Seorang Diri di Balik Sorak Sorai
“Terlalu ikhlas memberi, kadang membuat kita lupa… bahwa tak semua tangan yang menerima tahu cara menjaga apa yang diberi.”
.
Gerimis Jakarta malam itu seperti serpihan kaca halus di udara—berkilat, tak terdengar, namun meninggalkan gores di hati yang siap menerima. Di depan hotel megah di Sudirman, mobil–mobil berbaris, lampu hazard berkelip, sopir saling bersiul pelan, dan lobi berkilau seperti akuarium raksasa berisi manusia yang berenang dalam formalitas. Di lantai delapan, ballroom “Nirwana” menyalakan lampu gantungnya; kristal-kristal kecil meneteskan cahaya ke meja bundar dengan linen putih sebersih tekad awal yang sering kita bawa waktu pertama kali bergabung dalam sesuatu yang kita kira mulia.
Di ujung ruangan, Amir berdiri sendirian, merapikan manset yang terlalu ketat di pergelangan. Jas biru gelap itu adalah satu-satunya yang ia punya yang layak bertemu kamera televisi lokal, sponsor, dan senyum-senyum yang ia kenal tak semuanya tulus. Namanya disebut beberapa kali lewat pengeras suara: “Terima kasih kepada Amir atas dukungannya.” Tepuk tangan pecah, kilat kamera menyambar, tapi jantung Amir justru terasa hampa, seperti lift yang menuruni lantai dengan pintu tetap tertutup—sunyi, sempit, dingin.
Di panggung, MC memperkenalkan deretan “pahlawan” malam itu. Di barisan depan, Retna—perempuan dengan jas krem, rambut disanggul minimalis—mengangkat gelasnya, tersenyum ke arah Amir. Senyum Retna seperti lampu jalan: hangat dari jauh, tapi tak pernah benar-benar menyentuh kulit. Di sampingnya duduk Samba, si sekretaris yang selalu cepat mengetik, cepat memutuskan, dan lebih cepat lagi menghilang ketika ada daftar pekerjaan atau daftar donasi disodorkan.
Amir menarik napas. Malam ini ia datang untuk menutup pintu. Bukan karena benci—justru karena ia ingin menyelamatkan sisa-sisa ikhlas yang belum dipinjam orang.
.
Amir masuk ke lembaga relawan itu tiga tahun lalu, ketika hujan yang sama sedang turun di kota ini. Di timeline media sosialnya, ia melihat unggahan Retna: “Kami percaya, jika semua orang menyumbang satu persen, dunia menjadi lebih seimbang.” Kalimat itu menempel di hati Amir seperti plester di luka kecil: sederhana, masuk akal, dan tampak menyembuhkan.
Amir, konsultan apartemen menengah, anak kampung yang pindah ke kota dengan koper kain dan mimpi wangi deterjen, datang ke rapat perdana dengan kaus polos dan senyum gugup. Ia mendengarkan visi, misi, dan rencana kegiatan. Ia melihat diagram alur yang menjanjikan “transparansi,” “kolaborasi lintas sektor,” dan “dampak nyata.” Kata-kata itu seperti lampion yang digantung tinggi-tinggi di malam tahun baru—menawan, meninabobokan, dan membuat leher pegal kalau terlalu lama menatap.
Pada kegiatan pertama, gudang logistik sulit disewa. Amir bilang, “Pakai gudang saya dulu.” Pada kegiatan kedua, vendor sound pamit sepuluh jam sebelum acara. Amir mengangkat telepon, menalangi DP, memanggil temannya. Pada kegiatan ketiga, undangan khusus media tak kunjung cetak karena kas tinggal angka ganjil. Amir menggesek kartunya. “Nanti ganti ya,” ucap Samba, menulis janji di kertas yang sama tempat ia mencatat daftar tamu VIP.
Semakin sering nama Amir dipanggil, semakin jarang ia merasa punya nama. Ia menjadi semacam stempel “beres” yang ditubrukkan ke masalah apa pun. Retna menepuk bahunya tiap akhir acara: “Tanpamu malam ini tak mungkin semegah ini.” Kata “tanpa” selalu terasa seperti pita yang diikatkan ke botol kosong: manis di mata, hampa di isi.
