Langkah Pertama Alex

“Jangan tunggu aba-aba untuk jadi berguna. Terkadang langkah pertama yang kau ambil tanpa disuruh, justru yang menyelamatkan segalanya.”

“Orang yang diam bukan selalu tak berdaya; kadang ia sedang menimbang arah agar langkahnya tak melukai.”
“Inisiatif tak perlu sorot lampu. Ia cukup menjadi api kecil yang mengundang tangan-tangan lain untuk hangat.”
“Keberanian tidak selalu berwujud teriakan; sering kali ia datang sebagai kalimat pelan: ‘Biar aku mulai duluan.’”

.

Gedung-gedung kaca di Kuningan memantulkan langit sore Jakarta yang pecah menjadi oranye, ungu, dan seutas kelabu. Di lantai 22 Finoverse, kantor keuangan digital yang muda dan pongah, lampu-lampu kubikel menyala sebelum malam sepenuhnya datang. Lift-lift berbisik. Mesin kopi mendesah. Monitor-monitor menatap balik seperti mata yang tak pernah berkedip.

Di sudut ruangan yang menghadap ke arah Gatot Subroto, Alex menunduk pada layar, kedua telapak tangan menggenggam hangat cangkir kertas. Ia anak Bogor yang mengusir sepi dengan angka-angka. Umurnya baru 24, staf junior di divisi data dan analitik. Tak ada yang istimewa darinya jika hanya mengandalkan pandangan pertama: kemeja sederhana, sepatu yang disemir secukupnya, rambut digunting rapih ala barbershop pinggiran. Tetapi ada sesuatu di matanya—tatapan yang selalu mencari pola di dalam kebisingan.

Sejak ayahnya wafat ketika ia kelas dua SMP—tumbang di kelas mengajar karena serangan jantung—Alex tumbuh dengan ibu yang merajut ulang hidup dari abu-abu. Ibunya mengajar les dari ruang tamu rumah kontrakan, menempel kertas kalender hadiah dari toko kelontong sebagai papan tulis darurat. “Kalau kamu bisa bantu, bantu. Jangan menunggu panggilan,” ucap ibunya, suara lembut yang menjadi mantra. Alex menganggap itu bukan petuah, melainkan kebiasaan. Ia belajar mengetuk pintu sebelum diminta, mengangkat kursi sebelum diserah, menyapu halaman sebelum daun kering terlalu banyak.

Di Finoverse, kebiasaan itu menjelma menjadi cara memandang. Malam itu, ketika kota menjerit pelan di bawah, Alex menemukan loncatan kecil di grafik transaksi: anomali yang seperti bintik di radiografi—kecil, tapi bisa berarti apa saja. Ia memperbesar, menormalisasi, menguji ulang. Tidak banyak. Hanya fragmen-fagmen kecil yang mengendap di jam-jam dingin, menghindari puncak lalu lintas. Seakan ada tangan asing yang tahu kapan harus bergerak agar tak terlihat.

Kebanyakan orang akan menyebutnya “noise.” Alex menahan napas, meraba-raba intuisi di balik angka. Ibunya selalu bilang, “Matematika bukan hanya soal benar-salah, tapi juga rasa.” Ia menyusun skrip, menandai selisih, mengelompokkan IP, mengungkap pola validasi yang seperti jala: tidak tampak hingga kau tersangkut di situ.

Tanpa menunggu rapat mendadak, tanpa menulis email panjang, Alex mengirim pesan privat pada dua engineer senior. Jayeng—product lead flamboyan yang kerap menepuk bahu keras-keras saat tertawa. Dan Adani—QA yang teliti, yang pernah menyelamatkan peluncuran fitur dari bug yang bisa memalukan perusahaan di hari pertama.

“Aku lihat hal aneh di data semalam,” tulis Alex singkat. “Boleh aku share?”

Jayeng membalas dengan emoji api. Adani hanya menulis: “Join call.”

Malam itu ruang meeting darurat dipesan. CTO hadir, juga Chief Risk Officer yang matanya seperti selalu menghitung. Mereka menatap dinding yang dirubung diagram. Alex maju, suara dinyalakan secukupnya. Di layar, jalinan transaksi tampil seperti peta kota yang bersuara. Titik-titik kecil bergerak di jam-jam sepi, tersebar, lalu menyatu seperti gerombolan burung.

