Saat Kita Tak Lagi Bicara Tapi Mengerti

“Kadang yang paling jujur adalah yang tidak diucapkan.
Dan yang paling berani adalah yang akhirnya kita lepaskan.”

.

Baca dulu Part 2 dari Trilogi ini: Surat yang Tidak Pernah Sampai

.

“Ada saatnya kita tidak lagi butuh penjelasan. Karena kedewasaan mengajarkan: yang paling dalam, tak selalu bisa diucapkan.” — Pelajaran dari Sebuah Keheningan

.

Kisah yang tidak selesai bukan berarti gagal. Kadang, itu hanya cara semesta memberi ruang untuk kita belajar satu hal: diam pun bisa menjadi bentuk cinta paling dewasa.

Zea tidak menghapus foto itu dari dompetnya. Ia tidak membuang kenangan. Tapi suatu sore—ketika Jakarta menggeser turun matahari ke sela gedung-gedung dan membiarkan bayangan memanjang di trotoar—ia menulis. Bukan status. Bukan pesan. Hanya surat panjang yang tidak pernah ia kirim.

Di pangkal setiap kalimat, ia menghela napas. Di ujung setiap paragraf, ia memaafkan sesuatu yang dulu ia tarik-tarik agar tetap bernapas: rasa memiliki.

.

Festival Buku dan Waktu yang Berlalu

Tiga bulan setelah surat tak terkirim itu ditulis, Zea mengikuti festival buku di Jakarta Selatan. Di bawah lampu-lampu putih yang dingin, ia duduk di bangku talkshow mini, sementara mikrofon kecil bertengger di kerah kemejanya. Di luar tenda, jalanan Padang Linjong menggeliat; ojek daring menepi, bocah-bocah menatap poster, gerimis menunda, lalu lupa jatuh.

Buku kumpulan esainya laris. Bukan karena Zea terkenal, tetapi karena tulisannya jujur. Ada bab berjudul “Sepotong Langit di Meja Kopi”—cerita fiksi yang sebenarnya bukan fiksi. Tentang seorang perempuan yang ditinggal tanpa pamit, lalu menemukan dirinya kembali lewat satu surat yang tak pernah dikirim.

Di sudut ruang pameran, seseorang berdiri. Tidak mendekat. Tidak memotret. Hanya menatap dari kejauhan.

Zea tidak perlu menoleh terlalu lama untuk tahu. Itu Arka.

Nama yang dulu memenuhi notifikasi kini hanya gema jauh yang tidak menyakitkan, seperti kereta melintas tengah malam: terdengar, diakui, dilepas.

Moderator menutup sesi. Tepuk tangan hanyut. Zea berdiri, menyatukan telapak di dada, membungkuk tipis. Ia menuruni panggung lalu menepi. Ia tidak mencari Arka; ia membiarkan semesta memutuskan apakah dua garis hari itu perlu berpotongan.

.

Tidak Bicara, Tapi Mengerti

Di lorong parkir, lampu-lampu neon memantulkan basah. Gerimis turun pelan; tidak menenangkan, tidak pula galak—cukup untuk membuat aspal berdandan.

Zea membuka payung. Langkahnya ritmis, sepatu kanvasnya menolak genangan.

Ada langkah lain menyusul, tidak mengejar, hanya sejajar. Zea mengenali ritme itu: dulu, di trotoar Cikajang; dulu, di peron Palmerah; dulu, di tepi Kali Ciliwung ketika mereka tertawa tentang ikan-ikan yang mungkin bingung mencari muara.

Arka membuka payungnya sendiri. Berjalan di sisi berlawanan, jarak dua payung yang memilih saling hormat. Tak ada sapa. Tak ada pelukan.

Mata mereka bertemu sesaat. Zea membaca kalimat tanpa huruf:

“Terima kasih, karena tidak membenciku.”

