Senjata yang Tidak Bernama
“Kadang, senjata paling mematikan bukanlah kata-kata yang lantang, melainkan ketenangan yang tak bisa mereka beri nama.”
.
Hujan baru saja mereda ketika Jayengrana berdiri di depan jendela apartemennya. Dari lantai dua puluh, Jakarta tampak seperti rangkaian nadi elektronik—jalan raya yang tak tidur, lampu-lampu gedung yang berpendar, dan bayang-bayang manusia yang bergerak seperti piksel. Malam itu, suasana kota tidak benar-benar sunyi, tetapi hatinya terasa seperti ruang kosong tanpa gema.
Di meja marmer putih, laptopnya masih menyala. Di layar, sebuah e-mail dengan subjek berhias formalitas dingin menunggu dibaca ulang: “Klarifikasi Internal: Program Beasiswa Sekar Jagat.” Dalam e-mail itu, nama Jayengrana disebut berkali-kali. Tidak frontal, tidak kasar. Justru rapi dan sopan—bahasa yang dirangkai cerdas agar tuduhan terasa seperti “pertanyaan”, dan kesalahan terlihat seperti “kekhawatiran bersama”.
Pengirimnya: Amir Hamzah. Bukan pangeran dari kisah lama, melainkan direktur keuangan konsorsium pendidikan–properti tempat Jayengrana bekerja. Wajahnya sering terpampang di majalah bisnis, selalu disandingkan dengan kalimat: “menciptakan masa depan generasi muda Indonesia.” Namun di balik konferensi pers yang rapi, di ruang rapat ia adalah ahli memainkan kata dan ritme emosi. E-mail itu bukan sekadar pemberitahuan. Itu undangan masuk ke panggung yang sudah disusun.
Besok pagi, ia akan masuk ke ruang rapat lantai dua puluh tiga—ruang kaca yang menjadi tempat reputasi dibangun, atau diam-diam dirobohkan.
Jayengrana memejamkan mata. Kepalanya berat, bukan karena takut, tetapi lelah menghadapi permainan yang tak ia pilih. Di sisi meja, sebuah foto kecil berdiri dalam bingkai kayu: dirinya dan ayahnya, Kertawirya, di depan rumah tua mereka di Malang. Ayahnya pernah berbisik suatu malam ketika tetangga ribut soal warisan, “Le, elinga. Wong rame durung mesti bener. Kadhang sing meneng kuwi sing paling kukuh.” Yang berisik belum tentu benar. Kadang yang diam justru paling teguh.
Dulu ia hanya mengangguk. Kini makna kalimat itu menetes ke sendi-sendi.
.
Pagi di Panggung Kaca
Hujan ringan turun, seperti enggan benar-benar berhenti. Jayengrana melangkah ke lobby gedung perkantoran di Sudirman. Orang-orang berseliweran membawa tas kerja mahal, kemeja disetrika rapi, dan ekspresi yang lelah tapi dipoles profesional. Aroma kopi single origin bertubrukan dengan parfum mahal. Di lift, ia berdiri di antara kilau layar ponsel yang berkedip.
Ia mengenakan kemeja biru muda, jas navy sederhana, dan sepatu hitam yang disemir tipis semalam. Pakaian yang tidak menyombongkan apa pun, tetapi menyisakan kehormatan diri.
Ruang rapat lantai 23 dipenuhi dengung pendingin ruangan yang terlalu dingin. Di meja oval kayu, nama-nama besar duduk: Sekarjingga, kepala kurikulum; Ragil, investor muda yang gemar mengukur empati dengan matriks; Maya Dewi, direktur komunikasi yang terkenal menyusun narasi sedetail mungkin; Wirawangsa, penasihat hukum yang lebih suka menggulung lengan kemeja ketimbang mengangkat suara. Dan tentu saja, Amir.
Amir masuk dengan langkah tenang. Batik sutra, map hitam, tatapan teduh yang menyimpan perhitungan. “Pagi semua. Mari kita mulai.”
