Surat yang Tak Pernah Kukirimkan

Kadang musuh paling kejam bukan orang lain, tapi cara kita memperlakukan diri sendiri. Maka, sebelum menuntut dunia minta maaf, belajarlah terlebih dulu meminta maaf pada dirimu sendiri.

.

Namaku Adaning.
Usiaku tiga puluh delapan.
Di kartu nama tertulis founder & managing partner sebuah studio kreatif kecil yang menangani kampanye digital untuk merek-merek gaya hidup di Jakarta dan Surabaya. Di layar gawai, barisan notifikasi rapat Google Meet, undangan webinar, dan jadwal zoom kelas anak-anak klien menumpuk seperti lampu-lampu kecil yang tak pernah benar-benar padam.

Di cermin kamar apartemenku di bilangan Kuningan, yang tampak hanya lingkar mata menghitam dan garis-garis tipis di antara alis. Orang bilang aku sukses: punya bisnis sendiri, mobil cicilan yang lunas sebelum waktunya, dan tabungan yang cukup aman di reksa dana. Tapi di balik blazer rapi dan lipstik yang kupakai setiap hari, ada tubuh yang selalu kelelahan dan hati yang entah sejak kapan sunyi.

Sejak kecil aku diajari menjadi “anak baik”.
Bapakku, seorang pengacara yang keras tapi lembut dalam diam, sering berkisah tentang Menak Jawa, tentang Wong Agung Jayeng yang tak pernah menolak permintaan rakyatnya, tentang Umar yang selalu menempatkan orang lain di depan dirinya sendiri. Ibu, keturunan keluarga Menak Malangan, menambahkan kisah-kisah lain tentang Rengganis yang menjaga nama baik keluarga, apa pun taruhannya.

Kita ini turunan orang baik-baik, Ning,” begitu Ibu selalu bilang. “Ora enak ati iku dosa paling halus. Selama bisa menolong, jangan bikin orang lain kecewa.

Maka sepanjang hidupku, aku tumbuh dengan kalimat sederhana: jangan mengecewakan siapa pun.
Termasuk ketika artinya: mengecewakan diriku sendiri.

.

Malam itu, kota Jakarta berkilau seperti sekotak perhiasan yang tutupnya dibiarkan terbuka. Dari balkon apartemen lantai dua puluh, aku bisa melihat deretan lampu kendaraan di Jalan Gatot Subroto mengalir pelan, kadang macet, seperti arus pikiran yang tak kunjung selesai.

Aku baru saja pulang dari pertemuan dengan klien di Senopati. Restoran yang mereka pilih penuh musik dan tawa; di meja kami, lima orang memesan wine yang berbeda dan saling memuji satu sama lain, seakan dunia hanya berisi keberhasilan.

Adaning, kamu jenius. Konsep kampanye #HidupRinganItuKita yang kamu buat kemarin, tim pusat di Singapura sampai bilang, ‘This is the level we expect from a regional agency’.
Jayeng, partner bisnisku, menepuk punggungku di depan klien. Senyumnya tipis, matanya cepat sekali kembali ke layar ponsel.

Aku tersenyum.
Kata-kata manis memang menenangkan sesaat, seperti obat bius yang pelan-pelan menghilangkan nyeri. Tapi ada bagian di dalam kepalaku yang justru semakin berdenyut: tenggat revisi, pitching baru dengan perusahaan properti milik keluarga Rengga, dan proposal kerja sama dengan universitas swasta yang ingin membuka program creative business.

Hanya beberapa jam sebelumnya, aku menerima pesan suara dari Ibu di Malang.

Ning, kowe kapan iso muleh? Adaning, kapan bisa pulang? Bapak mulai capek, tapi masih terus ngurus perkara orang. Katanya kangen duduk bareng kamu di teras, dengar mobil-mobil lewat.

Kuputar pesan itu berulang kali di taksi daring yang membawaku pulang. Aku menunda menjawab, seperti menunda banyak hal lain yang menyangkut diriku sendiri.

Begitu pintu apartemen tertutup di belakangku malam itu, ponsel kembali bergetar.
Pesan dari Rengga, klien lama sekaligus teman kuliah yang kini mengelola jaringan kafe kekinian.

