Cerita untuk Kita yang Terluka
“Ada waktunya kita berhenti berbicara, bukan karena kalah, melainkan karena sadar: sebagian telinga memang ditakdirkan tak mau mendengar.”
“Sebagian luka tak perlu ditunjukkan untuk dipercaya; cukup rasakan bagaimana kita belajar berjalan lagi meski lutut masih gemetar.”
.
Hujan baru saja berhenti sore itu. Jakarta seperti napas panjang yang tertahan—jalan-jalan memantulkan pucat langit, trotoar berkilap oleh lampu toko yang baru dinyalakan. Udara lengket oleh sisa gerimis. Di trotoar sempit dekat Halte Tosari, Satriya berjalan pelan, kedua tangan masuk ke saku jaket abu-abu favoritnya. Sepasang burung gereja berteduh di bawah papan reklame kartu prabayar; dari kejauhan, klakson menekan pendek dan sabar.
Di kepalanya, kalimat sahabatnya memantul-memantul seperti bola karet yang tak mau diam:
“Pilihanmu cuma dua, Ri. Pergi atau terus membuang waktu.”
Satriya menengadah. Cahaya kuning dari bus TransJakarta yang merapat membelah wajahnya. Ia mengembuskan napas. Mungkin memang hari ini saatnya memilih.
.
AWAL YANG INDAH
Beberapa bulan lalu, hidup Satriya menemukan warna baru ketika bertemu Ajeng. Perempuan berambut seleher, langkahnya cepat, tatapannya seperti garis stabilo di atas kalimat penting. Mereka bertemu di diskusi buku independen di sebuah kedai di Cikini. Satriya, penulis lepas yang sedang belajar menata ulang keberanian, baru saja mempresentasikan esai tentang “diam” sebagai bentuk protes, sementara Ajeng mengajukan pertanyaan yang membuat ruangan hening: “Kalau diam adalah bahasa, siapa yang kau harapkan paham?”
Setelah acara usai, mereka duduk di bangku kayu yang basah oleh kondensasi gelas. Obrolan bertaut: film Iran, arsip rencana kota, dan masa kecil di kota-kota yang tumbuh tak secepat mimpi anak-anaknya. Ajeng tertawa pada kalimat-kalimat Satriya, lalu berkata, “Aku suka cara kamu melihat dunia.” Di matanya, Satriya seperti peta yang tak hanya menunjukkan jalan, tapi juga bau tanah setelah hujan.
Mereka pun sering bertemu: di JPO Sudirman yang gemar meniup rambut orang yang melintas; di warung Madura dekat kos Ajeng di Setiabudi, di mana pemilik warung—lelaki berperawakan kecil bernama Madi—menempel poster Wayang Menak di dinding. “Kalau kamu lihat itu,” kata Madi sambil menunjuk tokoh berjubah hijau, “itu Jayengrana. Di kampungku dulu, kami memanggilnya Jayeng. Perjalanannya panjang, tapi ia tahu kapan harus berbalik.” Ajeng menggoda, “Satriya cocok dipanggil Jayeng. Perjalanan panjang, kepala batu, tapi penyayang.” Semua tertawa. Di antara kepulan nasi goreng, hari-hari terasa mungkin.
.
PERUBAHAN YANG PELAN-PELAN MEMBISUKAN
Akan tetapi, seperti pelangi yang pelan-pelan memudarkan diri sampai tinggal ingatan warna, sesuatu di antara mereka berubah. Entah kapan, percakapan bukan lagi menyalakan lampu, melainkan mematikan satu per satu sakelar.
“Kamu terlalu idealis, Satriya. Dunia ini tidak sesederhana buku yang kamu baca,” ucap Ajeng suatu malam di kafe favorit mereka dekat Dukuh Atas. Nada suaranya menurun seperti hujan yang pamit tanpa menutup pintu.
