Dari Luka ke Makna

“Luka adalah peta yang tak kita minta, tapi tanpanya kita takkan pernah pulang.”

“Tuhan tidak menaruh luka tanpa pelajaran. Tidak menaruh kehilangan tanpa makna. Dan tidak pernah menaruh seseorang dalam hidupmu tanpa tujuan.”

.

Titik Awal yang Tak Terlihat

Langit Jakarta sore itu seperti kaca asap—rapuh, berat, dan menahan sesuatu yang siap pecah. Dari kursi kayu di pojok kafe tua dekat Blok M Plaza, Alfredo menatap hujan mengguratkan garis-garis miring di kaca jendela. Kopi di depannya sudah dingin, sisa uapnya menyerah sejak setengah jam lalu. Di halaman belakang buku agenda lusuhnya, ia menulis pelan, seperti takut suaranya terdengar oleh hujan.

“Semua orang datang dan pergi. Tapi kenapa aku tertinggal di sini, tanpa tahu arah?”

Ia tak sadar, kalimat sederhana itu adalah garis start dari maraton panjang: pertemuan, kehilangan, pelajaran, hingga penerimaan. Kelak ia akan menyebut hari itu sebagai “titik awal yang tak terlihat”.

Kafe yang memelihara bunyi sendok dan bisik pelan itu menjadikan Alfredo sekadar siluet. Di sudut bar, barista berkerudung warna mustard menatapnya sekilas—Koneng, begitu nama panggilan yang selalu muncul di struk mesin kasir. “Air hangat lagi, Mas?” tanyanya tiap hujan deras. Alfredo hanya mengangguk, memegang gelas air hangat seperti memegang nadi sendiri.

.

Alfredo, Si Anak Tengah yang Terlupakan

Alfredo Damar, 34 tahun. Anak kedua dari tiga bersaudara, lahir dari keluarga pegawai negeri. Kakaknya, Adit, dokter di rumah sakit besar di Jakarta. Adiknya, Raka, berbisnis furnitur custom di Depok. Alfredo? Pernah bekerja di agensi periklanan ternama, lalu resign. Burnout, katanya. Sejak itu, hidupnya seperti halaman kosong yang diisi coretan yang ia sendiri tak paham.

Ia bukan pemalas. Hanya saja ada yang selalu memberontak dalam dirinya saat merasa “terkurung”—deadline beruntun, presentasi yang harus selalu “WOW”, brainstorming yang menuntut kepala jadi kembang api setiap hari. Ia ingin hidup mengandung makna, bukan sekadar angka. Tapi di kota yang menilai dari title dan tagihan kartu kredit, Alfredo sering kalah sebelum bertanding.

Ia menyambung hidup dari proyek-proyek freelance sebagai penulis konten. Cukup untuk makan, bayar kos, sesekali traktir diri nonton film tengah malam. Tapi tak pernah cukup untuk menutup lubang di dadanya—lubang yang tak berdarah, tapi membuat langkahnya pincang.

Lingkar pertemanan memudar pelan. Grup chat hanya ramai saat ada undangan nikah, potongan harga paket liburan, atau obrolan receh politik. Pertemuan di kafe makin jarang, diganti pesan singkat “Kapan-kapan ya”. Alfredo mulai bertanya pada bayangannya di cermin: Di kota ini, siapa yang benar-benar menunggu kepulanganmu?

Malam-malamnya sunyi, sunyi yang ia pelajari untuk dicintai sekaligus ditakuti. Ada malam-malam saat ia terbangun dengan tubuh basah oleh keringat, mendengar suara lift kos-kosannya naik turun seperti detik jam yang kejam. Mimpi buruknya berulang: ia berada di ruang presentasi tanpa slide, tanpa kata, hanya tatapan klien yang dingin dan lampu neon yang menyengat.

“Tujuan hidupku apa, sih?” tanyanya pada langit-langit kamar, seolah di sana ada papan pengumuman yang selama ini terlewat.

.

Pergi dan Datang, Tapi Tak Pernah Tinggal

Suatu siang di perpustakaan umum daerah, Alfredo bertemu Saka—pria tua berambut perak yang selalu duduk di rak filsafat. Saka memelototi buku tua berbahasa Indonesia lama dengan kacamata tebal yang membuat matanya tampak bulat. Pertemuan mereka berawal dari satu kalimat yang dilempar Saka seperti kerikil ke permukaan danau:

“Setiap orang yang datang dan pergi dari hidupmu bukan kebetulan. Semua membawa pelajaran.”