Ning, maaf ya, besok bisa nggak jam 7 pagi kita zoom dulu? Owner minta revisi konsep. Katanya tone-nya belum cukup “anak Jakarta atas” tapi tetap down to earth.

Jam tujuh pagi.
Padahal infografis untuk kampanye universitas belum kusentuh, pitch deck properti belum selesai, dan aku tahu tubuhku butuh tidur lebih panjang. Tapi jariku otomatis mengetik:

Siap, Ga. Besok jam 7 aku online.

Tombol send menyala biru.
Di saat yang sama, ada sesuatu di dalam dadaku yang padam pelan-pelan.

.

Kamu nggak capek pura-pura kuat terus?

Pertanyaan itu datang dari Maya, sahabatku sejak SMA yang kini menjadi dosen psikologi di sebuah universitas swasta. Kami bertemu di sebuah kafe di Menteng, di antara bunyi mesin kopi dan percakapan pelan orang-orang yang seolah tak pernah punya urusan dengan rasa lelah.

Aku menatapnya.
“Pura-pura kuat bagaimana? Aku baik-baik saja.”
Suara yang keluar dari mulutku terdengar normal, tapi telingaku sendiri menangkap nada serak di ujungnya.

Maya mengaduk cappuccino-nya pelan.
“Adaning, aku baru membaca laporan WHO tentang burnout di kalangan profesional kota besar. Polanya mirip sekali dengan kamu. Selalu bilang iya, takut mengecewakan, merasa bersalah kalau istirahat.”

Aku tertawa kecil.
“Ah, kamu lebay. Orang lain di luar sana kerja jauh lebih keras, May.”

Lelahmu tidak pernah bisa dibandingkan dengan lelah orang lain,” jawab Maya pelan. “Itu seperti rasa lapar. Hanya kamu yang tahu seberapa kosong perutmu.”

Aku tak langsung menjawab. Di meja sebelah, dua perempuan muda asyik membahas start-up baru yang ingin mereka dirikan. Di sudut kafe, seorang pria paruh baya berkemeja rapi menatap layar laptop, mungkin memeriksa laporan penjualan bulan ini. Semua orang tampak bergerak maju. Semua orang tampak punya sesuatu untuk dikejar.

Aku?
Aku mengejar harapan semua orang, kecuali diriku sendiri.

May,” kataku akhirnya. “Kadang aku merasa… aku berutang pada semua orang. Pada Bapak, Ibu, pekerja-pekerja kreatif yang kujanjikan ‘masa depan cerah’, pada klien-klien yang percaya padaku. Kalau aku mulai pelan, kalau aku bilang tidak, rasanya seperti berhenti menjadi anak baik yang mereka banggakan.”

Maya menatapku lama, lalu berkata pelan, “Kalau kamu tumbang, Ning, semua yang kamu banggakan itu justru yang akan paling hancur duluan.”

Kata-katanya menyentuh sesuatu yang selama ini kusembunyikan di bawah tumpukan kesibukan. Tapi aku menggesernya ke sudut pikiran; masih banyak yang harus kukerjakan sore itu. Satu peringatan lagi yang kupaksa membisu.

.

Hari ketika tubuhku menyerah datang tanpa peringatan yang jelas, meski sebenarnya tanda-tandanya sudah lama terpampang.

Pagi itu, aku sedang mempresentasikan konsep kampanye untuk properti mewah di bilangan BSD. Ruangan rapat di lantai sepuluh itu dingin, dinding kacanya menampilkan lanskap kota satelit dengan perumahan rapi dan deretan pohon palem. Di ujung meja, Rengga duduk di samping pakaiannya yang terlalu rapi untuk orang kreatif; dia tersenyum seperti biasa, sedikit miring, seolah sudah menyiapkan kalimat-kalimat cerdas untuk memikat dewan direksi.

Slide demi slide kulalui dengan gaya storytelling yang sudah ratusan kali kulatih. Tentang keluarga muda yang butuh rumah dekat sekolah internasional, tentang profesional muda yang mencari home office nyaman, tentang investor yang melihat properti bukan lagi bangunan, melainkan portofolio hidup.

