Pintu yang Belum Terbuka

“Kadang kita tak perlu melihat seluruh peta, cukup memegang satu kompas kecil: hati yang percaya bahwa Tuhan masih memegang kemudi.”

.

Subuh turun perlahan di Jakarta, ketika langit masih biru tua dan jendela-jendela gedung belum sepenuhnya berkedip. Dari gang sempit di seberang sungai yang berbau lumpur dan sabun, Wiradirja menandai lagi satu tanggal di kalender kertas yang mulai lepas dari paku. Belum ada kabar dari lamaran minggu lalu. Belum ada tanda bahwa pintu mana pun bergerak. Di atas meja kayu tipis, ada secarik tulisan yang ia tempel—sebuah doa yang ia salin di malam-malam panjang: “Aku tidak harus tahu segalanya; aku percaya selangkah demi selangkah.”

Kosnya berada di lantai dua rumah petak, berdempetan dengan warung soto milik Bu Wati. Dindingnya tipis; setiap kali sendok beradu panci, bunyinya ikut merambat sampai ke bantal. Wiradirja tak keberatan. Suara-suara itu, bersama azan dari masjid ujung gang dan teriakan pedagang sayur, membuatnya merasa ia masih bagian dari sesuatu yang hidup.

Di spion motor tuanya, ia lihat wajahnya sendiri: mata berkantung, rambut yang baru dipotong sendiri dengan gunting murahan. Ia menarik napas. Di dalam tas, map biru dengan CV berisi jejak hidup yang baginya terasa terlalu pendek. Ia menggulung lengan kemeja, mengunci pintu, lalu menuruni tangga yang berderit.

Prabangkara—teman sekosnya—baru pulang mengantar paket. Helmnya masih basah oleh embun. “Wira, kamu jadi ke wawancara itu?”

“Jadi. Jam sembilan. Di Kuningan.”

“Naik apa?”

“Transjakarta, lanjut jalan kaki.”

Prabangkara mengangguk. “Kalau pulang sore, kabari. Aku ada rute dekat Kuningan. Bisa bareng.”

Keduanya saling menepuk bahu. Dalam empat bulan terakhir, persahabatan mereka dirawat oleh hutang-hutang kecil yang dibayar dengan tawa. Kadang Prabangkara pulang membawa gorengan sisa order, kadang Wiradirja mendapat voucher makan dari job fair. Mereka tak pernah benar-benar kenyang, tetapi selalu merasa cukup untuk besok.

.

Bus berhenti di halte Tosari. Angin dari pintu otomatis menusuk kemeja. Deretan pohon trembesi di boulevard tampak rapi, lebih rapi dari kepala Wiradirja yang kusut oleh pertanyaan: Kenapa belum ada yang membuka pintu? Ia berjalan melewati para pekerja kantoran dengan kartu akses tergantung di dada. Wajah-wajah itu tampak seperti jam digital: tepat, fungsional, dan kadang dingin.

Kantor tempat wawancara berada di lantai dua puluh tiga sebuah menara berlapis kaca. Resepsionis menyambut dengan senyum yang diatur. “Silakan duduk, Mas Wira,” katanya setelah memeriksa daftar. Di ruang tunggu, ada tanaman plastik yang mengkilat, mesin kopi yang mengeluarkan suara seperti napas panjang, dan musik latar yang lebih mirip hentakan denyut jantung.

Di depannya duduk seorang perempuan dengan blazer abu-abu, rambutnya diikat rapi. Namanya Rengganis—ia memperkenalkan diri sambil merapikan berkas. “Kamu juga wawancara posisi content associate?”

“Iya.” Wiradirja tertawa kecil. “Saya pikir saya paling pagi. Ternyata ada yang lebih on-time.”

“Kereta saya datang lebih cepat,” jawab Rengganis, “dan… saya takut telat.”

“Takut telat atau takut kalah?” goda Wiradirja.

