Kalau Dibilang Jahat Karena Menjauh, Ya Gapapa

“Menjaga jarak bukan berarti membenci; sering kali itu cara paling jujur untuk tetap mencintai diri sendiri—agar esok kita masih utuh untuk mencintai yang lain.”

.

Namaku Jayengrana, lahir di Surabaya, bekerja di Jakarta, lulusan sebuah kampus yang terlalu bangga pada akronimnya. Aku tinggal di apartemen ringkas di bilangan Setiabudi—lantai tengah, jendela menghadap ke gedung-gedung kaca yang berkilau setiap jam pulang kantor. Gajiku cukup untuk cicilan, barista langganan, dan liburan singkat yang lebih sering kutunda. Dari luar, hidupku rapi: asuransi jalan, investasi rutin, kebugaran lumayan, jejaring luas. Dari dalam, pelan-pelan aku habis—bukan oleh musuh, melainkan oleh “iya” yang terlalu sering kupaksakan untuk orang lain.

Suatu malam Jakarta dibasuh hujan. Lampu-lampu berhias bokeh, klakson tertahan di bawah payung suara air. Notifikasi ponsel berkelip seperti lampu darurat. “Bro, bisa telepon? Urgent.” “Mas, aku butuh temen buat nemenin ngurus keluarga.” “Sayang, kamu ke mana? Aku nunggu.” Aku menatap wajahku sendiri di kaca jendela: mata berkantung, dada terasa sesak. Pertanyaan paling sederhana muncul seperti nyala kecil: aku ini hidup untuk siapa?

Aku menaruh ponsel menghadap ke bawah. Bukan karena benci. Bukan karena hendak memutus tali apa pun. Aku hanya perlu bernapas dengan napasku sendiri—bukan menitip nyawa pada orang lain.

.

Ruang Bernapas

Di kantor konsultan tempatku bekerja, namaku lumayan sering disebut dalam rapat. Bukan karena aku paling jenius, melainkan karena aku paling tersedia. “Kalau ada kerjaan yang belum ada orangnya, kasih ke Jay.” Jika ada proyek yang perlu “pemadam kebakaran,” aku masuk. Jika ada presentasi last minute, aku yang menyusun sampai dini hari. Rekan-rekan menyebutku andalan; tubuhku menyebutku abai.

Di luar kantor, lingkaran pertemananku seperti pasar malam yang tak pernah bubar. Ada Wiramenggala—teman kuliah yang selalu meminjam telinga; ada Rengganis—tetangga apartemen yang mengandalkan pundakku setiap kisah cintanya tersandung; ada Kerta Wijaya—kolega yang senang menjadikanku tameng di depan klien, karena konon suaraku menenangkan.

Lalu ada Retno Sari—perempuan yang pernah menata hari-hariku. Dalam hubungan kami, aku sering menjadi sandaran, akal sehat, dan supir yang kebanyakan lembur. Retno gemar bertanya, “Kamu sayang aku?” Aku menjawab dengan tindakan, menyisipkan waktu di antara rapat dan laporan. Tetapi pada akhirnya, hubungan kami tamat bukan oleh pertengkaran, melainkan oleh kelelahan yang tak punya kata.

Suatu pagi, setelah malam yang penuh revision request dari klien, aku bertemu Sekar Kedaton—seorang teman lama yang kini jadi psikolog organisasi dan sering menulis di kanal daring. Kami janjian sarapan di kafe kecil di Menteng. Ia meletakkan buku catatannya di meja, mengamati tatapanku yang tak lagi terang.

“Jang,” katanya pelan, “gelasmu kosong tapi kamu terus menuang ke gelas orang lain. Itu bukan cinta, itu kebiasaan menyerah pada ekspektasi.”

“Aku takut mengecewakan orang,” jawabku. “Aku takut mereka pergi.”

Sekar tersenyum. “Mereka yang pergi saat kamu menjaga dirimu, memang sudah waktunya pergi. Yang bertahan ketika kamu menegakkan batas, itulah rumah.”

Kalimat itu seperti rambu yang selama ini tak mau kubaca.

.

