Diam yang Telah Pergi Sebelum Dirindukan

“Beberapa kepergian tidak meninggalkan suara. Ia hanya lenyap sebelum kau sempat menyadari bahwa ia sedang memeluk keheningan.”

 

Keheningan yang Tak Pernah Dicari

Langit malam di Jember tampak biru kelam, seolah menyimpan rahasia yang tidak ingin dibagi. Di balik jendela kamar rumah kontrakan sederhana itu, Meilan duduk bersandar pada dinding, memeluk lututnya sendiri. Tak ada air mata yang jatuh. Tak ada suara. Tapi di dalam dirinya, sebuah hutan sedang terbakar, dan ia sendirian memadamkannya—tanpa pernah meminta siapa pun datang.

“Aku diam bukan karena tak mampu bicara, tapi karena tahu takkan ada yang benar-benar mendengarkan.”

Ia telah pergi. Bukan dengan koper dan langkah terburu, tapi dengan pelan, tenang, dan tanpa kata perpisahan.

Besok pagi, barulah Kholis menyadari: perempuan yang selama ini bersamanya dalam sepi, ternyata telah lama tak bersamanya di dalam hati.

Meilan dan Hutan yang Tak Dikunjungi

Meilan adalah perempuan yang mencintai dalam diam. Ia bukan tipe yang memaksa dunia untuk mendengar suaranya. Ia justru merawat cinta seperti seorang penjaga hutan sunyi—menyiram akar kasih, meski tak pernah ada yang datang menikmati hijaunya.

“Aku menyiram cinta seperti hujan yang jatuh di hutan sunyi. Tak ada yang memuji, tapi tetap kuberi.”

Kholis adalah pria yang terlalu sibuk dengan dunia. Kariernya di salah satu hotel bintang empat membuatnya tak pernah kekurangan kata “maaf” untuk diganti “nanti”. Bukan karena ia tak mencintai Meilan, tetapi karena ia tak paham bahwa cinta bukan hanya soal hadir fisik, melainkan perasaan yang perlu dijaga dengan kepekaan.

“Kalau kamu lelah, cerita ke aku,” ucap Kholis suatu malam.

Meilan hanya tersenyum kecil. Ia ingin berkata, “Aku tidak lelah karena dunia, Kholis. Aku lelah karena terus bertahan dalam hubungan yang hanya aku rawat sendiri.”

Tapi kalimat itu hanya sampai di tenggorokan. Tak pernah jadi suara.

Pelan-Pelan Aku Menghilang

Saban malam, Meilan menyiapkan makan malam. Bukan menu mewah, cukup telur dadar, sayur bening, dan sambal favorit Kholis. Tapi tak jarang ia makan sendiri. Kholis datang telat, atau bahkan sudah makan di luar.

“Aku harus entertain tamu,” kata Kholis di telepon.

Meilan mengangguk meski tak dilihat. “Hati-hati pulangnya,” sahutnya lembut.

“Kata-katamu tetap hangat, meski tubuhmu sering tak pulang.”

Ia mencatat semua janji dalam buku harian:
“Nanti kita jalan-jalan ya.”
“Besok aku temani ke dokter.”
“Aku mau belajar jadi pendengar yang baik buat kamu.”

Tapi yang tertulis itu tak pernah hidup.

Setiap malam ia memeluk tubuh sendiri, menyusun ulang keberadaan dirinya. Di dalam dirinya, cinta masih ada, tapi bentuknya mengecil, seperti nyala lilin yang sudah kehabisan sumbu.

“Aku mengecilkan diriku, agar tidak mengganggumu. Sampai akhirnya aku tak terlihat sama sekali.”

Meninggalkan Tanpa Menyalahkan

Suatu hari, Meilan menulis surat, bukan untuk menyalahkan, tapi untuk pamit secara lembut.

“Kholis, mungkin aku bukan perempuan yang pandai bicara. Tapi aku ingin kau tahu, aku pernah berjuang diam-diam agar kita tetap utuh. Jika suatu saat kamu merindukanku, jangan cari aku di tempat kita biasa bertemu. Aku telah pergi, sebelum kamu sempat merindukan. Jangan salahkan dirimu, dan jangan salahkan aku. Kita hanya saling diam terlalu lama.”

Ia menaruh surat itu di dalam novel kesukaan Kholis, Norwegian Wood, halaman 72—angka ulang tahun pertama mereka.

Lalu pagi itu, Meilan pergi. Tak membawa apa pun kecuali baju dan satu koper. Ia menyewa kamar kecil di ujung kota. Bekerja sebagai barista. Mengulang hidup dari nol.

“Aku tidak sedang pergi, hanya sedang pulang pada diriku yang sempat hilang.”

Menemukan yang Sudah Tak Ada

Dua minggu pertama, Kholis tak merasa ada yang aneh. Rumah tetap rapi, makanan masih ada di kulkas. Ia kira Meilan sedang menginap di rumah temannya.

Namun, minggu ketiga, ketika ia buka halaman 72 dari buku yang tak pernah ia sentuh sejak hadiah ulang tahun itu, ia gemetar.

Surat itu… membuat udara kamar sesak.

Kholis menangis untuk pertama kalinya dalam hidupnya bukan karena duka yang besar, tapi karena kehilangan yang terlalu senyap.

“Kepergianmu bukanlah badai, Meilan. Ia hanya senyap… dan itulah yang paling menyakitkan.”

Ia mencari Meilan. Ke semua tempat. Tapi seperti puisi yang tertulis di langit malam, Meilan telah menjadi bayangan yang tak bisa disentuh.

Menjadi Versi Terbaik dari Luka

Meilan tak pernah benar-benar menghilang. Ia hanya tumbuh di tempat yang tak bisa lagi dicapai oleh cinta yang dulu.

Di kafe tempatnya bekerja, suatu hari, seorang pria paruh baya berkata, “Kopi ini seperti kamu, Mbak. Hangatnya diam-diam menyentuh.”

Meilan tersenyum. Bukan senyum yang menyembunyikan tangis, tapi senyum karena ia tahu—ia telah pulih.

“Kini aku tak menunggu siapa-siapa. Aku hanya merawat luka yang perlahan tumbuh jadi taman.”

Sementara Kholis?

Ia belajar.

Ia menjadi manajer hotel yang lebih peduli. Ia menyapa staf dengan tulus, mendengar keluhan dengan sabar, dan suatu malam—di rooftop hotel yang sepi—ia memandangi langit dan berkata, “Terima kasih, Meilan. Maaf karena aku terlambat mengerti.”

“Kau pernah jadi diam paling nyaring dalam hidupku.”

 

Gone Before You Miss Me

Meilan pergi bukan karena ingin menang, bukan juga untuk membuat Kholis menyesal. Ia pergi untuk menyelamatkan bagian dari dirinya yang telah lama ia abaikan demi orang lain.

Cinta kadang tak perlu berakhir dengan kebersamaan. Ia bisa selesai dengan keikhlasan dan tumbuh di tempat lain sebagai kekuatan.

Karena tidak semua kepergian adalah pelarian. Kadang, itu adalah satu-satunya cara untuk pulang—ke dalam diri sendiri.

“Aku menghilang bukan agar kau mencari, tapi agar aku tidak hancur lebih dulu saat kau tak melihat.”

.

.

.

Jember 22 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

 

 

Leave a Reply