Teman Jiwa yang Menyelamatkanku dari Gelap
“Di saat hidup tampak gelap, jangan buru-buru menyalakan lampu. Duduklah sebentar. Biarkan mata dan hatimu belajar melihat dalam gelap. Di sana, suara yang paling jujur akan pulang.”
.
Aku menemuinya pada suatu sore yang setia kepada hujan. Jakarta habis memadamkan lampu-lampu jam pulang kantor; jalanan berkilat seperti kaca retak. Namaku Umarmaya. Usia tengah tiga puluhan, pekerja di industri kreatif yang menyaru rapi: kemeja Oxford putih, celana chino, sepatu kulit yang selalu mengilap seperti aku butuh meyakinkan sesuatu yang tidak pernah kupunyai—ketenangan.
Di kartu namaku tertulis “strategist”. Di kalenderku ada rapat, tayang kampanye, dan check-in KPI. Di cermin kamar mandi kantor, mataku adalah dua sumur yang tak berani kutilik dalam-dalam. Sejak seseorang yang paling kupercaya menandatangani kesepakatan di belakang punggungku—mengambil ideku, timku, dan separuh mimpiku—aku bertahan dengan cara kota mengajarkan: tersenyum cepat, jawab cepat, pulang cepat, lalu menangis pelan.
Sore itu, Worowarsito memaksaku ikut pertemuan komunitas literasi di sebuah co-working space di Setiabudi. “Kau tidak perlu berbicara,” katanya, setengah menyeretku melewati lorong yang harum kopi. “Kau cuma perlu hadir. Luka itu seperti roti: kalau terus disimpan di laci, ia berjamur.”
Aku tidak berniat membuka laci apa pun malam itu. Tetapi ruang kecil itu terbuka seperti telapak tangan. Ada rak buku, lampu gantung, papan tulis, beberapa anak muda dengan laptop yang penuh stiker. Di sudut, duduk seorang pria berambut agak panjang yang diikat rapi. Mata teduh. Senyum yang tidak minta apa-apa. Usman Haji.
Bukan fasilitator. Bukan siapa-siapa. Ia sekadar datang, duduk, memberi ruang.
Ketika sesi hampir usai dan orang-orang bertepuk tipis, aku melangkah pergi lebih dulu. Usman menoleh, seolah mendengar langkahku dari jauh. “Kamu belum menulis apa pun,” katanya, bukan menegur—lebih seperti menunjukkan kursi kosong.
“Aku tidak yakin bisa,” jawabku.
“Menulis bukan soal bisa atau tidak,” ia tersenyum. “Kadang itu cuma cara supaya kita tidak pecah.”
Aku mengangguk, pura-pura paham, lalu pulang menyeberangi kota yang memantulkan lampu-lampu seperti bintang yang jatuh terlalu dini.
.
Hari-hari setelahnya, notifikasiku seperti mendapat jendela baru. Ada pesan pendek, tidak menggurui:
“Kamu makan?”
“Hari ini hujan. Jangan lupa jaket.”
“Kalau mau cerita, aku ada.”
Aku menjawab singkat, lalu semakin panjang. Tentang proyek yang harus kuserahkan pada orang yang menusuk dari belakang; tentang malam-malam yang kubakar dengan Netflix tetapi tak memadamkan apa-apa; tentang upaya keras menjadi “baik-baik saja” agar tak ada yang curiga bahwa aku sedang tenggelam.
“Terima kasih sudah berbagi,” tulis Usman suatu malam, ketika jantungku berlari tanpa aba-aba. “Aku di sini.”
Hampir semua orang berjanji “di sini” dengan cara yang sibuk. Usman menepatinya dengan cara yang tenang.
Kami sesekali bertemu: di taman kota yang berbatas pagar besi dengan gedung tinggi; di warung mi yang uapnya menempel di kaca; di masjid kecil di belakang kantor tempat azan magrib terdengar dari speaker yang kadang sumbang. Ia mendengarkan lebih banyak daripada berbicara. Kalau bicara, kalimatnya pendek dan jernih.
“Kamu tahu istilah Anam Cara?” tanyanya suatu senja ketika kami duduk memandang langit yang berubah dari keemasan menjadi ungu.
“Tidak,” kataku.
“Dari tradisi Gaelic. Teman jiwa. Seseorang yang bisa kamu ajak bicara paling jujur tanpa takut dinilai. Tidak memaksamu berubah, hanya menuntunmu pulang.”
Aku tidak menjawab. Aku takut suaraku pecah. Aku takut—betapa selama ini yang kuanggap kekuatan ternyata benteng kosong.
.