“Fragmentasi akun,” kata Adani lirih.

“Eksploitasi celah validasi OTP yang dipicu dari beberapa node,” tambah Jayeng.

CTO menatap Alex. “Kamu sadar risikonya kalau salah?”

“Tahu, Pak,” jawab Alex. “Tapi saya lebih takut kalau saya diam dan ternyata benar.”

Hening. Hening yang seperti kaca sebelum retak. Lalu, seperti disepakati tanpa aba-aba, semua bergerak. Sistem darurat diaktifkan. Jaringan dibatasi. Schedule patch dipercepat. Malam itu, Finoverse tidak tumbang. Yang tumbang hanyalah kesombongan diam-diam: bahwa para senior selalu lebih awas.

Kabar beredar lebih cepat dari aroma kopi robusta. “Anak baru nemu celah,” bisik-bisik itu beredar, menjelma julukan yang entah siapa memulai: Radar Sunyi. Alex, yang hari-harinya terbiasa menjadi latar, tiba-tiba menjadi musik pengiring yang didengar.

Tapi esok pagi, Alex tetap datang paling awal. Ia menyiram daun sukulen di meja tetangga kubikel yang selalu lupa. Ia menyalakan komputernya, membuka terminal, dan tak menoleh ketika yang lain mencuri pandang. Ia bukan anak emas. Ia hanya anak dari perempuan yang mengulang hidup dengan sabar.

.

Jam makan siang itu, kantin lantai dua puluh dua riuh oleh tawa dan sendok garpu. Jayeng duduk di depan Alex, mengaduk soto ayam yang kebanyakan koya. “Lu hebat, Lex. Insting lu tajam. Gua yakin lu bakal cepat naik.”

Alex tersenyum satu garis. “Aku cuma kebiasaan nggak bisa diam kalau ada yang janggal.”

“Banyak yang janggal di kantor ini,” seloroh Jayeng. “Nanti lama-lama lu kebiasaan nggak bisa diam sama semuanya.”

Alex tidak menjawab. Di meja sebelah, Umar, manajer proyek yang suaranya mudah memenuhi ruangan, sedang memimpin tawa. Umar selalu percaya ia paling benar ketika bicara. Lututnya sering mengetuk meja, pertanda sabar yang tipis. Di rapat-rapat, ia menyela. Ia menyukai kalimat “seperti yang sudah saya bilang,” dan membenci jeda yang membiarkan pendapat lain tumbuh.

Malam itu, ketika rapat evaluasi digelar, Umar membuka ringkas. “Tim kita aman berkat respon cepat. Terima kasih semua.” Ia menatap Alex, seolah memeriksa apakah anak itu cukup mengangguk. “Tapi kita juga harus disiplin. Jangan ada perubahan inisiatif tanpa persetujuan pipeline.”

Ada kilat kecil di mata CTO. “Perubahan apa?”

Umar tak berkedip. “Saya dengar ada skrip yang jalan di jam-jam tertentu yang belum tercatat di JIRA.”

Semua menoleh pada Alex.

Alex menggeleng pelan. “Saya tidak mengubah, Pak. Saya hanya membuat fork untuk analisis. Tidak menyentuh production.”

Kata-kata itu jatuh seperti pena yang lupa menutup: menodai meja rapat yang putih. Umar menautkan jari. “Fork itu tetap proses, Alex. Kita punya prosedur.”

CTO menoleh pada Adani, yang mengangguk cepat. “Dia tidak menyentuh production. Aku cek.”

Rapat berlanjut, tetapi ada sesuatu dari tatapan Umar yang menempel di kulit: semacam dingin yang tidak menjadi salju. Alex pulang naik TransJakarta malam itu, menatap lampu-lampu jalan menari di kaca. Di halte Tosari, ia turun untuk menghirup angin kota yang kadang bau bensin, kadang bau hujan yang teringat. Ia membuka ponsel, mengetik pesan ke ibu.

“Bu, aku oke.”

Balasan datang seperti doa yang menolak terlambat. “Ibu bangga, Nak. Tapi tetap rendah hati, ya.”

Alex tersenyum. Rendah hati bukan posisi tubuh, pikirnya. Rendah hati adalah cara memikul.

.

