Di Antara Doa dan Dunia
“Jangan tertipu oleh ibadahmu. Tapi periksalah hatimu. Apakah ia bersama Sang Pencipta atau bersama dunia.”
.
Cahaya di Ujung Kapel
Langit senja di Desa Ngembat Langit, Jepara, menyapu lembut tanah yang mulai sepi. Dentang lonceng dari kapel kecil menampar hening sore. Di sana, berdiri seorang pria renta, mengenakan baju koko putih dan celana panjang kain. Namanya adalah Rama Wirakrama, mantan Bruder Katolik yang kini memilih menyepi.
Di belakangnya, berdiri seorang pemuda, keponakannya, bernama Jayengrana. Wajahnya tampan, penuh semangat muda, namun matanya menyimpan kegalauan. Ia datang dari Jakarta, meninggalkan karier marketingnya di perusahaan multinasional. Konon, demi mencari arti hidup.
“Bahkan doa rosario yang panjang pun, belum tentu membawa hati kita kepada-Nya, Le,” bisik Rama Wirakrama usai doa petang.
Jayengrana menunduk.
“Kadang orang mengira mereka dekat dengan Tuhan karena sering berdoa. Padahal yang mereka doakan hanya urusan dunia semata,” lanjut sang paman.
Jayengrana diam. Ia baru saja mengalami kehancuran karier karena intrik kantor. Hatinya hancur, tapi wajahnya tetap datar.
Jayengrana dan Kesombongan yang Terselubung
Tiga tahun lalu, Jayengrana menjadi salah satu lulusan terbaik dari Universitas ternama. Kariernya melesat. Ia sering tampil di seminar, menulis opini di media, dan viral karena konten motivasi religiusnya.
Setiap pagi, ia memulai hari dengan doa pagi dan memberi makan gelandangan. Tapi di antara semua itu, ada satu hal yang tak ia sadari: bahwa semua amalnya berubah menjadi panggung pencitraan.
Di dalam dirinya, ada suara lirih yang membisik, “Engkau lebih baik dari mereka.”
Setiap kali ia melihat orang lain lalai, ia tersenyum dengan angkuh.
Ia merasa imannya sudah cukup. Hatinya merasa aman karena ia telah berdoa. Namun, dunia tiba-tiba menjatuhkannya.
Kejatuhan di Puncak Doa
Proyek yang digadang-gadang menjadi tonggak kariernya, runtuh karena permainan licik atasannya sendiri. Ia dikambinghitamkan. Sahabatnya berkhianat. Namanya dicoret dari daftar promosi.
Jayengrana terpuruk. Ia menangis di depan salib. “Mengapa, ya Tuhan, padahal aku selalu bersujud kepada-Mu?”
Ia memutuskan pulang kampung. Membawa segala luka dan air mata.
“Karena kadang Tuhan menjatuhkan bukan untuk menyiksa, tapi untuk menyadarkan,” kata Rama Wirakrama sambil menepuk pundaknya. “Barangkali, Tuhan ingin kau berdoa bukan kepada citramu, tapi kepada-Nya sungguh-sungguh.”
Bertemu Yusnia: Perempuan Penjual Jajan Pasar
Di pasar tradisional, Jayengrana bertemu Yusnia, gadis desa yang menjajakan kue-kue tradisional. Sederhana, tapi selalu tersenyum. Ia menghidupi adik-adiknya dengan tangan sendiri.
“Mas Jayeng kok tiap hari ke kapel terus?” tanya Yusnia, suatu senja.
Jayengrana tersenyum, “Lagi belajar meluruskan hati.”
“Kalau hatinya sudah lurus, doanya jadi ringan. Tapi kalau doanya hanya untuk kelihatan saleh, berat banget Mas, kayak dagang kue nggak laku-laku,” canda Yusnia.
Jayengrana tertegun. Seorang gadis sederhana mengingatkannya pada sesuatu yang telah ia lupakan: keikhlasan.
Peristiwa Wafatnya Rama Wirakrama
Suatu malam, saat angin berhembus dingin, Jayengrana mendapati Rama Wirakrama tersungkur di depan kapel. Wajahnya tenang. Tangannya masih menggenggam rosario.
“Le… yang paling berbahaya dari iman adalah ketika ia membuatmu merasa lebih tinggi dari yang lain,” kata-kata terakhir sang paman menyayat hati.
Jayengrana menangis. Tangis yang tak pernah ia izinkan sebelumnya. Di depan nisan sederhana, ia bersumpah akan menata ulang hidupnya, bukan hanya lahir tapi juga batin.
Membangun Sekolah Nurani
Setahun kemudian, Jayengrana mengubah rumah peninggalan Rama Wirakrama menjadi sekolah informal bernama “Padepokan Nurani.” Ia mengajarkan anak-anak tentang ilmu pengetahuan, keterampilan hidup, dan yang terpenting: keikhlasan.
Ia menggandeng Yusnia sebagai pengajar kearifan lokal dan kuliner tradisional. Bersama-sama, mereka mendidik anak-anak untuk tidak hanya cerdas otak, tapi juga cerdas hati.
Doa yang Tidak Mencari Panggung
Pada suatu pagi, saat lonceng kapel berbunyi, Jayengrana duduk di pojok bangku. Kali ini, doanya tak panjang, tak pula dengan air mata. Tapi sunyi itu begitu dalam.
Ia tahu, kali ini ia benar-benar berbicara kepada-Nya, bukan kepada citra dirinya. Ia tak lagi sibuk menilai orang lain, tak pula sibuk memamerkan iman. Ia hanya ingin pulang—pulang ke hati yang bersih, hati yang mengenal Kristus, bukan hanya ritualnya.
.
“Kadang kita terlalu sibuk berdoa, hingga lupa memeriksa kepada siapa kita berdoa.”
.
.
.
Jember, 4 Juli 2025 (hari Jumat pertama)
.
.
#CerpenKatolik #ImanTulus #DoaTanpaPanggung #FilsafatJawa #CerpenEmosional