Strategi Sukses Jago di Masa Pensiun

“Jangan sibuk menciptakan solusi untuk masalah yang tidak ada. Dengarkan pelanggan. Di sanalah peluang yang sesungguhnya.”
— Jago

.

Perihal Kopi, Kompas, dan Komitmen

Senja jatuh lembut di Kota Solo. Matahari yang tadinya benderang meredup, memantulkan bias jingga ke dinding kaca sebuah kedai kecil di sudut Jalan Slamet Riyadi. Lampu-lampu kota menyala satu per satu seperti bintang yang ragu-ragu turun ke bumi. Lalu lintas melambat; suara bel sepeda, laju skuter-listrik anak-anak, dan langkah-langkah pegawai yang pulang kerja bertaut jadi satu ritme, menandai pergantian babak hari.

Di balik kaca, seorang pria paruh baya duduk menatap cangkir kopi hitam yang mengepulkan aroma kacang sangrai dan cokelat pekat. Rambutnya memutih di sisi, wajahnya tenang, matanya tajam seperti dulu. Dialah Jago—pemilik Jago Coffee, brand kopi Nusantara yang belakangan ini sering nongol di majalah maskapai dan etalase bandara. Di usia enam puluh delapan, hidupnya justru terasa baru: penuh pelajaran yang tak pernah muat di rapat-rapat HRD selama tiga puluh tahun kariernya.

Ia membuka lipatan harian yang sejak muda selalu menemaninya—Kompas edisi hari itu masih hangat dari rak depan kios. Rubrik ekonomi menelisik geliat UMKM, rubrik opini menyoal cara kota merawat ruang ngobrol. Di margin halaman, ia menulis kecil dengan pulpen: “Dengar dulu, baru gerak.” Catatan kecil yang seperti mantra penuntun langkah.

Jago menghela napas, seteguk pelan, lalu memandang keluar. Di pojok ruangan, sekelompok mahasiswa sedang berdiskusi tentang tugas akhir—tentang perilaku konsumen, literasi digital, dan kehidupan yang seperti jarum jam: berputar, pindah titik, tapi tetap maju. Di bar, seorang anak muda yang dulu datang sebagai pelanggan—Bayu—menimbang-nimbang biji dari Gayo di atas telapak, menatap warnanya, menakar kemungkinan rasanya. Di ujung, seorang ibu muda menggendong bayi, menunggu suami yang terjebak macet, memesan kopi susu gula aren versi “ringan manis”.

“Siapa sangka, di masa pensiun, aku justru menapaki babak baru,” gumam Jago. Bukan babak tentang menguasai, melainkan mendengarkan. Bukan tentang tren, melainkan makna. Bukan tentang bertahan hidup, melainkan memberi hidup pada yang lain.

.

Dulu, saat menerima plakat pensiun dari perusahaan tekstil di Karanganyar, Jago merasa kosong. Dunia yang selama ini terukur oleh target, rapat evaluasi, dan KPI, mendadak runtuh. Hari-hari di rumah terasa seperti halaman kosong yang tak tahu harus ditulis dari kalimat mana. Di rak gudang, ia menemukan papan nama kedai tua peninggalan ayahnya: Asli Koffie – Sejak 1949. Kayunya lapuk, huruf-hurufnya pudar, tapi ada sesuatu dari papan itu yang berdenyut: panggilan yang sederhana namun keras kepala.

“Pak,” kata Rani, istrinya, “hidup bukan soal berhenti atau lanjut, tapi soal tetap memberi arti.”

Kalimat itu menyalakan lampu kecil di lorong yang gelap. Jago, dengan sedikit tabungan dan banyak tekad, memutuskan menghidupkan kembali kedai itu. Ia membayangkan aroma kopi yang menguar ke jalan, percakapan yang kembali hidup di meja bundar, anak-anak muda yang membaca buku, pekerja yang menulis rencana. Ia membayangkan suara tawa dan ketenangan yang dulu ia dengar saat kecil, ketika ayahnya—orang Madura pendiam yang dipanggil kawan-kawan kampung “Jingga” karena kulitnya legam dan senyumnya hangat—meracik kopi sambil bercerita tentang kebun-kebun jauh.