Di timeline internal, foto Amir diunggah dengan caption: “Pahlawan di balik layar.” Ia tersenyum kaku di depan backdrop sponsor, tangan kanan mengacungkan jempol, tangan kiri memegang invoice menunggu tanda tangan yang tak pernah datang. Lama-lama Amir paham, “di balik layar” bukan pujian; itu kartu akses supaya semua beban yang tak terlihat bisa dialamatkan kepadanya.
.
“Amir!” Samba menepuk pundaknya malam itu. “Jangan berdiri di situ saja, ayo ke depan. Kau harus terima plakat ‘Patra Bakti’.”
Amir memutar tubuh. “Simpan saja untuk yang lain.”
“Ah, kau ini. Jangan sok-sokan. Orang baik itu harus kelihatan. Biar jadi teladan,” kata Samba sambil tertawa. Di gigi gerahamnya terselip potongan parsley dari canapés, tapi cara ia tertawa membuat semua orang di situ yakin dialah yang memasak dapur organisasi.
Retna mengintip dari panggung, memberi kode dengan dagu: “Naik, Mir.” Di layar lebar, wajah Amir membesar, garis halus di bawah matanya mengabur karena filter kamera yang membuat segala sesuatu tampak lebih hangat satu stop dari kenyataan.
Amir melangkah ke podium. Lampu menyorot, tepuk tangan bertalu. Ia berdiri di belakang mikrofon, mengatur napas seperti seseorang yang hendak menyelam. “Terima kasih,” ucapnya pendek. “Saya hanya ingin mengucapkan sesuatu yang sederhana.”
Ruang mendadak tenang. Bahkan sendok yang tadi sedang mengetuk gelas pun berhenti, seperti mengerti bahwa malam ini ada jeda yang lain.
“Tiga tahun lalu saya datang karena percaya kita bisa saling menguatkan. Saya tetap percaya itu. Tapi saya juga belajar, memberi bukan berarti menghapus batas. Mata air pun perlu tepi; kalau tidak, semuanya menjadi banjir.”
Sebuah desis kecil terdengar. Amir melanjutkan, suaranya masih jernih, seperti hujan di kaca yang tidak bisa diganggu.
“Malam ini saya mengakhiri peran saya di sini. Bukan untuk meninggalkan kebaikan, tapi untuk menjaga agar kebaikan dalam diri saya tidak berubah jadi amarah.”
Tepuk tangan tidak datang. Bukan karena tak setuju—melainkan karena tak ada yang siap memecah kebekuan dengan suara mereka sendiri. Retna menatapnya, bertahan dengan senyum yang lembut. Samba menggeliat gelisah, memutarkan cincin di jari. Di barisan kanan, Umar—pendiri paling tua—menunduk, menggenggam tongkatnya, seperti mengukur berat kalimat yang baru saja jatuh.
“Kalau ada kewajiban saya yang belum selesai secara administrasi,” Amir menutup, “kirimkan datanya. Saya selesaikan dengan cara yang seharusnya: jelas, ringkas, bersih.”
Ia menuruni panggung. Kursi-kursi bergeser pelan. Musik latar kembali hidup, seolah baru di-pause sebentar untuk menonton pesan layanan masyarakat.
.
Pagi berikutnya, grup WhatsApp “Inti” meletup. Samba lebih dulu.
Samba: Kawan-kawan, saya izin nonaktif dulu. Ada penugasan dari kantor pusat. Fokus berubah. Mohon pengertian.
Retna: Dipahami, Sam. Kita doakan lancar.
Umar: …
Seseorang dengan nama yang jarang bicara: Kalau bubar ya sudahlah. Saya juga capek.
Kalimat terakhir itu menempel di dahi Amir seperti stiker harga di barang obral. Bukan masalah bubarnya—tapi betapa mudahnya sesuatu yang dulu diikrarkan dengan lantang, dibiarkan padam begitu saja tanpa doa perpisahan.
Amir menatap jendela apartemennya. Jalanan lengang, ojek-ojek online berbaris di bawah, hujan berhenti separuh hati. Dalam keheningan yang bernama pagi, Amir mengingat sesuatu: tangan-tangan kecil yang pernah ia salami di panti yang atapnya bocor. Bau cat murah, kasur busa tipis, kipas angin yang meraung seperti mau lepas baling-balingnya. Mengingat itu, Amir tahu: ia tak ingin berhenti. Ia hanya ingin pindah tempat berdiri.