Alfredo mendengus kecil. “Kalau semua pelajaran, Pak, kenapa hidup saya malah tambah kacau?”

Saka mengatupkan buku, tersenyum. “Mungkin kamu belajar tapi belum menerima. Atau menerima tapi belum melepaskan.”

Sejak itu, Alfredo sering menemukan dirinya duduk di kursi yang sama dengan Saka, membahas buku, cuaca, mengapa senja kerap terasa lebih berat dari pagi, dan apakah kopi bisa menyembuhkan rindu. Saka bercerita tentang kisah-kisah lama, nama-nama dari hikayat yang asing di telinga Alfredo, tapi akrab di rasa: Tole si anak pandai yang dikira tak berguna, Koneng yang disalahpahami karena warnanya, Galba yang keras kepala tapi sebenarnya rapuh, dan Kelleng si pandai besi yang bekerja dalam senyap.

“Nama bisa berubah,” kata Saka suatu sore. “Tapi watak manusia selalu mencari jalan pulang.”

Persahabatan mereka tumbuh seperti akar beringin—pelan, diam, tapi tak bisa lagi dicabut. Hingga suatu hari Saka menghilang. Tak datang ke perpustakaan. Tak ada di bangku taman tempat biasa ia memberi makan kucing. Pustakawan menjawab singkat ketika Alfredo bertanya, “Pak Saka memang begitu, Mas. Datang, lalu menghilang berbulan-bulan.”

Ada rasa lama yang kembali, rasa yang Alfredo benci: ditinggalkan. Ia mengurung diri. Menutup ponsel. Menggulung kerapuhannya di balik korden kamar kos. Kenapa aku selalu yang ditinggal? bisiknya.

Saat lubang itu makin dalam, kabar datang dari Raka: Ibu terkena stroke ringan. Dunia kembali mengerut. Alfredo pulang ke rumah masa kecil di Bekasi dengan tubuh letih dan hati yang seperti disetrika.

Di rumah, peran terasa dibagikan tanpa rapat: Adit sibuk mengatur pengobatan, memeriksa hasil scan, menelpon rekan sejawat. Raka bolak-balik urus admin, mencari perawat, mengantar obat. Alfredo? Ia duduk di sudut kamar, memegang tangan ibu yang dingin, mendengarkan napas yang pendek-pendek, menghafalkan retakan halus di kuku.

“Mengapa aku selalu yang biasa—tidak cukup gagal, tapi tidak juga berhasil?” pikirnya sambil mengusap rambut ibu yang telah keperakan.

Di sela jaga malam, Alfredo membuka agenda lusuhnya. Di sana, terselip secarik kertas dengan tulisan tangan yang sangat ia kenal: huruf Saka yang miring kecil.

“Kamu tidak kehilangan arah. Kamu hanya sedang belajar cara berjalan dengan luka.”

Kalimat itu menempel di dinding kepalanya. Lama. Seperti doa.

.

Menerima Bahwa Semua Bernilai

Alfredo mulai menulis lagi. Bukan untuk klien. Bukan untuk uang. Ia menulis untuk dirinya sendiri, menyalakan kembali api kecil yang lama padam. Ia menulis Saka: cara pria tua itu mengelus kepala kucing, cara ia membalik halaman, cara suaranya merendah setiap kali mengucap kata “ikhlas”.

Ia menulis Ibu: suara azannya di subuh hari, tangan yang selalu menekan bahunya saat badannya demam, caranya menyebut nama Alfredo perlahan seperti memanggil anak kecil yang ketakutan.

Ia menulis tentang jadi anak tengah—bukan berada di bawah, bukan di atas, hanya di sela-sela. Tentang rasa tak dianggap yang tak meledak, tapi mengendap seperti air hujan yang masuk ke retakan dinding.

Tulisan-tulisan itu ia unggah ke blognya. Tanpa berharap apa pun, tanpa promosi. Hanya link yang sesekali ia lempar di Instagram Stories dengan latar belakang foto selimut biru.

Yang ia kira tenggelam, justru mengapung. Tulisan-tulisannya dibagikan. Komentar datang: orang-orang yang mengaku menangis, yang merasa “seperti dibedah tapi disembuhkan”. Kotak masuk surelnya dipenuhi ucapan terima kasih. Ada yang menuliskan kisah kehilangan ayah, ada yang bercerita bercerai setelah dua puluh tahun, ada yang mengaku bertahan dari keinginan mengakhiri hidup.