Tapi masa kini, pikir Jago, punya caranya sendiri. Ia bepergian ke kafe-kafe populer di Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta. Industrial, boho, Japandi; semua gaya interior yang diulas influencer ia catat. Ia pesan kursi logam, lampu gantung, neon sign. Ia sewa band akustik untuk malam Jumat, menempatkan mural bertuliskan “Hidup dimulai setelah kopi” di dinding paling terlihat. Ia beli mesin roasting besar dan blender mahal. Ia, tanpa sadar, meninggalkan satu-satunya hal yang tak bisa diganti dekorasi: telinga yang mendengar.

Pada bulan pertama, kedai ramai. Orang-orang datang berfoto. Tagar naik, review berbintang bermunculan. Bulan kedua, ramai itu pelan-pelan jadi kosong. Kursi-kursi mengkilap tetap mengkilap, tapi aroma kopi kehilangan cerita. Orang berkata, “Tempatnya oke, Pak, tapi rasanya… sama saja.” Kata “sama saja” itulah yang membuat Jago susah tidur.

Satu malam, angin lembap membawa aroma hujan, Jago menutup kedai lebih awal. Ia mematikan satu per satu lampu neon. Ia duduk sendirian dalam temaram, menatap mural yang dibanggakannya. Di saat seperti itu, Bayu datang, mengetuk pelan, “Pak, boleh bikin satu cangkir? Biar saya yang bayar gasnya.”

“Tentu,” jawab Jago, sedikit tertawa. Tangannya otomatis menimbang, menggiling, menyeduh. Bayu memegang cangkir dengan dua tangan, meniup, menghirup.

“Boleh jujur, Pak?” kata Bayu.

“Harus.”

“Saya dulu datang karena rasa kopi Bapak beda sama yang lain, dan karena Bapak suka cerita. Sekarang rasanya seolah mau jadi semua orang. Tempatnya cantik, tapi saya kehilangan orangnya.”

Kata-kata itu mendarat pelan namun berat. Jago, yang menghabiskan puluhan tahun di HRD mendengar keluh kesah dan harapan orang, merasa tertampar oleh kalimat sederhana yang paling ia pahami: dengar dulu. Ia seperti melihat dirinya berjalan mundur, memungut satu per satu benda yang ia letakkan di sepanjang jalan, lalu kembali ke titik awal yang, ternyata, bukan titik nol—melainkan pintu masuk yang benar.

Malam itu Jago menulis di buku kecilnya tiga kalimat:

  1. Kualitas dari hulu ke hilir.

  2. Rasa yang punya cerita.

  3. Ruang untuk mendengar.

Pada hari-hari berikutnya, ia melakukan hal yang tak dilakukan banyak orang yang putus asa: ia merapat, bukan lari. Ia mengurangi jadwal musik, mematikan sebagian lampu dekorasi, mengembalikan meja kayu sederhana yang dulunya jadi tempat ayahnya menakar biji. Ia menempelkan kertas kecil di pintu: “Kami sedang belajar kembali.”

Ia pergi ke kebun. Ia menumpang pick-up petani Gayo, tidur siang di gubuk Toraja, memetik ceri merah di Kintamani sambil ditegur seorang perempuan Bali yang tertawa karena dia canggung memegang keranjang. Di Sumenep, ia bertemu dengan pemuda bermata tajam yang memperkenalkan diri sebagai Joko—“Orang kampung panggil saya Joko Tole, Pak. Nama pemberian bapak, biar saya pegang teguh.” Nama-nama itu akrab di telinga Jago; ia ingat cerita-cerita almarhum ayahnya soal lelaki yang menggenggam janji seperti menggenggam pisau: hati-hati tapi pasti.

“Pak,” kata Joko, “kopi ini bukan cuma perkara rasa. Ini perkara janji kita pada tanah. Kalau Bapak bawa namanya ke kota, jangan lupa, di setiap teguk ada doa orang sini.”

Jago menunduk. Air di matanya mengumpul. Di perjalanan pulang, ia merasa sesuatu kembali ke tempatnya.

Ia membeli biji tidak lagi lewat broker, tapi langsung di kebun. Ia bayar wajar, kadang lebih, sambil mencatat tanggal panen dan proses pascapanen. Ia tidak tergoda mengurangi biaya saat cuaca jelek dan harga naik. “Kalau aku mau dimengerti pelanggan, duluan aku harus mengerti mereka yang lebih dulu mengerti kopi: para petani,” tulisnya.

