Langkah Ayunda Episode 2: Satu Rumah, Dua Dunia
“Kadang yang paling menyakitkan bukan karena ditinggalkan… tapi karena tetap tinggal, tapi tak dianggap.” — Ayunda, dalam sunyi yang tak pernah reda
.
.
Meja Makan yang Tak Pernah Kosong
Di kota ini, pagi selalu datang dengan dua wajah: tergesa dan rindu. Di rumah tipe 36 yang menghadap jalan sempit, Ayunda bangun sebelum azan Subuh, menanak nasi, mengiris tempe, memotong buah untuk bekal Aliya dan Aksa. Meja makan mereka tak pernah benar-benar kosong; selalu ada piring yang menunggu cerita. Hanya saja, satu kursi tetap melompong. Kursi itu dulu diisi tawa Reza. Kini, yang duduk di sana adalah dingin: notifikasi yang menyala, dahi yang berkerut, gumam yang tak selesai menjadi kalimat.
“Selamat pagi,” ucap Ayunda perlahan, seperti seseorang yang mengirim botol pesan ke tengah gelombang.
Denting sendok menyahut, bukan suara manusia. Reza menyesap teh tanpa mata, jemarinya lincah menggulir layar ponsel. Di pojok dapur, jam dinding berjalan seperti seseorang yang tak lagi yakin ingin sampai.
Ayunda belajar dari waktu: bahwa hening bisa lebih tajam dari kata-kata. Ia selesaikan bekal, cek jadwal les privat, menulis dua paragraf untuk blog parentingnya—blog kecil yang diam-diam menjadi sumbu listrik di rumah ini. Ia tahu, bukan uang besar yang ia bawa pulang; tapi setidaknya listrik tak pernah padam, dan cicilan tidak menggerogoti malam.
.
Pria yang Dulu dan yang Sekarang
Reza pernah berbeda. Dulu ia suka melaporkan hal-hal remeh yang lucu, seperti bentuk awan yang menyerupai perahu, atau jingle angkot yang tak sinkron dengan jalannya. Ia rajin salat. Ia suka menghafal puisi receh untuk menggoda Ayunda. Tetapi sejak PHK datang tanpa mengetuk, kemudian usaha kecilnya jatuh seperti gelas yang tak sempat diselamatkan, Reza berubah jadi lorong dengan lampu redup. Di lorong itu, Ayunda berjalan pelan-pelan, takut menabrak sesuatu yang bisa pecah lagi.
“Cinta yang sehat adalah ruang, bukan penjara. Ia memberi napas, bukan menahan napas.”
Kata-kata itu Ayunda tulis di halaman depan buku catatannya. Bukan untuk menyitir, tapi agar dirinya ingat: yang ia cari bukan kemenangan, melainkan jalan pulang bagi batin.
.
Suara Kota dan Nama-Nama Lama
Kota bergerak. Di luar, suara sepeda motor bernegosiasi dengan suara tukang sayur. Ayunda mengantar Aliya dan Aksa sampai pertigaan gang. Aksa menggenggam tangan kiri, Aliya menggenggam kanan. “Mama, hari ini aku latihan paduan suara,” kata Aliya. “Dan aku harus bawa buku IPA,” sahut Aksa.
“Sudah di tas,” jawab Ayunda. Ia menatap dua anak itu sampai punggung mereka lenyap di tikungan. Ada momen-momen yang ingin ia simpan seperti foto, diletakkan di meja paling depan. Pagi adalah salah satunya.
Kembali ke rumah, Ayunda mendapati Reza masih di kursi—bukan tubuhnya, tetapi bayangannya; motor Reza sudah tak ada, helm menghilang dari gantungan. Di meja, secangkir teh tinggal setengah; di wastafel, gelas yang dibanting malam kemarin berjejer seperti saksi yang tak dipanggil. Hening jatuh seperti debu.
Ayunda menyalakan radio kecil. Berita pagi menyiarkan angka-angka yang naik turun: KRL padat, harga cabai melambung, lalu lintas menuju Slipi macet, kemungkinan hujan sore. Ia memutuskan untuk berjalan ke warung Rengganis membeli sabun dan beberapa biji jeruk. Rengganis—perempuan Madura yang datang ke Jakarta dua dekade lalu—selalu menaruh senyum di tepi pintu, seolah rezeki bisa dipanggil dengan keramahan.