“Dua-duanya,” katanya, tersenyum. “Tapi kalau kalah karena telat, rasanya lebih menyesakkan.”

Keduanya tertawa singkat, lalu kembali menatap pintu ruang wawancara yang tertutup. Ketika HRD memanggil, Rengganis masuk lebih dulu. Wiradirja menunggu sambil menggores-gores buku catatannya. Di halaman terakhir, ia menulis: Berikan aku keberanian untuk tidak memaksa—hanya mengetuk dengan cara yang pantas.

Gilirannya datang. Ruangan wawancara memantulkan sinar matahari yang mulai tajam. Di hadapannya duduk dua orang: seorang manajer pemasaran dan seorang HRD yang kelihatan lelah. Pertanyaan-pertanyaan melesat seperti anak panah: “Apa pengalaman menulis Anda?” “Bagaimana mengukur kinerja content?” “Apa pencapaian terbesar?” “Kenapa keluar dari kerja sebelumnya?” “Bagaimana menghadapi deadline?”

Wiradirja menjawab sejujur yang ia bisa, tanpa menaburi kalimat dengan kata-kata kosong. Ia bercerita tentang blog yang ia kelola sewaktu kuliah, tentang proyek kecil menulis profil UMKM yang bertahan di pandemi, tentang cara membaca data insight yang sederhana namun berguna. Ia tidak menjanjikan langit, hanya jembatan kecil menuju seberang. Ketika wawancara selesai, manajer itu mengangguk. “Kami akan menghubungi minggu depan.”

Kalimat itu lagi. Wiradirja mengangguk, mengucap terima kasih, lalu menutup pintu rapat dengan hati yang tak pasti.

.

Di trotoar Kuningan, ia duduk di bawah bayang-bayang gedung. Jakarta siang itu terang dan kejam. Ia membeli air mineral dan dua tahu isi dari pedagang gerobak. Yang menjual seorang lelaki paruh baya, topinya pudar, senyumnya hangat.

“Kerja, Mas?” tanya si bapak.

Wira mengangguk.

“Di sini semuanya kerja,” lanjut si bapak sambil mengangkat wajan. “Ada yang kerja cari makan, ada yang kerja cari harga diri.”

Wiradirja melihat tangannya sendiri, kapalan di ruas jari karena terbiasa mengetik di laptop tua. “Saya lagi cari dua-duanya, Pak.”

“Kamu kuat,” kata si bapak, entah menebak atau mendoakan. “Kalau lelah, ingat: pintu rezeki itu banyak. Kadang kita memaksa satu pintu, padahal kunci kita cocok di pintu lain.”

Wiradirja tersenyum, membayar, lantas berpamitan. Kata-kata itu menempel seperti minyak goreng—hangat, agak lengket, namun mengenyangkan.

.

Sore hari, di kereta yang kembali ke arah timur, kota merapat seperti halaman buku yang dibalik cepat. Dari jendela, ia melihat mural di tembok: gambar seorang anak memeluk layang-layang. Di bawahnya tertulis: “Jangan buruan besar dulu; kuatkan tali.” Ia memfoto mural itu, mengirim ke Prabangkara.

Balasan datang cepat: “Layang-layangmu panjang, bro. Tali kita urus sama-sama.”

Malamnya, Prabangkara mengajaknya membantu mengantar paket. “Biar kamu kenal rute,” katanya. “Siapa tahu besok-besok kamu butuh kerja sementara. Nggak tinggi gengsi, kan?”

Wiradirja menggeleng. “Gengsi sudah lama saya jual,” candanya.

Mereka menyusuri jalan-jalan sempit yang ditutup parkir liar. Lampu motor memantul di genangan air, menyisir rumah kontrakan, warung, kambing-kambing yang ditambatkan di pinggir lapangan. Di satu titik, mereka berhenti di depan rumah kontrakan dua petak. Seorang ibu muda keluar, bayinya digendong, matanya sayu namun senyumnya tidak hilang.

