Dedikasi Satria Pengabdi
“Bukan tentang seberapa lama kau hidup, melainkan seberapa hangat bekas jejakmu di hati orang lain.”
“Jabatan bisa digantung di kantor; nilai hidup dibawa dalam hati.”
“Orang yang paling kaya adalah ia yang sengaja menyisakan ruang di kantongnya agar bisa memberi.”
.
Karena hidup bukan soal seberapa banyak yang kau miliki, tapi seberapa banyak yang kau beri.
Namanya Satria. Ia bukan tokoh fiktif, bukan figur publik pencitraan, bukan pula politisi. Ia hanyalah seorang pria sederhana yang memilih hidup dengan cara yang tidak biasa: memberi, hadir, dan mengabdi.
Setiap hari, jam 04.30, sebelum lampu-lampu kota Jakarta benar-benar menyerah pada matahari, ia duduk di sudut meja makan apartemennya yang menghadap jalan tol—deru mobil jauh seperti napas panjang kota—dengan secangkir kopi hitam tanpa gula dan sebuah buku catatan lusuh. Halamannya dipenuhi nama-nama: siapa yang harus ia hubungi, siapa yang butuh obat lanjutan, siapa yang kehilangan pekerjaan, siapa yang ponselnya tidak bisa diisi pulsa untuk kelas daring anaknya. Di balik jas abu-abu yang sering ia kenakan ke kantor, ada rompi relawan yang warnanya mulai pudar. Rompi itu selalu tergantung di belakang pintu, siap dipakai kapan saja.
Ia menggarisbawahi tiga nama pagi itu: Hamzah, sopir ojek daring yang baru saja patah tulang selangka; Rengganis, janda muda yang membuka warung lontong sayur di tepi Kali Sunter; dan Jayengrana, anak SMK yang hampir putus sekolah karena ayahnya dirumahkan dari pabrik garmen. Nama-nama itu bukan sekadar angka statistik baginya. Mereka adalah wajah-wajah yang pernah menatapnya dengan mata penuh sungkan, takut dianggap merepotkan. Satria selalu bilang, “Tolong itu bukan utang; itu ikatan manusia.”
Ia tumbuh dari rumah kecil di pinggiran Ngawi, Jawa Timur—dindingnya dari papan, atapnya seng yang suka berderak saat panas. Ibunya guru TK yang mengajar anak-anak menyanyi “Pelangi-pelangi” sambil menahan air mata karena gaji telat. Ayahnya menjajakan kerupuk di bakul rotan, mengayuh sepeda melewati persawahan, menabung rupiah demi rupiah. Di teras rumah, malam-malam, ayahnya menata kerupuk satu-satu seperti menyusun masa depan yang rapuh. “Kalau kau nanti jadi orang,” kata ayahnya suatu kali, “jadilah orang yang tidak mudah takut pada kekurangan. Kekurangan itu guru paling setia.” Dari situ Satria belajar: memberi bukan tentang kelebihan, melainkan tentang keberanian mengurangi milik sendiri agar ada orang lain yang selamat.
Yogyakarta memperkenalkan Satria pada kerasnya pilihan. Ia kuliah dari beasiswa, menjadi juru ketik skripsi di kios fotokopi 24 jam di sekitaran Demangan, lalu malamnya mengajar anak-anak jalanan membaca komik bekas sebelum mereka beranjak tidur di emper toko. Ia mencuci piring di warung padang, ia memulung buku yang dibuang mahasiswa asing. Ia menuliskan mimpinya di kertas-kertas kecil: suatu hari, membangun sistem yang bisa membuat kebaikan tidak bergantung pada mood, kamera, atau tepuk tangan.