“Pagi, Ndak,” sapa Rengganis. “Sehat?”
“Alhamdulillah,” jawab Ayunda. “Jeruknya manis, Bu?”
“Manisnya realistis,” Rengganis tergelak. “Kalau kurang, saya tambah satu. Dunia ini sudah banyak yang pahit.”
Keduanya tertawa singkat. Di ujung warung, Jayeng—tetangga yang bekerja sebagai kurir aplikasi—menyapa sambil merapikan boks di motornya. “Mbak Ayunda, blognya kemarin saya baca. Tentang anak yang takut suara petir tapi berani lomba baca puisi—keren.”
Ayunda tersipu. “Terima kasih udah mampir.”
Jayeng—nama lengkapnya Jayeng—dapat nama itu dari kisah-kisah Menak yang sering didongengkan bapaknya sewaktu kecil. Di gang ini, ada juga Umar—yang semua orang sebenarnya tahu namanya Umar saja, tetapi di buku komik kesayangannya ada tokoh bernama Umarmaya. Umar adalah tukang parkir masjid yang selalu memberi salam duluan. Ada Madi, pemuda yang suka menolong ibu-ibu menyeberang jalan; Madi, yang sejatinya Umarmadi, tapi di KTP tak ada. Ada Anggra—karyawan toserba—yang rajin ikut posyandu. Nama-nama itu seperti jejak folklor yang diadaptasi kota: tokoh-tokoh lama berkelindan dengan kota yang terus diperbarui.
“Kalau butuh apa-apa, kabar aja,” kata Jayeng, sebelum memacu motor.
“Terima kasih,” ucap Ayunda. Ia kembali berjalan, merasa kota ini mengantarnya pulang, sekaligus mengujinya: apakah ia akan berhenti di satu tempat, atau terus melangkah.
.
Sore dengan Gerimis Ragu
Sore turun dengan gerimis ragu. Di rumah, anak-anak pulang dengan cerita yang berebut keluar. Ayunda menyiapkan mie rebus, menanyakan hal-hal kecil yang sebetulnya besar: teman sebangku, PR, hal yang bikin mereka tersenyum hari ini. Saat Aliya bercerita tentang pelatih paduan suara yang mengganti lagu di detik terakhir, Ayunda mengangguk seperti mendengarkan siaran penting. Ketika Aksa memperagakan eksperimen kapiler di buku IPA menggunakan sedotan, Ayunda serius seperti juri lomba sains.
Reza pulang lewat jam Isya. Bau rokok ikut masuk, seperti penumpang gelap. Aliya berlari menyapa, Aksa membuntuti. Reza mengusap kepala mereka kilat, lalu masuk kamar, menutup pintu. Ayunda menunggu beberapa menit, lalu mengetuk pelan.
.
Pintu yang Tak Lagi Diketuk
“Kita bisa bicara, Za?”
Suara dari dalam terdengar datar. “Capek.”
“Aku juga capek,” Ayunda menahan napas. “Bukan capek kerja. Capek merasa tidak ada.”
Pintu terbuka setengah. Mata Reza menatap seperti kaca yang surut cahayanya. “Kamu kurang apa sih? Semua masih jalan. Jangan nuntut yang aneh-aneh.”
“Aku nggak minta banyak. Aku minta kita saling menyapa. Dengar. Lihat. Ajak ngobrol. Mengakui yang berat tanpa menyalahkan.”
Reza menghela napas, panjang, seperti seseorang yang memadamkan rokok di asbak yang sudah penuh. “Hidup udah ribet. Jangan ditambah drama.”
Kali ini Ayunda tak menukas. Ia ingat pesan psikolog puskesmas—Mbak Rara—yang dikunjunginya diam-diam dua bulan terakhir: “Kalau lawan bicara menutup pintu, jangan dobrak. Letakkan surat di bawah pintu. Surat itu namanya batas.”