Rapat berjalan seperti biasa. Angka-angka dipresentasikan. Grafik naik-turun di layar. Proyeksi kuartal depan, penyesuaian anggaran, testimoni pemangku kepentingan. Semua terlihat profesional—hingga akhirnya Amir menutup tablet dan berkata pelan, “Sebelum penutup, saya ingin membahas Program Beasiswa Sekar Jagat yang dipegang Jayengrana.”
Kalimat itu seperti gesekan halus pada senar tegang. Slide di layar berubah menjadi data penerima beasiswa—foto, segmen pendapatan orang tua, nominal bantuan, catatan-catatan kecil yang tampak netral tapi penuh insinuasi.
“Beberapa laporan masuk,” Amir melanjutkan, “bahwa ada ketidaksesuaian eksekusi dengan proposal awal. Tidak signifikan, tetapi cukup untuk menimbulkan pertanyaan.”
Maya menambahkan selembut kapas, “Dan narasi publik di media sosial sedikit bergeser dari positioning utama grup.”
Bahasa yang cantik. Bahasa yang bisa menenggelamkan seseorang tanpa perlu meninggikan suara.
Semua mata beralih pada Jayengrana. Dulu, ia akan langsung membuka laptop, menampilkan folder demi folder, menjelaskan panjang lebar, memohon dimengerti, pulang dengan dada sesak. Hari ini tidak. Ia menarik napas pelan, menautkan jemari, dan berkata dengan suara rendah namun stabil:
“Posisi saya jelas: program dijalankan sesuai mandat tertulis dan arahan lisan yang saya terima. Di luar itu, saya tidak akan menambahkan apa pun.”
Hening jatuh begitu saja. Seolah seseorang baru saja mengubah naskah di tengah pertunjukan.
Sekarjingga mengerutkan alis. “Maksudmu singkat sekali?”
“Supaya tidak ada celah untuk salah tafsir.”
Amir menautkan jari-jarinya. “Kami mendapat laporan dari beberapa pihak…”
“Siapa? Ada laporan tertulis?” tanya Jayengrana, tetap dengan nada rendah yang sopan.
Amir tersentak kecil. “Belum tertulis. Tapi—”
“Kalau begitu mari bahas ketika sudah berbentuk dokumen,” potong Jayengrana. “Klarifikasi harus berdasarkan fakta, bukan kabar.”
Itu bukan serangan. Itu penataan ulang panggung.
Maya tersenyum canggung. “Bisa dijelaskan sedikit konteksnya untuk dua nama penerima beasiswa yang di luar segmen pendapatan?”
“Mereka kasus khusus yang disetujui rapat kecil tiga bulan lalu. Amir, kamu hadir waktu itu.”
Sepersekian detik Amir memalingkan pandang. Jayengrana menahan diri untuk tidak menambahkan cerita emosional kedua mahasiswi itu—satu merawat ibu yang sakit, satu hampir diusir dari kontrakan. Ia ingin, tapi ia tahu: semakin panjang ia bicara, semakin banyak kata yang bisa dipelintir.
“Kalau forum menilai kebijakan itu sudah tak relevan,” lanjutnya, “saya siap menyerahkan penilaian kembali ke forum. Tapi saya tidak akan menambah penjelasan yang tidak perlu.”
Hening kembali turun. Berbeda kali ini—hening yang menandakan skenario manipulatif telah retak.
Wirawangsa batuk kecil. “Kalau begitu, kita tunggu dokumen tertulis. Saya minta tim legal siapkan kerangka evaluasi.”
Amir mengangguk, bibirnya menahan senyum. Senyum yang tidak lagi bulat.
.
Café, Kopi, dan Kenyataan yang Lambat Jatuh
Selesai rapat, Sekarjingga mengajak Jayengrana turun ke café di lobby. Musik jazz instrumental mengalun tipis. Orang-orang bekerja dengan laptop terbuka dan mata yang tak bisa menyembunyikan lelah.