Satriya menatap gelas Americano yang cincin airnya menetes ke tatakan. Ia ingin menjawab dengan tenang, ingin bilang bahwa idealisme bukan kaca mata kuda melainkan kompas agar tak mudah tersesat. Ia ingin mengutip Menak tentang keberanian Jayeng untuk menunda kemenangan demi tak mengkhianati nurani. Tetapi kata-kata seperti disumpal kapas. Ajeng menopang dagu, menunggu, lalu menggeleng pelan. “Kamu susah diajak fleksibel.”
Sejak itu, tiap diskusi jadi ajang timbang menang-kalah. Hal-hal kecil jadi detonator: siapa yang memilih film di akhir pekan, rencana pindah kantor Ajeng, tulisan Satriya tentang kota ramah pejalan kaki yang dianggap “tidak realistis.” Hawa kata-kata berubah getir. Satriya merasa mengetuk pintu rumah orang tuli—suara jari-jarinya sakit duluan, sebelum pintu sempat betul-betul terdengar.
.
KELELAHAN YANG MENUMPUK
Suatu malam, Jakarta hujan seperti ingin menguji talang semua rumah. Satriya sendirian di kamar kosnya di Tebet. Kursor berkedip di layar kosong, seolah menertawakan niat yang belum bergerak. Di ponselnya, pesan Ajeng masuk:
“Kamu harus belajar paham bahwa aku tidak suka diatur. Aku tidak butuh nasihat.”
Kalimat itu menohok. Padahal, semua yang ia ucapkan selalu dimulai dari niat menjaga. Ia menatap cermin kecil di meja kerja. Bukan wajah lelah yang terlihat, melainkan jiwa yang kehabisan kursi untuk duduk. Kopi hitam di samping laptop sudah dingin, menggambar lingkaran di alas kayu seperti gerhana.
Di buku catatan, Satriya menulis:
“Mungkin yang paling melelahkan bukan perjalanan panjang, melainkan berhenti terlalu lama di pintu yang salah.”
Ia memejam. Dalam gelap, ia mendengar suara kota seperti selimut yang diguncang: ojek online menutup jas hujan, pengamen mengetuk-buka melodi, rel kereta menelan suara jarak. Di sela-sela itu, sebaris doa sederhana: tunjukkan cara melepaskan tanpa menjadi musuh.
.
CURHAT PADA SAHABAT
Keesokan sore, Satriya menemui sahabat lamanya, Maya—seorang konselor yang sabarnya seperti kursi di ruang tunggu: selalu ada dan tidak menuntut. Mereka bertemu di kedai kopi kecil di belakang kantor pos Pasar Baru. Maya mengikat rambutnya, menatap tanpa memotong.
“Ajeng bukan tidak mendengar,” ujar Maya pelan setelah Satriya selesai. “Ia memilih untuk tak mau mendengar. Itu haknya. Sama seperti kamu berhak memilih untuk tak lagi menjelaskan.” Maya mengambil serbet kertas, menggambar dua kotak. “Ini rumahmu, ini rumahnya. Kamu tidak wajib mengetuk setiap malam hanya supaya dia mau membuka. Kamu boleh pulang.”
“Pulang ke mana?” tanya Satriya. Suara kecil sekali.
“Ke dirimu sendiri.”
Di dinding kedai, poster pertunjukan Wayang Menak dari komunitas perantau Madura dipasang miring. Ada gambar Umarmaya yang memegang tongkat, mata tajam lembut. Maya—yang namanya kerap digoda Madi sebagai “Umarmaya penyabar”—tersenyum. “Kadang kita perlu menjadi semacam Umarmaya: mengingatkan Jayeng yang keras kepala bahwa kesetiaan pada diri sendiri bukan pengkhianatan.”
Kalimat itu menetes perlahan ke dada Satriya seperti minyak kayu putih. Hangat, menenangkan.
.
MALAM PENUH PERENUNGAN
Malamnya, Satriya tak bisa tidur. Ia berjalan pelan mengitari kamar, membaca ulang catatan-catatan lamanya, menemukan diri yang bersedia menunggu hujan sejak dulu. Ia teringat Ajeng pertama kali mengajak naik KRL tanpa tujuan, hanya untuk menyimak wajah-wajah yang turun di tiap stasiun. “Lihat,” kata Ajeng waktu itu, “semua orang membawa pulang sesuatu, entah gaji yang pas-pasan atau kabar baik yang ditunda. Kita tidak pernah tahu.” Satriya ikut tersenyum di tengah gerbong, merasa dunia cukup selama seseorang menoleh dan mengerti.