Suatu saat, gambar di layar berubah menjadi tampak buram.
Huruf-huruf besar “Live Above the Noise” tampak bergetar, lalu perlahan memanjang seperti karet yang ditarik terlalu jauh.

Suara seseorang bertanya, “Lalu, apa strategi digitalnya, Mbak Adaning?”
Tapi aku hanya mendengar dengung pelan. Keringat dingin merembes di punggung. Dadaku sesak; dunia menyempit di batas meja rapat.

Aku mencoba menghirup napas panjang, tapi udara seolah berhenti di tenggorokan. Pandanganku gelap-menyala-gelap-menyala, seperti lampu jalanan saat mati listrik.

“Adaning?” suara Jayeng terdengar jauh. “Kamu nggak apa-apa?”

Seketika, ruangan rapat berubah menjadi bayangan-bayangan kabur. Aku hanya ingat kursi yang seperti melayang menjauh, kemudian lantai dingin yang menyambut ketika tubuhku roboh.

.

Dokter di IGD hanya berkata singkat, “Serangan panik dan kelelahan. Tubuhnya menyalakan alarm keras-keras. Kalau diabaikan, bisa berakhir lebih buruk.”

Aku tertawa getir.
“Lebih buruk dari pingsan di depan calon klien besar, Dok?”

Dokter itu menatapku, lalu berkata pelan, “Lebih buruk dari kehilangan dirimu sendiri tapi masih tetap berdiri setiap hari. Kadang, tumbang sebentar adalah satu-satunya cara tubuh memaksa kita berhenti.”

Tiga hari kemudian, aku berada di rumah Ibu dan Bapak di Malang.
Jayeng, entah karena sungkan pada Ibu yang bicara dengan suara tegas di telepon, menyetujui cuti darurat selama seminggu.

Rumah itu tak banyak berubah: pagar hijau tua, halaman kecil dengan pohon mangga dan kursi rotan, suara penjual bakso lewat setiap sore. Di teras, aku duduk di samping Bapak yang belakangan jalannya mulai pelan.

Bapak nggak marah aku pulang mendadak?” tanyaku.

“Marah kenapa?” Bapak tersenyum. “Kamu baru patuh pada tubuhmu sendiri. Dari dulu Bapak cuma lihat kamu patuh pada semua orang.”

Ia menghela napas. “Kamu ingat cerita Jayeng lama-lama yang Bapak suka dongengkan? Tentang pemimpin yang tak pernah menolak permintaan warganya?”

Aku mengangguk. Itu salah satu kisah favorit Bapak. Tentang tokoh yang gagah berani, selalu siap membantu.

“Waktu muda, Bapak ingin kamu meniru keberanian itu,” lanjutnya. “Tapi mungkin Bapak salah menekankan. Jayeng dalam cerita itu juga manusia. Ia tahu kapan harus menarik diri, menutup pintu, duduk sendirian memikirkan luka-lukanya. Yang Bapak ceritakan padamu cuma bagian ia berkorban untuk orang lain.”

Bapak menatap lurus ke jalan kampung, seolah melihat masa lalu yang berjalan pelan di antara motor lewat.

Anak baik bukan berarti anak yang selalu berkata iya,” ucap Bapak perlahan. “Anak baik adalah yang tahu kapan harus menjaga dirinya, supaya bisa terus ada buat orang lain.”

Kata-kata itu menetes ke dalam diriku seperti air pelan-pelan mengisi gelas retak.
Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku menangis di depan Bapak. Bukan tangis gemuruh, melainkan isak menahan napas—seperti suara yang selama ini kutahan di tenggorokan setiap kali menulis ya di kolom chat klien.

Ibu datang membawa teh panas, berhenti di ambang pintu. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengusap punggungku.

Malam itu, setelah semua tidur, aku duduk sendirian di kamar lamaku. Buku-buku SMA yang menguning masih tersusun di rak, poster band favorit tertempel di dinding, sedikit mengelupas.

Di meja belajar tua yang cat putihnya mulai pudar, aku mengambil buku tulis kosong. Lalu, untuk pertama kalinya, menulis surat yang tak pernah kupikir akan kutulis.

.

