Diamnya Sang Ayah Membuatnya Retak

“Kadang-kadang, luka tidak lahir dari bentakan atau makian; ia tumbuh dari kata-kata yang sengaja tidak diucapkan, berulang-ulang, sampai hati belajar hidup tanpa suara.”

“Terkadang, bukan kata-kata kasar yang melukai hati, tapi justru kata-kata yang tak pernah diucapkan.”
— Anonym

.

Langit sore Jakarta mengabu, seolah menahan hujan yang tak jadi turun. Dari jendela lantai dua rumah petak dua belas meter kali tujuh, Dara duduk bersandar, memeluk kedua lutut. Di halaman, ketapang kencana yang ia tanam tiga tahun lalu mempermainkan sisa cahaya. Teh melati di cangkir putih mendingin pelan. Di meja kecil, selembar surat tua tertindih batu akik warna lumut. Tinta hitamnya telah pudar, tetapi Dara tahu setiap lekuk kalimatnya: tulisan tangannya sendiri, bertahun-tahun lalu—malam ketika ia berharap ada ketukan di pintu, ada suara bapaknya, yang tak pernah datang.

Malam itu ia menulis untuk bertahan. Malam ini ia membaca untuk memaafkan.

.

Prestasi dan Kekosongan

Ibunya, Sekar, pergi terlalu cepat—kanker payudara merenggutnya sebelum Dara naik kelas empat SD. Sejak itu, dunia Dara tinggal dua: sekolah dan lelaki berwajah batu di meja makan—Pak Herman—mantan tentara yang mengajarkan disiplin dengan diam. Dinding ruang tamu dihiasi foto hitam-putih: herman muda di depan truk tentara, senyumnya disimpan rapat.

“Anak baik itu tidak manja,” katanya ketika Dara jatuh dari sepeda. Lutut Dara berdarah; Pak Herman merobek kaus dalamnya jadi perban, mengikatnya cekatan, lalu diam lagi. “Jangan nangis. Tahan.” Ada ketabahan di suaranya, ada jarak pula.

Dara tumbuh menjadi mesin belajar. Ia belajar seperti mengikir besi, konsisten, dingin. Ranking pertama bukan kabar; ia semacam rutin. Bila guru memuji, Dara hanya mengangguk. Di rumah, piala plastik diseka debunya tiap Minggu. Pak Herman tak pernah memotret. Tak pernah memeluk. Ucapan “Ayah bangga” tak pernah mampir di ambang pintu.

“Belajar yang benar,” kalimat itu saja, dingin, rapi, mengisi celah yang kosong seperti lem yang tak pernah mengeras.

Ketika Dara menjuarai lomba sains tingkat nasional, ia pulang membawa piala yang bentuknya seperti obor. Ia berdiri di ambang, mengatur napas. Pak Herman sedang meraut pensil dengan pisau lipat, menghadap televisi yang menyiarkan pertandingan bulutangkis tanpa suara.

“Aku juara satu, Yah.”
“Taruh di lemari. Jangan besar kepala.”

Kalimat itu jatuh seperti hujan batu, tak mempan apa-apa selain meninggalkan memar.

.

Merangkak dalam Sunyi

Lulus SMA terbaik se-Jakarta Timur, Dara mendapat kursi di sebuah kampus impian di Yogyakarta. Ia pergi sendiri dengan kereta malam, membawa koper hijau tua warisan ibunya. Empat tahun berikutnya, hidupnya ditopang beasiswa dan kerja paruh waktu: menyunting tulisan, memberi les privat di kampung sebelah, membantu sebuah percetakan kecil milik pasangan suami-istri asal Madura yang membuka toko 24 jam—mereka dipanggil orang-orang sekitar sebagai “warung Madura”, selalu terang ketika gang lain gelap.

Pemilik percetakan itu bernama jokotole—bukan gelar, hanya panggilan yang melekat pada laki-laki kurus dengan tangan cekatan itu—dan istrinya, anggraini, yang pandai menghitung uang dengan sempoa kecil. Di tempat itu, Dara belajar tentang kata-kata dari sisi lain: huruf-huruf yang ditempel rapi bisa menyusun undangan pernikahan, brosur pengajian, sampai poster sayembara. Di sela kerja, Anggraini menyelipkan nasi jagung dan ikan tongkol suwir.

“Anak perantau itu harus makan,” kata Anggraini, menatap lembut. Mata Dara berkaca, tetapi ia menunduk, mengunyah tenang. “Terima kasih, Mbak.”