Lalu, di mata Zea sendiri, Arka mungkin membaca:

“Terima kasih, karena sudah tumbuh dengan utuh.”

Mereka berbelok mengambil jalan berbeda. Tidak ada drama. Tidak ada musik yang meninggi. Hanya suara air menetes dari tepi payung, seperti tanda baca yang tahu diri kapan harus menjadi titik.

Itulah momen ketika Zea mengerti: pengampunan tidak selalu memerlukan kata. Saat dua orang sama-sama bertumbuh, mereka tidak lagi menuntut kejelasan. Mereka saling mengerti, bahkan saat tak lagi bicara.

.

Ruang yang Tetap Kosong

Sejak peristiwa itu, Zea tidak pernah lagi bertemu Arka. Tidak juga bertukar kabar. Tapi ada ruang dalam dirinya—yang dulu sempit dan ramai seperti bus Tanah Abang—kini lengang dan bersih. Bukan karena seseorang datang memperbaiki, melainkan karena Zea sendiri memilih membereskan.

Ia kembali menulis, tetapi kali ini bukan tentang perpisahan. Ia menulis tentang ketenangan: mengamati bayangan daun di tembok putih; menimbang jarak antara nada dering dan “nanti saja”; menyalakan lilin kecil, mematikan lampu, mendengarkan kota bernapas.

Ia tidak lagi mengejar siapa yang harus tinggal. Ia menjaga siapa yang tidak pergi: dirinya sendiri.

.

Tumbuh Diam-Diam

Beberapa bulan kemudian, buku kedua Zea rilis: “Surat-Surat yang Tidak Dikirim.” Sampulnya serupa amplop gading, di tengahnya ada garis tipis seperti lipatan yang dibiarkan. Isinya bukan lagi curahan hati, melainkan pemikiran matang dari seseorang yang telah melampaui kecewa. Ia mengutip namanya sendiri secukupnya, menyelipkan kota secukupnya, dan membiarkan pembaca mengenali diri mereka tanpa perlu cermin.

Dalam sebuah wawancara radio di Kebayoran, seorang jurnalis bertanya, “Apakah semua tulisan Anda berdasarkan kisah nyata?”

Zea tersenyum. “Beberapa memang nyata,” jawabnya. “Tapi semuanya ditulis dengan tenang. Saya percaya, tulisan terbaik lahir bukan saat kita marah, tetapi saat kita sudah berdamai.”

Penyiar mengangguk, menutup jeda dengan musik yang tidak terlalu kenal liriknya. Di balik kaca studio, hujan kembali memainkan garis diagonal. Di kepala Zea, sebuah nama lewat seperti bus TransJakarta yang tidak perlu dihentikan.

.

Kita Pernah, dan Itu Cukup

Zea pindah ke kota lain di pesisir utara Jawa. Ia membuka kelas menulis kecil untuk remaja perempuan yang ingin bercerita tanpa takut ditertawakan. Ruang kelasnya sempit: meja panjang bekas coworking, papan tulis putih dengan bekas spidol yang enggan benar-benar hilang, jendela besar menghadap jalan; pedagang siomay menolak lewat pelan, klakson berhenti di ujung kalimat.

Di dinding, ia tempelkan kutipan favoritnya:

“Yang tidak selesai tidak selalu menyakitkan. Karena jika kita bisa memaknainya dengan benar, ia akan tetap menjadi bagian yang indah dari perjalanan.”

Ia tidak menyesal pernah mencintai Arka. Ia tidak ingin mengulang cerita yang sama. Dan mungkin, Arka juga begitu. Mereka tidak bersama. Tetapi mereka sama-sama tahu: ketika kita tak lagi bicara tapi mengerti, itu tanda cinta pernah ada—dan selesai dengan baik.

.