“Kamu berubah, Jayeng,” kata Sekarjingga sambil mengaduk cappuccino. “Tadi… kamu sangat tenang.”
“Aku hanya tidak mau ikut skenario orang,” jawab Jayengrana. “Orang licik bekerja dengan pola tebak respons. Aku keluar dari pola itu.”
Sekarjingga tersenyum getir. “Aku lega. Aku lama melihat kamu dipelintir, tapi aku tidak berani bicara.”
“Kamu tak perlu merasa bersalah. Banyak orang baru berani bicara setelah melihat seseorang tidak jatuh saat memilih diamnya sendiri.”
Ia menghela napas. “Kamu mau apa setelah ini?”
Jayengrana membuka ponsel, menunjukkan draft e-mail pengunduran diri. “Belum kukirim. Tapi kalau pola ini berulang, aku akan keluar baik-baik. Tanpa drama.”
“Keluar?” Mata Sekarjingga membesar.
“Ya. Ada titik di mana bertahan bukan lagi bentuk kesetiaan, tapi pengkhianatan terhadap diri sendiri.”
Sekarjingga memegang cangkirnya lebih erat, seakan kopi adalah pegangan terakhir. “Aku takut kamu menyesal.”
“Yang kusesali selama ini justru semua kalimat tambahan yang kuberikan pada orang yang sudah berniat salah paham.”
.
Pesan yang Tak Lagi Menggigit
Malamnya, Jayengrana menerima pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal: Tadi kamu berani juga di rapat. Hati-hati. Gaya diam-mu itu bisa bikin orang salah paham.
Ia tidak membalas. Lima menit kemudian: Diam? Takut?
Dulu, kata-kata itu akan berputar-putar di kepalanya. Malam ini, ia menutup ponsel dan membuka buku catatan. Ia menulis: “Aku tidak perlu menjelaskan diri pada orang yang hatinya sudah memilih salah paham.” Lalu menambahkan: “Senjata paling halus adalah ketenangan yang tidak mereka mengerti.”
Di luar, lampu-lampu kota redup seperti mata yang belajar memejam.
.
Rana, Pertanyaan, dan Luka yang Mengajar
Beberapa minggu kemudian, di sesi mentoring yang ia gagas untuk penerima beasiswa, seorang mahasiswi bernama Candrakirana—dipanggil Rana—menghampirinya. Mata muda yang menyimpan beban melebihi usianya.
“Mas,” suaranya bergetar, “bagaimana menghadapi orang licik… kalau yang licik itu keluarga sendiri? Atasan sendiri? Orang yang hidupku bergantung padanya?”
Pertanyaan sederhana bagi dunia, rumit bagi hati. Jayengrana menatapnya pelan, seolah memilih kata di antara batu licin.
“Rana,” katanya, “jawaban seperlunya bukan berarti memutus komunikasi. Itu berarti memilih kata yang cukup—tak lebih, tak kurang.”
Ia lalu merumuskan menjadi langkah-langkah:
-
Jawab seperlunya. Agar tidak memberi celah manipulasi.
-
Tanya balik secara netral. Untuk mengembalikan beban bukti.
-
Diam strategis. Mematahkan ritme permainan.
-
Kembalikan ke pokok persoalan. Supaya drama tidak beranak-pinak.
-
Hindari klarifikasi panjang. Karena semakin panjang, semakin mudah dipelintir.
-
Akhiri dengan tenang. Jika niat baik absen, jangan memohon.
Rana menelan ludah. “Jadi… keluar dari grup keluarga yang selalu menyindir saya… itu boleh ya, Mas?”
“Kalau itu cara menjaga kewarasan tanpa melukai balik, itu bukan kabur. Itu hormat pada diri sendiri.”
Rana mengangguk. Untuk pertama kalinya, matanya lebih ringan.
.