Dicap Jahat

Keputusan pertamaku sederhana: mematikan notifikasi setelah jam sembilan malam. Keputusan kedua: menolak ajakan nongkrong jika tubuhku minta tidur. Keputusan ketiga—yang paling menakutkan—membiarkan pesan “urgent” menunggu sampai pagiku waras. Bukan untuk membuat orang lain susah, tetapi karena diriku sendiri bukanlah hantu yang wajib gentayangan di setiap panggilan.

Tak semua orang paham. Wiramenggala menulis di grup, “Sekarang Jay beda ya, susah dihubungi.” Rengganis bercanda yang terasa menyentil, “Jangan-jangan udah lupa sama tetangga.” Kerta Wijaya setengah bergurau pada klien, “Maaf, Jay sekarang agak eksklusif.” Aku tertawa kecil di luar, mengencangkan sabuk di dalam.

Minggu berikutnya, Retno menelepon saat aku menumpang MRT pulang. Namanya menyala di layar, jantungku berdebar mengenang masa-masa yang manis. Aku hampir menggeser ikon hijau, lalu berhenti. Kami putus karena aku kelelahan menanggung semuanya. Jika kusambut sekarang, aku tahu jalannya akan sama. Aku mendiamkan panggilan itu, lalu mengirim pesan singkat: “Maaf, aku tidak bisa bicara malam ini. Jaga diri, ya.” Saat kereta memasuki terowongan, bayanganku di jendela seperti orang asing yang baru pulang.

Label-label pun datang: dingin, sombong, berubah, jahat. Aku membiarkannya lewat seperti iklan pre-roll yang tak bisa di-skip. Di kepala, sebuah kalimat kugarisbawahi tebal: Orang yang benar-benar menyayangi takkan marah pada jarak yang kau butuhkan untuk tetap sehat.

“Batas bukan dinding untuk memenjarakan; batas adalah pagar agar kebunmu tetap hijau.”

.

Perjalanan Menerima Diri

Menerima diriku berarti berdamai dengan rasa bersalah. Ada rasa seperti kutubuk dalam setiap “tidak,” seolah aku memutus aliran listrik ke rumah tetangga. Sekar mengajariku latihan kecil: menulis empat kolom—energi masuk, energi keluar, yang membuatku bernapas, dan yang membuatku sesak. Setiap malam aku menorehkan catatan: jalan pagi di taman kota masuk ke kolom bernapas; rapat tanpa agenda jelas masuk ke kolom sesak; membaca puisi Madura—kumpulan lama yang kubeli di toko buku lawas—masuk ke kolom bernapas; merespons chat panjang di jam tidur masuk ke kolom sesak.

Aku mulai membuat jadwal yang bukan hanya soal pekerjaan. Selasa malam untuk diri sendiri: mandi air hangat lebih lama, lampu redup, musik ambient. Kamis pagi untuk ibu—telepon lima belas menit yang selalu berakhir dengan doa. Sabtu pagi untuk berlari di Gelora Bung Karno, bukan untuk mengejar target, melainkan menyaksikan napas keluar masuk seperti ombak setia. Minggu siang untuk tidur siang—ritual yang dulu kuanggap kemewahan.

Di kantor, aku belajar berkata, “Aku bisa bantu, tapi perlu prioritas. Yang mana duluan?” Atau, “Aku sanggup, tetapi hari ini penuh; kita jadwalkan besok pukul sepuluh.” Kalimat-kalimat itu pertama-tama terasa seperti batu di lidah. Lama-lama, ia berubah menjadi jembatan.

“Kita bukan matahari yang wajib terbit untuk semua orang; kita manusia yang perlu malam agar esok tak padam.”

.

Ujian Terberat

Bulan berikutnya, ayah masuk rumah sakit di Surabaya. Kabar itu datang pada Rabu sore, di tengah rapat yang seperti jalan tol: panjang, lurus, dan membuat kantuk. Aku memesan tiket malam itu juga. Di ruang perawatan, ayah berbaring dengan selang oksigen seperti garis putih yang meluruskan degup. Ibu duduk tegak di sisi ranjang, jemarinya menggenggam tasbih.

Umarmaya—adikku, seorang insinyur yang logis—sedikit menggertakku, “Mas, jangan terlalu banyak ambil pekerjaan. Lihat ini, Bapak kepingin ketemu lama.” Aku menunduk. Sering kali orang terdekat adalah cermin yang tak bisa kita pura-pura di hadapannya.