Luka yang paling rapat tidak menyukai jam kerja. Suatu malam, ia datang tanpa mengetuk. Napasku tersengal seperti kaca yang disayat. Jari-jariku bergetar. Lampu kamar tampak terlalu terang. Suara AC seperti gerinda. Panik datang seperti maling, mengambil semua kata dari kepalaku, menyisakan hanya: tolong.
Aku menulis pesan: “Mas, aku butuh kamu.”
Usman datang.
Ia tidak membawa nasihat. Tidak membawa dalil. Ia hanya duduk di lantai, menyandar di dinding, dan memintaku menirukan napasnya.
“Tarik nafas empat hitungan,” katanya pelan. “Tahan empat. Hembus empat. Istirahat empat. Ulangi. Kita bikin kotak kecil di dadamu agar gelombang tidak menabrak.”
Kami bernapas. Satu-satu. Gedung di luar jendela memantulkan sisa lampu hujan. Jantungku yang barusan ingin melompat dari tubuh, tiba-tiba mau duduk kembali.
“Menangislah kalau mau,” kata Usman, menggenggam tanganku. “Aku di sini.”
Aku menangis. Lama. Tak cantik. Tidak heroik. Tetapi pecahanku seperti menemukan lem yang tidak melukai.
Pagi setelahnya, kota memulai hari dengan jam rapat yang padat, aku memulainya dengan makan pagi sederhana: roti panggang, telur ceplok, dan teh panas. Usman mengajariku sebuah kebiasaan baru: ritual kecil.
“Ritual kecil menenangkan amigdala,” katanya—dan aku diam-diam mencari apa itu amigdala. “Sikat gigimu sambil berdiri tegak. Minum air hangat perlahan, rasakan tiga teguk pertama. Atur kasur. Catat tiga hal yang kamu syukuri. Hal yang kecil tidak perlu menang besar; cukup menang harian.”
Di kantor, aku tetap strategis di rapat. Tetapi ada perbedaan halus: aku berhenti mempercepat diriku. Saat presentasi, aku memilih jeda. Saat ditanya, aku memilih kalimat yang tidak menyerang. Sore hari, aku berjalan kaki dua halte MRT, menatap trotoar baru dengan jalur sepeda yang ramai oleh orang-orang bersweater. Kota yang dulu hanya kuanggap mesin tiba-tiba mengenalkan wajah manusianya.
Malam-malam tertentu, aku menulis. Awalnya satu paragraf yang canggung, lalu dua halaman yang serampangan. Tentang khianat, takut, marah, rindu pada diriku sebelum badai. Usman tidak mengomentari struktur atau gaya. Ia hanya bertanya, “Apa kalimat yang paling jujur untukmu?” Aku menunjuk sebuah kalimat yang kutulis sambil terisak, dan ia mengangguk. “Mulai besok, bangunlah di sana.”
.
Suatu Sabtu, komunitas literasi mengadakan pembacaan karya. Worowarsito memintaku maju. Aku menolak tiga kali. “Kau tidak harus kuat,” katanya keempat kali. “Kau hanya perlu hadir.”
Aku naik ke panggung kecil dengan lampu kuning yang ramah. Suara AC melengking seperti cicak. Aku membaca naskah berjudul “Inventaris Gelap.” Tentang seorang lelaki yang menyimpan rasa curiga dalam laci kantor; tentang rekan kerja yang berubah menjadi perjanjian; tentang kota yang menyamarkan luka dengan lampu. Satu-dua kalimat terdengar asing di mulutku, seperti batu yang akhirnya kutaruh di meja.
Usai membaca, ruangan hening. Lalu tepuk tangan. Bukan meriah—cukup. Cukup untuk menandai bahwa aku telah keluar dari gua.
Usman berdiri di belakang, kedua tangannya dimasukkan ke saku. Matanya menyala seperti seseorang yang menonton matahari terbit setelah semalam menemani.
Di koridor, ia menepuk pundakku. “Bagus, Umarmaya.”
“Bagian mana?”
“Bagian ketika kamu berhenti ingin terdengar baik. Sejak sana, tulisanmu jujur.”
Aku tertawa pendek. “Apakah tulisanku akan menyelamatkan karierku?”
Usman tersenyum. “Mungkin tidak. Tetapi tulisanmu bisa menyelamatkanmu.”
.
Beberapa bulan berlalu. Kota mengganti musim promo mall dan diskon gawai. Aku berganti kebiasaan: berdiri di jendela lima menit saat subuh, mengirim pesan pada dua teman setiap pekan, menolak lembur yang tidak perlu, membiarkan telepon di laci saat makan malam. Aku bahkan menempuh beberapa sesi konseling profesional—Usman yang mengantarku sampai lobi, menunggu di kafe seberang dengan novel yang tidak terburu-buru.