“Terima kasih, Mas,” katanya menerima paket popok. “Kalian yang jadi jembatan.”

Di perjalanan pulang, Prabangkara berkata, “Kamu pernah cerita ayahmu suka kisah Menak Madura?”

“Iya. Dia paling suka cerita tentang Wiradirja yang ditakdirkan berjalan jauh sebelum menemukan rumahnya sendiri. Katanya, namaku itu titipan doa: supaya saya nggak takut jauh dan nggak sombong kalau sudah dekat.”

“Bagaimanapun, kamu sudah berjalan jauh. Jangan lupa menepuk pundakmu sendiri.”

Wiradirja menatap temaram lampu jalan. Di dalam dirinya, doa mulai terasa seperti peta yang sederhana: garis kecil yang cukup untuk menjauhi jurang.

.

Kamis berikutnya, ia menghadiri sebuah bursa kerja di Balai Kota. Aula penuh—bau parfum bercampur keringat dan kopi instan. Di depan stan perusahaan, antrean memanjang seperti sabuk pengaman pesawat. Di salah satu sudut, panitia membuka loket konsultasi CV. Ia masuk, duduk di hadapan seorang kakak pembina yang memperhatikan CV-nya lama sekali.

“Pengalamanmu banyak, tapi acak. Kamu sangat mandiri, itu modal bagus. Tapi perusahaan suka cerita yang rapih.” Kakak itu menggambar garis alur di kertas: proyek – dampak – angka. “Bukan sekadar apa yang kamu kerjakan, tapi apa pengaruhnya. Tulis satu-dua kalimat yang tajam.”

“Seperti naskah berita?” tanya Wiradirja.

“Seperti pengakuan yang jujur.”

Wiradirja pulang dengan CV yang ditandai merah. Malamnya, di meja sempit ditemani dengung nyamuk, ia memperbaiki semuanya. Ia mulai menulis dengan cara berbeda: bukan hanya daftar, tapi kisah—bagaimana ia menolong UMKM kopi meningkatkan penjualan daring 30% lewat kalender konten sederhana; bagaimana ia membuat kampanye kecil donasi buku yang terkumpul 400 eksemplar untuk taman bacaan pinggir kali; bagaimana ia jadi jembatan antara kisah orang-orang dan publik yang membutuhkan kabar baik. Semakin ia menulis, semakin ia melihat dirinya bukan hanya pelamar kerja—melainkan penyusun makna.

.

Sabtu sore, Rengganis mengirim pesan. “Mas Wira, boleh minta tolong lihat portofolioku? Aku grogi kalau presentasi. Senin aku dipanggil final interview.” Mereka bertemu di perpustakaan umum dekat Taman Ismail Marzuki. Ruang baca berbau kertas dan pendingin udara. Di luar, hujan turun rapi seperti garis pada halaman buku.

Rengganis membuka slide. Isinya rapi, tetapi dingin.

“Ceritamu kuat,” kata Wiradirja. “Tapi kamu masih bicara seperti angka. Coba mulai dari manusia yang kamu bantu. Misalnya: seorang bapak penjual kerupuk yang dagangannya laku karena kontenmu. Atau anak SMK yang dapat beasiswa setelah kamu tulis profilnya.”

Rengganis mengangguk. “Kadang kita belajar terlalu cepat mengeja impresi, lupa mengeja empati.”

“Kita bisa menyimpan dua-duanya,” jawab Wira, mengingat gaya naskah-naskah motivasional yang pernah ia baca: menegaskan sekaligus merangkul. “Impresi itu pintu; empati itu rumah.”

