi project officer di sebuah perusahaan teknologi yang bergerak di bidang digital campaign dan data analyst. Gelarnya bagus, CV-nya bersinar. Tapi hatinya kosong.

Pernah suatu malam, ia berdiri di balkon apartemen dan berkata dalam hati, “Kalau aku tiba-tiba hilang, siapa yang akan benar-benar mencari?”

Ia bukan tipikal wanita kesepian yang haus cinta. Tidak. Ia mandiri. Bisa menghidupi diri sendiri, bahkan mengirim uang untuk orang tuanya di kampung. Tapi ia mulai lelah menjadi orang yang hanya dikenal karena kontribusi, bukan karena siapa dirinya.

Di kantor, Dayin dikenal sebagai problem solver. Di rumah, ia adalah anak pertama yang diandalkan. Tapi di dalam dirinya, ia adalah anak kecil yang ingin dipeluk, tanpa harus berprestasi dulu.

 

Hari itu, manajernya memintanya lembur. Bukan sekali ini saja. Tapi kali ini tubuhnya menolak. Bukan karena capek. Tapi karena kosong.

Ia berdiri di depan cermin toilet kantor. Wajahnya terlihat lebih tua dari umurnya. Mata panda, pipi pucat, bibir kering. Ia menyentuh refleksinya dan bertanya pelan, “Dayin, kamu masih ada di situ?”

Beberapa jam kemudian, saat ia baru saja kembali ke meja kerja, panggilan tak terjawab masuk dari nomor yang disimpan sebagai “Ibu Rumah”. Lalu masuk pesan:

“Dayin, ayah masuk RS. Serangan jantung. ICU. Pulang, ya, Nak.”

Gemetar tangannya. Dunia seperti berhenti berputar. Segala rapat dan tugas mendadak tidak penting. Ia langsung memesan tiket kereta malam, tanpa izin atasan. Tak peduli konsekuensi.

Di Rumah: Pelan Tapi Dalam

Rumah kecil di pinggir kampung menyambutnya dengan udara dingin dan aroma tanah basah. Dayin menahan napas saat melangkah masuk ke ruang ICU. Di sana, terbaring ayahnya, tubuh lemah, kulit pucat, selang oksigen di hidung, dan suara detak monitor jantung yang nyaris tak terdengar.

Ia genggam tangan ayahnya. “Pak, ini Dayin…”

Ayahnya membuka mata perlahan. “Kamu kurus, Nak…”

Tangis Dayin pecah. Bukan karena takut kehilangan. Tapi karena merasa bersalah. Terlalu sibuk membuktikan diri pada dunia, hingga lupa pada satu tangan yang selalu ada di belakangnya.

Di malam-malam berikutnya, ia tidur di kursi tunggu RS. Kadang menulis jurnal. Kadang hanya termenung. Di tengah sunyi, ia mulai bertanya: Apa sebenarnya yang sedang aku kejar?

Kompromi dan Refleksi

Beberapa hari setelah ayahnya pulang dari RS, Dayin memutuskan untuk tinggal lebih lama. Ia ingin membantu ibunya di rumah. Menyapu halaman, mencuci baju, menjemur pakaian, bahkan ikut menanam cabai di pekarangan.

Pertama kali setelah sekian lama, ia merasa hidup.

Ia mulai berbincang dengan ayahnya tiap sore. Duduk di beranda, menyeruput teh jahe, mendengarkan kisah-kisah sederhana namun penuh makna.

“Hidup ini bukan tentang cepat-cepat sampai, Dayin. Tapi tentang siapa yang masih kita genggam tangannya di tengah jalan.” — kata ayahnya suatu senja.

Hari-hari itu menyembuhkan. Dayin mulai menulis lagi. Tapi bukan laporan. Ia menulis kisah. Tentang kehilangan, tentang sunyi, tentang healing.

Ia pun merekam suaranya membaca jurnal, lalu mengunggah ke Spotify. Tanpa target pendengar. Hanya sebagai ruang bicara. Ia menamai podcast-nya “Hening Penuh Makna”.

Transformasi dan Perjalanan Kembali

Setelah dua bulan, Dayin kembali ke Jakarta. Tapi bukan lagi Dayin yang dulu. Ia memutuskan resign. Ia mulai bekerja freelance, mengambil proyek yang sesuai passion-nya.

Podcast-nya mulai dikenal. Perlahan tapi stabil. Pesan masuk tiap minggu.

“Mbak Dayin, suara Mbak bikin aku berhenti nangis malam ini.”

“Aku juga pernah ngerasa kayak Dayin. Terima kasih udah ngomongin ini.”

Dayin membaca semua pesan itu dengan mata basah.

Suatu malam, ia duduk sendiri di balkon. Langit Jakarta kini tak lagi gelap. Ia menulis surat untuk dirinya sendiri:

📜 Surat Dayin untuk Dirinya di Masa Lalu

“Hai, Dayin muda. Terima kasih sudah bertahan, meski kamu sering ingin menyerah. Aku tahu kamu pernah merasa tidak cukup. Tapi kamu cukup. Kamu hanya terlalu sibuk mendengar tuntutan orang lain, hingga lupa mendengar jantungmu sendiri. Hari ini, kamu tak perlu lagi terbukti. Kamu hanya perlu menjadi. Dan kamu akan baik-baik saja.”

Karena Cinta

Malam itu, episode podcast-nya “Tentang Menyembuhkan Diri Tanpa Harus Kabur” menjadi trending. Tapi itu bukan yang membuatnya bahagia.

Yang membuatnya bahagia adalah pesan dari adik perempuannya:

“Kak Dayin, aku jadi berani ngomong ke mama tentang anxiety-ku. Kakak penyelamat.”

Dayin menangis. Tapi kali ini bukan karena luka. Tapi karena cinta.

Ia menatap kaca jendela apartemennya yang memantulkan wajahnya sendiri. Ia tak lagi terlihat lelah. Ada cahaya di matanya. Bukan dari ringlight. Tapi dari hati.

“Aku tidak perlu jadi sempurna untuk bermakna.”

.

.

“Kadang, kita baru benar-benar hidup… saat kita berhenti berlomba dan mulai mendengarkan napas sendiri.”

.

.

.

Jember 18 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CeritaDayin #CerpenEmosional #HealingJourney #BurnoutStory #PodcastHening #GayaTereLiye #CerpenIndonesia #CeritaPenyembuhan #SelfDiscovery

Leave a Reply