Kota yang Menyala, Batin yang Menepi
Jakarta merayakan akhir pekan di pusat belanja: pop-up store lokal berdampingan dengan butik global, seminar personal growth digelar di ruang-ruang hotel, kopi diseduh seperti upacara. Jayengrana berjalan sendiri di antara etalase. Ia membaca wajah-wajah yang hidup dalam kecepatan—hidup yang sibuk mengejar definisi sukses, tapi gagap saat menamai tenang.
Di food hall, ia bertemu Ragil. Investor muda itu mengunyah salad sambil membaca pitch deck di ponsel.
“Dengar-dengar kamu mau mundur,” ucap Ragil tanpa basa-basi.
“Aku sedang belajar tidak berada di tempat yang menipiskan diriku.”
Ragil tertawa kecil. “Kamu terlalu puitis. Di dunia ini, yang bertahan yang menang.”
“Menang atau menipis?” Jayengrana balik bertanya.
Ragil menatapnya, tersenyum sinis, lalu berpamitan. “Sampai ketemu di panggung berikutnya.”
“Semoga panggungnya bukan panggung orang lain,” jawab Jayengrana.
Di kaca eskalator yang memantulkan wajahnya, Jayengrana melihat sesuatu yang baru: bukan ketakutan, melainkan garis tegas yang muncul dari belajar melepaskan.
.
Rumah, Masa Lalu, dan Bisik Ayah
Beberapa hari sebelum menentukan sikap, Jayengrana pulang ke Malang menjenguk ayahnya. Rumah tua itu tetap sama: bau kayu, foto-foto hitam putih, halaman dengan pohon sawo yang tak pernah mandi pupuk mahal, tapi selalu berbuah.
Kertawirya duduk di teras, menyeduh teh tubruk. “Kowe teko, Le.”
Jayengrana duduk bersila. “Pak, aku capek. Tapi bukan capek kerja.”
Kertawirya tersenyum samar. “Capek nahan diri supaya ora dadi wong ala?”
Jayengrana mengangguk. “Aku pingin marah sering kali. Tapi aku takut marahku membuatku mirip mereka.”
Ayahnya menatap langit yang berawan. “Wong sing ngerti kekuwatane sejatine ora butuh teriak. Kadang, sing paling kuat iku sing paling sepi.”
“Kalau aku mundur, aku kalah ya, Pak?”
“Kaping piro kowe nganggep mundur kuwi kalah? Kadang mundur kuwi jaga jarak supaya ora kecemplung ing lumpur. Kowe ngerti sepatu larang, Le. Yen kecemplung, ora mung regane mudhun, nanging kowe meksa uripmu mlaku nganggo sepatu teles.”
Mereka tertawa kecil. Tawa yang menyiram ranggas di dada.
“Pak,” Jayengrana melanjutkan, “bagaimana cara tahu diamku ini bukan pengecut?”
“Yen kowe meneng kanggo ngupaya tenang lan memutus lingkaran ala, kuwi wiji wani. Meneng sing pengecut iku sing metu saka ketakutan. Kowe ora wedi, mung ora gelem melu dolanan.”
Malam itu, ia tidur di kamar lamanya. Dinding yang dulu penuh poster kini terkelupas sedikit. Hujan jatuh di atap seng seperti jari mengetuk pintu-pintu ragu. Ia memejamkan mata dengan doa pendek yang diajarkan ibunya: “Yang kukehendaki hanya kebaikan, meski kecil, meski pelan.”
.
Dokumen yang Akhirnya Datang
Pagi Senin, e-mail menyusul: lampiran berjudul Internal Notes—Scholarship Alignment. Tiga halaman. Berisi “temuan” yang menyamarkan asumsi sebagai fakta, dan “masukan” yang menyisipkan penghakiman.
Jayengrana membaca pelan. Ia membubuhkan catatan singkat di pinggir: Tidak relevan; sudah diputuskan rapat kecil 14/7. Lalu: Mohon cantumkan bukti; saat ini klaim. Dan pada beberapa bagian, ia menulis: Setuju; perlu penajaman SOP.