“Mengalah bukan selalu kalah. Kadang itu cara paling berani untuk melindungi diri.”
Ayunda berkata pelan, “Aku akan tidur di kamar Aliya malam ini. Biar kamu tenang.” Reza diam. Di hening itu, Ayunda mendengar sesuatu retak, tapi bukan di luar: itu retakan yang rapi di dalam dirinya, semacam garis batas yang tidak lagi ia seberangi.
.
Belajar Membuat Batas
Keesokan hari, dunia tetap bekerja. Ayunda mengajar dua murid les, menulis untuk klien kecil—artikel tentang “makanan rumahan yang bisa jadi bekal sekolah.” Ia menuliskan soto ayam kuah bening, tumis buncis, telur dadar gulung, tips menyiapkan dalam 30 menit. Ia memotret bekal buatannya dengan ponsel lama, mengedit di aplikasi gratis. Di akhir tulisan, ia sisipkan kalimat yang hanya ia mengerti sepenuhnya: “Cinta paling praktis adalah yang memberi makan.”
Siang itu ia ke puskesmas. Mbak Rara menatapnya ramah, menyodorkan air putih. “Bagaimana minggu ini?”
“Seperti biasa,” jawab Ayunda, “tapi ada yang baru: aku berhenti mengetuk.”
Mbak Rara tersenyum, menandai sesuatu di buku catatan. “Bagus. Batas itu seperti pagar rumah; bukan untuk memenjarakan, tapi untuk melindungi apa yang kita tanam.”
“Bagaimana dengan anak-anak?”
“Anak-anak belajar lebih cepat dari yang kita sangka. Mereka peka pada kualitas udara, bukan hanya suara hujan. Yang penting, mereka melihat ibunya bernapas.”
Ayunda mengangguk. Ia bercerita tentang Aliya yang memeluknya dan berkata, “Mama hebat,” tanpa alasan. Ia bercerita tentang Reza yang pulang lebih larut, diam lebih panjang, tetapi tak lagi membanting. Pada akhirnya, Ayunda tahu: ini bukan kompetisi siapa yang paling menderita. Ini tentang siapa yang memilih sembuh lebih dulu.
.
Kota yang Tak Pernah Tidur Sepenuhnya
Kota menerima malam dengan lampu-lampu yang rukun. Di gang, Umar menutup gerbang masjid, Madi mengikat terpal warung yang tadi rembes. Jayeng baru parkir motor saat melihat Ayunda menjemur kain lap di teras.
“Mbak, besok ada kerja bakti di balai RW, ya,” katanya. “Kita mau perbaiki drainase. Hujan kemarin bikin genangan.”
“Aku datang,” jawab Ayunda. “Jam berapa?”
“Jam delapan. Oh iya, Anggra bawa makanan kecil. Kata dia, kalau kerja bareng harus makan bareng.”
Ayunda tertawa. “Terima kasih sudah mengajak.”
Malam itu, setelah anak-anak tidur, Ayunda membuka laptop, menulis di blognya sebuah catatan yang ia beri judul “Satu Rumah, Dua Dunia.” Ia menulis tanpa menyebut nama, tanpa menyudutkan. Ia menulis tentang meja makan yang tak pernah kosong tapi di satu sisi kursinya beku. Ia menulis tentang batas, tentang pagar yang bukan penjara. Ia menulis tentang keberanian paling sunyi: tidak bertengkar lagi, tapi juga tidak menyerah. Ia memasang satu kalimat sebagai kutipan pembuka: “Setia itu bukan menahan diri di tempat yang menyakiti, tetapi setia merawat jiwa agar tetap waras.”
Tombol “terbitkan” diklik. Notifikasi masuk beberapa menit kemudian—komentar dari pembaca yang tak ia kenal, seorang ibu di Depok, seorang bapak di Makassar, seorang mahasiswa di Semarang. Mereka menulis terima kasih, menulis “saya merasa dilihat,” menulis “saya tidak sendiri.” Di antara ratusan suara, Ayunda menemukan suara yang selama ini ia cari: suaranya sendiri.
.