Dalam salah satu percakapan kami, aku berani mengajukan pertanyaan yang lama kukunci.
“Mas, kau selalu ada buatku,” kataku. “Tapi siapa yang ada untukmu?”
Usman tertawa kecil, lalu menatap tanah. “Aku juga pernah sepertimu,” ujarnya pelan. “Aku kehilangan seseorang yang sangat kucintai. Setelah itu aku takut dekat siapa pun. Sampai seorang teman—Anam Cara—datang. Ia tidak menyuruhku melupakan. Ia hanya memintaku mengizinkan. Mengizinkan sedih datang dan pergi, mengizinkan marah duduk di kursi tamu. Selebihnya: hadir untuk orang lain. Kadang, hadir untukmu adalah cara terbaikku merawat lukaku sendiri.”
Aku tercekat. Betapa sering kita menganggap penyembuh tidak punya luka.
“Lalu, sekarang lukamu?”
“Bukan hilang,” jawabnya. “Hanya berpindah tempat: dari dadaku ke rak buku, dari tenggorokanku ke doa, dari kepalaku ke kebun. Aku merawatnya seperti kaktus: tidak sering kusiram, tapi juga tidak kubiarkan mati.”
Kami tertawa. Jakarta malam itu pulang pelan-pelan; bus Transjakarta bergeser seperti paus di dalam kaca.
.
Ada masa ketika kota menguji perubahanmu: mantan rekan kerja mengundangku ke sebuah peluncuran produk di hotel bintang lima di Sudirman; ruang balai megah, karpet tebal, orang-orang dengan kartu nama yang baunya wangi lavender. Ia mendekat, tersenyum seperti tak pernah terjadi apa-apa.
“Umarmaya, lama tak berjumpa. Kita harus kerja bareng lagi,” katanya, suaranya tergantung di udara seperti spanduk.
Darahku menegang. Di belakang, dinding LED memutar video yang dulu berangkat dari idemu, kataku pada diri sendiri, jangan. Aku merasakan amigdala ingin menyambar alarm.
Aku menarik napas empat detik. Menahan empat. Menghembus empat. Empat lagi.
“Terima kasih undangannya,” kataku datar, tidak dingin. “Aku sedang fokus ke arah lain. Semoga acaramu sukses.”
Ia mengedip, bingung karena tidak mendapat drama. Aku melangkah ke balkon ballroom, memandang kota dari ketinggian yang tak memabukkan lagi.
Kukirim pesan singkat pada Usman: “Aku baik.”
Balasannya datang cepat: “Aku tahu.”
Kata-kata paling menyembuhkan adalah kata-kata yang tidak menjadi pelindung bagi kebohongan.
.
Di sore yang lain, aku mengantar ibuku kontrol ke rumah sakit swasta di Menteng. Ruang tunggu seperti lounge bandara, televisi menayangkan tips hidup sehat. Di situ aku bertemu Puspasari, teman lama dari kampus yang kini mengajar psikologi. Kami berbincang, lalu ia menatapku lama-lama. “Kamu berbeda,” katanya. “Bukan lebih kuat—lebih lentur.”
“Lentur?”
“Pohon yang keras patah saat angin besar. Yang lentur menekuk, lalu berdiri lagi.”
Aku pulang dengan istilah baru itu. Lentur. Kata yang tidak memaksa gagah, tidak memuja rapuh.
Malamnya, aku menulis sebuah daftar—bukan resolusi, hanya remedi yang bisa diulang:
-
Ritual kecil: minum air hangat, merapikan kasur, menghirup subuh.
-
Batas sehat: menjawab “tidak” tanpa menunda.
-
Percakapan hangat: dua pesan setiap pekan pada teman yang mungkin butuh “Aku di sini.”
-
Gerak harian: berjalan 20 menit, menatap daun atau langit.
-
Jurnal jujur: lima kalimat setiap malam; satu kalimat paling jujur dicetak tebal.
-
Belas kasih pada diri: memaafkan keterlambatan, merayakan langkah kecil.
-
Berbagi: sekali sebulan membaca karya di komunitas; bukan untuk tepuk tangan, untuk menandai perjalanan.
Usman membaca daftar itu dan mengangguk. “Kau membuat peta pulang,” katanya.
.
Pada ulang tahun komunitas literasi, kami mengadakan acara di atap sebuah gedung tua yang diubah menjadi ruang seni. Kota di bawah bagai sirkuit lampu yang tenang. Udara malam membawa bau lontong sayur dari warung yang tak pernah lelah. Aku membaca naskah baru berjudul “Anam Cara.” Bercerita tentang seorang lelaki yang duduk di lantai kamar orang lain, menambal napas dengan hitungan empat. Tentang cara paling sederhana mencintai: hadir.
