Senyum yang Tidak Kau Tahu

“Jangan iri pada senyum seseorang sebelum kau tahu luka apa yang pernah mengiris jiwanya.”

.

Namaku Baruna, cucu dari Menak Jingga. Jika kau melihatku hari ini berjalan ringan menyusuri trotoar berbatu di boulevard yang rapi, mengangguk ramah pada tukang parkir yang menyeberangkan mobil-mobil Eropa, atau sekadar menikmati kopi hitam di bangku sudut kafe dengan jendela tinggi, mungkin kau akan mengira aku pria beruntung: mapan, tenang, punya arah. Tapi, apa yang tampak dari luar tidak pernah mewakili semua yang pernah terjadi di dalam.

Senyum ini… bukan warisan. Bukan pula hadiah. Senyum ini adalah bekas luka yang berhasil sembuh. Ia dipahat dari kesedihan yang panjang, dari malam-malam tanpa suara, dari keheningan doa yang nyaris putus asa, dari napas yang tersisa ketika seluruh ruangan memadamkan lampu.

.

Musim yang Tak Bersahabat

Tiga tahun lalu, dalam waktu dua minggu, aku kehilangan ayahku, Menak Sari, karena stroke; pekerjaanku sebagai arsitek proyek dihentikan akibat restrukturisasi; dan kekasihku, Dewi Retna Mustika, memilih pergi tanpa alasan yang bisa kupegang. Rasanya seperti ditarik paksa dari dunia yang kupahami ke ruang hampa bernama kehilangan.

Aku tinggal di apartemen menengah atas di jantung kota, lift sunyi yang memantulkan wajahku empat arah, koridor wangi karpet pabrikan, dan suara tetangga yang mengunci pintu sebelum subuh untuk mengejar penerbangan pertama. Di tengah peta kota yang terang-benderang oleh papan reklame dan janji promo, aku memadamkan semua lampu, menutup tirai, dan tidur siang demi melompati jam makan.

Aku tidak keluar rumah selama tiga bulan. Hidupku seperti diputar di slow motion: bangun, mandi seadanya, makan seadanya, membaca ulang chat terakhir yang tak berbalas, lalu meringkuk lagi. Ibu datang mengetuk setiap akhir pekan, membawa lauk kesukaan ayah, seolah rasa yang pernah membuat kami duduk satu meja bisa mengembalikan seseorang. “Kau baik-baik saja, Na?” tanyanya pelan. “Aku baik,” jawabku, kalimat paling sopan untuk menolak ditolong.

Di meja makan yang tak terpakai, aku mulai menulis. Di selembar kertas bekas gambar kerja, di catatan ponsel, di balik kemasan mi instan. Aku menulis apa saja—tentang rasa kehilangan yang tidak sederhana, tentang malam yang berjalan pelan seperti kereta barang, tentang hidup yang rasanya seperti bercanda kasar.

Pada minggu kedua bulan keempat, apartemen sebelah direnovasi. Palu-palu memukul tembok seperti mengetuk dinding dadaku. Aku berdiri di balkon kecil, menatap langit yang menguning, ketika seorang anak perempuan dari unit ujung melambai: “Kakang Baruna, main yuk!” Itu Gendhuk Mawarni, keponakan tetangga kami, Menak Patih—nama panggilan yang melekat padanya sejak lama karena caranya menengahi rapat RT seperti pejabat yang santun.

Itu pertama kalinya otot-otot wajahku meregang untuk sesuatu yang bukan kepalsuan.

.

Senja yang Memulangkan

Sejak lambaian itu, aku memaksa diri keluar rumah lebih sering. Pagi-pagi, aku menuruni trotoar yang baru selesai dibenahi pemerintah kota: batu alam yang rapi, jalur sepeda yang bercahaya, kios bunga yang meletakkan krisan putih dalam ember seng. Di salah satu pagi itu, aku bertemu Wibawa—seorang fotografer jalanan yang menunggu merpati turun di pelataran gereja tua. Rambutnya beruban, sepatunya usang, tapi matanya memantulkan cahaya seperti lensa yang jernih.

“Cahaya datang kepada yang menunggu,” katanya ringan, menangkap suaraku yang menahan getar. Ia menunjukkan potret orang-orang yang menertawakan hidup, bukan karena mudah, tetapi karena mereka cukup berani menertawakan yang sulit.

Kami duduk di trotoar, membicarakan kehilangan tanpa berputar-putar. Ia pernah kehilangan istrinya karena kanker. “Senyum itu bukan penanda bahagia, Bro,” katanya, menatap layar kameranya. “Kadang itu tanda kita selamat, hari ini.”

Kalimat itu memaku. Aku pulang membawa satu perasaan baru: bukan gembira, melainkan lega yang tipis seperti selaput, tapi cukup menutup luka agar tidak terbentur.