Mereka memperbaiki slide sambil minum kopi sachet dari mesin otomatis. Di sela-sela sunyi, Rengganis bercerita lirih, “Aku kerja di retail tiga tahun. Gaji pas, ritme pas, tapi rasanya seperti berjalan di treadmill—capek tapi nggak pindah. Ayahku bilang, yang penting halal dan sabar. Aku iya, sabar. Tapi ada bagian di dalamku yang ingin tumbuh.”

“Boleh ingin tumbuh tanpa mengkhianati sabar,” kata Wiradirja. “Ayahku dulu juga bilang, sabar itu bukan diam; sabar itu bergerak pelan ke arah yang benar.”

Di perpustakaan itu, dua manusia yang belum menemukan pintu saling meminjam kunci keberanian.

.

Senin datang, dan dengan itu pula datang telepon yang ditunggu-tunggu—tetapi bukan untuk Wiradirja. Nomor yang menyala justru milik Jayengrana, kawan lama SMA yang dulu pergi ke Jakarta bersamanya, lalu pulang karena ibunya sakit. “Wira, bengkelku di Pamekasan maju sedikit,” suaranya terdengar cerah. “Kalau kamu pulang, aku siapin tempat. Kamu bisa bantu bikin promosi.”

Wiradirja terdiam. Pulang adalah pilihan yang selalu berada di ambang bibirnya, namun tak pernah ia ucapkan. Kota ini membuatnya keras kepala—sebagian karena mimpi, sebagian karena gengsi yang diam-diam masih bersarang.

“Aku senang dengarnya, Jeng,” kata Wira. “Doakan aku di sini sekali lagi.”

“Selalu,” jawab Jayengrana. “Tapi jangan lupa: pulang bukan kalah. Kadang itu strategi.”

Percakapan berakhir, meninggalkan gema nasihat yang nyaring. Wiradirja menatap buku catatannya; ia menulis kalimat baru: “Strategi terbaik: tetap hidup.”

.

Malam itu, ia memutuskan mengambil kerja paruh waktu sebagai operator live chat di sebuah toko daring. Gajinya kecil, namun cukup untuk menambal sewa kos yang akan jatuh tempo. Shift-nya dimulai pukul sembilan malam sampai pukul dua pagi. Jari-jarinya menari, menenangkan pelanggan yang marah karena ukuran baju tak sesuai, mengirim emoji senyum pada mereka yang menawar terlalu sadis. Sesekali ia membuka tab lain, menulis artikel lepas untuk portal kecil: kisah seorang ibu pengumpul botol bekas yang menyekolahkan anaknya hingga lulus politeknik.

Di sela shift, ia menutup mata sejenak, membaca ulang doa yang ditempel di dinding:
“Ketika lemah, jadilah Kekuatan. Ketika ragu, ingatkan aku Engkau masih berkuasa. Aku tak perlu memahami semuanya; aku hanya perlu setia pada langkah ini.”

Hening menjawab, tetapi hening itu menenangkan.

.

Dua minggu setelah wawancara Kuningan, pesan email masuk. “Terima kasih telah melamar. Saat ini kami memilih kandidat lain.” Satu lagi. “Kami mengagumi portofolio Anda, namun pengalaman belum sesuai.” Dan satu lagi. “Mohon maaf.”

Wiradirja menutup laptop, membiarkan gelisahnya mengendap. Ia tidak menangis, meski harinya terasa retak. Di luar, suara musik dangdut dari hajatan tetangga menggema. Bau sate kambing bercampur hujan. Prabangkara mengetuk pintu membawa dua piring nasi bungkus. “Hadiah dari panitia,” katanya. “Kita pura-pura jadi keluarga dekat.”

Makan malam itu sunyi tapi tidak pahit. Di tengah suapan, Prabangkara berkata, “Kamu tadi dapat kabar?”

“Dapat. Ditolak.”

“Berarti kita merayakan,” kata Prabangkara, lalu tertawa melihat wajah heran Wira. “Merayakan artinya: menolak rasa ditolak. Kita makan sampai habis, lalu besok mulai lagi.”