.
Komunitas baru lahir dari sesuatu yang lebih sederhana daripada akta notaris: niat yang ditulis dengan spidol hitam di papan whiteboard kecil, di ruang kerja kontrakan Amir. Namanya “Satu Persen.” Bukan karena ingin terdengar keren—melainkan karena ia percaya, satu persen yang dilakukan setiap orang secara konsisten akan lebih masuk akal ketimbang sepuluh persen yang ditanggung satu orang sampai patah.
“Tidak ada nama perorangan di poster kegiatan,” tulis Amir pada butir keempat. “Semua dana masuk rekening bersama, pembukuan terbuka. Siapa pun berhak bertanya, kapan pun—walau pertanyaannya membuat kami sulit tidur.”
Retna menelpon dua hari kemudian. Suaranya datar tapi tak dingin. “Kau benar, Mir. Batas itu perlu. Tapi kau tahu konsekuensinya: beberapa pintu sponsor mungkin tertutup untukmu, atau untuk komunitas barumu—”
“Kalau pintu tertutup karena saya tak mau lagi jadi satu-satunya yang menalangi, mungkin memang pintu itu bukan buat kita,” jawab Amir.
“Bagus.” Retna menghela napas. “Kau tahu, aku tidak pernah ingin itu terjadi padamu. Kejenuhan ini. Tapi aku juga terjebak sopan santun. Orang-orang ini… kalau tidak disuapi, mereka tak makan. Kalau tidak dipuji, mereka tak gerak.”
“Beri mereka lapar yang benar,” kata Amir. “Lapar melihat dampak, bukan lapar dilihat.”
Retna tertawa pelan. “Kau masih puitis.”
“Puitis itu murah,” Amir menyeringai. “Yang mahal adalah menepati.”
Setelah telepon itu, chat mereka tak lagi intens. Tak ada permusuhan, tak ada drama. Hanya dua orang yang memilih jalan berbeda untuk doa yang sama.
.
Satu Persen berjalan gontai seperti anak kecil belajar sepatu. Pertama, penggalangan buku untuk perpus mini di pinggir Cakung. Lalu, kelas literasi keuangan sederhana untuk ibu-ibu pekerja laundry di Tanah Abang. Ada yang datang karena penasaran; ada yang datang karena bosan diminta iuran di grup komplek tanpa tahu uangnya ke mana. Amir menatap catatan Excel yang berantakan tapi jujur, angka-angkanya kecil, tapi serapahnya nol.
Di ujung kelas, seorang ibu bersuara serak karena deterjen: “Mas, kalau saya sisihkan lima ribu sehari, tiga bulan bisa beli mesin cuci bekas, ya?”
“Bisa,” kata Amir. “Asal jangan patah di minggu kedua.”
Ibu itu mengangguk, wajahnya tersenyum setengah percaya diri, setengah takut. Amir melihat, di balik telapak tangan yang kapalan, ada mimpi yang tak pernah dapat slot prime time di TV. Mimpi yang rapuh tapi suci: ingin hidup sedikit lebih tenang dari kemarin.
Dan di panti yang dulu, mereka membantu ngecat dinding. Anak-anak menuliskan nama mereka di sudut, kecil-kecil, miring, ceroboh—tanda tangan yang jujur karena tak tahu bagaimana caranya berpose. Saat hujan turun, atap tak lagi menetes. Anak bernama Kencana—umur sembilan, rambut diikat miring—memberi Amir selembar kertas HVS bergambar rumah dengan matahari besar di kiri. Di langitnya, dua burung bentuk huruf V. “Buat Om. Supaya ingat rumah kami,” katanya.
Amir pulang membawa kertas itu seperti membawa paspor baru. Kertas murah yang membuka perbatasan di dadanya.
.
Sementara itu, kabar yang tak pernah Amir minta terus mampir. Organisasi lama memakai ruangan yang lebih kecil untuk rapat. Sponsor besar bergeser ke lembaga lain yang lebih “panggung,” katanya. Samba mengunggah foto di Instagram: ia berada di kota lain, memegang mic, materi presentasi bertuliskan “Leadership in Volunteerism” di belakangnya. Caption: “Berkontribusi itu soal integritas, bukan pencitraan.” Komentar menyemut: “Keren!” “Panutan!” “Bangga kenal kamu!”