Meja yang Sama, Perasaan yang Berbeda

Ada sore ketika Zea kembali ke Jakarta untuk peluncuran buku. Ia menyelinap sebentar ke kedai di gang kecil Senopati, meja nomor tujuh masih ada; kayunya punya bekas gelas bundar yang tak coba dipoles. Tanpa polaroid, tanpa alasan lain, Zea duduk membawa selembar kertas kosong dan pena.

Angin mendorong pintu kaca pelan. Barista—lelaki kurus bernama Amir—menatap sekilas dan tidak bertanya. Di tembok dekat rak majalah, poster wayang Madura menampilkan Siti Dewi menuding ke kejauhan; di bawahnya, cat hitam nyaris pudar membentuk nama Maya Sari—dua tokoh yang Zea kenali dari dongeng masa kecil neneknya, kisah Menak yang disederhanakan agar cucu-cucu bisa tidur.

Di halaman kertas itu, Zea menulis alamat yang tidak pernah ia niatkan untuk mengirim:

Arka,
Aku tidak tahu apakah surat ini akan sampai padamu. Mungkin tidak. Dan kurasa itu bukan hal yang penting lagi.

Aku menulis bukan untuk meminta kembali. Bukan pula untuk merayakan luka. Hanya ada sesuatu yang perlu dikeluarkan setelah sekian lama disimpan dalam laci paling dalam: keberanian untuk jujur bahwa aku pernah sedih karena ditinggalkan tanpa pamit. Tapi kebahagiaan yang tumbuh belakangan adalah milikku, bukan karena orang lain memintanya kembali, melainkan karena aku sendiri memilihnya.

Waktu kita pernah indah. Aku bersyukur. Lalu caramu menghilang mengajariku bahwa seseorang bisa sangat mencintai tetapi tetap tak bisa memiliki. Dulu aku mencari-cari siapa yang salah. Kini aku tidak. Aku ingin menerima bahwa tidak semua yang kita peluk harus kita simpan untuk selamanya.

Setelah kamu pergi, aku belajar menyeduh kopi tanpa menunggu notifikasi; mengenakan jaket tanpa berharap ada lengan lain menggantung di pundak; menata rambut bukan untuk dicintai seseorang, melainkan untuk menyukai pantulan sendiri di kaca. Dan aku baik-baik saja.

Terima kasih karena pernah memenuhi. Terima kasih karena pernah meremukkan. Tanpa itu, aku mungkin tidak akan mengenal diriku sebaik sekarang. Jika suatu hari kita bertemu—di halte, di pameran, di ruang tunggu bandara—semoga kita tersenyum, tidak karena ingin kembali, tetapi karena pernah saling memilih… meski tidak sampai akhir.

—Zea

Zea melipat surat itu. Ia menaruhnya dalam amplop. Ia menulis nama Arka di sudut kiri, lalu menatap lama. Mengirim? Menyimpan?

Ia menyelipkan amplop ke dalam “Surat-Surat yang Tidak Dikirim.” Bukan untuk bersembunyi, melainkan untuk mengingat: ada perasaan yang lebih kuat ketika tetap diam.

.

Hujan di Luar Jendela

Hujan turun sungguh-sungguh. Lampu-lampu mobil menggambar gurat panjang di jalanan. Zea menatap ke luar, lalu kembali pada halaman kosong. Ia menuliskan kata-kata lain—kali ini bukan untuk Arka.

Untuk Zea,
Kau sudah cukup. Jika hatimu bisa menjadi rumah, jangan terburu-buru menyewakannya. Biarkan udara masuk, biarkan cahaya pagi menetap. Kau berhak pada versi dirimu yang paling tenang.

Ia tersenyum. Tidak ada sesak. Tidak ada air mata. Tidak ada pintu yang tiba-tiba terbuka. Ia tidak lagi menunggu.

Kadang, menunggu paling menyakitkan bukanlah menanti seseorang kembali, melainkan menanti keberanian untuk berdamai dengan yang tidak akan pernah kembali. Di garis itu, Zea berdiri tegak, menatap ke kota yang mewujudkan pelajaran: hidup selalu melaju, entah kita siap atau tidak.

