Dari Luka ke Makna

“Tuhan tidak menaruh luka tanpa pelajaran. Tidak menaruh kehilangan tanpa makna. Dan tidak pernah menaruh seseorang dalam hidupmu tanpa tujuan.”

 

Titik Awal yang Tak Terlihat

Langit Jakarta mendung, seolah ikut merundung hati Alfredo yang sore itu duduk termenung di pojok kafe tua di kawasan Blok M. Di hadapannya, kopi yang ia pesan sejak satu jam lalu telah dingin. Tangannya sibuk menulis sesuatu di halaman belakang buku agenda lusuhnya.

“Semua orang datang dan pergi. Tapi kenapa aku yang tertinggal di sini, tanpa tahu arah tujuan?”

Alfredo tak menyadari bahwa catatan kecil itu kelak akan menjadi saksi betapa hidupnya berubah. Karena hari itu adalah awal dari semuanya: dari pertemuan, kehilangan, pelajaran, dan penerimaan.

 

Alfredo, Si Anak Tengah yang Terlupakan

Alfredo Damar, lelaki 34 tahun. Ia anak kedua dari tiga bersaudara. Lahir dari keluarga pegawai negeri yang sederhana. Kakaknya seorang dokter yang sukses, adiknya wiraswasta yang giat. Sementara Alfredo? Ia sempat bekerja di sebuah agensi periklanan ternama, kemudian resign karena burnout dan belum menemukan tempatnya kembali.

Ia bukan pemalas. Tapi jiwanya selalu memberontak jika merasa “terkurung”. Ia ingin hidup dengan makna, bukan hanya memenuhi ekspektasi sosial. Namun, di tengah dunia yang menilai dari gelar dan gaji, Alfredo sering kali merasa kalah sebelum bertanding.

Sejak keluar dari pekerjaannya setahun lalu, ia menyambung hidup dari proyek freelance sebagai penulis konten. Cukup untuk makan dan membayar kos, tapi belum cukup untuk menyembuhkan luka-luka yang tak kelihatan.

Lingkar pertemanannya mulai memudar. Banyak teman yang dulu akrab kini sulit ditemui. Grup chat hanya ramai saat ada undangan nikah atau pengumuman reuni. Ia mulai meragukan dirinya sendiri—bukan karena tak punya potensi, tapi karena tak punya panggung.

Malam-malamnya sunyi. Ia belajar mencintai sepi, tapi juga takut tenggelam di dalamnya. Kadang ia bangun dengan keringat dingin, mimpi buruk tentang masa lalu yang tak sempat ia perbaiki. Dan di situlah pertanyaan itu terus mengusik:

“Apa sebenarnya tujuan hidupku?”

Pergi dan Datang, Tapi Tak Pernah Tinggal

Hidup Alfredo berubah saat ia bertemu Saka—seorang pria tua bijak yang ia temui di perpustakaan umum. Saka senang duduk di rak filsafat, membaca buku-buku tua. Percakapan mereka bermula dari satu kalimat:

“Setiap orang yang datang dan pergi dari hidupmu, bukan kebetulan. Semua membawa pelajaran.”

Alfredo menertawakan kalimat itu waktu itu. “Kalau semua itu pelajaran, kenapa justru makin bikin hidup kacau, Pak?”

Saka hanya tersenyum. “Mungkin karena kamu belum mau belajar. Atau kamu belajar, tapi belum menerima.”

Hari-hari berikutnya, Alfredo mulai sering menemui Saka. Mereka membahas buku, filosofi hidup, bahkan hal-hal kecil seperti kenapa senja terasa menyedihkan. Dari pria tua itu, Alfredo belajar kembali tentang kehidupan, tentang menyelami luka tanpa membencinya.

Namun, ketika hubungan mereka mulai menjadi kebiasaan yang menguatkan, Saka tiba-tiba menghilang. Tak ada kabar. Tak ada jejak. Pustakawan hanya bilang, “Pak Saka memang begitu, Mas. Datang lalu menghilang berbulan-bulan.”