Pak Herman menelepon sebulan sekali, selalu malam, suaranya pendek, seperti pesan sandi.

“Uang cukup?”
“Cukup, Yah.”
“Jaga diri.”
“Iya.”
“Belajar yang benar.”

Lalu diam. Selalu diam setelahnya—diam panjang dengan dengung listrik di ujung.

Ketika Dara mendapat kabar diterima beasiswa pascasarjana di London, ia mengirim pesan singkat.

“Kalau yakin, ya berangkat,” balas Pak Herman. Titik. Tidak lebih.

Tak ada antar ke bandara. Tak ada doa di langgar. Tak ada peluk.

.

Sendiri di Keramaian

Musim panas di London. Aula kampus benderang, penuh toga dan kamera. Orang tua datang dari kota-kota jauh, memeluk anak-anaknya, menggigil haru di bawah kipas besar. Dara berdiri sendiri di sudut, menata tripod kecil yang dibelinya di e-commerce, menguji timer tiga kali hingga senyumnya pas. Ia mengenakan toga warna hitam; di saku dalamnya secarik kertas doa ibu yang lama, huruf-hurufnya mulai rapuh.

Ia memotret dirinya sendiri. Mengirim satu foto lewat WhatsApp—cahaya jendela menyisir pipinya, di belakangnya bendera-bendera negara berjajar rapi. Tiga jam kemudian, balasan muncul:

“Selamat. Jangan lupa sholat.”

Dara menatap layar ponsel lama-lama, menahan sesuatu yang mengental di tenggorokan.

“Baik, Yah,” balasnya. Ia menutup ponsel, duduk lagi, menatap langit-langi tinggi yang echo-nya menelankan nama-nama orang lain. Ia menulis satu kalimat di notes: Jika ayahku tak pernah menjadi bahasa bagiku, aku akan membangun bahasa sendiri untuk anakku kelak.

.

Pulang, Menabrak Kota yang Sama

Jakarta memanggil dengan suara knalpot dan debu basah. Dara diterima di sebuah perusahaan konsultan yang kantornya menghadap jalur MRT. Ia menyewa rumah petak dua lantai di sudut gang: lantai bawah untuk dapur dan meja kerja, lantai dua untuk kamar, kursi baca, dan tanaman paku sarang burung. Di ujung gang, ada penjual soto daging Madura, namanya sagara—ia bukan tokoh besar, hanya lelaki baik yang selalu meminjamkan kursi tambahan ketika ada rapat kecil di rumah Dara. Jakarta memberinya ritme baru: pagi MRT, siang presentasi, sore kopi di pantry, malam rapat dengan klien. Sesekali ia naik TransJakarta, berdiri memeluk tas, menatap keluar jendela yang dipenuhi bayangan.

Di ruang tamu, foto-foto ibunya berdiri di rak kayu, menyerupai altar kecil. Di sebelahnya, piala obor dari masa SMA. Di dinding, peta London kecil, bingkainya murahan tetapi rapi. Di meja, amplop-amplop rekening, kuitansi BPJS ayahnya, daftar obat—kolesterol, tekanan darah, cairan pengencer.

Dara lebih sering pulang ke rumah Pak Herman di Cakung: membersihkan kipas angin, mengganti sprei, mendengarkan radio yang tetap memutar siaran berita pukul enam. Ia membelikan sepatu sneakers baru—Pak Herman mencobanya kaku, menolak menunjukkan suka. “Ini kebesaran,” katanya. Padahal pas.

Suatu malam, Dara memberanikan diri untuk bertanya yang selama ini ia simpan rapat seperti surat rahasia.

“Yah,” ujarnya di meja makan. “Boleh tanya?”
“Hmm.”
“Pernah nggak… Ayah bangga sama aku?”

Sendok menclok pelan menyentuh piring. Pak Herman mengunyah, menatap nasi, bukan menatap anaknya. Saat menelan, jawaban itu jatuh seperti batu yang sudah lama menunggu di tebing bibir.

“Kamu hidup benar. Nggak ngerepotin. Itu udah bagus.”

Tak ada mata yang saling berpapasan. Tak ada tangan yang meraih. Dara menelan kosong. Ia berdiri, merapikan piring, mencuci panci dengan busa tebal agar air matanya tak terdengar jatuh.

Malam itu ia menulis surat ketiga—pendek saja—dan menaruhnya di bawah batu akik di kamarnya, seperti mengubur botol berisi pesan ke laut yang tak punya pantai.