Amir melihat layar, menahan tawa yang tak punya penonton. Ia mematikan ponsel, menatap plafon kamar, menghitung retakan seperti menghitung detik sebelum lampu padam. Ia tidak marah. Ia hanya lelah menjadi halaman yang orang lain robek lalu menulis puisi di atasnya.
“Orang baik bukan untuk dimanfaatkan,” gumamnya pada sendiri. “Kalau dipakai terus, baiknya bisa aus.”
Kalimat itu menempel di dinding kepalanya, menajam, lalu berubah jadi doa yang ia selipkan sebelum tidur.
.
Pada ulang tahun ke–41, tidak ada panggung, tidak ada plakat. Ada nasi goreng abang-abang di piring kertas, kiriman tawa rekan-rekan kecil dari komunitas, dan dua buah kue bolu murah dengan lilin bengkok. Amir menerima sebuah amplop cokelat dari Kencana. Di dalamnya ada surat tulisan tangan: “Om Amir, terima kasih. Atap kami sekarang tidak bocor. Kalau hujan, kami bisa tidur. Semoga Om sehat dan hati Om tidak sedih lagi.”
Amir memejamkan mata. Hati manusia aneh; ia bisa hancur oleh satu kalimat yang salah, dan bisa sembuh oleh satu kalimat yang ditulis tanpa teknik copywriting apa pun. Malam itu, ia makan bolu. Rasanya serbuk, terlalu manis, meninggalkan remah di gusi. Tapi anehnya, ia merasa makan kue terbaik di dunia—karena ia memakannya di tempat yang tidak menuntutnya menjadi pahlawan.
Teleponnya bergetar. Nama yang muncul: Umar.
“Mir,” suara Umar di seberang pecah halus. “Maaf lama tak bicara. Aku ingin mengucapkan terima kasih.”
“Untuk?”
“Untuk sudah jujur di malam yang paling banyak topeng,” kata Umar. “Kau tahu, dulu aku mendirikan itu bukan untuk glamor. Tapi aku kalah pada bergerak sendiri. Kau mengingatkanku; kebaikan itu kerja tim, bukan kerja satu orang.”
Amir terdiam. Di luar jendela, Jakarta menyalakan lampu-lampunya, dan hujan pelan kembali datang. Seperti seorang kakek yang tak lelah mengetuk, memastikan cucunya sudah tidur dalam selimut.
“Kau masih bisa kembali kapan saja,” ujar Umar. “Atau tidak kembali sama sekali. Dua-duanya bukan pengkhianatan.”
Amir tersenyum, menatap kertas gambar Kencana yang mulai kusut di sudut. “Aku memilih tidak kembali. Bukan karena benci. Karena aku sedang belajar mencintai dengan cara yang tidak merusak diriku.”
“Jaga dirimu, Mir.”
“Kau juga, Mar.”
Telepon ditutup. Hujan menebal. Amir bersandar di dinding, membiarkan sunyi memeluknya tanpa syarat.
.
Waktu bergerak seperti kereta ekonomi: lambat, pasti, dan membuatmu bisa melihat detail yang dulu selalu kau lewatkan. Satu Persen punya akun Instagram dengan 600 pengikut. Tak ada template canggih, tak ada admin “konten is king”, tak ada paid partnership. Foto-fotonya kadang miring, caption-nya kadang kepanjangan, tapi komentar-komentarnya adalah hal yang selama ini dicari Amir: “Aku mau ikut,” “Boleh nitip 50 ribu?” “Adikku butuh kelas Bahasa Indonesia, kapan ada lagi?”
Suatu sore, Retna berdiri di depan pintu ruang kerja Amir. Hujan belum turun, tapi langit sudah menyalakan lampu kuningnya. Retna tidak membawa bunga, tidak membawa map. Ia membawa dirinya yang letih.
“Aku pamit,” katanya, duduk tanpa menunggu dipersilakan. “Dari sana.”
Amir mengangguk. Ia menuangkan teh.
“Aku bertahan terlalu lama di kursi yang tak lagi membuatku berdiri dengan tegap,” ujar Retna pelan. “Sampai-sampai aku lupa bagaimana rasanya bernapas tanpa korset kebanggaan.”