Kepada Diriku Sendiri yang Selalu Ketinggalan,

Maaf.

Maaf untuk semua kali aku menaruhmu di urutan terakhir daftar prioritas. Maaf untuk jam-jam tidur yang kupotong demi membalas pesan yang sebenarnya bisa menunggu esok pagi. Maaf untuk ide-ide yang kupaksa lahir ketika kepalamu sudah penuh, hanya karena takut terlihat kurang hebat.

Maaf karena selama ini aku lebih percaya pada suara orang-orang di luar sana, daripada suara kecilmu yang lelah dan minta istirahat.

Maaf karena saat kamu cemas dan ingin bercerita, aku malah membuka laptop dan menenggelamkanmu dalam deadline. Maaf untuk semua komentar kejam yang kuucapkan pada tubuhmu di depan cermin: tentang lingkar pinggang, kantung mata, dan keriput di dahi. Padahal tubuh ini yang menolongku bertahan sejauh ini.

Mulai hari ini, aku ingin belajar memperlakukanmu seperti aku memperlakukan klien-klien terbaikku: didengarkan, dihargai, dijaga.

Mulai hari ini, aku ingin izin untuk sesekali mengecewakan dunia, agar kita berdua tidak terus-menerus hancur diam-diam.

Dari,
Adaning


Surat itu tak pernah kukirim, tentu saja. Kepada siapa?
Tapi entah kenapa, setelah menuliskannya, napasku terasa lebih lapang. Seperti baru saja menyelesaikan satu kampanye penting yang selama ini tertunda—kampanye untuk diriku sendiri.

.

Kembali ke Jakarta tidak otomatis membuat hidupku berubah total. Ponsel tetap berdering, email tetap berdatangan, bisnis tetap harus berjalan. Tapi sesuatu pelan-pelan bergeser.

Pagi pertama tiba di apartemen, aku membuka kalender dan mulai menghapus beberapa janji. Zoom jam tujuh dengan Rengga kuundur ke jam sepuluh. Meeting yang tidak krusial kutitipkan ke tim.

Tangan ini bergetar saat menulis pesan pada Rengga:

Ga, aku baru pulih dari kelelahan. Aku butuh mengatur ulang jam kerjaku. Kita bisa meeting jam 10, bukan 7. Kalau brand-mu butuh orang yang bisa standby kapan pun tanpa batas, mungkin kamu perlu tim lain. Tapi kalau kamu mau kerja sama jangka panjang, kita harus saling menjaga ritme.

Kutekan tombol send dan menutup mata. Ada rasa takut, tapi anehnya juga lega.
Rengga menjawab tiga menit kemudian.

Oke, Ning. Jam 10 juga nggak apa-apa. Sorry ya, aku sering kebablasan minta ini-itu. Kamu harusnya bilang dari dulu.

Aku membaca pesannya berkali-kali. Di kepalaku, suara kecil bertanya: Ternyata sesimple itu? Selama ini aku takut apa?

Sore harinya, aku mengumpulkan tim di kantor kecil kami di Sudirman. Studio itu menempati satu sudut coworking space dengan jendela besar menghadap gedung-gedung tinggi. Di dinding, papan tulis bertuliskan “Make Stories That Matter” dengan spidol hitam yang mulai memudar.

“Mulai bulan ini,” kataku di depan mereka, “kita akan menata ulang cara kerja. Overtime tetap mungkin, tapi tidak boleh menjadi kebiasaan. Minggu malam tidak ada chat soal kerjaan, kecuali benar-benar darurat. Dan kalau kalian merasa lelah, kalian boleh bilang. Bukan berarti kalian lemah.”

Salah satu copywriter termuda, Raras, mengangkat tangan.
“Mbak, terus kalau klien marah?”

Aku tersenyum. “Kita bukan robot yang disewa dua puluh empat jam. Kita manusia yang diajak kerja sama. Kalau ada klien yang tak bisa memahami itu, mungkin mereka bukan klien yang tepat untuk kita.”

Di wajah-wajah muda itu, kulihat campuran lega dan cemas. Mungkin inilah yang dulu juga ingin kudengar dari pemimpin-pemimpinku. Mungkin, dengan menawarkan hal itu pada mereka, aku sekaligus sedang menyembuhkan luka versi remaja dari diriku sendiri.