Tiba-tiba ia rindu versi Ajeng yang itu. Namun rindu tak bisa mengubah fakta bahwa belakangan, setiap saran dianggap sergah, setiap tanya dituduh intervensi. Di meja, Satriya membuka lembar baru. Menulis:
“Ada kalanya cinta harus dikalahkan oleh akal sehat. Ada waktunya hati dipandu oleh martabat. Pergi bukan lari; pergi adalah cara baru berdiri.”
Ia meletakkan pena. Hujan di luar tinggal bisik.
.
PERJUMPAAN TERAKHIR
Pagi yang mendung menggandeng Satriya ke Taman Menteng. Ajeng sudah duduk di bangku dekat lapangan futsal, wajahnya bersih dari rias, datar seperti kolam sebelum dilempari kerikil. Satriya duduk. Angin lewat, memindahkan daun kering.
“Aku mencintaimu,” kata Satriya. “Tapi aku lebih mencintai diriku sendiri. Aku ingin hidupku berarti. Aku ingin suaraku didengar, bukan dibungkam. Aku tidak ingin lagi mengetuk pintu yang tidak akan pernah terbuka.”
Mata Ajeng bergerak sedikit, seperti melihat jam yang belum berbunyi. Bibirnya membuka, tetapi kata-kata tak jadi lahir. Mungkin sedang memilih pakaian yang tepat untuk sebuah kepergian. Mungkin juga tidak.
Satriya menunduk, mengangguk kecil pada keheningan, lalu berdiri. Ia melangkah tanpa menoleh. Tidak ada adegan dramatis, tidak ada hujan yang tiba-tiba turun. Hanya langkah yang akhirnya percaya pada dirinya sendiri.
.
LEMBARAN BARU
Bulan bergeser. Satriya kembali menulis dengan tangan yang tak lagi gemetar. Ia menulis kolom, esai, lalu draf panjang yang akhirnya berjudul “Mengetuk Pintu yang Tak Akan Pernah Terbuka.” Di halaman persembahan, ia tidak menulis nama; ia menulis sebuah kalimat: “Untuk semua orang yang memilih pulang ke dirinya sendiri, meski gelap di lorong.” Tak disangka, buku itu laris. Banyak pembaca mengirim surel, bercerita tentang rumah yang tidak lagi mereka masuki, tentang keberanian yang baru punya kaki.
Di suatu bedah buku kecil di Lawangwangi, seorang pemuda bertanya, “Mas, bagaimana cara tahu kapan harus berhenti berjuang?”
Satriya menatap jendela yang dilumuri kabut napas manusia. “Saat lelahmu tidak lagi bermakna. Saat kata-katamu hanya memantul, bukan menyentuh. Saat dirimu tidak lagi kau temukan dalam cermin. Kita tidak harus menang di semua pintu. Cukup tahu mana yang bukan milik kita.”
Di sudut ruangan, Maya—yang kini sesekali membantunya menata agenda—mengangkat cangkir. Bangga tanpa bendera.
.
KOTA YANG MENYIMPAN NAMA-NAMA
Jakarta, dalam caranya yang khas, sedang sibuk melupakan. Namun di warung Madi di Setiabudi, poster Wayang Menak tidak pernah diganti. Suatu malam, saat Satriya datang sendirian, Madi tersenyum lebar. “Jayeng! Banyak yang cari nasi goreng kamu pesan: level pedas yang dulu.”
“Masih sama?” tanya Satriya.
“Yang berubah hanya harga cabe,” jawab Madi, tertawa. “Tapi ada yang baru.” Ia menunjuk sebuah foto kecil: kelahiran bayi perempuan. “Namanya Kelaswara, panggilannya Laras. Biar hidupnya selalu menemukan nada.”