Nama yang beredar sering membawa beban yang tak diundang. Ada yang iri, ada yang menguji. Ada yang sekadar ingin mengintip apakah yang disebut hebat itu juga bocor. Sepekan setelah malam anomali itu, tim Alex mendapat proyek kecil namun penting: menyusun sistem skoring risiko yang akan mempengaruhi banyak keputusan bisnis. Jayeng menunjuk Alex sebagai koordinator—semacam pengakuan informal yang membuat Umar mengetuk meja lebih sering dari biasanya.

“Jangan terlalu percaya anak baru,” gumam Umar kepada Maya—PR internal yang kerjaannya menyulam narasi dari pecahan realitas. “Mereka suka menabrak.”

Maya tertawa pelan. “Atau mungkin mereka yang berani membuka pintu yang kita takutkan.”

“Aku tak takut apa-apa,” balas Umar cepat. Kalimat yang biasanya diucapkan orang yang sedang gemetar.

Dalam rapat sprint kedua, benturan yang ditakutkan itu datang. Ada dua pendekatan skoring: satu konservatif, mudah dipahami, aman untuk dijelaskan pada dewan direksi—usulan Umar; satu lagi adaptif, memanfaatkan pembelajaran mesin dengan fine-tuning pada perilaku anomali—usulan Alex dan Adani. “Konservatif meminimalkan risiko error yang tidak terlihat,” kata Umar. “Adaptif memaksimalkan deteksi, tetapi sulit diaudit.”

Alex menyimak, lidahnya menimbang-nimbang kata seperti menimbang bumbu. Ia tak pandai berdebat panjang. Ia hanya pandai memeriksa, memperlihatkan. Maka ia menampilkan simulasi: data historis, skenario penipuan, hasil tangkap.

“Adaptif menahan 21 persen lebih banyak kasus pada threshold yang sama,” ujarnya. “Dan kita bisa desain explainability pada lapisan atas.”

Umar menghembus napas. “Kalau nanti ada satu pelanggan VIP terblokir salah, siapa yang tanggung jawab?”

Alex diam. Dalam diammu, kau bisa memilih untuk marah atau memeriksa kembali. Ia memilih yang kedua. “Saya tanggung jawab, Pak.”

Kalimat itu berjalan ke seisi ruangan, menyapa setiap bahu. CTO mendongak. “Oke. Kita split uji. Dua minggu. Biar data bicara.”

Dua minggu kemudian, data bicara dalam bahasa yang lugas. Adaptif menyelamatkan uang, menjaga marwah. Umar tak bertepuk tangan. Ia tahu ia kalah hari itu, tetapi ia tidak pernah sudi menulis kekalahan di catatan harian. Ia menyimpan satu kartu: reputasi.

.

Jakarta memasuki musim hujan seperti memasuki kenangan yang bersuara. Sabtu pagi, Alex pulang Bogor menumpang KRL. Hujan menulis garis-garis air di jendela, persis coretan anak TK di kertas buram. Di rumah, ibunya menyiapkan sayur asem yang wanginya beredar seperti cerita baik.

“Bapakmu dulu suka bilang,” kata ibu, sambil menata tempe goreng. “Jika semua orang memilih menunggu, siapa yang akan memulai doa?”

Alex menatap tangan ibunya yang mulai keriput. Ia ingin mencium punggung tangan itu, seperti masa kecil ketika ia meminta maaf karena memecahkan gelas. “Bu,” katanya pelan, “di kantor ada orang yang selalu ingin benar.”

Ibu menatap hujan. “Di dunia ada banyak Umar. Tapi mungkin Tuhan juga menaruh banyak orang bernama Alex—agar dunia tetap seimbang.”

Alex tertawa kecil. Mereka makan pelan. Di luar, hujan mengangkat aroma tanah.

.

Senin kembali seperti pintu yang tidak pernah kunci. Pagi itu, kantor seperti biasa sampai telepon berdering terlalu sering. Ada kebocoran data di perusahaan e-commerce yang menjadi mitra Finoverse. Bukan di Finoverse, tetapi dampaknya merambat dalam jejaring. Social media berisik. Wartawan mengirim surel. Maya sibuk menulis pernyataan yang tak membuat siapa pun berteriak, tetapi cukup untuk meredakan.

“Ini bukan kita, tapi kita akan terdampak,” kata CTO. “Perlu perisai baru.”