.

Perubahan paling sulit justru terjadi dalam hubungan pribadiku dengan Jayeng.

Kami bukan pasangan romantis, tapi sudah tujuh tahun menjadi rekan bisnis yang saling menutupi kelemahan. Jayeng pandai networking, terbiasa bergerak di antara keluarga pengusaha besar, tahu bagaimana mengubah percakapan santai di lapangan golf menjadi kerja sama bernilai miliaran. Aku, sementara itu, mengurus semua yang tak tampak: konsep, eksekusi, detail.

Aku ingin membatasi jam kerja,” kataku suatu malam di kantor ketika karyawan lain sudah pulang. Hanya suara AC dan lampu-lampu kota di kejauhan yang menemani. “Tidak lagi membalas chat klien lewat tengah malam. Tidak lagi meeting sebelum jam sembilan pagi. Dan kita perlu merekrut satu people manager, seseorang yang mengatur beban kerja tim.”

Jayeng memijat pelipisnya. “Bisnis kita lagi naik daun, Ning. Ini justru saatnya tancap gas.”

“Aku baru saja tumbang di depan calon klien besar,” jawabku, berusaha menahan getir. “Kalau aku tumbang beneran, bukan cuma pitch yang hilang. Bisnis ini juga bisa ambruk.”

Jayeng terdiam lama. Ia menatap papan tulis di dinding, seolah mencari jawaban di antara coretan marker.

“Kamu tahu, Ning,” katanya akhirnya, suaranya lebih pelan daripada biasanya, “Aku juga capek. Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana buat berhenti. Dari dulu kita selalu diajari: kalau mau bertahan di Jakarta, jangan pernah pelan.”

Mungkin sekarang saatnya kita belajar kalimat baru,” kataku. “Bukan ‘jangan pernah pelan’, tapi ‘boleh saja pelan, asalkan tetap maju’. Kita boleh menepi sebentar, isi bensin, cek ban, sebelum jalan lagi.”

Jayeng tertawa pendek. “Kamu kalau bikin metafora selalu terdengar seperti bahan kampanye.”

“Yah, pekerjaan kita memang menjual cerita.”
Kali ini, aku juga tertawa. Tidak selepas dulu, tapi cukup untuk membuat dadaku terasa lebih hangat.

“Baiklah,” Jayeng mengangguk pelan. “Kita coba. Tapi tolong jangan tinggalkan aku sendirian kalau aku keteteran.”

Aku menatapnya. Untuk pertama kalinya, kulihat kelelahan di balik kemeja mahal dan jam tangan limited edition-nya. “Aku nggak akan pergi. Aku cuma sedang belajar untuk berhenti meninggalkan diriku sendiri.”

.

Setahun berlalu.

Jakarta tetap bising, tetap padat, tetap penuh papan iklan yang menjanjikan hidup lebih simpel, lebih cepat, lebih bahagia. Bedanya, langkahku tidak lagi secepat dulu. Kadang aku sengaja turun satu halte bus lebih awal dan berjalan kaki menyusuri trotoar, memperhatikan penjual kopi keliling, mahasiswa yang tertawa di depan kampus, dan ibu-ibu yang menunggu anak pulang bimbel.

Bisnis kami tidak meledak spektakuler, tapi juga tidak runtuh. Kami memilih klien secara lebih selektif. Tim kami bertambah, namun ritme kerja lebih teratur. Rengga masih datang dengan permintaan mendadaknya, tapi kini ia tahu batas; jika melewati jam tertentu, ia akan menambahkan, “Kalau sempat ya, Ning. Kalau nanti saja juga boleh.”

Hubunganku dengan Ibu dan Bapak juga membaik. Sekarang aku pulang ke Malang setiap dua bulan sekali. Kadang aku bekerja dari sana, kadang benar-benar libur. Di teras rumah, Bapak masih suka mendongeng, tapi ceritanya kini berbeda.

Suatu hari, Jayeng yang gagah itu berhenti di tepi sungai,” ucap Bapak dalam salah satu kunjungan terakhirku. “Ia duduk, melepaskan pedang, dan untuk pertama kalinya, menangis karena lelah. Saat itulah ia sadar: dunia tidak runtuh hanya karena ia berhenti sejenak.

