Seketika Langit Terbuka

“Terlalu sibuk memikirkan masa depan, padahal tidak ada jaminan untuk hidup besok. Lalu kita harus bagaimana supaya tetap solutif, produktif, positive?”

— Pitutur Jawa

.

Sebuah Kampung Bernama Kedungjati

Di sebuah desa kecil bernama Kedungjati, terletak di lereng perbukitan Jawa Timur, hiduplah seorang pemuda bernama Wirakrama. Ia adalah anak sulung dari tiga bersaudara, putra dari Ki Martawangsa, seorang pengukir topeng yang sudah lama tidak produktif karena penyakit rematiknya.

Wirakrama dikenal rajin, tapi juga terlalu sering murung. Ia bukan pemuda yang banyak bicara, justru sering termenung memandangi puncak Gunung Argopuro dari sawah belakang rumahnya.

“Aku takut, Bapa… Takut masa depan itu tidak berpihak padaku,” ujar Wirakrama suatu malam, saat duduk di beranda bersama sang ayah.

Ki Martawangsa memandangi langit yang gelap tanpa bintang. “Nak, masa depan itu bukan untuk ditakuti. Ia untuk disiapkan, bukan untuk dikhawatirkan. Kalau terlalu takut, nanti kau lupa hidup hari ini.”

Namun, nasihat itu tak pernah benar-benar masuk ke hati Wirakrama. Ia tetap saja cemas. Ia bekerja di bengkel kecil, membantu Pak Cindelaras, membetulkan motor dan kadang membuat peralatan bertani dari besi rongsokan. Tapi pikirannya sering tidak hadir. Ia terlalu sibuk merancang kehidupan ideal di kepalanya, yang entah kapan akan jadi nyata.

.

Hadirnya Lintang Kemukus

Hidup mulai berubah saat seorang perempuan datang ke Kedungjati sebagai relawan pengajar dari kota. Namanya Lintang Kemukus, gadis berani dan bersahaja. Ia memiliki semangat menggebu dalam mengajar anak-anak desa, terutama tentang pentingnya literasi digital dan bercocok tanam dengan teknologi hidroponik.

Wirakrama tertarik padanya bukan hanya karena kecantikan atau kepandaiannya, tapi karena sikapnya yang penuh harapan meski hidupnya juga tidak mudah.

“Kamu kenapa selalu kelihatan seperti membawa beban dunia, Rama?” tanya Lintang suatu sore.

“Karena dunia memang berat. Apalagi untuk orang seperti aku.”

“Tapi kamu masih hidup. Masih bisa memilih. Itu saja sudah cukup alasan untuk bersyukur.”

Ucapan Lintang bagai tamparan lembut. Tapi tetap saja, malam itu Wirakrama kembali gelisah. Ia duduk menulis rencana lima tahunnya, menggambar peta hidup yang sempurna—rumah, pekerjaan tetap, pendapatan pasti, dan status sosial yang naik.

Sayangnya, semesta tidak pernah mengikuti rencana.

.

Kehilangan yang Mengubah Arah

Dua minggu setelah ulang tahun Wirakrama ke-25, Ki Martawangsa meninggal dunia karena serangan jantung. Kabar itu datang saat Wirakrama sedang mengikuti pelatihan kerja ke Surabaya. Ia pulang dengan bus malam, duduk sendiri dengan wajah yang kaku dan hati yang hancur.

Pemakaman berlangsung sederhana. Wirakrama merasa kosong. Semua rencana masa depan yang digambar rapi, mendadak tak berarti. Ia kehilangan sosok yang selalu mengingatkan bahwa hidup adalah hari ini.

Usai tahlilan malam ketujuh, Lintang datang dan menyerahkan secarik kertas yang berisi puisi dari Ki Martawangsa yang ditemukan di antara alat ukirnya.

“Anakku, Jangan menunggu dunia sempurna untuk berani hidup. Dunia ini tak pernah akan. Hiduplah hari ini. Karena esok bisa jadi hanya harapan.”

Wirakrama menangis tersedu. Tak pernah sebelumnya ia merasa serapuh itu. Ia sadar, selama ini ia hidup seperti menabung napas untuk nanti, tapi lupa menghirup udara hari ini.

.

Hidup Hari Ini

Beberapa bulan kemudian, Wirakrama mengambil keputusan mengejutkan: ia membuka bengkel edukasi pertanian di belakang rumah, menggunakan ilmu dari Lintang dan modal sisa penjualan topeng-topeng karya sang ayah.

Ia menamai tempat itu Bumi Sederhana. Setiap sore anak-anak dan remaja datang untuk belajar menyambung kabel, memperbaiki sepeda, menanam cabai dalam botol bekas, dan mengenal coding dasar dari ponsel bekas.

Lintang pun masih bertahan di desa, mendampingi bukan sebagai relawan lagi, tapi sebagai mitra hidup. Mereka belum menikah, tapi saling mendukung dan memilih untuk hidup penuh makna, hari demi hari.

“Jadi, kamu sudah nggak takut masa depan?” tanya Lintang.

“Masih,” jawab Wirakrama. “Tapi sekarang aku tahu, ketakutan itu tak akan mengubah apa pun kecuali membuatku kehilangan hari ini.”

Lintang tersenyum, “Berarti kamu sudah sembuh.”

“Belum. Tapi aku belajar hidup dengan luka, bukan menunggu sembuh baru berani melangkah.”

.

Rumah Kita

Di tengah halaman Bumi Sederhana, terpajang satu ukiran besar dari kayu jati milik Ki Martawangsa, dengan kalimat:

“Masa depan bukan tempat tinggal. Masa depan itu arah. Tapi rumah kita tetap di hari ini.”

Wirakrama berdiri di hadapan ukiran itu setiap pagi sebelum membuka kegiatan, mengingatkan dirinya bahwa hidup tidak pernah menjanjikan hari esok, tapi selalu memberikan kesempatan di hari ini.

.

.

.

Jember, 4 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CeritaMotivasi #HidupHariIni #KisahHaru #MenakJawa #CerpenIndonesia #BumiSederhana

Leave a Reply