Wiradirja juga tertawa. Tawa yang sedikit basah.

.

Keesokan harinya, Wira bangun lebih pagi. Ia memutuskan sesuatu: ia akan berhenti “melamar sebanyak-banyaknya” dan mulai “melamar setepat-tepatnya”. Ia membuat daftar perusahaan kecil-menengah yang pekerjaannya dekat dengan hal yang ia cintai: bercerita tentang manusia, tentang kebaikan yang bekerja diam-diam di kota ini. Ia menulis surat lamaran bukan sebagai formula seribu templat, melainkan surat bagi manusia yang akan membacanya: Saya ingin bekerja di tempat Anda karena… Ia menyebutkan alasan spesifik, ide kecil yang bisa dikerjakan dalam tiga bulan pertama, dan satu janji yang bisa diukur: Saya akan membawa 10 kisah warga kota yang menginspirasi sebagai konten berkala—agar merek Anda tidak hanya bicara, tetapi menyimak.

Ia juga membuat portofolio satu halaman: ringkas, bergizi, dengan tautan ke karya-karya tulis terbaiknya. Ia meminjam kamera butut Prabangkara untuk memotret hal-hal di sekitar—tukang tambal ban, penjual soto, anak-anak bermain layang-layang di atas flyover—lalu menulis keterangan pendek yang mengangkat martabat mereka.

Pada tengah hari, ia kirim tiga lamaran. Hanya tiga. Ia menutup laptop, mandi, lalu berangkat mengantar paket bersama Prabangkara. Saat berhenti di lampu merah, seseorang mengetuk jendela. Seorang pengamen cilik menyodorkan suara sumbang. Wiradirja menggeleng pelan, lalu justru meminjam sebentar gitarnya. “Boleh?” Anak itu mengangguk bingung.

Wira memetik tiga akor. Lagunya sederhana—tentang pintu yang belum terbuka, tentang kaki yang tak berhenti berjalan. Suaranya terbata-bata, tetapi di akhir lagu, anak itu tersenyum lebar. “Mas bisa jadi penyanyi,” katanya polos.

“Bukan,” jawab Wiradirja. “Aku cuma ingin ingat bahwa suaraku masih ada.”

.

Tiga hari kemudian, notifikasi email yang berbeda datang. “Mas Wiradirja, kami membaca surat Anda. Ide 10 kisah warga kota menarik sekali. Boleh datang besok untuk mencoba satu hari kerja?” Perusahaan itu sebuah media komunitas yang bermitra dengan UMKM dan pemerintah kota. Kantornya tidak besar—ruko tiga lantai di Matraman—tetapi suasananya hangat. Meja-meja kayu, post-it warna-warni, dan papan tulis penuh sketsa konten.

Pemimpinnya, seorang perempuan bernama Dewi Rengganis—nama yang sama dengan teman yang ia temui di lobi Kuningan, tetapi bukan orang yang sama—menyambut dengan jabat tangan hangat. “Kami cari orang yang bisa menulis dengan hati, tapi paham data. Surat Anda terasa hidup. Kita coba ya?”

Uji kerja satu hari itu Wira gunakan untuk meliput pedagang nasi uduk yang menyumbang sarapan gratis setiap Jumat. Ia datang subuh, memotret proses memasak, mewawancarai pelanggan yang antre. Ia menulis profil yang padat, memadukan angka—berapa porsi dibagikan, berapa lama usaha bertahan—dengan kisah manusia—kenapa sang pedagang memilih berbagi. Tulisannya naik di sore hari; komentar pembaca mengalir. Ada yang menuliskan: “Saya lewat sini tiap hari dan tidak pernah tahu cerita sedalam ini. Terima kasih.” Ada juga yang menawarkan donasi beras.

Menjelang magrib, Dewi berkata, “Kami tidak perlu menunggu minggu depan untuk jawaban. Kalau Mas mau, mulai Senin. Gajinya belum besar, tapi cukup layak. Lebih dari itu, kami ingin ide 10 kisah itu jadi program.”