Dalam tiga hari di rumah sakit, telepon dari kantor berdenting seperti tetes infus yang tak kunjung habis. Kerta memintaku mengulas deck untuk klien asing; manajer proyek mengabarkan deadline maju karena perubahan kebijakan; rekan tim menanyakan timeline revisi. Aku menulis satu pesan panjang: “Aku sedang mendampingi ayah di RS. Aku akan catch up malam hari selama satu jam. Mohon prioritas paling mendesak saja.” Ada yang paham, ada yang tak menjawab, ada yang menandai pesanku dengan emoji jempol—aku memilih memaknai itu sebagai pengertian.

Di malam kedua, Retno mengirim pesan: “Aku dengar Ayahmu sakit. Kalau butuh sesuatu, bilang ya.” Aku menatap layar lama-lama. Aku mengetik: “Terima kasih. Untuk sekarang, aku butuh fokus untuk keluarga.” Kuketik ulang, menghapus, lalu menulis lagi: “Terima kasih, jaga diri juga.” Itu sudah cukup. Kebaikan tak harus memanggil masa lalu untuk menginap.

“Tidak semua yang mengetuk harus kita persilakan masuk; beberapa cukup kita sambut dengan doa dari ambang pintu.”

Ayah pulih perlahan. Saat kami sekeluarga memaksanya bercanda, ia tertawa kecil, batuk sebentar, lalu menepuk punggung tanganku. “Jay, jaga dirimu. Lelaki yang kelelahan tak bisa menjaga siapa-siapa.” Kalimat itu seperti memo yang kutempel di dinding dalam kepalaku.

.

Kota, Kantor, dan Kompas yang Bergeser

Sekembalinya ke Jakarta, aku mendapati kota yang sama tetapi diriku berbeda. Pagi diresapi matahari yang lebih sabar, MRT terasa seperti nadi yang menuntun. Namun kantor tetap kantor—yang tak lelah mengukur jam dengan uang.

Aku bertemu atasan—Sarkandi—yang terkenal efisien. “Jay,” katanya, “performamu bagus. Tapi kami dengar kamu sering menunda respons tim malam-malam.” Aku menarik napas. “Saya belajar menata ulang jam kerja. Jika ada hal genting, saya pasti respons. Kalau tidak, saya prioritaskan esok agar hasilnya lebih baik.” Sarkandi menatapku sejenak, lalu mengangguk. “Pastikan ekspektasi jelas dari awal; kalau begitu, saya di pihakmu.” Kadang yang kita takutkan dari atasan hanyalah bayangannya sendiri.

Namun ujian lain datang. Wiramenggala—yang beberapa bulan ini merasa ditinggalkan—mengunggah keluh di media sosial: “Ada orang kalau sudah naik, lupa daratan.” Teman-teman menduga-duga. Ada yang mengirim tangkapan layar kepadaku, menambahkan bumbu. Aku mengetik tanggapan panjang, lalu menghapusnya. Aku memutuskan menemuinya langsung.

Kami bertemu di warung soto, bukan kafe yang biasa. “Aku capek, Wir,” ucapku. “Dulu aku selalu ada, tapi itu merusak diriku. Aku tetap sayang, tapi bukan berarti selalu siap dua puluh empat jam.” Wir menunduk, lama tak berkata. Lalu ia menarik napas berat. “Maaf, Jay. Aku kira kamu marah. Aku… aku takut kehilangan.” Di meja kecil itu kami belajar kalimat yang sering terlambat: maaf, dan tolong.

“Batas yang dijelaskan dengan jujur akan melahirkan pengertian; batas yang dibiarkan menggantung hanya melahirkan prasangka.”

.

Menjauh untuk Mendekat

Ada hari-hari ketika aku rindu riuh. Saat melihat unggahan orang—siang di PIK, malam di SCBD—aku merasa menjadi gigi jam yang tiba-tiba tertinggal. Namun di sela rindu, aku mulai mendengar bunyi halus: detik-detik milikku sendiri—musik yang dulu tertutup oleh konser yang tak pernah selesai.