Alfredo merasakan lagi rasa yang ia benci: ditinggalkan. Ia mulai menutup diri. Ia merasa konyol karena membiarkan dirinya terbuka, hanya untuk disakiti lagi.

Di tengah kekosongan itu, berita datang dari adiknya bahwa ibu mereka terkena stroke ringan. Alfredo pulang kampung dengan tubuh letih dan hati setengah mati. Di rumah, ia kembali menjadi bayangan. Sang kakak sibuk mengatur. Adik bungsunya sibuk menunjukkan perhatian. Alfredo? Ia duduk diam, mendengarkan, dan menekan luka-luka lama.

“Mengapa aku selalu menjadi yang biasa? Tidak cukup gagal, tapi tidak juga berhasil.”

Ia menjaga sang ibu bergantian. Dalam hening ruang rumah sakit, Alfredo mulai membaca ulang catatannya sendiri. Di tengah halaman belakang buku agendanya, ia menemukan selembar kertas terselip—tulisan tangan Saka:

“Kamu tidak kehilangan arah. Kamu hanya sedang belajar cara berjalan dengan luka.”

Menerima Bahwa Semua Bernilai

Kalimat itu menusuk, tapi juga menenangkan. Ia mulai menulis lagi. Tapi kali ini bukan untuk klien atau proyek. Ia menulis untuk dirinya sendiri. Tentang Saka. Tentang ibunya. Tentang perasaan tak dianggap sebagai anak tengah. Tentang semua pelajaran yang ia rasa sia-sia—tapi ternyata penting.

Ia unggah tulisan-tulisannya itu ke blog pribadinya. Tak disangka, tulisan itu viral. Banyak yang merasa relate. Banyak pula yang mengirim pesan pribadi untuk berterima kasih karena merasa ‘diselamatkan’.

Seseorang dari penerbit indie menghubunginya, menawarkan kerja sama. Ia diminta menyusun naskah penuh untuk dibukukan. Judulnya muncul begitu saja:

“Pelajaran yang Datang dan Pergi”

Enam bulan kemudian, bukunya terbit. Ia diundang menjadi pembicara. Ia menjadi mentor penulisan healing dan self-discovery. Ia tak pernah menyangka, hal yang membuatnya merasa ‘tak berguna’ justru menjadi pelabuhan baru dalam hidupnya.

“Yang kau anggap luka, bisa jadi pintu. Yang kau anggap akhir, bisa jadi awal.”

Pelajaran yang Tak Lagi Sakit

Di salah satu talkshow, seorang wanita menghampirinya. Ia memperkenalkan diri sebagai anak dari Pak Saka. Ia membawa surat wasiat terakhir ayahnya, dan menyodorkan sebuah buku kecil kepada Alfredo.

“Bapak bilang, ada satu pemuda yang harus menerima buku ini. Namanya Alfredo.”

Tangan Alfredo gemetar saat membuka halaman pertama. Di sana tertulis:

“Jika kamu membaca ini, maka kamu telah lulus dari pelajaran pertama: menerima bahwa semua yang terjadi, memang seharusnya terjadi.”

Alfredo pulang malam itu, bukan sebagai orang yang dikejar rasa gagal. Tapi sebagai pria yang berhasil memeluk dirinya sendiri.

Ia kini tahu: tak semua yang pergi menyakitkan. Ada yang pergi karena sudah menunaikan tugasnya. Dan dirinya kini telah berubah dari “yang biasa-biasa saja” menjadi orang yang berani: menerima.

“Aku sekarang percaya. Bahwa semuanya memang terjadi karena sebuah alasan.”

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Alfredo tak lagi merasa kalah. Ia merasa cukup. Ia merasa penuh.

.

.

.

Jember, 22 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMotivasi #PelajaranHidup #CeritaAlfredo #HealingJourney #MenemukanDiri

Leave a Reply