Beberapa tahun kemudian, di sebuah rumah kontrakan sempit di daerah Seturan, bersama tiga sahabat—Amir yang jago jaringan, Rukmini si akuntan yang teliti, dan Wiraraja yang paham logistik—Santara Teknologi Nusantara berdiri. Dua komputer bekas yang sering mati mendadak, wifi pinjaman tetangga, dan poster yang ditempel miring di dinding: “Teknologi untuk Kemanusiaan, Bukan Sebaliknya.” Mereka mengembangkan aplikasi pencocokan antara kebutuhan sosial dan keahlian profesional. Dokter yang punya waktu dua jam di malam Jumat bisa berjumpa pasien slabuh di ujung pulau; guru yang tinggal di Tebet bisa mengajar matematika ke anak-anak pesisir Pacitan lewat kelas video; pekerja kantoran yang hanya punya tenaga mengirim doa, bisa menambah ongkos ambulan satu kota.
Santara tumbuh jadi perusahaan menengah. Investor datang, ruang rapat ber-AC pengap oleh ambisi. Satria tetap memarkir motornya sendiri dan menyapa satpam dengan menyebut nama, bukan jabatan. Ia tidak merasa istimewa; ia tahu betul bagaimana tubuh menahan lapar bisa membuat orang hampir kehilangan kemanusiaan. “Kesuksesan sejati bukan yang membuatmu tinggi hati,” ia suka mengulang, “melainkan yang membuatmu betah berlutut di tanah, mengikat tali sepatu orang lain yang lepas tanpa ia minta.”
.
Rapat-rapat datang seperti arus pasang. Presentasi untuk kerjasama lintas kementerian, negosiasi data, pembahasan mitigasi bencana, penguatan server. Di ponsel, notifikasi seperti hujan batu. Dalam semua intensitas itu, Satria berusaha menata ulang jam hidupnya. Sebab suatu malam, ketika ia pulang lebih larut dari biasanya, Alana—putri tunggalnya yang kelas enam SD—berdiri di ambang pintu kamar dengan rambut berantakan seperti singa kecil.
“Ayah,” katanya, menahan tangis yang tak ingin dianggap cengeng, “kenapa Ayah selalu sibuk bantu orang lain? Kami juga butuh Ayah.”
Kata-kata itu merobek lapis-lapis baju rapat. Menohok lebih dalam daripada semua kritik dari media. Ia memeluk Alana lama sekali, mencium ubun-ubunnya yang masih berbau sabun bayi. Malam itu ia mematikan ponsel, menutup laptop, mengeluarkan wajan, memasak telur dadar timun yang selalu gagal rapi tapi sukses membuat tawa. Ia, istrinya—Nurjihan, perempuan yang pernah mendampingi Satria saat tidak ada yang percaya—dan Alana makan dengan piring seng motif bunga. Setelah itu, tiga kepala itu tidur lebih awal. Satria baru sadar: ada bencana paling dekat yang bisa terjadi dalam hidup manusia—gempa di ruang makan, banjir di hati anak.
Keesokan paginya, Satria mengumpulkan manajernya di lantai dua kantor Santara, ruang dengan jendela lebar menghadap langit Jakarta yang sering tidak biru tapi jujur. “Saya tidak bisa hadir di semua tempat,” ucapnya, “tapi kita bisa membangun sistem agar kebaikan tetap berjalan.”
Dari kalimat itu, Santara Humanity Platform lahir. Platform yang menyusun ulang cara kerja kebaikan: bukan lagi ketergantungan pada satu tokoh yang selalu disebut media, melainkan pada jaringan orang-orang biasa yang bersedia jadi tidak biasa. Dokter-dokter membuka konsultasi daring untuk daerah yang jauh dari puskesmas; ahli gizi memberi edukasi keluarga pengungsi; psikolog menjemput trauma yang bersembunyi di balik tawa; pengacara pro bono jadi penerjemah undang-undang untuk nelayan yang tanahnya hendak diambil. Ada kelas “merapikan ijazah” untuk ibu-ibu; ada lokakarya “mengisi formulir bantuan” yang sering lebih menakutkan daripada formulir visa. Tim logistik mengembangkan dashboard stok; admin komunitas dilatih etika berbicara; semua dikelola dengan audit transparan. “Saat kau tak bisa hadir di semua tempat,” Satria mengunci rapat, “izinkan niatmu yang bergerak mewakilimu.”