.

Jalan-Jalan yang Mengajarkan

Di jalan-jalan Jakarta, kenangan punya rute yang keras kepala. Di Fatmawati, Zea belajar tentang menunggu tanpa menagih. Di Blok M, ia belajar berdiri sendiri di tengah ramainya antrean. Di Sudirman, ia memahami konsep “berpapasan”: dua tubuh bisa dekat tanpa pernah benar-benar bertemu.

Pada suatu Minggu pagi, ia berjalan menyusuri trotoar baru yang rapi. Pengayuh sepeda lewat, anak-anak berlari mengejar balon. Di perempatan, seorang pengamen tua menyanyikan lagu lama. Zea berhenti. Suara serak itu bercampur angin, menggugah memori yang ia kira sudah habis dipakai untuk menulis.

“Kalau rindu adalah kota, maka kamu jalan pintasnya,” kata hatinya dulu.

Kini ia menambahkan: “Kalau rindu adalah kota, maka aku penduduk tetapnya—bukan pengungsi yang menunggu.”

.

Kelas Menulis dan Tiga Nama

Di kelas menulisnya, Zea mengajari tiga murid: Nisya, Raka, dan Maya. Mereka remaja yang lapar pada kalimat, yang datang dengan luka-luka remaja: ayah-ibu yang bertengkar, sahabat yang berubah, nilai rapor yang ditimbang lebih berat dari hobi.

“Ceritakan hal yang paling susah kau ucapkan,” kata Zea. “Biarkan tulisan menanggungnya. Tugas kalian bukan membuat orang kagum, melainkan membuat diri kalian sendiri jujur.”

Nisya menulis tentang telepon yang tak diangkat. Raka menulis surat untuk dirinya yang takut gagal. Maya menulis tentang ibunya, Siti, yang setiap subuh menyetrika seragam orang lain.

“Kenapa harus jujur?” tanya Raka.

“Karena kebohongan membuat kita selalu menunggu penjelasan,” jawab Zea pelan. “Padahal dewasa itu tahu kapan tidak perlu menjelaskan.”

Di akhir sesi, mereka menempelkan tiga kalimat di papan:

  • “Aku memaafkan diriku yang sering pura-pura kuat.”

  • “Aku tidak apa-apa berjalan pelan.”

  • “Aku boleh memilih diam tanpa berarti kalah.”

Zea menatap tiga kalimat itu seperti menatap cermin. Di sana, ia melihat versi dirinya: kecil, belajar, dan akhirnya cukup.

.

Kota yang Menyala dari Dalam

Pagi-pagi, Zea naik KRL dari stasiun kecil ke kota besar. Ia duduk dekat jendela, menonton sawah sisa, sungai kecokelatan, dinding yang dilukis grafiti: “Jangan menyalakan orang lain untuk menerangkan jalanmu.” Ia mengetik di ponsel, menyimpan kalimat idaman untuk bab baru.

Di sela penumpang yang berdiri, Zea menangkap potongan obrolan: ada yang baru tunangan, ada yang baru PHK, ada yang baru mengerti bahwa mimpi tidak selalu berarti “pindah kota”—kadang berarti “pindah niat”.

Ia turun di Tanah Abang, menyebrang bersama arus yang tidak pernah berhenti. Di kafe kecil dekat jembatan penyeberangan, ia bertemu editor yang dulu pertama kali membaca esai tentang “Sepotong Langit di Meja Kopi.”

“Kamu menulis lebih tenang sekarang,” kata editor itu.

“Aku menulis seperti orang menyapu halaman,” jawab Zea. “Tak semua daun harus kubuang. Beberapa kusimpan untuk kompos.”

.