Ia mengirim balasan: ringkas, bernomor, tanpa kalimat emosi. Di akhir e-mail, ia menutup: Saya siap hadir jika forum membutuhkan diskusi berbasis dokumen resmi. Jika tidak ada, saya anggap isu selesai dan kami kembali bekerja.
Dalam satu jam, Maya membalas. Noted. Kita bawa ke rapat komite etika pekan ini.
Amir tidak membalas. Hanya tanda baca biru pada aplikasi percakapan internal.
.
Rapat Komite: Putaran Terakhir
Ruangnya lebih kecil. Di dinding, jam digital merah. Wirawangsa memandu. “Kita bahas sesuai lampiran. Tidak ada improvisasi.”
Satu per satu poin dibacakan. Pada saat nama dua penerima beasiswa disebut, Jayengrana hanya mengangkat dokumen notulen rapat kecil. Ada tanda tangan Amir di sana, tipis, miring ke kanan.
Wirawangsa menutup berkas. “Clear.”
Amir bersandar. “Saya akui terlewat. Tapi framing publik tetap perlu diperhatikan.”
Maya mengangguk. “Kita revisi narasi tanpa menyalahkan siapa pun. Fokus ke penerima manfaat.”
Sekarjingga menghela napas lega. “Kurikulum akan menyiapkan modul literasi finansial untuk penerima. Agar bantuan bukan hanya angka, tapi kemampuan.”
Jayengrana mencatat dalam hati: inilah bentuk kerja yang ia mau—fakta, perbaikan, dan masa depan yang bertambah terang meski sedikit.
Rapat berakhir. Orang-orang beranjak. Amir menghampiri, menepuk lengan jasnya. “Kamu tenang, ya.”
“Tenang bukan berarti tidak melihat,” kata Jayengrana. “Tenang berarti aku tidak menari di musik orang lain.”
Amir tersenyum hambar, lalu pergi.
.
Surat yang Dikirim dari Dalam
Malam itu, di apartemen, Jakarta berkilau seperti kain sutra diremas-remas lampu. Jayengrana duduk menatap kursi kosong di seberang meja—kursi “orang lain” yang sering ia isi sendiri melalui asumsi. Ia ingat semua pertengkaran yang terjadi karena ia ingin cepat dimengerti. Ia ingat semua lelah yang lahir dari menjelaskan panjang-panjang kepada orang yang tak pernah berniat mendengar.
Ia membuka laptop. Di folder Draft, surat pengunduran diri yang sudah lama menunggu. Ia membacanya lagi. Terlalu panjang. Terlalu meminta maaf. Terlalu menjelaskan.
Ia menekan delete. Layar putih.
Lalu ia mengetik pelan, seperti menulis doa.
“Saya menghargai proses yang saya jalani di sini. Saya juga menghargai ketenangan batin saya. Dengan ini saya berpamitan baik-baik, efektif per akhir bulan.
Terima kasih atas kesempatan dan pelajaran yang diberikan. Semoga yang kita bangun tetap mengalir ke lebih banyak anak muda yang butuh kesempatan.
Salam,
Jayengrana.”
Ia menatapnya sebentar. Tanpa dramatisasi, tanpa menyalakan sirene. Hanya kalimat yang berdiri tegak, menolak dipoles.
Ia menekan send.
Ada bunyi kecil: woosh. Di dalam dirinya, suara itu terdengar seperti gemuruh pohon tua yang akhirnya rebah setelah bertahun-tahun menahan badai.
.
Sesudahnya Bukan Akhir
Kabar kepergian Jayengrana bergerak seperti kabut. Ada yang mengirim stiker salam perpisahan di grup kantor, ada yang menawarkan coffee chat terakhir, ada pula yang hening saja. Hening yang dulu menyakitkan, kini ia pahami sebagai ruang yang tak semua orang tahu cara mengisinya.
Sekarjingga menemuinya di sebuah taman kota, di antara deretan jogger dan pasangan yang baru pulang gereja. “Kamu yakin?”