Keluarganya pun ikut hanyut oleh arus yang kini bukan lagi banjir liar melainkan sungai yang diatur alirannya. Nurjihan memimpin program UMKM perempuan—membina ibu-ibu di Jatinegara, Tambora, dan Cilincing membuat bumbu instan higienis yang bisa bertahan tiga bulan tanpa pengawet, memotret produk dengan ponsel, menulis caption yang tidak malu-malu. Alana menjadi mentor digital untuk anak-anak pengungsi dari Banten—mengajari mereka menyalin link kelas, menggunakan mikrofon, mematikan kamera saat makan mie. Di meja makan keluarga, kode etik relawan berdampingan dengan buku Matematika semester genap.
.
Februari 2025, Banyuwangi dilanda banjir besar. Air bah membawa lumpur hitam yang merayapi pelataran masjid, halaman sekolah, memelintir pagar besi seperti rumput. Jembatan kecil di Kalipuro patah, jalanan lumpuh, listrik padam di beberapa dusun. Satria berada di kantor ketika notifikasi masuk: koordinat, foto, suara orang menahan panik. Ia menatap rompi yang tergantung di belakang pintu, meraihnya, memandang sekejap wajah Nurjihan di layar ponsel. “Pergi, tapi pulang,” kata istrinya. Satria mengangguk.
Tim Santara bergerak seperti rajutan tangan-tangan yang sudah hafal pola. Truk medis dilepas dari gudang Cipinang. Dapur umum portabel ditarik dari Bekasi. Dua perahu karet dari mitra di Sidoarjo disiapkan. Di dashboard, muncul bar hijau bertuliskan: stok selimut 780, biskuit 432 pak, obat kulit 120 tube, pembalut 600 pak, susu 200 kaleng. Semua bukan angka, melainkan malam yang akan lebih singkat untuk ratusan orang.
Saat tiba di Banyuwangi, bau lumpur seperti kenangan pahit tiba-tiba—keras dan sulit dicuci. Satria turun dari bak truk, sepatu ketsnya tenggelam separuh, rompinya basah oleh hujan yang tidak mau berhenti. Di ujung gang, anak-anak melambai dengan tangan penuh noda, tertawa melihat perahu karet seperti wahana pasar malam. Satria memanggul kasur lipat, menuntun seorang nenek melintasi papan kayu. Seorang reporter muda muncul, jas hujan transparan, wajah muda yang berharap headline.
“Boleh wawancara?” tanya reporter itu.
“Boleh,” jawab Satria, “tapi sambil bantu susun kasur ini, ya.”
Reporter kaget, lalu mengangguk. Kamera diletakkan. Tangan yang biasa memegang mikrofon kini memegang kasur. Di tenda pengungsian malam itu, saat lampu-lampu genset bergetar kecil seperti nyala lilin, Satria duduk di lantai terpal. Ia memandangi anak-anak yang tidur dengan selimut donasi—wajah mereka tenang, seperti semua banjir tidak menimpa mereka. Dalam diam itu, Satria merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh grafis presentasi: kelegaan yang tidak mencari saksi.
Di sela kerja, ia menelpon Alana. “Gimana tugasmu?”
“Berhasil, Yah,” kata Alana. “Tadi aku ajari mereka cara mengganti nama di Zoom biar gampang absen. Oh ya… pulanglah cepat.”
“Pulang,” jawab Satria. Kata itu meneduhkan lebih dari obat demam.
.