Kerja Bakti di Gang Sempit
Kerja bakti membuat Sabtu seperti perayaan kecil. Aliya dan Aksa ikut membawa sapu lidi. Umar memimpin doa sederhana, Madi menyalakan pompa air, Jayeng mengangkat ember, Anggra membagikan risoles. Di salah satu sudut, Reza berdiri menyulut rokok pertama, lalu mematikan sendiri sebelum habis. Ia mendekati tumpukan batu bata, mengangkat satu per satu. Keringatnya menetes. Tak ada percakapan. Tapi ada gerak yang jarang Ayunda lihat belakangan: gerak berguna.
Siang jelang, lelah merata seperti bedak di wajah kota. Anggra menyodorkan air mineral ke Ayunda. “Mbak, blognya yang tentang ‘mengganti teriakan dengan jeda’ saya kirim ke adik saya. Dia baru nikah. Saya bilang, nggak usah nunggu luka dulu untuk belajar.”
Ayunda menahan senyum. “Semoga bermanfaat.”
Reza menatap dari jauh. Ada sesuatu di matanya yang menyerupai seseorang yang mengingat nama jalan lama.
Sore, usai mandi, anak-anak tertidur cepat. Ayunda duduk membaca di meja belajar. Pintu kamar membuka pelan. Reza berdiri di ambang.
“Kamu capek?” tanyanya.
“Sedikit. Kamu?”
“Lumayan.” Reza menarik kursi, duduk. “Terima kasih sudah bikin bekal pagi.”
Ayunda menatapnya. “Sama-sama.”
“Aku…” Reza menahan kata. “Aku nggak tahu mulai dari mana.”
“Mulai dari menyapa,” kata Ayunda. “Lalu mendengar.”
Reza mengangguk pelan. “Aku baca tulisanmu. Yang ‘Satu Rumah, Dua Dunia’.”
Ayunda menunduk, merapikan buku. Ada rasa malu yang kecil, ada takut, ada lega. “Aku tidak menyebut nama.”
“Aku nggak marah,” ucap Reza. “Aku cuma… merasa dilihat, meski lewat orang lain.”
“Bagus kalau kamu merasa begitu.”
“Boleh… aku mencoba lagi? Maksudku, mencoba jadi hadir.”
Ayunda menarik napas panjang. Di luar jendela, suara tukang bakso lewat, memukul mangkuknya dua kali. “Coba pelan-pelan. Kita mulai dari hal paling kecil.” Ia menatap kursi kosong. “Misalnya, kita sarapan sama-sama. Tanpa handphone.”
Reza mengangguk. “Besok.”
“Besok,” ulang Ayunda, lebih sebagai doa daripada janji.
.
Kota tidak menjanjikan apa-apa selain kesempatan untuk mencoba lagi. Minggu berikutnya, Ayunda membuka pesanan kue rumahan—“Roti Sabrang”, nama yang ia ambil dari jembatan kecil di ujung gang tempat anak-anak suka bermain. Ia membuat poster digital sederhana, dibagikan lewat grup ibu-ibu sekolah dan tetangga. Anggra memesan dua loyang untuk arisan, Umar menawarkan membantu antar jika perlu, Madi siap jadi tukang angkut. Jayeng memberikan testimoni pertama di grup: “Rotinya enak, nggak pelit mentega.”
Reza mulai melamar pekerjaan lagi. Ia sempat interview sebagai staf gudang, kemudian sebagai admin logistik. Ia pulang dengan cerita yang tidak panjang, tapi ada kalimat yang berbeda: “Doain ya.” Ayunda berkata, “Iya,” tanpa beban sarkasme. Kadang-kadang, di malam yang santai, mereka menonton berita bersama. Tidak banyak diskusi, tetapi juga tidak ada kerut di dahi yang menusuk. Aliya bercerita lebih lancar, Aksa jadi sukarelawan menutup jendela sebelum hujan. Keluarga itu tak berubah menjadi iklan, tidak tiba-tiba menjadi utuh seperti katalog, namun ada jahitan-jahitan kecil yang mulai memegang.
“Bahagia itu sederhana; yang rumit adalah membiarkannya tetap sederhana.”