Wiradirja menelan ludah. Dunia tiba-tiba seperti mengecil: hanya ada meja kayu, senyum Dewi, dan suara hujan yang membasuh aspal. “Saya mau,” katanya pelan, kemudian lebih tegas, “Saya sangat mau.”

Ia keluar kantor dengan langkah yang seperti tak menyentuh tanah. Di trotoar, ia menengadah. Hujan turun lembut. Ia teringat doa yang ditempel di kos—dan kalimat pedagang gorengan, kakak pembina CV, Prabangkara, Jayengrana, ibunya di kampung. Semua seperti kepingan kunci yang akhirnya pas di satu lubang.

Dalam perjalanan pulang, ia mengirim pesan suara kepada ibunya: “Bu, pintu itu terbuka.” Di ujung sana, air mata dan doa bertemu: “Alhamdulillah, Le. Bapakmu pasti senang.”

.

Malam itu, gang kos lebih ramai dari biasanya karena arisan ibu-ibu. Musik dangdut bertabur cahaya lampu warna-warni. Prabangkara sudah menunggunya di depan kamar, menggenggam dua botol teh dingin. “Kabar?”

“Buka.”

Prabangkara memeluknya sekejap. “Kita rayakan, tapi bukan berarti perjalanan selesai.”

“Justru baru mulai,” balas Wira.

Mereka duduk di anak tangga, menonton anak-anak menyalakan kembang api kecil yang berdesis seperti binatang mengantuk. Di bawah, Bu Wati menyodorkan dua piring soto. “Gratis, asal doanya dibagi,” katanya.

Wiradirja mengangkat piring. “Doanya sederhana, Bu: semoga kita semua menemukan pintu yang tepat. Kalau belum, semoga tidak lelah mengetuk.”

Malam merapat seperti selimut. Di kamar, Wira melepaskan kertas doa dari dinding—bukan untuk menanggalkannya, melainkan menempelkannya di buku catatan yang akan selalu ia bawa. Ia menulis satu paragraf pendek, untuk dirinya juga untuk siapa pun yang kelak membaca:

“Kerja bukan hanya untuk mengisi perut; kerja adalah cara kita menjaga martabat. Jika ditolak, tolak balik rasa ditolak. Luruskan punggungmu. Karena Tuhan tidak menutup pintu; Ia hanya mengalihkan langkah.”

.

Hari pertama kerja datang. Wiradirja tiba lebih pagi, membawa dua puluh ide liputan berbasis komunitas. Dewi menunjuk papan tulis dan berkata, “Tulis mimpimu di sini.”

“Mimpiku?” tanya Wira.

“Ya. Di kantor ini, mimpi harus bisa dipetakan. Supaya kita tidak mabuk harapan.”

Wiradirja menulis dengan spidol: “Merekam 100 kisah warga kota yang mengangkat martabat, lalu mengubahnya menjadi program nyata—beasiswa, pelatihan, kolaborasi.” Ia berhenti sejenak, merasakan degup jantungnya sendiri, lalu menambahkan sebuah kalimat kecil: “Ajak pembaca jadi bagian dari cerita.”

Di siang hari, ia menerima pesan dari nomor tak dikenal. Rengganis—perempuan di lobi Kuningan—mengirim kabar: “Mas Wira, aku keterima kerja. Terima kasih sudah menghangatkan keberanian.” Ia membalas cepat: “Selamat. Sampai bertemu di kota yang sama; kita bekerja pada harapan yang sama.”

.

Sebulan kemudian, program 10 Kisah Warga Kota menjadi rubrik tetap. Tulisan-tulisan Wiradirja mengundang banyak tangan untuk turun, tak hanya menekan tombol suka. Ada kampanye kecil pengumpulan buku untuk perpustakaan kolong jembatan, kelas digital gratis untuk pedagang kecil, dan jejaring donasi beras untuk nasi uduk Jumat. Ia belajar bahwa pekerjaan tak berhenti di publish; pekerjaan sejati dimulai saat kata-kata bertemu tindakan.