Tiga bulan kemudian, email dari seorang redaktur media internasional datang—bahasa Inggris, rapi, dingin—menyampaikan bahwa Satria mendapatkan penghargaan “CEO Paling Inspiratif Asia.” Mereka mengundang ke Singapura, semua akomodasi ditanggung. Satria membaca pelan, lalu mem-forward ke tim HR. “Terima kasih,” tulisnya pendek, “mohon diputarkan ke tim. Saya tidak hadir.” Ia mematikan layar, mengambil kardus besar berisi alat tulis, dan berangkat ke sekolah darurat di bantaran sungai Bekasi. Di kelas darurat itu, Satria mendongeng tentang kura-kura yang pelan tapi tidak menyerah. Anak-anak tertawa, meminta cerita lain. Satria tidak ingin dipahat dalam patung. Ia tidak ingin namanya dijadikan jalan. Ia hanya ingin menjadi seseorang yang hidupnya, bila ditransfer menjadi suara, terdengar seperti doa orang yang baru saja ditolong: pelan, tulus, tak ingin menguasai apa pun.
Warisan diam-diam itu menyebar. Hamzah sopir ojek yang dulu patah tulang kini membuka bengkel kecil di gang sempit, mempekerjakan dua anak putus sekolah yang hobi bongkar pasang. Rengganis tidak lagi sendiri, warung lontongnya penuh karena ia belajar menata ulang bumbu—bukan lebih mahal, tapi lebih sabar. Jayengrana lulus SMK, magang di Santara, menjadi admin yang menolak suap dengan senyum. Mereka bertiga menolak disebut “penerima manfaat.” Mereka menyebut diri “teman seperjalanan.”
Di kantor, suatu sore, Satria berdiri di depan jendela. Di luar, Jakarta berjalan seperti biasa—kemacetan, klakson, iklan digital yang memantulkan cahaya di pipi para pejalan kaki. Ia teringat ucapan ibunya saat ia pamit ke Yogyakarta dulu: “Kalau kau bingung memilih, pilihlah yang membuatmu semakin manusia.” Satria tersenyum sendiri. Ia baru sadar: menjadi manusia adalah kerja sepenuh hidup.
.
Namun hidup memang tidak pernah berhenti menguji konsistensi, bahkan saat semua tampak tertata. Sebuah kesalahan teknis terjadi: server Santara down selama dua jam di tengah koordinasi respons kebakaran di Balikpapan. Di media sosial, akun anonim menghujat, memotong-motong video, menuduh Santara cari panggung. Satria mengumpulkan timnya. Ia tidak memaki, tidak mencari kambing hitam. Ia hanya meminta data, meminta maaf, dan menuliskan perbaikan. “Kita tidak bekerja untuk disukai,” katanya, “kita bekerja agar orang yang sedang kesusahan tidak merasa sendirian.” Ia tahu, di balik layar smartphone yang gila like, ada seorang ibu yang memeluk bayinya dengan baju tanpa kancing. Tugas mereka adalah membuat kancing itu kembali ditemukan.
Di rumah, Alana merayakan ulang tahun ke-12. Kue sederhana, lilin dua angka, lagu yang sumbang karena tawa. Satria memberi hadiah: sebuah kotak kayu berisi karcis-kartis kecil. “Ini apa, Yah?”
“Itu ‘Karcis Ayah,’” kata Satria. “Kau boleh menukar satu karcis untuk satu jam apapun bersama Ayah: main, makan, baca buku, atau hanya duduk diam.” Alana tertawa, menuduh ayahnya lebay, lalu memeluk. Malam itu mereka menukar satu karcis untuk berjalan kaki di trotoar depan apartemen, mengambil foto lampu-lampu yang jatuh di genangan bekas hujan. Satria memotret bayangan mereka di aspal—dua sosok, satu pendek, satu agak bungkuk—menyadari bahwa kebahagiaan kadang sesederhana menemukan bayangan diri yang tidak lagi merasa sendiri.
.
