Masih Ada, Masih Bertahan

“Seorang ksatria tak hanya berperang di medan laga, tapi juga melawan sunyi dalam dirinya sendiri.”

,

Di Meja Kayu Tua, Hujan Mengintip

Langit Jakarta sore itu seperti hati yang murung—gelap, gerimis, dan berat. Di dalam sebuah kafe tua berkonsep retro-industrial di Jalan Teuku Umar, seorang pria duduk sendiri. Meja kayu tua, lampu gantung berpendar kuning, dan secangkir kopi pahit tak lagi panas menemaninya.

Namanya Raden Halilintar Jayengresmi.
Putra tunggal dari keluarga bangsawan adat Menak Madura yang kini bekerja sebagai penulis konten dan konsultan lepas branding. Usianya 35 tahun. Ia mengenakan kemeja putih linen yang digulung hingga siku, jam tangan kulit yang mengelupas di sisi, dan tatapan mata yang dalam—seakan mengandung badai yang sedang diredamnya sendiri.

Hari itu, ia menulis bukan untuk klien, bukan untuk likes, bukan untuk konten berbayar. Ia menulis untuk dirinya sendiri—tentang keberadaan, luka, dan keberanian untuk tetap hidup.

Dulu Jayengresmi Adalah Panglima Strategi

Delapan tahun silam, nama Jayengresmi adalah legenda di dunia agensi. Ia bak panglima dalam ruang presentasi: strategi tajam, retorika memikat, dan nyaris selalu menang pitching. Ia memenangkan kontrak besar, mendesain merek-merek nasional, bahkan sempat diundang berbicara di TEDx.

Namun di balik sorotan gemerlap, Jayengresmi memikul beban diam-diam.

Setiap keberhasilan justru mempertebal rasa cemas. Setiap pujian terasa kosong. Ia mulai tak tidur, hanya rebahan menatap langit-langit sampai pagi. Ia merasa terus dikejar sesuatu yang tak jelas bentuknya.

Dan tidak ada seorang pun yang tahu.

Malam Ketika Dada Seakan Runtuh

Puncaknya datang tanpa aba-aba. Suatu malam, Jayengresmi berdiri di balkon apartemennya, lantai 19. Di tangannya, ada dua: segelas whisky dan secarik kertas bertuliskan kalimat terakhir dari draft novelnya yang belum selesai.

Angin malam menerpa wajahnya, tapi pikirannya justru membeku. Ia memandangi Jakarta yang sepi—sepi sekali, bahkan untuk kota yang konon tak pernah tidur.

Hingga ponselnya bergetar.

“Mas Jayeng, besok ulang tahun Mamak. Jangan lupa video call. Kami semua kangen.”
(Pesan dari Raden Ayu Tunjung Sari, adik perempuannya.)

Seketika, napasnya memburu. Jayengresmi mundur dari pagar balkon. Ia terduduk di lantai dingin. Malam itu, ia menangis. Bukan karena ingin mati. Tapi karena sadar bahwa yang ia cari selama ini hanyalah: seseorang yang peduli.

.

Mencari Penawar Luka

Pagi berikutnya, Jayengresmi membuka laptop dan mencari psikolog online. Ia mendaftar sesi konseling dengan Ki Gendhuk Sora, seorang terapis yang juga seorang bijak dari Solo.

Dalam satu sesi yang sunyi, Gendhuk Sora berkata:

“Raden Jayeng, luka bukanlah aib. Ia bagian dari hidup. Seperti keris yang harus diasah—tidak untuk membunuh, tapi untuk menjaga nilai dirinya.”

Kata-kata itu membekas. Jayengresmi mulai menulis ulang dirinya. Ia menulis blog dengan nama pena Jayeng Rumi. Tulisannya tak bombastis, hanya curahan jujur: tentang hampa, takut, trauma, dan kehilangan semangat.

Tanpa ia duga, tulisannya dibaca ribuan orang. Komentar berdatangan. Banyak yang berkata, “Terima kasih. Saya merasa tidak sendirian.”

Dan untuk pertama kalinya, Jayengresmi merasa… berguna.

.

Orang yang Dulu Pergi, Kini Datang Membaca

Suatu sore, Jayengresmi menerima email dari Rara Anindita Lestari, perempuan yang pernah menjadi tambatan hatinya lima tahun lalu.

Mereka dulu hampir menikah. Namun saat Jayengresmi mulai berubah—menjadi diam, menjauh, dan hampa—Anindita memilih pergi. Tanpa kata. Tanpa perpisahan.

Isi emailnya singkat:

“Jayeng, aku baru tahu sekarang apa yang kamu lalui. Maaf. Aku dulu takut. Aku pergi bukan karena benci, tapi karena tak tahu bagaimana caranya bertahan bersamamu.”

Jayengresmi membaca berulang kali. Tidak marah. Tidak ingin balas dendam. Ia hanya menulis balasan:

“Terima kasih telah membaca. Aku sudah sembuh. Dan aku mendoakanmu selalu.”

.

Menjadi Pranata, Bukan Ksatria Lagi

Hari ini, Jayengresmi bukan lagi ‘panglima’. Ia tak mengejar proyek besar. Ia menjadi pranata, penghubung antara kata dan jiwa. Ia menjadi mentor di komunitas Kawiswara Jiwa, sebuah ruang aman untuk para penyintas depresi, anxiety, burnout, dan PTSD.

Ia mengajarkan satu hal:

“Berhenti memaksa diri jadi kuat. Jadilah jujur. Sebab kejujuran adalah keberanian tertinggi.”

Setiap pekan, Jayengresmi duduk bersama para pemuda yang baru keluar dari lembah gelap. Ia tak memberi solusi. Ia hanya mendengarkan. Tapi dari sana, ia menemukan makna baru: hadir adalah bentuk cinta.

.

Masih Bertahan, dan Itu Cukup

Langit masih kelabu, hujan masih menyisa embun di jendela. Di kafe tua itu, Jayengresmi menutup jurnal kulitnya. Ia memandang ke luar. Di sana, motor-motor lewat, orang-orang berpayung, hidup tetap berjalan.

Di dalam hatinya, ia tahu: ia tidak lagi berlari. Tidak juga bersembunyi. Ia berdamai.

Di halaman terakhir jurnalnya, tertulis dengan tinta hitam:

“Aku masih di sini. Tak sekuat dulu, tapi lebih sadar. Tak seterang dahulu, tapi lebih utuh. Dan itu… cukup.”

Makna

“Bukan berapa kali kita jatuh yang dihitung semesta, tapi berapa kali kita memilih kembali berdiri—sendiri, dalam senyap.”

.

.

.

Jember, 1 July 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#MasihAdaMasihBertahan #CerpenMenakJawa #MentalHealthIndonesia #CeritaPenyembuhan #Jayengresmi #HealingJourney #CerpenMotivasi #TulisanUntukJiwa

Leave a Reply