Kebiasaan kecil menjadi jangkar. Aku melanjutkan kebun halaman mini di balkon—tiga pot basil, dua rosemary, satu bougenville yang keras kepala. Menyiram setiap pagi mengajarkanku ritme: tidak bisa kau curahkan seember sekaligus, ia butuh setia namun cukup. Aku kembali ke rak buku, mengeluarkan kumpulan kisah Menak Madura—bukan karena hendak menjadi bangsawan, tetapi ingin meminjam keteguhan tokoh-tokoh yang namanya akrab sejak kecil: Umarmadi yang teguh, Umarmaya yang bijak, Dewi Rengganis yang sabar. Aku mengambil namaku sendiri dari sana dengan cara baru: Jayengrana, bukan untuk gagah-gagahan, melainkan sebagai pengingat bahwa keberanian kadang berarti menepi.

Sekar sesekali mengirim tautan tulisannya. “Coba latihan boundary script, Jang,” tulisnya. “Misal: Aku ingin bantu, tapi saat ini tenagaku terbatas. Kita jadwalkan, ya? Atau: Aku memilih tidak hadir agar bisa hadir penuh di lain waktu.” Kupasang kalimat-kalimat itu di catatan ponsel—bukan template untuk dingin, melainkan jembatan agar hangat tak habis.

.

Retno, Hujan, dan Kafe Pojok

Suatu sore, hujan mengulang bab yang sama. Di kafe pojok tempat kami dulu sering bersembunyi dari jam kantor, aku tanpa sengaja bertemu Retno. Ia menatapku dengan sisa-sisa musim yang belum selesai. “Kamu sehat?” tanyanya. “Alhamdulillah,” jawabku. Kami bicara hal ringan: pekerjaan, ibu kos lamanya, serial yang lagi ia tonton. Ada jeda yang dulu akan kuisi dengan tawaran bantuan; hari itu, jeda itu kubiarkan menjadi jeda.

“Waktu itu aku marah,” katanya pelan. “Kupikir kamu menjauh karena orang lain. Ternyata kamu menjauh untuk dirimu sendiri.”

“Aku takut kamu membenciku,” aku jujur.

Retno menggeleng. “Aku benci kebiasaanku sendiri yang meminta terlalu banyak. Aku belajar. Kamu juga. Terima kasih sudah tidak datang waktu itu; kalau kamu datang, mungkin kita mengulang luka.”

Dia tersenyum. Aku pun. Kami tidak kembali, tetapi kami menjadi orang yang lebih ramah pada diri masing-masing. Ada pintu yang tetap tertutup, bukan karena permusuhan, melainkan karena di dalamnya sudah menjadi museum.

“Beberapa kenangan tak perlu dibongkar; cukup dibersihkan dari debu, lalu disyukuri pernah ada.”

.

Lebaran dan Kompas Keluarga

Lebaran tahun itu aku pulang ke Surabaya lebih lama. Rumah kami di Kedungdoro hangat oleh suara panci dan berita televisi yang tak pernah menurunkan volume. Ibu, dengan tangan yang mahir menyusun ketupat, menatapku dan bertanya, “Kamu sekarang sering bilang tidak?” Ada nada kekhawatiran yang lucu.

“Aku lebih sering bilang ya pada diriku, Bu,” jawabku.

Ibu tertawa kecil. “Yang penting jangan bilang tidak pada doa.” Kami tertawa bersama. Di ruang keluarga, Umarmaya merapikan kabel-kabel, memasang extension cord seperti arsitek aliran listrik. Ayah duduk di kursi rotan, menyimak percakapan seperti hakim yang ramah. “Kalau kamu sehat,” katanya, “kamu bisa menolong lebih banyak orang. Kalau kamu lelah, kamu akan marah pada orang yang seharusnya kamu sayangi.” Aku mengangguk. Orang tua kadang merangkum enam bulan sesi terapi dalam satu kalimat.

.

Jalan Panjang Menjadi Biasa

Setelah segala drama kecil dan besar, akhirnya yang tersisa hanyalah hidup—dengan kerja pulang kerja, cicilan, potongan listrik, pesan paket, jam olahraga, antrean kasir, dan tawa yang tidak selalu keras. Aku tahu batasan bukan peluru perak yang menyelesaikan semuanya. Ada hari ketika aku tergelincir: membalas pesan jam dua pagi, menerima proyek di atas kapasitas. Ada hari ketika rasa bersalah kembali seperti tamu lama yang membawa kue. Bedanya, kini aku mengenal diriku: jika aku jatuh, aku tahu tangan mana yang harus kugenggam untuk bangkit—tanganku sendiri, dan beberapa tangan yang benar-benar tulus.