Di Solo, ia mengubah menu. Nama “kopi susu gula aren” yang laris ia beri catatan kecil: “aren dari Pamekasan, panen bulan lalu, wangi smoky.” Espresso blend diberi kisah: “Kintamani 50%—jeruk bunga; Gayo 30%—kacang; Toraja 20%—rempah.” Ia menempel foto kecil petani di bawah deskripsi, lengkap dengan nama panggilan: Joko, Rengganis, Wungu—bukan gelar, bukan jabatan, hanya nama-nama yang terasa dari tanah.

Di pojok kedai, ia membuat ruang tanpa musik keras: meja panjang, rak buku, catatan-catatan kecil yang mengundang orang berdiskusi. Ia menulis di dinding dengan kapur:
“Jangan berlomba siapa paling murah; berlombalah siapa paling bermakna di hati pelanggan.” — Jago

Orang-orang mulai kembali. Awalnya pelan. Lalu—seperti air di parit yang terbuka—mengalir. Pelanggan lama yang dulu pernah membawa anaknya kini datang membawa cucu. Anak-anak muda yang biasanya memesan minuman manis, mulai bertanya tentang perbedaan washed dan natural. Seorang wartawan lokal menulis: “Kedai kecil yang kembali mengingatkan kita bahwa suara paling berharga dari bisnis adalah suara pelanggan.”

Bayu, yang dulu jujur sampai menyakitkan, kini sering membantu di bar. “Pak, saya bantu jadwal cupping ya?” Ia membawa teman-teman kuliahnya untuk belajar rasa, bukan hanya “hits” di Instagram. Mereka membahas tingkat kematangan ceri, suhu sangrai, distribusi partikel. Jago tak segan bilang “tidak tahu” ketika memang tidak tahu. Dan di situ, penghargaan orang justru bertambah.

Suatu sore, datanglah seorang ibu berkerudung, memperkenalkan diri sebagai Rengganis. “Saya dari Argosari. Bapak pernah beli aren dari kami. Ini ada fotonya kalau mau dipasang.” Ia menunjukkan gambar tangan-tangan perempuan menurunkan nira dari pelambung kelapa. “Tak perlu, Bu,” kata Jago, “tapi saya mau pasang nama njenengan di menu. Biar orang tahu siapa yang membuat manis mereka jadi bermakna.”

Rengganis tertawa, matanya berkaca. “Nama saya jadi nama rasa, Pak?”
“Nama panjenengan jadi jembatan.”

Kisah-kisah kecil menumpuk menjadi reputasi. Bukan reputasi yang berteriak, melainkan yang berdesir. Dua tahun kemudian, Jago Coffee membuka cabang ke-15 di Surabaya. Bukan waralaba meledak yang menelan dirinya, melainkan jaringan kecil dengan manajer yang diajak bicara dulu, bukan di-testimoni-kan. Stand di bandara Adi Soemarmo menempelkan tulisan tangan: “Kami dari kebun ini, bukan dari pabrik.” Di Singapura, sebuah acara kopi menaruh cangkir-cangkir kecil Jago di stan Nusantara; di Dubai, orang-orang Timur Tengah yang suka minuman manis terkejut menemukan aren punya kehangatan yang tidak “mendominasi” kopi; di Berlin, seorang barista berambut biru meminta resep untuk minuman yang dinamai Jago “Wungu”—campuran espresso, tonik, dan seiris jeruk purut.

Dalam setiap perjalanan, Jago membawa satu koper kecil berisi foto para petani, buku catatan, dan secarik kertas yang ditandatangani Rani: “Kalau ragu, dengarkan.” Ia selalu kembali ke Solo, selalu duduk di sudut kaca, selalu membeli koran di pagi hari. Ia suka membaca kisah orang lain karena di sana ia melatih telinga batinnya sendiri.

.

Namun hidup tidak melulu naik. Suatu musim, hujan terlalu lama, produksi anjlok. Harga naik, pelanggan komplain. “Pak, kok mahal?” “Pak, kok menurun?” Di rapat tim, Bayu mengusulkan potong biaya bahan baku. “Sementara saja, Pak. Setelah musim lewat, kita naikkan lagi.”