Pertemuan yang Dibiarkan Menjadi Angin

Suatu malam, di pameran foto di M Bloc, Zea berdiri menatap karya seorang teman. Foto itu menampilkan Siti Dewi dalam interpretasi modern: baju garis, wajah blur, latar mural Madura. Figur itu terlihat setengah melangkah, seakan-akan punya rahasia yang tidak perlu dipecahkan.

Ketika Zea mundur setapak, ia hampir bertabrakan dengan seseorang. Payungnya yang basah menetes ke lantai beton.

“Maaf,” suara itu berkata.

Zea tidak salah menebak. Arka.

Mereka berdiri menghadap gambar yang sama. Tidak ada orang ketiga yang bertugas menjadi jembatan. Tidak ada tanda “reuni”. Hanya dua orang yang pernah berbagi kurun waktu; itu saja.

“Aku baca bukumu,” kata Arka akhirnya, pelan.

“Terima kasih sudah membacanya,” sahut Zea.

“Maaf.”

Zea menoleh, sejenak. “Sudah selesai.” Kata-katanya sederhana, seperti pagar kayu yang tidak lagi goyah tertiup angin.

Arka mengangguk. Mereka menoleh ke foto lagi. Di bawah keterangan karya, ada sepenggal teks: “Yang tinggal di kita bukan orangnya, melainkan cara kita bertahan saat ia pergi.” Zea tersenyum kecil. Barangkali itu cukup menjadi salam yang tidak mereka ucapkan.

Malam itu, mereka pulang lewat jalan berbeda. Jakarta menutup pertemuan mereka seperti menutup jendela sebelum tidur—bukan karena benci, tetapi karena sudah saatnya.

Penutup Reflektif

Kadang kita terlalu sibuk menuntut akhir yang indah, sampai lupa bahwa tidak semua yang indah harus berakhir bersama. Ada cinta yang tujuannya bukan untuk dimiliki, melainkan untuk menjadikan kita lebih dewasa. Ada perpisahan yang bukan karena benci, melainkan karena sama-sama ingin pulih.

Dan ketika dua hati bertumbuh tanpa saling menyakiti lagi, bahkan dalam diam pun… keduanya bisa saling menghormati.

“Ada surat yang tidak dikirim, bukan karena tidak penting, tetapi karena akhirnya kita sadar—kita menulisnya bukan untuk dia, melainkan untuk diri sendiri.” — Sepucuk Surat, Sebuah Perpisahan

.

Potongan- potongan yang Disimpan Zea

  • “Kedewasaan adalah kemampuan menahan diri untuk tidak menjelaskan semuanya.”

  • “Maaf tidak selalu mengembalikan. Tapi selalu melegakan.”

  • “Yang kita simpan bukan nama, melainkan pelajaran.”

  • “Cinta yang baik mengajarkan kita pulang—terutama pulang kepada diri sendiri.”

.

Surat itu tetap di laci; amplopnya menguning pelan. Kadang-kadang Zea membacanya ulang, bukan karena ia masih mencintai Arka, melainkan karena ia ingin terus mencintai dirinya sendiri. Di atas amplop, ia menulis tiga kata: “aku sudah sampai.”

Di luar jendela, kota menua tanpa dramatik. Lampu-lampu tetap menyala, KRL tetap berangkat, pedagang klepon tetap memanggil. Hidup tidak menunggu kita paham; kitalah yang belajar mengikutinya tanpa kehilangan arah.

Pada akhirnya, Zea menyadari: menjadi utuh bukan berarti tidak pernah retak, melainkan tahu di mana merekat. Dan pada suatu hari yang biasa, di antara suara klakson dan tawa anak sekolah, ia menutup buku, mematikan lampu, dan berbisik pada dirinya sendiri:

“Aku mengerti, meski kita tak lagi bicara.”

.

.

Jember, 4 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #CintaDewasa #SuratYangTakDikirim #UrbanJakarta #Refleksi #MenakMadura #Literasi #Healing #EmotionalStory

Leave a Reply