Suatu dini hari, ketika kota belum membuka mata, Satria kembali pada buku catatannya. Nama-nama baru muncul: seorang kakek penjual balon yang sakit paru-paru, seorang remaja penyintas kekerasan yang ingin kursus desain, seorang nelayan yang butuh surat menyurat untuk mengurus kapal. Satria menghela napas, menyeduh kopi, lalu menulis di halaman paling belakang, seperti menulis di dinding batinnya sendiri:
“Kalau suatu hari aku tidak ada, biarkan sistem ini hidup. Biarkan anak-anak yang pernah tertawa di tenda pengungsian tumbuh menjadi orang dewasa yang tahu cara menolong dengan rapi, tanpa publikasi berlebihan. Biarkan Hamzah, Rengganis, Jayengrana, Amir, Rukmini, Wiraraja, Nurjihan, dan Alana punya cerita masing-masing tentang mengikat tali sepatu orang lain di jalan yang terlalu ramai. Hidup yang baik bukan yang dikenang banyak orang, tapi yang meninggalkan jejak kebaikan di hati orang-orang yang kita bantu.”
Pukul 05.00, azan subuh menyeret udara menjadi bening. Kota Jakarta menggeliat dari balik kaca. Satria menutup buku, menggantung rompi di bahu, mencium kening Nurjihan, menyiapkan susu cokelat Alana, dan melangkah keluar. Di lift, ia berjumpa petugas kebersihan yang baru selesai shift malam. “Pagi, Satria,” sapa petugas. “Pagi, Jayengrana,” jawab Satria, menyebut nama yang tidak semua penghuni apartemen tahu. Mereka saling tersenyum, sederhana, seperti dua orang yang tahu: dunia bisa lebih adil jika kita mau mengingat nama satu sama lain.
Di lobi, seorang kurir paket hendak menurunkan tumpukan kardus, hampir jatuh. Satria spontan mengangkat setengahnya. “Terima kasih, Pak,” kata kurir itu. “Sama-sama,” jawab Satria. Bukan siapa-siapa, bukan tokoh fiksi, bukan pahlawan di buku pelajaran. Hanya seorang manusia yang memilih menghabiskan hidupnya dengan memberi, hadir, dan mengabdi—sedikit-sedikit, setiap hari, sampai nama “Satria” dilafalkan orang lain bukan dengan kagum, tetapi dengan lega.
.
Malam yang lain, Satria duduk lagi di tenda darurat—kali ini di Bekasi, banjir kiriman. Seorang anak kecil mendekat, menyodorkan gambar yang ia warnai. Pada kertas HVS tipis itu, tergambar matahari kuning yang kebesaran, rumah panggung, perahu kecil, dan sosok laki-laki memakai rompi dengan senyum terlalu lebar. Di bawahnya ada tulisan miring-miring: “Terima kasih sudah datang.”
Satria menatap gambar itu lama. “Boleh Ayah simpan?” tanya Satria.
“Boleh,” jawab anak itu. “Tapi nanti kalau aku besar, aku mau pinjam.”
“Untuk apa?”
“Untuk jadi orang yang datang.”
Satria mengangguk. “Datanglah. Dunia selalu butuh orang yang datang.”
Dan malam itu, di bawah kain terpal yang menahan angin, Satria mengerti: dedikasi tidak butuh panggung; ia hanya butuh langkah yang konsisten, hati yang sabar, dan keberanian untuk menjadi manusia di tengah kota yang suka lupa pada kata pelan.
.
Catatan pinggir Satria
-
“Kebaikan yang rapi lebih tahan lama daripada niat yang gaduh.”
-
“Menolong adalah ilmu mengelola detail: nama, jam, suhu air, nomor rekening, ukuran popok.”
-
“Kita tidak sedang menyelamatkan dunia; kita sedang menyelamatkan seseorang hari ini.”
Dan dunia yang terlalu besar itu mendadak terasa muat, karena ada satu orang yang tidak menunda datang.
.
.
.
Jember, 5 Juni 2025
.
.
.
#Dedikasi #Pengabdian #Kemanusiaan #Relawan #CerpenKompasMinggu #KisahInspiratif #Jakarta #Banyuwangi #Keluarga #Empati #Storytelling