Dalam ruang hening, Alex sudah duduk di depan laptop. Tangannya mengetik seperti orang yang menambal perahu bocor di tengah sungai. Ia menulis skrip untuk menambah lapisan verifikasi perilaku, menyesuaikan parameter throttling, lalu menguji. Ia menelepon Adani, memintanya memecah test case. Ia menulis catatan untuk Jayeng tentang kompromi yang perlu disampaikan ke tim produk.

Umar muncul di pintu dengan kemeja yang terlalu wangi. “Siapa yang memberi arahan?”

Alex menoleh. “Tidak ada. Saya mulai duluan.”

Umar tersenyum, senyum yang mengandung banyak kertas kerja. “Prosedur, Alex. Kita tidak bisa sembarang.”

CTO yang sedari tadi berdiri di belakang mengangkat tangan. “Kadang, prosedur terbaik adalah keberanian pertama yang bekerja.”

Kata-kata itu penghormatan sekaligus beban. Dalam satu siang, Finoverse memasang payung sebelum hujan menetes di kepalanya sendiri. Malamnya, Alex tidak pulang paling akhir; ia pulang ketika lampu luar gedung masih terlihat sibuk. Di halte, ia menatap kota yang seperti piawai menyembunyikan lelah.

Di ponsel, ada pesan masuk dari nomor yang tak disimpan: “Kamu pikir kamu penyelamat? Jangan terlalu merasa benar.”
Alex menatap layar cukup lama untuk memahami: ini bukan tentang benar-salah. Ini tentang seseorang yang takut kehilangan panggung. Ia mengetik balasan, lalu menghapusnya. Beberapa kalimat paling berani adalah kalimat yang tidak jadi dikirim.

.

Detik-detik setelah konflik jarang berbunyi. Ia berupa jam dinding yang terus berjalan, badan yang tetap duduk, dan pikiran yang tidak mau meletakkan beban. Esoknya, rumor lain beredar: ada bug minor di modul verifikasi yang baru. “Alex yang pegang,” kata seseorang. “Konon ada VIP yang terblokir.”

Umar berkeliling seperti regu pemadam yang membawa bensin. “Kita harus bertanggung jawab,” katanya dalam rapat. “Hal-hal seperti ini tidak boleh terjadi.”

“Insiden satu pengguna dalam satu jam yang segera di-whitelist,” jawab Adani datar. “Tanpa kerugian finansial.”

“Kita bicara reputasi,” tukas Umar. “Dan reputasi saya dipertaruhkan ketika tim saya….”

“Kita,” potong Maya tiba-tiba, suara bening. “Reputasi kita.”

Ruangan itu kembali diam. CTO memandang satu-satu, mata yang justru menjadi cermin. “Reputasi Finoverse dibangun bukan di atas kegagalan nol, tapi di atas cara kita memperbaiki. Alex, bagaimana timeline mitigasi?”

Alex memaparkan, detail yang tidak pandai menyelamatkan harga diri—hanya pandai menyelamatkan sistem. Selebihnya, ia diam. Ada saat-saat ketika keheningan bukan kelemahan, melainkan pilihan: tak semua pukulan harus dibalas. Beberapa pukulan hanya mengundang kita untuk lebih tegap.

.

Promosi datang tiga bulan kemudian seperti hujan yang tak jadi diprediksi Badan Meteorologi. E-mail itu pendek: “Effective next month, you are appointed as Coordinator of Analytics.” Alex membacanya dua kali, mengirimkan screenshot ke ibunya. Lima menit kemudian telepon berdering; suara di seberang penuh air yang ditahan-tahan.

“Kamu hebat, Nak. Bapak pasti bangga.”

Alex memejam, menahan tubuhnya agar tidak rubuh oleh sesuatu yang tidak bisa disebut. Ia berdiri di depan jendela, menatap Jakarta yang selalu ingin lebih cepat dari jam tangan. Lampu-lampu mobil berserak seperti semut yang membawa gula. “Bu,” katanya pelan, “aku takut jadi orang yang merasa benar.”

“Takutlah pada hari kamu berhenti belajar,” jawab ibunya. “Bukan pada hari kamu benar.”

.

Di proyek integrasi kecerdasan buatan untuk keamanan data yang datang kemudian, Alex berdiri di depan sepuluh orang tim barunya. Ada wajah-wajah yang ingin segera pulang, ada yang memeluk laptop seperti bantal. Jayeng menepuk bahu Alex dari belakang, lalu duduk di kursi paling ujung. Adani menyalakan pena digitalnya.