“Aku tidak yakin pada semua hal,” jawabnya sambil tersenyum. “Tapi aku yakin pada siapa diriku saat mengambil keputusan ini.”
Mereka berjalan menyusuri trotoar yang baru diperbaiki. Papan reklame memantulkan matahari. Anak-anak kecil bersepeda dengan helm lucu. Di kejauhan, suara azan mengecilkan kebisingan.
“Jayeng,” Sekarjingga berbisik, “kalau kamu mau, kurikulum kemitraan bisa kamu rintis dari luar. Kita kontrak saja. Kamu pegang kualitas.”
Jayengrana menoleh. “Kamu tidak takut?”
“Aku takut terus menerus buta oleh cara lama,” jawab Sekarjingga. “Kamu mengajariku cara diam yang membuat kami semua mendengar hal yang penting.”
.
Menanam yang Baik, Meski Kecil, Meski Pelan
Bulan-bulan berikutnya, Jayengrana merintis studio kecil di sudut Tebet. Bukan tempat mewah—hanya ruang kerja dengan rak buku, papan tulis, dan meja rapat untuk enam orang. Di dinding, ia tempel tiga kalimat:
-
Bekerja untuk perkara yang lebih besar dari egomu.
-
Kalau ragu, pilih yang membuatmu menjadi manusia yang lebih utuh.
-
Menang tanpa membuat orang lain kalah.
Ia membuka kelas literasi beasiswa, mengajar penerima bagaimana membaca kontrak, menilai bias, menulis e-mail yang ringkas namun berdaulat. Ia mengajar orang tua bagaimana menanyakan hak tanpa berteriak, dan staf kampus bagaimana menyusun SOP yang melindungi yang lemah. Rana membantu sebagai koordinator kelas. Suaranya kini mantap, matanya belajar tertawa.
Sekarjingga datang suatu Sabtu, membawa karangan bunga kecil. “Dari teman-teman kurikulum,” katanya. “Bukan untuk peresmian. Untuk mengingatkan bahwa pelan bukan berarti terlambat.”
Sore itu, hujan turun lagi. Air menabuh atap seng studio dengan ritme yang akrab. Jakarta berkilau di luar, di dalam ada enam orang remaja dengan catatan-catatan, dan satu orang lelaki yang belajar menamai tenang.
.
Senjata yang Tak Diberi Nama
Di meja kerjanya, Jayengrana menulis kalimat terakhir malam itu: “Kalimat paling menakutkan bagi orang licik bukanlah bentakan atau data berlapis, melainkan jawaban tenang yang membuat mereka kehilangan skenario.”
Ia menutup catatan dengan doa pendek: “Semoga kita kuat menjaga diri, tanpa menjadi seburuk cara mereka melukai.”
Karena pada akhirnya, senjata yang paling mematikan adalah senjata yang tidak perlu diberi nama: seperlunya, seperlunya saja. Tenang, namun memutus rantai manipulasi sampai ke akar. Tenang yang bukan mundur karena takut, melainkan mundur dari panggung yang tak lagi memuliakan manusia.
Jakarta tetap berpendar seperti kotak perhiasan raksasa. Di dalamnya, ada manusia yang memilih bersinar dari dalam—tanpa suara yang menggelegar, tanpa gelar yang berkilau—hanya dengan keteguhan yang tak semua orang tahu cara menirunya.
.
.
.
Malang, 23 November 2025
.
.
#CerpenMinggu #SastraKota #Jakarta #EtikaKerja #Beasiswa #KetenanganBatin #Storytelling #Mentorship #NamakuBrandku
.
Kutipan Tambahan
-
“Tenang bukan berarti tak melihat; tenang berarti tak menari di musik orang lain.”
-
“Jangan menukar kewarasan dengan tepuk tangan.”
-
“Menang yang sejati adalah saat kita tak perlu membuat orang lain kalah.”
-
“Jawab seperlunya, agar hati tak diambil alih kata-kata yang tak perlu.”