Suatu sore, saat hujan turun seperti seseorang yang belajar melepas, Ayunda melihat Reza berdiri di teras, menatap hujan bukan dengan murka, melainkan dengan jeda. Ia mendekat, menyodorkan secangkir teh. Reza menerimanya, hangat mengembun di telapak tangan.
“Terima kasih,” katanya.
“Sama-sama.”
“Aku diterima kerja. Mulai Senin.”
Ayunda mengangguk, tidak berlebihan. “Selamat.”
“Aku tidak janji apa-apa. Aku cuma—”
“Kita sudah sepakat,” potong Ayunda halus. “Tidak janji-janji. Kita lakukan.”
Reza tersenyum tipis. “Iya. Kita lakukan.”
.
Akhir yang Sementara, Awal yang Baru
Tidak ada akhir yang sempurna, hanya bab yang tertutup rapi untuk memberi ruang pada bab berikutnya. Di balai RW, sebuah acara kecil diadakan: pentas baca puisi anak-anak. Aliya naik panggung dengan seragam batik, rambut dikepang dua. Ia membaca puisi yang ia tulis sendiri, dibantu Ayunda mengoreksi ejaan:
“Rumah adalah tempat pulang
meski hujan datang dengan banyak pertanyaan.
Di meja makan, ada nasi, ada tangan, ada mata.
Jika satu mata absen, tangan yang lain menyalakan lampu.
Kita tidak selalu utuh, tapi kita belajar tidak goyah.”
Tepuk tangan mengisi ruangan. Aksabersiul sembarangan, membuat hadirin tertawa. Reza berdiri di baris belakang, bertepuk tangan pelan. Pandangannya bertemu dengan Ayunda. Tidak ada pelukan dramatis. Tapi ada pengakuan sunyi: kita tidak selalu tahu kapan badai benar-benar pergi, namun kita sudah belajar membaca peta.
.
Menjahit Tanpa Menusuk
Malam itu, ketika gang meredup dan suara televisi tetangga menyusut, Ayunda duduk menulis lagi. Ia membuka catatan, menambahkan satu kalimat di bawah semua kalimat yang pernah ia simpan:
“Cinta yang bertahan bukan yang tak pernah luka, tetapi yang belajar menjahit tanpa menusuk.”
Ia menutup buku. Di ruang tengah, kursi di hadapannya tidak lagi terlalu dingin. Besok pagi, akan ada roti yang harus dipanggang, seragam yang perlu disetrika, dan langkah-langkah yang perlu diulang. Di luar, kota masih tetap kota dengan lampu-lampu dan klakson yang bersahutan. Tetapi di dalam, ada dua dunia yang mulai saling membuka jendela.
Dan Ayunda tahu, langkahnya bukan lagi langkah seseorang yang berharap diselamatkan, melainkan seseorang yang memutuskan untuk menyelamatkan. Pertama-tama dirinya. Lalu anak-anaknya. Jika suatu hari, Reza benar-benar hadir, itu bonus yang tidak perlu dikejar. Jika tidak, jalan tetap ada. Jalan selalu ada.
Ia mematikan lampu, menyisakan satu di dapur. Seperti kota yang tidak pernah tidur sepenuhnya, selalu menyimpan nyala kecil: agar orang-orang yang pulang larut tahu, rumah masih ingat jalan pulang.
.
.
Baca Episode 3: Di Balik Cermin Konseling
.
.
.
Jember, 25 Juni 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #FiksiUrban #KisahAyunda #RumahTangga #Healing #Boundaries #Parenting #JakartaLife #Harubiru #SelfGrowth
.
Quotes pendukung
-
“Cinta yang sehat adalah ruang, bukan penjara. Ia memberi napas, bukan menahan napas.”
-
“Mengalah bukan selalu kalah. Kadang itu cara paling berani untuk melindungi diri.”
-
“Bahagia itu sederhana; yang rumit adalah membiarkannya tetap sederhana.”
-
“Setia itu bukan menahan diri di tempat yang menyakiti, tetapi setia merawat jiwa agar tetap waras.”
-
“Cinta yang bertahan bukan yang tak pernah luka, tetapi yang belajar menjahit tanpa menusuk.”