Wiramenggala kembali ke lingkar dekatku, tetapi kini dengan cara yang lebih sehat: ia lebih sering bertanya, “Kamu sanggup?” dibanding “Kamu harus.” Rengganis berteman dengan tenang; kami kadang saling menukar tanaman pot. Kerta belajar berhenti CC aku di semua email. Sarkandi berterima kasih ketika proyek besar selesai tepat waktu, dan kami berbagi keheningan aneh: ternyata ritme yang wajar melahirkan kualitas yang lebih baik.

Retno? Kami tidak lagi mengulang. Sesekali kami saling mengirim kabar baik: ia lulus certified coach, aku menyudahi proyek rumit. Kami berdoa diam-diam agar masing-masing menemukan rumah yang lebih tepat. Di kafe yang sama, suatu hari aku melihatnya berjalan dengan seseorang yang membuatnya tertawa. Rasanya bukan cemburu, melainkan semacam lega.

“Kita tumbuh bukan untuk membuktikan pada siapa pun; kita tumbuh agar ketika menoleh ke belakang, kita bisa memeluk diri yang dulu dan berkata: terima kasih sudah bertahan.”

.

Edukatif, Solutif: Catatan untuk Diri dan Siapa Pun

Aku menulis ini bukan untuk menggurui. Aku menulis sebagai pengingat ketika kabut kembali turun. Ada beberapa hal yang kutempelkan di pintu kulkas—biar terlihat setiap pagi:

  1. Skrip Singkat Batasan

    • “Aku ingin membantu, tapi saat ini tenagaku terbatas. Boleh kita jadwalkan besok pukul 10?”

    • “Aku memilih tidak hadir agar bisa hadir penuh di waktu lain.”

    • “Aku perlu waktu hening malam ini. Akan kubalas besok pagi.”

  2. Kalender Napas

    • Dua malam tanpa gawai setiap pekan.

    • Satu pagi untuk bergerak pelan: jalan, regang, duduk.

    • Satu jam baca apa pun yang bukan tentang pekerjaan.

  3. Cek Energi

    • Jika setelah bertemu seseorang aku selalu merasa kecil, mungkin bukan tempatku.

    • Jika setelah menolong aku selalu menyalahkan, mungkin caranya perlu diubah.

    • Jika tubuh menagih tidur, penuhi; jika hati menagih hening, izinkan.

  4. Dialog dengan Orang Tersayang

    • Jelaskan batasan sebelum mereka menerka.

    • Dengarkan batasan mereka, agar cintamu tidak berubah menjadi kewajiban.

  5. Ritual Syukur

    • Ucapkan terima kasih pada diri sendiri yang berani menolak.

    • Ucapkan maaf pada diri sendiri yang kadang lupa.

Kota tetap bising. Ekspektasi tetap ramai. Media sosial tetap mengukur kedekatan dengan tanda read. Tetapi di tengah semua itu, ada ruang yang tidak bisa diambil siapa pun: ruang mendengar langkah kakimu sendiri. Di situlah aku belajar bahwa menjauh bukan pelarian; itu pulang.

Malam ini aku menulis di meja kecil menghadap jendela. Hujan seperti mengetik ritmenya sendiri di kaca. Lampu-lampu gedung masih bekerja, tetapi mataku tak lagi berlomba dengan mereka. Ponsel diletakkan, notifikasi sunyi, hati lebih nyaring.

Kalau besok ada yang bilang aku jahat karena memilih menjauh, ya gapapa. Aku bukan lagi lelaki yang selalu datang saat dipanggil; aku lelaki yang akan datang saat siap. Dan kesiapan itu kupelihara bukan dengan melawan semua orang, tetapi dengan merawat diriku sendiri—agar ketika aku kembali, aku datang utuh.

“Kadang kita butuh jarak bukan untuk menjauhkan orang lain, tetapi untuk menemukan diri sendiri yang sempat hilang.”

.

.

.

Jember, 6 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#SelfLove #BatasanSehat #KesehatanMental #UrbanLife #CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #MenakMadura #RefleksiDewasa #Storytelling

Leave a Reply