Langit Tak Pernah Bertanya
“Jangan minta izin untuk terbang. Jika sayapmu tumbuh, maka langit akan membuka jalan. Terbanglah.”
Langit dan Loteng
Nama pemuda itu adalah Umar Maya. Sebuah nama yang berasal dari kisah Menak Jawa, yang mengandung keberanian dan kecerdikan, namun hidupnya jauh dari gemerlap dan kemegahan. Ia lahir dari perut kota yang tak dikenal oleh peta, di antara gang-gang sempit yang ditumbuhi rumput liar dan suara radio tua. Ibunya, Dewi Rengganis, menjajakan gorengan dari pagi sampai malam, dan ayahnya, Pangeran Wiryasari, hanyalah suara samar dalam panggilan telepon dua minggu sekali. Selebihnya, hidup Umar adalah kesunyian dan mimpi.
Di atas rumah kontrakan kecil tempat ia tinggal, ada loteng reyot tempat Umar menatap langit malam. Langit menjadi tempat pelariannya, tempat ia meletakkan mimpi-mimpi yang tak berani ia ucapkan di dunia nyata. Di sana, ia menggambar burung, pesawat, layang-layang—apa pun yang bisa terbang. Bukan karena ia ingin jadi pilot, tapi karena satu hal: ia ingin bebas.
.
Dunia yang Terlalu Nyaring
“Orang seperti kita enggak perlu mimpi yang aneh-aneh,” ujar Kyai Durman, tetua kampung, saat Umar kecil bercerita soal cita-citanya menulis buku dan keliling dunia. “Yang penting hidup cukup, nggak nyusahin orang tua.”
Ucapan itu terdengar seperti nasihat, padahal itu palu godam yang menghancurkan harapan. Dunia terlalu sering memberi batasan pada sayap yang bahkan belum tumbuh. Kata-kata itu mengendap dalam pikiran Umar, membentuk keraguan yang diam-diam tumbuh menjadi rasa takut.
Tapi langit… langit tak pernah membatasi siapa pun untuk melihat ke arahnya.
.
Luka-luka Kecil yang Membentuk
Umar tumbuh dalam sunyi. Ia bekerja sambilan sebagai ojek daring untuk membiayai kuliahnya di jurusan komunikasi malam hari. Siang ia ngojek, malam ia kuliah. Ia tidur tiga jam sehari, menulis blog dengan tangan lelah dan mata mengantuk.
Tulisan-tulisannya sederhana—kisah penumpang yang bercerita tentang keluarganya, tentang kesepian, tentang harapan kecil yang terlupakan. Tak banyak yang membaca. Tapi Umar tak peduli. Menulis adalah caranya menyampaikan suara yang tak bisa ia ucapkan di kehidupan nyata.
Suatu malam, saat mengantar penumpang ke sebuah hotel mewah di tengah kota, ia berhenti sejenak. Dari balik pintu kaca ballroom, terdengar suara lantang seorang pembicara.
“Jangan minta izin untuk terbang. Sayap itu milikmu. Langit itu bukan milik siapa-siapa. Own your flight!”
Ucapan itu menancap dalam hati Umar, seperti anak panah yang tajam tapi membebaskan.
.
Mimpi yang Mulai Menyala
Beberapa minggu setelah kejadian itu, Umar memberanikan diri menulis ulang blognya. Kali ini lebih jujur. Lebih berani. Ia menulis tentang rasa takut, tentang perasaan tidak cukup, tentang keinginan untuk hidup bukan sekadar bertahan, tapi benar-benar hidup.
Salah satu tulisannya, yang berjudul “Aku Tak Ingin Hanya Menjadi Nama di Absen Dunia,” mendadak viral setelah seorang jurnalis terkenal membagikannya di Twitter. Dalam semalam, blognya dikunjungi puluhan ribu pembaca. Esoknya, ia mendapat email dari sebuah penerbit nasional yang ingin menerbitkan bukunya.
“Apakah saya pantas?” batin Umar.
Tapi kali ini, ia tidak bertanya pada dunia. Ia menjawab sendiri:
“Aku tidak akan minta izin untuk terbang.”
.
Menjadi Suara bagi yang Tak Terdengar
Tahun-tahun berlalu. Umar kini menjadi penulis muda yang dikenal. Ia diundang ke banyak kampus dan komunitas untuk berbagi kisah. Tapi ia tak pernah lupa darimana ia berasal. Setiap usai seminar, ia menyempatkan diri duduk dengan anak-anak muda yang datang padanya, mendengarkan mereka, karena ia tahu betapa pentingnya didengar.
Di satu seminar kecil, seorang anak SMA menghampirinya dengan wajah gugup.
“Kak Maya… aku pengin jadi penulis, tapi keluargaku nggak setuju. Mereka bilang itu bukan masa depan.”
Umar tersenyum, melihat dirinya sendiri di mata anak itu.
“Kau tidak perlu izin siapa pun untuk bermimpi. Kalau hatimu sudah bicara, maka kau harus bertindak. Jangan tunggu seluruh dunia setuju. Terbang saja.”
.
Rumah yang Sama, Langit yang Berbeda
Umar masih tinggal di rumah yang sama. Masih duduk di loteng reyot itu, menatap langit. Tapi kini, ia tahu: langit itu milik semua orang. Tak peduli seberapa sempit awal langkahmu, langit tak pernah bertanya dari mana kau datang.
Yang penting adalah kemauanmu untuk mengembangkan sayap, dan keberanianmu untuk melompat.
.
.
.
Jember, 1 Juli 2025
.
.
#CeritaMotivasi #OwnYourFlight #LangitTakBertuan #CerpenBlog #KisahPemuda #SayapMimpi #MenulisUntukHidup