Jago menatap satu per satu wajah anak-anak muda yang kini memanggilnya “Pak” dengan campuran respect dan sayang. Ia mengingat Joko Tole di Sumenep, mengingat tangan-tangan yang memerah karena getah nira. Ia menulis di papan: “Harga kita naik, cerita kita jujur.”

Ia merekam video sederhana, tanpa musik latar, tanpa filter, tanpa setting mewah. Di balik meja, ia bercerita tentang hujan, longsor kecil, dan panen yang berkurang. Tentang orang-orang yang tetap turun ke kebun agar kita tidak kehilangan rasa. Ia mengajak orang memilih: “Kalau belum bisa, pesan yang kecil. Kalau sedang ketat, datang saja ke ruang diskusi; air putih gratis. Tapi izinkan kami tidak mengkhianati janji kami ke kebun.”

Komentar-komentar berdatangan. Ada yang marah, ada yang mengerti, ada yang datang dan memberi lebih. Seorang pengantar ojek online menaruh dua ribu rupiah ekstra di kotak tip, menulis: “Biar petani kita tetap kuat, Pak.” Seorang anak SMA menukar uang jajan chatime-nya seminggu untuk ikut kelas cupping. Jago belajar lagi: kalau jujur, orang mungkin tidak semua setuju, tapi orang akan tahu ke mana hatinya ingin mengarah.

Malam itu, Jago menutup kedai bersama Bayu. “Pak,” kata Bayu, “saya dulu pikir bisnis itu soal seberapa cepat kita ngomong. Sekarang saya paham, bisnis itu seberapa dalam kita mendengar.”

“Dan seberapa kuat kita menahan diri untuk tidak menjawab semua kritik dengan defensif,” tambah Jago sambil tersenyum. “Kadang jawaban terbaik adalah mengundang orang duduk dan minum bersama.”

.

Di rumah, Rani menyiapkan wedang jahe. “Kau makin berkilat, Pak,” kata Rani.
“Masih banyak takutnya,” jawab Jago.
“Takut bagus. Itu rem. Yang penting, kau tahu kapan menginjak gas.”

Jago menatap tangan Rani, mengingat tahun-tahun ketika ia pulang larut dan hanya membawa lelah. Di atas meja, ada foto lama: Jago kecil berdiri di depan Asli Koffie, memegang cangkir lebih besar dari wajahnya, di samping seorang lelaki bertubuh kurus dengan senyum yang tidak pernah habis—ayahnya, si “Jingga”. Ia memejamkan mata.

“Ayah,” bisiknya dalam hati, “aku baru mengerti sekarang. Kedai bukan soal meja dan kursi, tapi soal siapa yang kita undang duduk dan apa yang kita ajak mereka bicarakan.”

Esoknya, sebuah rombongan datang dari Madura. Joko Tole di depan, menenteng karung kecil sebagai buah tangan. Di belakangnya, seorang perempuan dengan mata tajam, memakai selendang batik: Wungu. “Pak,” kata Joko, “ada yang mau bertemu Bapak.” Mereka duduk, bercerita tentang cuaca, jalanan, anak-anak yang mulai senang membantu panen. Wungu menatap Jago lama-lama. “Pernah ada orang kota datang, ambil gambar kami, pulang, tak kembali. Bapak lain. Bapak kembali.”

Jago, yang selalu kuat di hadapan karyawannya, menunduk, merasa air hangat mengalir di pipi. Ia tidak malu. “Saya cuma belajar dengar, Mbak.”

“Dengar itu tidak cuma telinga, Pak,” kata Wungu. “Dengar itu duduk.”

.

Di pertengahan tahun, universitas setempat mengundang Jago menjadi pembicara. Aula penuh. Mahasiswa, dosen, pelaku UMKM, bahkan beberapa aparatur kelurahan datang. Jago membawa tiga benda: cangkir, koran pagi, dan buku catatannya. Ia memulai tanpa slide.

“Dulu saya HRD. Pensiun. Kosong. Saya bangunkan kedai lama ayah saya. Saya bangkrut hati-hati, saya bangkit pelan-pelan. Saya kira saya harus bicara keras agar didengar. Ternyata saya harus diam dulu agar paham.”