Seseorang dari penerbit indie menghubunginya. Mengajak bertemu di warung soto dekat Halte CSW. “Kami baca tulisan Mas,” ujar Galba, editor muda yang matanya letih namun hangat. “Bisa jadi buku. Bukan self-help yang berteriak ‘kamu kuat!’, tapi buku yang duduk di samping pembaca dan bilang, ‘aku paham’.”

Judulnya muncul begitu saja: Pelajaran yang Datang dan Pergi.

Alfredo menulis draf pertama dalam tiga bulan yang diukur dengan jadwal terapi ibu dan jadwal hujan. Ia mencetak draf itu di fotokopian depan kompleks, diberi jilid spiral, dan diserahkan pada Galba di sebuah kafe kecil yang memutar lagu lawas.

Dua minggu kemudian, kabar datang: draf ditolak.

“Tidak ditolak, Mas,” kata Galba saat menelepon, “lebih tepatnya minta dilahirkan ulang. Tulisan Mas indah, tapi masih terlalu ingin menyenangkan. Biarkan beberapa kalimat tidak rapi, biarkan beberapa luka tetap berdarah. Di situ napasnya.”

Alfredo menutup telpon dengan tangan bergetar. Malam itu ia menangis. Bukan karena draf “ditolak,” tapi karena ia sadar: bahkan dalam menulis luka, ia masih berusaha terlihat baik-baik saja.

Ia membongkar ulang naskahnya. Menghapus kalimat yang terlalu manis. Membiarkan satu dua halaman hanya berisi satu paragraf yang meletup. Menulis tentang hari ketika ia ingin membanting gelas karena suara tawa pasien lain terdengar terlalu keras di lorong rumah sakit. Menulis tentang hari ia hampir marah pada Tuhan—lalu diam karena merasa tak pantas.

Sebuah kalimat lahir, seperti batu yang akhirnya berani pecah:
“Aku tidak ingin kuat. Aku ingin jujur.”

.

Kota yang Mengajar dengan Cara Kasar

Jakarta mengajar dengan cara kasar—lewat banjir yang membuat sandal hanyut di got, lewat kemacetan yang menguji sabar, lewat papan reklame mencolok yang menatapmu dari atas kepala sambil bertanya, “Sudah sehebat apa kamu?”

Suatu pagi, Alfredo naik KRL dari Bekasi ke Tebet, menjinjing tas berisi revisi draf. Di gerbong, seorang pria tua bersarung berdiri tanpa pegangan, tatapan kosong ke luar jendela. Seorang ibu muda menyusui bayi di pojok, berusaha menutupi dengan selendang. Seorang gadis berkerudung menangis tanpa suara, layar ponselnya menampilkan chat “Putuskan saja kalau kamu lelah.”

Alfredo menunduk, menuliskan kalimat pada aplikasi catatan:
“Di kota ini, kita semua sedang belajar berjalan sambil memeluk yang runtuh.”

Sebelum sampai Tebet, hujan turun mendadak. Stasiun seperti mulut gua, orang-orang berdesakan. Di tepi jalan, seorang pengamen—Kelleng, begitu dia menyebut dirinya—memetik gitar dengan tiga senar. “Masanya sedang susah,” katanya saat Alfredo merogoh dompet. “Tapi saya yakin, setiap nada yang salah pun punya tempatnya.”

Alfredo baru tahu kemudian: Kelleng dulunya pandai besi di kampung, pindah ke Jakarta ikut pembangunan, lalu tersisih. “Sekarang saya menekuk nada,” katanya sambil tertawa kecil, “bukan besi.”

Di sudut lain, Tole—driver ojol langganan—mengirim chat: “Mas, mau diantar? Hujan deras. Saya pakai jas hujan dobel kok.” Tole, yang suka bercerita tentang persaingan di jalan, tentang rating bintang lima yang kadang lebih menghangatkan daripada matahari. “Yang bikin kuat itu bukan kuatnya,” ucap Tole suatu malam, “tapi karena ada yang menunggu di rumah. Kalau Mas belum ada yang nunggu, ya biar saya yang nunggu Mas turun di lobi.”

Nama-nama itu—Koneng, Galba, Kelleng, Tole—seperti berpindah dari hikayat lama ke peta Jakarta. Mereka tidak punya gelar, tapi punya peran: menjadi orang-orang kecil yang memahat yang besar di dalam Alfredo.

.