.

Ruang-Ruang yang Menyembuhkan

Atas ajakan Wibawa, aku datang ke sebuah ruang kecil di lantai dua ruko, berlampu hangat, meja kayu, karpet tipis, dan dua puluh kursi lipat. Komunitas seni visual untuk pemulihan mental itu tidak menyebut diri mereka “support group”. Mereka hanya orang-orang yang membuat sesuatu agar bisa bertahan, lalu duduk bersama. Ada Sancaya yang kehilangan tunangan karena kecelakaan di tol; Jatmiko yang bertahun-tahun berjuang melawan depresi, datang dengan buku catatan lusuh; dan Dedeswati, perempuan tenang yang merawat adik autisnya seorang diri di rumah kontrakan kecil yang menghadap gang.

Kami tidak saling mengasihani. Kami mendengar. Kami saling menggenggam tanpa banyak kata. “Di tempat ini, kita bukan kasus,” kata fasilitator, Wirayuda—lulusan desain yang memilih kembali ke kampung halamannya untuk mendirikan sekolah kejuruan di pinggiran kota. “Di sini, kita manusia yang membuat garis dan bentuk untuk mengerti ulang diri.”

Di ruangan itu, aku membuat karya pertamaku setelah lama: sketsa wajah ayah dari ingatan. Tanganku gemetar. Aku menyelesaikannya dengan garis patah-patah, dan ketika kucoretkan kerut di keningnya, aku menangis—bukan karena sedih, melainkan karena akhirnya aku berani memanggilnya kembali. Ternyata duka juga ingin diundang, bukan diusir.

Seusai sesi, Dedeswati merapikan pensil warna. “Terima kasih sudah datang,” katanya, sesederhana orang yang mengetuk pintu lalu menyerahkan roti. “Kadang kita hanya perlu saksi.”

.

Kembali ke Tepi Air

Perjalanan penyembuhan bukan jalan tol; tidak ada jalur cepat. Tapi ada progres, dan itu cukup. Dua tahun setelah kehilangan, aku kembali bekerja. Bukan sebagai arsitek proyek yang memegang tender-tender tinggi di pusat bisnis, melainkan pengajar desain di sekolah kejuruan milik Wirayuda. Kelas kami menghadap sawah tersisa yang tak jadi mal, suara kereta masih lewat di kejauhan, dan di dinding kelas, poster garis, bentuk, dan prinsip keseimbangan yang kurekatkan sendiri dengan selotip cokelat.

Gajinya tidak besar. Tapi tiap kali melihat anak-anak tertawa ketika mengerti perbedaan “ruang positif” dan “ruang negatif”, hatiku menghangat seperti gelas teh di warung dekat sekolah. Mereka datang dengan sepatu yang tak selalu baru, membawa mimpi yang tak selalu terang, tetapi berani menodai kertas. Di ruang itu aku belajar, ternyata yang kita butuhkan untuk hidup bukan kemenangan besar; kita butuh tempat untuk berguna.

Suatu siang, Arya Tambakbaya—siswa dengan huruf-huruf yang condong serupa angin—menghampiriku. “Pak, saya suka lihat Bapak senyum,” katanya, menunduk seperti memberi hormat pada sesuatu yang ia sendiri belum punya kata. “Bikin saya semangat belajar.”

Aku hanya menepuk pundaknya. Ada yang perlahan pulih di dalam dadaku: kemauan untuk menjadi contoh, bukan karena aku sempurna, tetapi karena aku utuh walau berlekuk.

.

Kota yang Berusaha Baik

Kota kami tak pernah sunyi. Malam akhir pekan, mobil-mobil mewah berbaris di depan restoran yang menonjolkan “farm to table”, sementara di seberang, pedagang kaki lima menata sate ayam di atas arang yang bersenandung. Orang-orang kelas menengah ke atas berlatih yoga di studio yang harum eukaliptus, lalu memesan kopi single origin dengan nama daerah yang dieja bangga. Di kantor-kantor co-working, anak muda memadukan presentasi dengan playlist yang disusun rapi. Kami adalah generasi yang menggali keseimbangan di antara spreadsheet dan napas panjang, di antara target dan tatap mata.

Tapi kota juga memeram yang rapuh. Dalam rapat perencanaan sebuah ruang terbuka hijau, aku menjadi relawan menggambar ulang tapak. Seorang perempuan muda menyampaikan keberatan: “Bagaimana dengan pedagang lama? Apakah mereka ikut dipindah?” Pertanyaan itu mengingatkanku pada ayah: ia menyukai taman bukan karena rumputnya hijau, melainkan karena kursi panjangnya cukup untuk dua orang yang sedang berbaikan.