Alex membersihkan tenggorokan. “Aku memulai karena tak bisa diam. Tapi tim ini bergerak karena kita tidak ingin ada yang berjalan sendirian.” Ia berhenti, mencari kata yang tidak terlalu bijak, tetapi cukup jujur. “Jangan tunggu aba-aba untuk jadi berguna. Terkadang langkah pertama yang kau ambil tanpa disuruh, justru yang menyelamatkan segalanya.”

Kata-kata itu tidak terlalu panjang. Tapi kadang, yang menyentuh bukan panjangnya kalimat, melainkan jarak antara kata dan perbuatan. Ruangan hening. Lalu tepuk tangan pelan. Denyut jantung orang-orang itu seperti menyetujui: dunia memang milik mereka yang berani memulai.

.

Namun hidup tidak siapa cepat yang menang; hidup adalah siapa yang tetap manusia. Suatu malam, selepas hujan, Alex singgah di warung kopi kecil di bawah jembatan layang. Ia butuh jeda dari grafana, dari slope grafik, dari ping notifikasi. Warung itu bau kopi dan aspal basah. Pemiliknya seorang lelaki tua yang setia menyeka kursi plastik dengan lap yang entah lebih kotor dari kursi itu sendiri.

Di pojok, Maya sudah duduk. Ia melambaikan tangan. “Aku minta maaf,” katanya tanpa jeda basa-basi. “Aku seharusnya lebih cepat membungkam rumor. Aku seharusnya…”

“Tidak apa-apa,” potong Alex. “Kamu sudah melakukan bagianmu.”

Maya menatapnya lama. “Kamu tahu, di kisah Menak Madura, Umar Maya itu gagah, tapi sering tersesat karena merasa paling benar.”

Alex tersenyum kecil. “Kamu Maya yang ini atau Maya yang itu?”

Maya tertawa. “Maya yang capek. Dan ingin bilang: jangan biarkan orang lain menculik kesunyianmu.”

Angin dari sungai membawa bau besi. Lampu-lampu mobil menyapu wajah mereka sebentar-sebentar. Alex menatap ke bawah jembatan, ke aliran air yang masih berwarna coklat muram. “Aku sering takut jika keberanianku cuma kedok dari keinginanku membuat diriku berarti.”

“Semua orang ingin berarti,” ujar Maya lembut. “Bedanya, kamu ingin sistem yang aman. Bukan panggungmu yang aman.”

Alex mengangguk, seolah menemui dirinya di kepalanya sendiri. Ia menghabiskan kopinya, pahit yang jujur.

.

Puncak datang pada malam yang tidak diminta: pengumuman transisi kepemimpinan. CEO Finoverse mundur karena alasan keluarga, digantikan oleh seseorang yang tidak banyak orang kenal. Rapat town hall digelar di auditorium; kaca-kaca tinggi memantulkan wajah-wajah penonton. Orang baru naik panggung: pria setengah baya, ramah, matanya lelah seperti orang yang sudah melihat terlalu banyak kecelakaan lalu lintas dan tetap mengemudi.

Ia bicara tentang bangunan yang harus lebih kuat dari angin. Tentang prosedur yang melindungi, tanpa memenjarakan. Tentang budayanya: “proaktif yang berempati.” Lalu ia mengangkat selembar kertas. “Aku baca satu catatan di intranet: ‘Proaktif itu bukan reaktif yang cepat. Tapi kreatif yang berani menciptakan arah.’ Tak kutahu penulisnya, tapi ini tepat.”

Adani menoleh pada Alex, menahan senyum. Alex menunduk, malu yang manis. Tepuk tangan merambat seperti gelombang kecil.

Selesai acara, banyak orang berbaris untuk menyapa pimpinan baru. Umar berdiri cukup depan. Ia menjabat tangan, menyebutkan kontribusi, menekankan pengalaman. Alex memilih berdiri di belakang, memandang lampu-lampu panggung yang mulai redup. Maya mendekat, menyenggol pelan. “Kamu tidak akan maju?”

Alex menggeleng. “Aku sudah maju ketika pertama kali menulis skrip.”

Maya tersenyum. “Terkadang panggung diletakkan di tempat orang tidak melihat.”