Suatu sore, ketika ia memotret tukang tambal ban yang menggratiskan jasa untuk ambulans, seorang anak kecil mendekat. “Mas, kamu wartawan?”

“Penulis,” jawabnya.

“Menulis apa?”

“Menulis tentang orang baik.”

Anak itu tersenyum, matanya memantulkan matahari yang hampir tenggelam. “Kalau begitu, kamu juga orang baik.”

Wiradirja tak menjawab. Ia hanya menatap senja yang menyentuh kaca-kaca gedung—kota seperti menenangkan napasnya sendiri. Di telinganya, kalimat ayah seperti kembali: “Hidup ini juga perang, Nak. Bukan untuk mengalahkan orang lain, tapi untuk menang atas putus asa.”

Ia menyadari, pintu yang terbuka itu bukan hanya perihal gaji dan jabatan. Pintu itu bernama makna. Dan kuncinya, sejak awal, sudah ia genggam: kesediaan untuk percaya sambil bekerja.

.

Suatu malam, ia kembali ke tempat pedagang gorengan di Kuningan yang dulu memberinya kalimat sederhana. Gerobak itu masih di sana, temaram, diguyur lampu trotoar. “Masnya yang dulu beli tahu isi?” sapa si bapak.

“Iya, Pak.” Wiradirja menaruh dua lembar uang. “Boleh saya tulis cerita Bapak?”

“Cerita apa yang mau ditulis?” tanya si bapak tertawa. “Saya cuma goreng tahu.”

“Tidak ada yang ‘cuma’ jika setiap pagi Bapak menyapa orang dengan jujur,” kata Wira. “Itu cerita yang menyelamatkan kota.”

Si bapak terdiam, matanya berkaca-kaca. “Tulis yang baik-baik, ya.”

“Tentu,” jawab Wira. “Karena menulis yang baik-baik bukan menutup mata dari fakta; justru menajamkan mata agar fakta yang baik tidak hilang ditenggelamkan berita buruk.”

Malam itu, Wiradirja pulang dengan kantong plastik berisi tahu isi, dan hati yang penuh. Ia membuka buku catatan, menempelkan potongan kertas doa di halaman awal, lalu menambahkan satu quote untuk menutup harinya:

“Iman tidak menghapus lelah, tetapi membuat lelah ini punya arah.”

Di luar, Jakarta terus bergerak. Ada yang baru lepas jam kerja, ada yang baru mulai, ada yang sedang mengetuk pintu yang keras, ada yang akhirnya menemukan kenopnya. Wira tertidur dengan lampu kamar yang dibiarkan menyala—bukan karena takut gelap, melainkan karena ingin mengingat bahwa kegelapan pun punya akhir.

.

Esok dan esoknya lagi, ia sadar perjalanan tidak menjadi mudah. Ada deadline yang mepet, ada pembaca yang sinis, ada rekening yang masih harus ditakar. Namun kini ia memiliki sesuatu yang selalu bisa ia bawa ke mana-mana: cerita bahwa pintu yang belum terbuka bukan alasan untuk berhenti mengetuk—bahkan ketika tangan kita basah oleh hujan atau gemetar oleh cemas.

Dan setiap kali ia pulang malam, melewati mural anak memegang layang-layang, ia menggumam: “Tali sudah kuat.” Lalu sebuah bisik halus, entah dari langit, entah dari dalam dada, menambahi: “Terbanglah—tanpa harus meninggalkan tanah.”

.

.

.

Jember, 12 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #KisahUrban #DoaMencariKerja #MotivasiKarier #MenakMadura #JeffreyWibisonoV

Leave a Reply