.

Hari-Hari yang Hingga

Waktu memanjang seperti aspal jalan tol di siang hari. Ada rapat-rapat, ada proyek gagal, ada juga promosi kecil—senior manager—yang dirayakannya dengan martabak manis di rumah. Ada kiriman foto dari teman kampus yang menikah, ada undangan reuni yang tak ia hadiri. Ada banjir Februari yang membuatnya memindahkan semua buku ke lantai dua. Ada lebaran ketika Dara pulang dengan kue nastar. Pak Herman tak pernah bertanya “Kapan kamu menikah?”—ia hanya menaruh ketupat di piring Dara, menyodorkan opor, lalu diam.

Dara mulai terapi—bukan karena ia lemah, tetapi karena ia ingin memutus pola yang tak terlihat. Psikolognya—perempuan berkacamata yang suaranya seperti kain katun—bertanya hal yang selama ini Dara sembunyikan di bawah humor.

“Apa yang paling kamu rindukan dari Ayah?”

Dara terdiam lama. “Satu kalimat,” katanya pelan, “yang tak pernah aku dapat.”

Psikolog itu mengangguk. “Coba ucapkan pada diri sendiri.”

Dara memejam. “Aku bangga padamu.” Suaranya bagai pemain amatir di panggung besar. Ia membuka mata, menahan ingin tertawa. Tapi tubuhnya gemetar kecil, seperti habis naik motor menembus hujan.

.

Kepergian

Pagi Maret yang putih. Telepon dari tetangga, suara panik di ujung: Pak Herman ambruk di kamar mandi. Dara memutar kunci mobil dengan tangan gemetar; jalanan tiba-tiba terasa lebih panjang dari biasanya. Di puskesmas, udara seperti tak bernapas. Nama dipanggil, delirium pengurusan, tanda tangan, penjelasan singkat dokter yang sangat rapi dan jelas tapi terdengar jauh.

“Serangan jantung. Kami sudah coba,” kata dokter. “Maaf.”

Dara mengangguk. Rapi. Tenang. Tubuhnya bekerja sendiri: menghubungi kakak sepupu, menelepon masjid dekat rumah, memesan mobil jenazah, menandai berkas, menandatangani kwitansi, myob—mind your own breakdown—ditangguhkan sampai malam jenazah ditempatkan di ruang tamu yang biasa. Bau kapur barus menyusup gorden. Orang-orang datang. Jokotole dari Yogya mengirim karangan bunga kecil dengan kartu tulisan tangan Anggraini: Anak perantau selalu pulang. Peluk jauh.

Selesai pemakaman, Dara kembali ke rumah. Sunyi bagai sumur kering. Pada malam ketiga, ia membuka lemari besi di kamar Pak Herman—kuncinya di kaleng biskuit Khong Guan. Di dalam: map plastik biru, pita cokelat mengikat gulungan kertas-kertas. Dara duduk, menggigit bibir, membuka satu-satu.

Surat kabar fotokopi berita lomba sainsnya—lingkaran stabilo menandai namanya. Foto wisuda S1 Yogyakarta—ia berdiri dengan toga, Pak Herman tak ada di foto, namun di baliknya ada catatan bolpoin: Baju sopan. Sepatu hitam. Lalu foto yang diambil Dara sendiri di London—di sudut bawah, angka jam digital 14:03 tercetak. Di belakang foto itu, tulisan pendek, goresannya ragu-ragu: Selamat, Dara. Baju hitamnya bagus.

Di bawah semua itu ada sepucuk surat bertanggal dua tahun lalu—tulisan seperti disentak, huruf-huruf membentur garis lalu berhenti, lalu coba lagi.

Dara, anakku,

Maaf Ayah ini kaku. Ayah titipkan doa setiap subuh, tapi rasanya kata-kata selalu macet di mulut.
Ayah bangga padamu, selalu. Ayah takut kalau bilang “bangga”, kamu berhenti berusaha. Itu pikiran tentara—salah. Maafkan Ayah.

Ayah sayang kamu. Meski diam, Ayah lihat semua: kamu pulang malam tetap salat, kamu beli sepatu buat Ayah, kamu masak opor di Idulfitri.

Jangan keras pada diri sendiri.

Herman

Dara menahan napas seperti orang yang baru belajar menyelam. Surat itu pendek, tetapi mematahkan palang yang selama ini melintang. Ia menangis tanpa suara, sampai dada sakit, sampai jam dinding tiga kali berdetak lebih keras daripada jam-jam lainnya.