Pelajaran yang Tak Lagi Sakit

Buku Pelajaran yang Datang dan Pergi akhirnya terbit. Sampulnya sederhana: hujan di kaca dengan cap sidik jari. Peluncuran dilakukan di toko buku kecil di Pasar Santa. Pengunjung tidak membludak, tapi wajah-wajah yang datang penuh niat. Ada ibu-ibu yang membawa map berisi hasil laboratorium suaminya, ada remaja yang memeluk buku seperti bantal.

Di sesi tanya jawab, seorang perempuan mendekat. Wajahnya letih tapi teduh. “Saya Koneng,” katanya pelan, “anak Saka.”

Alfredo kehilangan kata. Perempuan itu menyerahkan sebuah buku kecil dan amplop coklat. “Bapak sudah lama sakit. Dua minggu lalu… dia pergi.” Koneng menarik napas. “Sebelum dirawat, bapak nitip: ‘carikan anak itu… Alfredo.’”

Di rumah, Alfredo membuka buku kecil itu. Di halaman pertama tertulis tulisan miring yang ia hapal:

“Kalau kamu membaca ini, kamu sudah lulus dari pelajaran pertama: menerima bahwa semua yang terjadi memang seharusnya terjadi.”

Di halaman berikutnya, Saka menulis nama-nama itu lagi: Tole, Koneng, Galba, Kelleng—bukan sebagai tokoh cerita, tapi sebagai jembatan. Di bawahnya, satu kalimat yang membuat dada Alfredo seketika penuh dan kosong sekaligus:

“Terima kasih sudah menemaniku menua. Giliranmu menemani orang-orang belajar menyembuhkan.”

Amplop cokelat itu berisi tiket KAI ekonomi ke Surabaya dengan tanggal yang sudah lewat, dan selembar peta kecil bergambar Pulau Madura, dilingkari merah pada kata Sumenep. Tidak ada penjelasan. Hanya satu catatan di tepi peta: “Asal-usul namamu mungkin di sini.”

Alfredo memandang benderang malam Jakarta dari jendela kosnya. Tidak ada tangis. Hanya rasa mengembang: seperti kue yang akhirnya merekah sempurna setelah dibiarkan dengan takaran gula yang pas.

.

Yang Pergi Menunaikan Tugasnya

Alfredo tak langsung menyeberang ke timur. Ia memilih menuntaskan dulu tur kecil bukunya: Bandung—Yogyakarta—Semarang. Di setiap kota, ia duduk di depan ruangan, tidak menceramah, hanya mendengarkan orang-orang bercerita. Di akhir sesi, ia menyodorkan kertas kosong pada mereka, dengan satu kalimat di atasnya: “Tuliskan nama seseorang yang datang ke hidupmu—dan apa pelajarannya.”

Ada yang menulis “Ayah—mengajar ikhlas melepaskan.” Ada yang menulis “Diriku sendiri—mengajar sabar menunggu.” Ada yang menulis nama yang sudah tiada, nama yang tidak boleh diucap, nama yang tak pernah diberi kesempatan.

Pulang ke Jakarta, ia kembali ke kafe tua Blok M. Koneng masih di balik bar. “Masnya makin ringan ya auranya,” selorohnya sambil meletakkan cangkir. Alfredo tertawa. “Mungkin karena saya sudah berhenti menjelaskan.”

“Berhenti menjelaskan—itu quotes bagus,” sahut Koneng, menuliskannya di tisu.

“Ambil saja,” kata Alfredo. “Biar jadi milik kita berdua.”

Malam itu, saat kafe hampir tutup, lampu meredup dan musik dipelankan, Alfredo menulis lagi di halaman belakang agenda lusuhnya:

“Yang pergi tidak selalu menyakitkan. Ada yang pergi karena sudah menunaikan tugasnya—mengantar kita tiba.”

Ia memejam, mencium bau kopi yang mengendap di udara, mendengar angin membawa bunyi kota ke sela-sela daun di trotoar.

.

Perjalanan yang Tertunda dan Tetap Sampai

Beberapa bulan kemudian, Alfredo akhirnya menyeberang. KAI membawanya sepanjang pantura, mata menatap kota-kota yang pernah hanya jadi nama di peta: Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Rembang, Tuban, Lamongan. Di Surabaya, ia menyeberang dengan bus ke Kamal, Madura. Angin asin menampar wajah, membuat rambutnya berantakan. Ia meraba amplop peta yang mulai lecek di saku.