Aku menulis catatan: “Setiap garis baru di kota harus mempertimbangkan jejak kaki yang lama.” Di tempat parkir, Wibawa memotretnya. “Boleh kutaruh di pameran komunitas?” tanyanya. “Biarkan orang-orang melihat kota bukan sebagai peta, tapi sebagai kesepakatan.”

.

Surat yang Tak Pernah Terkirim

Suatu malam, hujan jatuh dengan rinci, seolah seseorang menuliskan namaku di setiap tetesnya. Aku membuka folder email lama—kebiasaan buruk yang sering memanggil luka. Di sana, pesan dari Dewi berhenti pada kalimat ramah. Tidak ada “maaf”, tidak ada “mari bicara”. Hanya jarak yang terang. Aku menatap lama, lalu menulis satu surat yang tidak kukirimkan:

“Dewi, jika suatu saat kita bertemu di kota yang berbeda, aku ingin bilang: terima kasih sudah pergi. Karena kepergianmu membukakan ruang yang tidak pernah kubayangkan: ruang untuk menatap ibuku makan tanpa terburu-buru, ruang untuk mengajar anak-anak yang menyebut garis sebagai ‘jalan pulang’, ruang untuk tersenyum pada diriku sendiri.”

Kusimpan surat itu di folder bernama “Tidak Perlu”. Ada kemenangan yang tidak perlu disaksikan siapa pun.

.

Lima Hal yang Kusemat di Saku

Aku menulis lima hal sederhana—bukan motivasi dinding kantor, melainkan penanda arah:

  1. Bangun, mandi, bertemu matahari. Bahkan ketika hati berat, tubuh butuh diselamatkan duluan.

  2. Menjadi berguna. Sekecil apa pun, satu sketsa untuk tetangga, satu jam mengajar.

  3. Memelihara hubungan yang benar. Sapa satpam, tanya kabar ibu, balas pesan kawan.

  4. Membiarkan duka duduk. Jangan usir; buatkan teh.

  5. Merayakan yang biasa. Jalan kaki tanpa tujuan adalah ibadah paling jujur.

Hal-hal ini tampak sederhana, tapi di kota yang mengukur pencapaian dengan angka dan unggahan, kesederhanaan adalah perlawanan kecil yang tekun.

.

Mereka yang Mengajari Tegar

Suatu Sabtu, komunitas kami mengadakan pameran kecil di lobi gedung perkantoran. Lukisan Sancaya menghadap escalator yang tak henti makan langkah orang. Jatmiko membingkai puisi pendek pada kertas kalkir. Dedeswati menaruh foto adiknya—sedang menyusun balok kayu—di meja, menyelipkan catatan: “Ia mengajari saya menghitung sabar.” Orang-orang berjas berhenti sejenak, beberapa menanyakan harga, yang lain bertanya cerita.

Seorang ibu datang bersama anaknya yang memakai headphone. Ia menangis kecil di depan foto Dedeswati. “Saya capek, tapi lihat ini saya tahu, saya bukan sendiri,” katanya. Dedeswati memeluknya, tidak lama, tidak berlebihan, cukup untuk mengatakan: “Kita bisa bersama tanpa mengubah siapa pun.”

Malam itu, Wibawa menepuk bahuku. “Kau tahu, Baruna, tak semua pameran butuh kurator. Ada yang cukup disusun oleh niat baik.”

.

Retak yang Menopang

Ayah mengajarkanku memperbaiki kursi makan yang retak. “Retak bukan alasan untuk dibuang,” katanya dulu, “retak adalah alasan untuk ditopang.” Setelah ia tiada, kalimat itu menjadi doa yang kuputar di lidah. Di kelas, ketika meja gambar anak-anak oleng, aku tidak buru-buru mengganti. Aku ajak mereka mencari sudut, melapisi penyangga, menambahkan sekrup. “Arsitektur bukan hanya bangunan megah,” kataku, “arsitektur adalah cara kita menopang yang retak, agar tetap berguna.”

Di hari ulang tahun ketiga kepergian ayah, aku dan ibu makan di rumah makan biasa. Ibu memilih rawon. Kami tidak menyebut namanya terlalu sering, karena kami berdua tahu: nama yang diucap terlalu sering bisa membuatnya terasa jauh. “Kau tampak lebih tenang,” kata ibu. “Senyummu berbeda.”

“Beda bagaimana?”

“Dulu senyummu untuk orang lain. Sekarang senyummu untukmu dulu.”

Aku menatap jam dinding yang ketinggalan tiga menit—kebiasaan pemilik warung agar pelanggan pulang sedikit lebih cepat. “Bu,” kataku, “kalau ayah melihat, kira-kira dia bilang apa?”