Di kamar, ia meraih surat lamanya, yang ditindih batu akik. Ia menaruh dua surat itu berdampingan. Dua sunyi yang akhirnya saling menemukan terjemahannya.

.

Luka yang Tidak Lagi Berdarah

Musim hujan bergeser. Ketapang kencana di halaman menumbuhkan pucuk muda. Dara menamai anak tetangga yang sering main di halamannya “mayang”—anak perempuan itu selalu tertawa ketika memanggilnya “tante dara, tante dara” dengan suara serak habis main bola plastik. Mayang tak tahu apa-apa tentang diam; ia menerobos ruang dengan tawa.

Di kantor, Dara bertemu seseorang bernama wiraraja—ia bukan pangeran, hanya insinyur perangkat lunak yang senyumnya stabil, yang mengerti cara mendengarkan tanpa tergesa-gesa. Mereka bertukar rekomendasi buku, film dokumenter, cara mengatasi insomnia tanpa obat. Suatu malam, di teras rumah dengan tikar pandan, wiraraja bertanya hal yang ditakuti sekaligus diharapkan Dara.

“Kalau nanti kita punya anak, apa yang akan kamu wariskan?”
Dara menatap langit yang bersih. “Bahasa,” jawabnya. “Bahasa yang tidak menunda pelukan.”

Mereka tertawa pendek, menunduk sesaat, membiarkan malam merangkum kalimat yang tak perlu dipanjang-panjangkan.

Ketika akhirnya Dara menjadi ibu—bertahun-tahun kemudian—ia menamai putrinya Sekar, untuk mengundang wangi masa kecil yang tak sempat tumbuh. Setiap malam, di antara cerita sebelum tidur tentang seorang anak bernama anggraini yang pemberani, tentang jokotole yang menyeberang pulau dengan perahu yang setia pada hujan, tentang sagara yang membawa ikan-ikan kecil pulang ke muara, Dara berbisik pada Sekar:

“Mama bangga padamu. Setiap hari. Tanpa syarat.”

Ia berkata begitu pada hari Sekar bisa membaca, pada hari Sekar salah mengeja, pada hari Sekar pulang dengan seragam kotor, pada hari Sekar merobek buku gambar karena tak puas pada langit yang warnanya tidak pas. Bahasa yang tidak menunda pelukan—itulah warisan yang Dara pilih.

.

Kota yang Akhirnya Menjawab

Jakarta, pada akhirnya, bukan hanya latar. Ia juga tokoh yang berubah pelan. Jalan lingkungan diperbaiki—setengahnya. Halte TransJakarta di ujung gang dirobohkan lalu dibangun lagi dengan kaca tebal. MRT menambah gerbong. Di musala, karpet baru berwarna hijau tua menggantikan yang lama. Warung Madura di sudut gang bertahan, bahkan menambah rak roti tawar. Sagara pindah, membuka kedai yang sedikit lebih besar. Jokotole dan Anggraini mengirim foto cucu mereka lewat WhatsApp, menulis: Kalau ke Yogya, mampir, Nak.

Dara menyusun kembali ruang tamu. Di dinding, ia memajang tiga foto: dirinya kecil memegangi piala obor sambil cemberut malu; Dara bertoga di Yogyakarta; Dara bertoga di London—di bawahnya, ia tempelkan fotokopi tulisan tangan Pak Herman: Selamat, Dara. Baju hitamnya bagus. Di sebelah, ia bingkai surat Pak Herman yang mengaku bangga—dibingkai tanpa kaca, agar huruf-hurufnya bisa dihirup, disentuh ujung jarinya tiap kali ia butuh alasan untuk lembut pada diri sendiri.

Suatu siang, Sekar kecil menunjuk bingkai-bingkai itu. “Itu siapa?”
“Itu Mama,” kata Dara. “Itu Eyang Herman.”
“Eyangnya diam?”
Dara mencium kepala anaknya. “Iya. Tapi diamnya juga cinta.”
“Kalau Mama?”
“Mama ngomong,” kata Dara sambil tertawa—separuh bahagia, separuh getir yang sudah bergaul lama bersama. “Karena ada cinta yang harus bersuara.”

Sekar bertepuk tangan. “Aku suka yang bersuara.”

Di hati Dara, sesuatu yang lama terikat melepas simpulnya. Yang bersuara—itu ia, akhirnya.

.