Satriya mengeja pelan, Laras. Ia teringat Ajeng, teringat harmoni yang dulu sempat ada. Hatinya tidak lagi dirajam—hanya mengangguk pada masa lalu yang pernah memberi warna. Ia menulis sebuah catatan kecil di ponsel: “Nama-nama merawat kita. Bahkan yang datang dari legenda, menyisipkan doa tanpa kita sadari.”
Malam itu, sambil menunggu pesanan bungkus, Satriya berbincang dengan seorang pengemudi ojek online bernama Umar—orang-orang memanggilnya Madi juga, karena ia keponakan Madi pemilik warung. Umar tertawa renyah saat bercerita bagaimana ia menyisihkan sebagian pendapatan untuk kuliah adiknya di Bekasi. “Hidup begini, Mas. Kita terus saja jalan. Kalau capek, berhenti di masjid, tidur sebentar, lanjut lagi. Yang penting hati senang.”
Di wajah-wajah seperti Umar, Satriya melihat kota menyimpan ribuan Jayeng—orang-orang yang memilih tetap berdiri meski lantai bergeser. Dan ia merasa, pulang memang bukan alamat; pulang adalah keputusan untuk tidak mengkhianati diri sendiri.
.
KABAR-KABAR KECIL
Ajeng mengirim pesan setelah beberapa bulan sunyi. Tidak panjang.
“Aku baca bukumu. Aku tidak setuju di beberapa bagian. Tapi aku mengerti sekarang kenapa kamu pergi. Semoga kamu baik.”
Satriya menatap layar, menimbang apakah perlu membalas. Ia memilih menaruh ponsel, menyalakan kompor, merebus air. Ada lega yang sederhana, seperti teh yang tidak lagi kemanisan.
Malam itu, ia menulis bab penutup untuk buku berikutnya—tentang kota yang mendengarkan warganya lewat trotoar yang tidak lagi disabotase pedagang mobil bekas, tentang halte yang ramah, tentang suara kecil yang akhirnya diperhitungkan. Ia menulis: “Kesetiaan pada martabat adalah ruang tunggu yang tak pernah menipu.”
Di sela kalimat, ia menambahkan kutipan untuk dirinya sendiri: “Pergi bukan berarti menyerah. Kadang itu satu-satunya cara untuk tetap waras dan bermartabat.”
.
Pada sebuah malam yang bersih, Satriya berdiri di depan cermin apartemen kecilnya. Di pipinya ada sisa garis helm dari perjalanan naik motor pinjaman Maya—mereka baru pulang dari diskusi buku di Rawamangun. Lampu kamar memantul di kaca, membelah bayangannya jadi dua: dulu dan kini.
Dulu, ia takut ditinggalkan. Kini, ia belajar berani meninggalkan hal yang tak lagi memeluk harga dirinya. Dulu, ia mengukur bahagia dari seberapa sering suaranya disambut. Kini, ia mengukur dari seberapa jujur jantungnya menjawab pertanyaan paling sederhana: “Apakah aku tetap diriku sendiri di sini?”
Di meja, jurnalnya tertutup rapi. Di halaman paling atas, ada satu kalimat yang digarisbawahi tebal:
“Kita tidak ditakdirkan menang di semua percakapan—kita hanya diminta setia pada yang menjadikan kita manusia.”
Satriya mematikan lampu. Di luar, Jakarta tidak tidur; ia hanya berganti posisi. Dan untuk pertama kali setelah sekian lama, Satriya tidur tanpa beban—seperti kota yang akhirnya menemukan cara bernapas setelah hujan panjang.
“Pada akhirnya, bukan seberapa keras kita mengetuk yang menentukan, melainkan seberapa tepat kita memilih pintu.”
.
.
.
Malang, 9 Juni 2025
.
.
#CeritaKita #PulangKeDiriSendiri #Mengharubiru #CerpenUrban #KompasMingguVibes #SelfRespect #WayangMenak #JakartaHujan #LepasYangMenyakitkan #LiterasiHati
I wish i…
Please take care …