Di Sumenep, ia tidak mencari apa pun secara heroik. Ia hanya berjalan. Menyerap bau garam, menatap langit yang birunya membuat matanya sejuk, mendengar orang-orang bercakap di warung dengan logat yang membuat kata “kau” terdengar seperti panggilan sayang. Ia tak menemukan asal usul namanya, tidak juga menemukan makam leluhur. Ia malah menemukan dirinya duduk di bawah pohon trembesi, menulis satu kalimat terakhir untuk buku keduanya:

“Kesembuhan adalah kemampuan duduk di tempat yang tidak memberikan jawaban—dan tetap merasa sampai.”

Ia pulang tanpa oleh-oleh selain selembar tiket bus lusuh dan foto kabur yang diambil seorang anak kecil dengan ponselnya. Tapi ada sesuatu yang menyala pelan di dalam dirinya, semacam lampu malam yang tak menyilaukan, tapi cukup agar tak lagi tersandung.

.

Rumah yang Berpindah ke Dalam

Jakarta menyambutnya dengan matahari yang tajam dan kabar-kabar biasa: proyek baru, tagihan baru, rumor kantor yang ia tinggalkan dulu kini berganti pemilik. Ibu sudah lebih stabil; bibirnya mulai bisa melafalkan “fred…” lebih jelas. Adit masih selalu sibuk, tapi pelan-pelan bertanya, “Kapan rilis buku kedua?” Raka menawarkan kerja sama: “Bikin kelas menulis di workshop interiorku, gimana?”

Di kafe Blok M, Koneng menempel secarik kertas di papan pengumuman:
“Kelas Menulis: Dari Luka ke Makna. Mentor: Alfredo.”

Alfredo protes kecil. “Saya tidak suka kata mentor.”

Koneng mengangkat alis. “Kalau begitu, ‘teman duduk’?”

Mereka tertawa. Malam itu, Tole datang membawa sebungkus nasi bebek. “Buat syukuran, Mas,” katanya. “Saya enggak bisa nulis, tapi saya tahu rasa bebek yang pas ketika Mas bilang ‘cukup’.”

Kelleng suatu sore muncul, menaruh gitar tiga senarnya di meja. “Saya oplos senar dari sisa-sisa,” katanya. “Tidak sempurna, tapi nyambung. Kayak hidup.”

Galba datang menyusul, membawa mockup sampul buku kedua. “Kita kasih judul Berhenti Menjelaskan,” ujarnya. “Karena itu pelajaran yang Mas ajarkan pada saya juga.” Alfredo menatapnya, merasakan sesuatu menggenang—apresiasi, bukan pada dirinya, tapi pada semua nama yang menjadi jembatan.

Di rumah, Alfredo membuka laci meja. Di dalamnya, agenda lusuh, amplop coklat, peta kecil yang ujungnya mulai koyak, sehelai tisu dengan tulisan Koneng, potongan senar gitar yang putus, tiket KRL yang memudar. Benda-benda yang, jika orang lain melihat, mungkin disebut sampah. Tapi baginya, itulah rumah—tempat pulang, meski alamatnya berpindah ke dalam.

.

Dari Luka ke Makna

Malam terasa lebih panjang, tapi tidak lagi dingin. Jakarta mulai beranjak tidur. Di atas lembar kosong, Alfredo menuliskan kalimat penutup untuk dirinya—bukan untuk pembaca, bukan untuk penerbit, bukan untuk siapa pun:

“Aku sekarang percaya: Tuhan tidak menaruh luka tanpa pelajaran, tidak menaruh kehilangan tanpa makna, dan tidak menaruh seseorang dalam hidupmu tanpa tujuan. Beberapa datang untuk tinggal, beberapa datang untuk pergi, beberapa datang hanya untuk menunjukkan arah pulang.”

Ia meletakkan pena. Di luar jendela, lampu-lampu gedung memantulkan cahaya seperti bintang-bintang yang lupa jalan pulang. Di dalam dirinya, ada bintang kecil yang tidak lagi mencari.

.

.

.

Jember, 22 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMinggu #DariLukaKeMakna #JakartaStories #MenakMadura #SelfDiscovery #LiterasiEmosi #KisahPenyembuhan #NarasiFilmis

.

Kalimat-Kalimat Pengingat

  • “Berhenti menjelaskan, mulai merasakan. Di sanalah jawaban bersembunyi.”

  • “Yang pergi tidak selalu menyakitkan; ada yang pergi karena sudah menunaikan tugasnya—mengantar kita tiba.”

  • “Kesembuhan adalah kemampuan duduk di tempat tanpa jawaban, dan tetap merasa sampai.”

  • “Aku tidak ingin kuat. Aku ingin jujur.”

  • “Luka adalah peta yang tak kita minta, tapi tanpanya kita takkan pernah pulang.”

Leave a Reply