.

Malam yang lain, di jam rapat yang menggeliat sampai larut, terjadi mati listrik di satu lantai. Genset bekerja, tapi beberapa switch tak kembali normal. Layar-layar gelap. Data pipeline berhenti. Chat grup meledak. Dalam setengah gelap, orang-orang berlari kecil dengan ponsel sebagai senter. “Siapa yang pegang fallback?” tanya seseorang.

Alex berjalan ke rak server kecil yang menjadi cadangan darurat. Ia membuka panel, menatap kabel-kabel yang seperti urat-urat penyambung nyawa. Ia menyalakan ulang modul, menukar port, mengambil keputusan kecil-kecil yang tidak masuk presentasi. Ia tidak menunggu perintah. Dalam tiga belas menit—yang terasa seperti menahan napas dua menit—pipeline kembali bernapas.

“Siapa yang menginisiasi?” suara CTO dari ujung telepon.

“Alex,” jawab Adani.

Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada pengumuman. Hanya bunyi kipas server yang kembali seperti dengung nyamuk. Tetapi di dunia nyata, tidak semua pahlawan pulang dengan spanduk. Banyak yang pulang membawa keletihan yang tidak dapat difoto.

Di halte sebelum pulang, seorang bapak penjual koran memanggil. “Mas, koran malam. Ada berita: ‘Perusahaan fintech selamat dari potensi serangan.’ Mas kerja di situ?”
Alex tersenyum. “Saya cuma numpang lewat.”
Bapak itu tertawa. “Yang menolong tidak pernah sendirian, Mas. Orang baik ketemu orang baik.”

Alex membeli satu koran, bukan untuk membaca, melainkan untuk mengingat bahwa dunia menyimpan suara-suara kecil yang tetap percaya.

.

Suatu pagi yang tidak terlalu penting tetapi kelak ia ingat, Alex menerima surel dari akun tanpa nama. Isinya satu kalimat: “Aku minta maaf.” Tak ada tanda tangan. Tak ada pengakuan. Tak ada permintaan maaf formal. Tetapi ada sesuatu yang lega yang merambat ke ujung jari. Mungkin Umar. Mungkin bukan. Mungkin siapa saja yang tahu bahwa merasa paling benar adalah penjara tanpa besi.

Alex membalas dengan kalimat yang hanya bisa ditulis oleh orang-orang yang tak lagi ingin menang: “Terima kasih. Kita semua sedang belajar jadi manusia.”

Ia menutup laptop. Di kaca jendela, bayangannya berpadu dengan kota yang belum selesai. Ia teringat ibunya yang pagi itu mengirim foto: pot bunga janda bolong yang akhirnya beranak dua. “Semuanya butuh inisiatif untuk tumbuh,” tulis ibunya.

Alex tertawa sendirian. Ia meraih ransel, melangkah ke ruang kerja, menyalakan musik instrumental yang tidak mengganggu angka-angka. Di papan tulis kecil di dekat mejanya, ia menulis pelan—bukan untuk dipamerkan, hanya untuk diingat: “Inisiatif tidak menunggu panggung. Ia menciptakan panggung untuk orang lain ikut bergerak.”

Dan entah kenapa, hari itu kota terasa sedikit lebih ramah. Mungkin karena seseorang memutuskan untuk mulai duluan. Mungkin karena langkah pertama, ketika jujur, selalu menular.

.

.

.

Jember 19 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #KompasMingguStyle #Jakarta #Inisiatif #Proaktif #BudayaKerja #Fintech #KepemimpinanSunyi #Storytelling #Harubiru

.

Quotes dari naskah:

  • “Orang yang diam bukan selalu tak berdaya; kadang ia sedang menimbang arah agar langkahnya tak melukai.”

  • “Inisiatif tak perlu sorot lampu. Ia cukup menjadi api kecil yang mengundang tangan-tangan lain untuk hangat.”

  • “Keberanian tidak selalu berwujud teriakan; sering kali ia datang sebagai kalimat pelan: ‘Biar aku mulai duluan.’”

  • “Proaktif itu bukan reaktif yang cepat. Tapi kreatif yang berani menciptakan arah.”

  • “Inisiatif tidak menunggu panggung. Ia menciptakan panggung untuk orang lain ikut bergerak.”

Leave a Reply