Aku mengangguk.
Dalam diriku, cerita itu berubah menjadi gambaran jelas: seorang perempuan muda di gedung tinggi Jakarta, melepas blazer sebentar, menatap cermin, dan mengucapkan kata yang dulu terasa paling sulit di dunia:

“Maaf.”

.

Beberapa bulan lalu, Maya mengajakku mengisi kelas tamu di kampusnya. Tema yang ia ajukan membuatku tersenyum kecil: “Merawat Diri di Tengah Ambisi: Surat pada Diri Sendiri.”

Di depan tiga puluh mahasiswa yang duduk dengan laptop dan tablet berkilau, aku bercerita tentang pingsanku di ruang rapat, tentang surat yang kutulis di kamar masa kecil di Malang, tentang bagaimana satu kalimat sederhana bisa mengubah arah hidup:

Aku berutang permintaan maaf pada diriku sendiri.

Seorang mahasiswi mengangkat tangan. “Mbak, gimana caranya berhenti merasa egois ketika mulai memilih diri sendiri?”

Aku menatap wajah-wajah muda itu, mengingat diriku sendiri dua puluh tahun lalu.
“Egois itu ketika pilihanmu melukai orang lain demi keuntungan sesaat,” jawabku pelan. “Tapi menjaga diri bukan egois. Itu investasi jangka panjang. Tanpa tubuh dan jiwa yang sehat, semua rencana besar hanya akan menjadi angka-angka di kertas.”

Aku menambahkan, “Di dunia yang selalu menuntut kita menjadi produktif, kadang tindakan paling revolusioner adalah berani berkata: ‘Hari ini aku cukup. Hari ini aku istirahat.’”

Di akhir sesi, sebelum mereka bubar, aku membacakan satu kutipan yang kualami sendiri:

“Kebaikan pada diri sendiri bukanlah hadiah setelah kamu berhasil, melainkan bahan bakar agar kamu bisa sampai ke tujuan.”

Beberapa mahasiswa menunduk, menulis cepat di catatan. Beberapa lainnya menatap ke depan dengan mata berkaca-kaca. Dan di antara mereka, seolah kulihat sosok gadis muda bernama Adaning dari masa lalu, duduk paling belakang, akhirnya tersenyum pada dirinya sendiri.

.

Malam ini, aku menulis lagi di buku yang dulu kupakai menulis surat pertama untuk diriku. Di luar jendela, Jakarta masih bersinar seperti biasa. Tapi di dalam kamar, lampu lebih redup, musik pelan mengalun, dan aku tidak lagi merasa harus membalas semua pesan sebelum tidur.

Catatan kecil untuk diri sendiri:

“Hidup bukan perlombaan siapa yang paling sibuk dan paling lelah. Hidup adalah seni menyeimbangkan memberi pada dunia dan pulang memeluk diri sendiri.”

Aku menutup buku itu dan menatap cermin.
Perempuan di sana tidak lagi tampak seperti pekerja yang selalu ketinggalan dirinya sendiri. Ia masih punya banyak target, tentu. Masih ada klien yang harus dihadapi, kampanye yang harus dirancang, keluarga yang perlu dibahagiakan. Tapi matanya kini menyimpan sesuatu yang dulu tak pernah kulihat: kelembutan.

“Terima kasih,” bisikku pada bayanganku. “Sudah bertahan sejauh ini, meski sering kulelupakan.”

Suaraku pelan, tapi cukup jelas untuk terdengar oleh orang yang selama ini paling sering kupaksa diam: diriku sendiri.

Dan malam itu, aku tertidur lebih cepat dari biasanya, tanpa rasa bersalah.

Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak lagi berutang permintaan maaf pada siapa pun—
kecuali pada hari-hari di masa lalu ketika aku lupa, bahwa aku juga berhak disayangi oleh diriku sendiri.

.

.

.

Malang, 27 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #CeritaPendek #SelfLove #SelfCompassion #KesehatanMental #JakartaLife #UrbanStory #NamakuBrandkuStyle

Leave a Reply