Catatan yang Tersisa

Di laci meja kerja, Dara menyimpan buku catatan beroket di sampulnya. Di halaman pertama, ia menulis:

“Jika hidup adalah medan tempur, peluklah mereka yang pulang dengan luka. Jangan minta mereka menjelaskan semua, cukup dengarkan yang tidak mereka ucapkan.”

Di halaman berikutnya, ia menyalin kalimat-kalimat pendek untuk dirinya sendiri:

  • “Anak yang tak pernah mendengar ‘Aku bangga padamu’ akan belajar mengukir dunia untuk membaca itu dari batu.”

  • “Kita mewarisi diam; tugas kita menerjemahkannya menjadi pelukan.”

  • “Kata-kata yang tepat adalah jembatan yang tidak selalu terlihat, tetapi ketika kita menyeberanginya, barulah kita tahu kita sebetulnya tidak sendirian.”

Ketika sesekali malam datang membawa bayang-bayang lama—momen di meja makan ketika Pak Herman menatap piring alih-alih menatap matanya—Dara menyalakan lampu kecil di pojok, membacakan cerita untuk Sekar, lalu menulis tiga kata di secarik kertas yang ditempel di kulkas:

“Aku bangga padamu.”

Untuk dirinya. Untuk ayahnya. Untuk anaknya. Untuk kota yang akhirnya belajar berbicara—bukan dengan plang besar di pinggir jalan, melainkan dengan orang-orang yang berani menukar diam menjadi kata-kata.

.

Epilog: Surat Keempat

Suatu Minggu pagi, Dara menulis surat keempat—bukan untuk disimpan, melainkan untuk dibakar pelan. Di teras, ia menyalakan lilin, membiarkan kertas itu menjadi abu.

Yah,

Aku tidak menuntut waktu memutar ulang. Diammu dulu membuatku retak, tetapi retak itulah yang membuat cahaya masuk.

Hari ini aku belajar: tidak semua orang berbahasa dengan cara yang sama. Kamu berbahasa dengan kopi pahit dan sepatu yang disemir. Aku berbahasa dengan pelukan dan kalimat.

Kita bertemu di tengah: di selembar surat yang datang terlambat tetapi tidak sia-sia.

Terima kasih karena, meski terbungkuk oleh tugas, kamu menyimpan guntingan berita namaku. Terima kasih karena, meski tak sempat mengucap, kamu menuliskannya.

Aku sudah menyampaikannya pada Sekar setiap malam.

Tenanglah.

Abu sebentar menari di udara sebelum jatuh, menyatu dengan tanah di pot ketapang kencana—di sanalah kota bertumbuh, di pucuk-pucuk yang menerima cahaya dengan cara yang tidak tergesa-gesa.

“Beberapa hati tidak memar karena kata-kata kasar, tetapi karena kata-kata yang tidak pernah diucapkan. Maka ucapkanlah, sebelum diam menjadikan kita asing di rumah sendiri.”

Dan di malam paling sunyi, ketika Jakarta menyerupai laut halus tanpa ombak, Dara percaya: kata-kata yang selama ini ditunggu, kadang datang setelah pintu ditutup. Ia tidak memaksa lagi; ia menjaga nyala agar tak padam.

Karena kini ia tahu, seperti kata puisi yang ditemukannya di sebuah sudut internet, yang sejak dulu sebetulnya menyapanya, pelan:

“Beberapa hati tidak memar karena kata-kata kasar, tapi karena kata-kata yang tidak pernah diucapkan.”
— The PastLife

Dan ia menutup hari dengan mengucapkannya lagi—tiap malam, tanpa lelah:

“Aku bangga padamu.”

.

.

.

Jember, 7 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #KompasMingguVibes #KotaDanIngatan #AyahDanAnak #DiamYangBersuara #Healing #MenakMadura #Jakarta

.

Quotes dari isi cerpen:

  1. “Kita mewarisi diam; tugas kita menerjemahkannya menjadi pelukan.”

  2. “Kata-kata yang tepat adalah jembatan yang tidak selalu terlihat, tetapi ketika kita menyeberanginya, barulah kita tahu kita sebetulnya tidak sendirian.”

  3. “Tidak semua orang berbahasa dengan cara yang sama; ada yang berbahasa dengan kopi pahit dan sepatu yang disemir, ada yang berbahasa dengan pelukan.”

  4. “Retak tidak selalu tanda pecah; kadang ia jendela di mana cahaya mencari jalan.”

 

Leave a Reply