“Kalau kau perlu ruang,” ujar Amir, “di sini kita punya kursi plastik yang bunyinya ‘kreek’ kalau diduduki. Butuh pembiasaan, tapi membuatmu ingat bahwa beratmu nyata.”
Retna tertawa kecil. Air matanya jatuh tanpa rencana. “Aku muak dengan tepuk tangan. Aku rindu bunyi sapu menyentuh lantai.”
“Kau selalu bisa mengambil sapu,” kata Amir.
Mereka duduk lama, menatap hujan yang akhirnya turun. Di kaca, tetes-tetes mulai berlomba, menyisakan jejak yang sesaat indah sebelum menghilang. Retna mengusap matanya, berdiri.
“Ada satu hal yang ingin kukatakan,” katanya sebelum melangkah pergi. “Kalimatmu malam itu menyelamatkan lebih dari satu orang. Termasuk aku.”
Amir tidak menjawab dengan kata-kata. Ada hal-hal yang bila dikembalikan dengan bahasa justru kehilangan bentuknya. Ia hanya menunduk, seperti orang yang sedang mencium tangan dirinya sendiri karena selamat pulang.
.
Beberapa bulan kemudian, Satu Persen mengadakan kegiatan kecil di emperan toko kosong di Rawamangun: pameran foto “Wajah yang Bekerja.” Fotografernya bukan profesional, melainkan anak kelas SMK yang dipinjam kameranya dari guru. Foto-foto itu menampilkan tangan, bukan wajah penuh; tangan yang menggunting kain, mengangkat galon, menukar uang receh, mengikat sepatu anaknya sendiri. Di pojok pameran, ada papan kecil bertuliskan: “Kebaikan adalah kerja. Jika kau beruntung, kerja itu menyembuhkanmu lebih dulu sebelum menyentuh orang lain.”
Pengunjung tidak banyak. Tapi seorang perempuan paruh baya berdiri lama di depan foto tangan yang memegang gagang sapu. “Ini tangan saya,” katanya lirih. “Saya kira tak ada yang bisa jadi gambar dari kerja saya.”
Amir berdiri satu meter di belakangnya. Ia tak berani mendekat, takut kalimat apa pun akan merusak momen ketika seseorang akhirnya melihat dirinya sendiri.
Di atas papan ucapan, seseorang menempelkan catatan baru: “Yang membuat kita bertahan bukan tepuk tangan, melainkan kenyataan bahwa getaran kecil dari hati kita menyentuh hati orang lain.”
Amir tersenyum. Ia pulang malam itu membawa selembar poster sisa, digulung rapi. Di rumah, ia menempelkannya di dinding, tepat di samping gambar burung huruf V milik Kencana. Ia mematikan lampu, duduk di lantai, mendengarkan bunyi hujan menyelinap melalui kisi-kisi jendela seperti rahasia yang tak ingin menyakiti siapa pun.
Ia tidak lagi merasa sendirian di balik sorak sorai. Ia berdiri di balik sunyi yang banyak orang lupa: sunyi tempat kebaikan bertunas.
.
Suatu dini hari, saat Jakarta seperti kota yang baru saja selesai menangis, Amir menulis satu kalimat di buku catatan lusuhnya:
“Menjadi ikhlas tak berarti membiarkan orang lain menyalakan api unggun di dalam dadamu dan pergi tanpa memadamkannya.”
Ia menutup buku, merebah, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mimpi datang seperti taksi yang tepat waktu—ia naik tanpa menawar, dan sopirnya tahu alamat pulang.
.
.
.
Jember, 15 Juni 2025
#CerpenKompasMinggu #CeritaUrban #BelajarIkhlas #BatasSehat #Relawan #JakartaHujan #HatiYangTumbuh #SatuPersen
.
Kutipan relate dengan isi & pesan cerpen:
-
“Kebaikan yang sehat tahu kapan harus berkata ‘cukup’, agar ia tidak berubah menjadi luka.”
-
“Di kota yang gemar tepuk tangan, belajar menutup telinga adalah bentuk lain dari menjaga hati.”
-
“Jangan takut dicap berubah; pohon yang tumbuh pun mengubah bentuknya.”
-
“Keramaian mudah memujimu; kesunyianlah yang menguji siapa dirimu.”
-
“Beri tanpa menghapus dirimu; maafkan tanpa menggadaikan harga dirimu.”