Ibu tertawa kecil. “Dia bilang garis-garismu mulai menyerupai rumah.”

.

Menemukan Kota Kembali

Di hari Minggu, aku menyusuri kota dari halte ke halte. Di bawah jembatan layang, ada mural baru: wajah-wajah tanpa nama yang saling menatap, dilukis oleh mahasiswa desain yang kukenal dari kampus negeri. Seorang bapak berhenti memotret istrinya di depan mural, lalu memintaku memencet tombol kamera. “Biar ada saksi,” katanya. Kami tertawa.

Kota tidak selalu adil. Tetapi kota selalu memberi kesempatan untuk memulai ulang, sepanjang kita mau menyeberang di zebra cross, menunggu lampu pejalan kaki, dan sepakat bahwa trotoar adalah milik semua. Di kafe, aku duduk dekat jendela. Barista memanggil namaku dengan benar—kemenangan kecil lain yang kucatat di kepala. Di meja sebelah, dua anak SMA mendiskusikan beasiswa. Di ujung ruangan, sepasang suami istri muda menulis daftar belanjaan; di layar ponsel mereka, aplikasi finansial berwarna biru muda menyusun kategori dengan telaten.

Aku menulis kembali kalimat pembuka yang dulu kusimpan di kertas bekas: Jangan iri pada senyum seseorang sebelum kau tahu luka apa yang pernah mengiris jiwanya. Bukan untuk menegur siapa pun, melainkan untuk mengingatkanku agar bersikap lembut pada orang asing dan pada diri sendiri.

.

Ketika Yang Pergi Kembali Menyapa

Pada pameran komunitas berikutnya, Dewi datang. Ia berdiri di depan sketsa ayahku, matanya singgah pada garis-garis patah yang kusengaja tidak kusambung. “Kau sehat?” tanyanya, suaranya hati-hati seperti orang yang mengetuk pintu yang dulu ia tinggalkan. Aku mengangguk. Kami berdiri pada jarak yang wajar—jarak yang sehat antara dua orang yang pernah saling menyakitkan dan memaafkan tanpa upacara.

“Aku minta maaf,” katanya akhirnya.

“Tak apa,” jawabku. “Kita berdua belajar dari yang tidak selesai.”

Ia membeli satu karya: bukan sketsa ayah, melainkan gambar bangku taman yang kosong dengan bayangan panjang. “Untuk ruang tamu,” katanya. “Agar kami ingat selalu ada kursi untuk berbaikan.” Kata “kami” meluncur lembut. Di jari manisnya, cincin tipis berkilau. Aku tersenyum—senyum yang tidak meminjam cahaya apa pun selain milikku.

.

Senyum yang Tak Perlu Dijelaskan

Kini, senyumku bukan alat untuk menutup duka. Ia bukti bahwa aku pernah hancur, dan memilih bangkit, pelan, konsisten. Orang-orang tidak perlu tahu bagaimana aku menangis diam-diam di balik pintu kamar mandi, atau tentang malam-malam penuh doa dan keraguan. Mereka tidak berutang penjelasan padaku, dan aku tidak berutang penjelasan kepada mereka.

Jika kau melihatku tersenyum di trotoar, atau tertawa kecil di kafe—jangan iri. Karena itu bukan hasil akhir. Itu proses yang masih berjalan. Senyum ini adalah cara berterima kasih pada tubuh yang setia, pada ibu yang mengetuk pintu, pada kawan-kawan yang menaruh kursi ketika aku enggan duduk, pada kota yang—dengan segala cacatnya—memberi ruang untuk pulih.

Aku, Baruna, keturunan Menak Jingga, masih belajar setiap hari. Tapi satu hal kupastikan: aku tidak lagi menawar harga atas ketenangan. Dan aku tak lagi menagih maaf untuk berbahagia. Di saku kemeja, lima hal sederhana tetap kusimpan. Di kalender, kutandai hari-hari biasa agar tak kulewatkan. Di kelas, ketika anak-anak bersorak karena berhasil menggambar sudut 90 derajat tanpa penggaris, aku ikut bersorak.

Karena begitulah aku menjaga senyum: bukan dengan menyembunyikan luka, melainkan dengan mengakui bahwa luka pernah ada, dan aku tetap bisa berjalan.

.

“Senyum terbaik bukan puncak gunung, melainkan jembatan kecil yang kita bangun setiap hari agar diri kita yang kemarin dan diri kita yang esok bisa saling menyapa.”

.

.

.

Jember, 1 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#SenyumYangTidakKauTahu #CerpenKompasMinggu #KotaDanKita #Pemulihan #KesehatanMental #ArsitekturHidup #MiddleClassIndonesia #Reflektif #Edukasi #Solutif

Leave a Reply