Selesai membaca, seorang perempuan muda mendekat. “Mas Umarmaya,” katanya, “terima kasih. Aku datang dengan kepala yang bising. Pulang dengan kepala yang tidak sunyi, tapi tertata.”
Aku menatap Usman di sudut. Ia mengangkat cangkir plastik berisi teh manis, seolah memberi salam dengan benda paling sederhana. Kami tidak perlu bicara. Ini cukup.
Suatu pagi yang putih dan bersih, Jakarta memulai hari dengan suara sapu jalan. Aku menerima email: tawaran pekerjaan dari agensi yang baru—bukan lebih besar, bukan lebih mewah; tetapi lebih jujur terhadap caraku bekerja. Gajinya tidak melompat, tetapi waktu pulangnya tepat. Aku tersenyum. Bukan karena akhirnya menang, melainkan karena akhirnya paham apa yang ingin kumenangkan.
Di layar ponsel, ada pesan dari Usman:
“Kalau sempat, main ke taman sore ini.”
Aku membalas, “Datang. Bawa naskah baru.”
Sore itu, kami duduk di bangku kayu. Anak-anak berlari mengejar balon. Anjing-anjing bersuara ceria. Langit menggambar pelan awan-awan yang tidak terburu-buru.
“Kau tahu,” kata Usman, “di kisah lama yang kusukai, para pahlawan diberi nama indah, tetapi tidak diberi jaminan menang. Yang mereka punya hanya arah.”
“Kita mau ke mana?” tanyaku.
“Pulang,” jawabnya. “Ke hati yang tidak lagi menolak gelap.”
Kami tertawa. Angin mengibaskan beberapa helai rambutnya yang diikat. Aku menatapnya lama-lama, mencoba mengabadikan sosok yang pernah duduk di lantai kamarku, memanduku menenun napas yang putus-putus menjadi kain yang bisa kupakai keluar rumah.
Malam nanti, di rumah, aku akan menulis kalimat ini: “Kadang, kita hanya butuh satu jiwa yang berkata: ‘Aku di sini.’ Tanpa perlu mengubah apa pun. Tanpa menasihati. Cukup duduk di samping, sampai luka tidak lagi merasa sendirian.”
Aku akan menempelkan kalimat itu di pintu lemari. Bukan untuk pamer, melainkan untuk mengingat: bahwa sembuh bukan sekali waktu, tapi kebiasaan. Bahwa manusia tidak diciptakan untuk berjuang sendirian—kita ditakdirkan untuk saling menjadi Anam Cara.
Dan ketika suatu saat giliran Usman yang mengetuk pintu di tengah malam—kalau itu terjadi—aku akan menaruh bantal di lantai, duduk di sebelahnya, mengajaknya bernapas empat-empat-empat-empat, dan mengatakan dengan suara yang pernah menyelamatkanku: “Menangislah. Aku di sini.”
.
Kota, Luka, dan Jalan Pulang
Jakarta tidak berubah hanya karena satu orang berhenti berlari. Jalan tetap macet, iklan tetap berkedip, rencana tetap beranak pinak. Tetapi ada yang bergeser: cara kita bergerak di dalamnya. Di lift kantor yang wangi pembersih lantai, di warung kopi yang mulai sepi menjelang tengah malam, di bangku taman tempat gelisah biasanya duduk lebih dulu—di tempat-tempat itu, kesunyian tidak lagi menjadi musuh. Ia menjadi ruang.
Aku menutup cerita ini dengan kaki yang tidak lagi gemetar seperti dulu. Bukan karena tidak ada badai. Tetapi karena ketika badai datang, aku punya payung yang bernama hadir.
Jika kau membaca ini pada malam tergelapmu, izinkan aku mengulangi: Kamu tidak sendiri. Jika kau sudah menemukan sosok yang duduk di sampingmu saat dunia menggigil, peluklah ia dalam doa. Jika belum, percayalah—mungkin dalam perjalanan pulang esok, kaulah yang akan duduk di samping seseorang, menjadi temannya bernapas, menjadi teman jiwa yang, tanpa banyak suara, menyelamatkan dari gelap.
.
“Kadang, kita hanya butuh satu jiwa yang berkata: Aku di sini. Tanpa perlu mengubah apa pun. Tanpa menasihati. Cukup duduk di samping, sampai luka perlahan reda.”
.
.
.
Jember, 3 Juli 2025
.
.
#TemanJiwa #AnamCara #LukaPulih #CerpenUrban #Jakarta #KesehatanMental #MenulisUntukSembuh #RitualKecil #SelfCompassion #Pulangkediri