Ia menceritakan kesalahannya: mengejar dekorasi sebelum rasa, mengejar sorak sebelum makna. Ia menceritakan malam ketika Bayu datang dan berkata hal yang menampar. Ia menceritakan perjalanan ke kebun, tawa Rengganis, tatap mata Wungu, tangan Joko yang keras namun hangat. Ia menceritakan hari ketika harga naik dan ia memilih jujur, meski riskan.

“Kalian akan tergoda menciptakan fitur untuk masalah yang tak pernah diminta pelanggan,” katanya. “Jangan. Tanyakan, dengarkan, duduk. Lalu buatlah sesuatu yang menjawab hidup mereka.”

Di akhir acara, ia menutup dengan kalimat yang kini orang hafal sebagai “quotes Jago” yang dicetak di mug dan kaos tapi ia tahu lahirnya bukan dari pikiran, melainkan dari luka yang ia rawat:
“Strategi sukses bukan soal berapa besar modalmu, tapi seberapa besar telingamu mau mendengar, hatimu mau belajar, dan langkahmu mau bertahan.” — Jago

Tepuk tangan mengisi ruangan. Seorang mahasiswa maju bertanya, “Pak, kalau semua orang sibuk mendengar, siapa yang bicara?”

Jago tertawa. “Yang bicara adalah pelanggan. Kita menggemakan.”

.

Pada suatu senja, Solo kembali jingga. Jago duduk di sudut favoritnya. Di meja ada Kompas yang sudut halamannya sudah lecek, ada cangkir yang setengah kosong, ada amplop kecil—undangan dari penyelenggara pameran kopi di Berlin tahun depan. Ia menatap keluar: sebuah pasangan tua tertawa kecil membagi sepotong roti pisang; tiga anak muda mencatat profil rasa; seorang bapak berseragam pengantar mengistirahatkan helm, memesan kopi hitam, memandang jauh seolah sedang menelepon masa lalu. Di belakang bar, Bayu mengatur jadwal roster. Di dinding, foto-foto para petani tersenyum, bukan karena disuruh, melainkan karena mereka merasa ikut duduk di sini.

Telepon bergetar. Pesan dari Rani: “Jangan lupa makan. Aku masak rawon.”
Jago tersenyum. “Aku pulang.”

Sebelum berdiri, ia merapikan korannya. Ia menulis satu kalimat di margin, menutup hari dengan sebuah pengingat yang ingin ia wariskan pada siapa pun yang kelak duduk di kursi ini ketika ia tidak lagi sanggup:
“Bisnis yang baik itu seperti secangkir kopi yang jujur—kadang pahit, kadang manis, tapi selalu menghangatkan orang lain.”

Di luar, langit menua keungu-wunguan. Lampu-lampu kota menebal. Di udara, bau tanah basah yang mengajak orang pulang. Jago menepuk pundak Bayu, melangkah ke pintu, membalik tulisan “Buka” menjadi “Tutup”. Ia berjalan melewati trotoar yang disapu daun jambu, melewati kios koran yang kini juga menjual voucher data, melewati poster konser indie yang sebagian luntur. Ia membawa pulang lelah yang menyenangkan—lelah orang yang sepanjang hari bukan hanya menjual, tetapi juga duduk, mendengar, mencatat, dan berjanji.

Masa pensiun tak pernah ia bayangkan seperti ini. Tapi di sini ia berdiri: di kota yang tak pernah benar-benar tidur, di kedai yang tak pernah benar-benar sunyi, di usia yang tak lagi mengejar, melainkan menjaga. Ia menatap sekali lagi ke dalam kaca: melihat pantulan dirinya, pantulan kursi-kursi, pantulan foto-foto kebun. Dan di antara semua pantulan itu, yang paling ia syukuri adalah satu hal yang tidak berubah: cangkir yang mengundang orang duduk bersama.

“Jangan berlomba menjadi paling keras; jadilah yang paling hadir.”
— Jago

.

.

.

Jember, 12 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#JagoCoffee #StrategiPensiun #DengarkanPelanggan #KopiNusantara #UMKMIndonesia #StorytellingBrand #SoloKota #BisnisJujur

Leave a Reply