Matahari dari Timur
“Bukan matahari yang terlambat terbit—kadang hanya jendela kita yang lupa dibuka.”
.
Di sebuah kota yang terbuat dari deru tol, lampu-lampu pertokoan, dan selarik sungai yang mengerang di sela beton, hidup seorang pria bernama Jokotole. Semua orang memanggilnya Joko. Ia lahir di Pamekasan, tumbuh besar di Surabaya, dan kini menetap di sebuah apartemen tinggi di sisi timur kota: kaca-kaca memantulkan pagi, lift berlomba dengan detak jantung, parkir dua lantai, dan kafe di lobi yang selalu mengirim wangi croissant ke udara.
Joko berusia tiga puluh enam. Rambutnya dipangkas rapi, senyumnya disimpan hemat. Ia seorang konsultan komunikasi untuk klien-klien kelas menengah ke atas—rumah sakit swasta, jaringan sekolah internasional, perumahan mewah tepi danau buatan. Ia mengerti bahasa bagan, rapat, dan ritme iklan tiga puluh detik. Di laptopnya, lembar-lembar kerja membuka semesta yang rapi; di dalam dadanya, ada semesta lain yang jauh lebih berisik.
Ia punya kekasih bernama Kenanga. Arsitek. Kantornya berlantai kaca yang menghadap ke jalan protokol; deretan ficus elastica dalam pot silindris menjadi latar zoom meeting-nya. Kenanga suka bicara soal cahaya. “Bangunan yang baik tahu cara menyapa matahari,” katanya sekali waktu. Joko menyimpan kalimat itu seperti batu giok di saku: dingin namun menenangkan.
Mereka bukan tokoh legenda; mereka kelas menengah kota yang mengukur nasib lewat cicilan, target proyek, dan jadwal terapi orang tua di rumah. Tapi di suatu tempat di masa kecil Joko, nama-nama tua dari cerita Menak Madura masih berdesir: Wiraraja, Kanduruwan, Raden Samudra, Retna Dewi, Joko Samparan. Ia tak pernah benar-benar menghafal lakon, namun nama-nama itu seperti wewangian jamu, samar tapi tak kunjung lenyap.
.
Pagi yang Terlalu Rapih
Pagi itu dimulai sempurna. Oatmeal, kopi hitam, notifikasi pembayaran KPR berhasil, dan matahari memantul dari jendela-untuk-Instagram. Joko seharusnya merasa aman. Namun teleponnya bergetar: “Rapat percepatan jam sembilan, semua deck revisi semalam mohon dibawa.” Pesan dari Raja, managing partner agensi, yang dalam diam selalu mengingatkan Joko pada Wiraraja—tajam, luwes, dan sulit ditebak.
Kenanga mengirim pesan singkat: “Site visit sore. Kamu sempat?”
Joko mengetik, “Sempat.” Lalu menghapus. Lalu mengetik lagi, “Sore ada presentasi.”
Balasan Kenanga datang beberapa menit kemudian: “Baik. Take care.”
Di jalan tol, wiper mobil Joko menari-nari menghadang gerimis, membelah lampu rem yang samar. Di radio, penyiar membahas mental health pekerja urban. “Batas antara ambisi dan abai pada diri sendiri tipis sekali,” katanya. Joko mematikan radio. Pesan lain masuk: “Brief baru masuk, rumah sakit Elang Merah mau kampanye humanis tapi tetap premium.” Kata “humanis” menabrak kata “premium” dalam kepalanya. Ia mendesah, menepikan mobil di rest area sebentar, menenggak kopi kaleng yang tak pernah benar-benar kopi.
Ia teringat ibunya yang kini tinggal di Pamekasan. Sejak ayahnya berpulang, ibu kerap menelpon hanya untuk bertanya, “Sudah makan?” Joko selalu menjawab sudah. Ia jarang pulang. Jalan pulang terasa selalu lebih panjang daripada jalan berangkat.
.
Warung di Bawah Flyover
Rapat selesai menjelang siang. Slide berganti slide, kata “insight” kian kehilangan makna. Joko beranjak, tidak pulang ke kantor, tidak juga ke apartemen. Ia belok ke arah yang jarang dipilih: ke sebuah warung kecil di bawah flyover yang menghubungkan dua kawasan bisnis. Warung itu dijaga seorang pria tua berkemeja kotak-kotak namanya Kanduruwan. Orang-orang sekitar memanggilnya Kawi.
“Es kopi susu?” tanya Kawi.
“Pahit saja,” jawab Joko.
“Pahit bisa bikin jujur,” kata Kawi sambil tersenyum. “Manis sering menyembunyikan niat.”
Joko menaruh ponselnya, memandang lalu-lalang di atas kepalanya—deru mobil melintas seperti arus sungai logam. Di dinding warung, selembar kertas laminating memajang tulisan tangan miring: “Bila ruang sempit, lipatlah cara pandang, bukan mimpimu.” Ia terkekeh tanpa sadar.
Kawi memperhatikan. “Lucu, Nak?”
“Kalimatnya,” kata Joko. “Terdengar seperti poster motivasi, tapi entah kenapa saya percaya.”
Kawi tidak tertawa. “Dulu saya staf accounting pabrik. Kartu nama saya panjangnya mengalahkan niat saya. Lalu krisis datang. Orang-orang berpikir hidup menyakitinya. Padahal sering kali, cara pandang kita yang menyempit. Kita memukul dinding dengan kepala sendiri.”
“Kalau dindingnya betul-betul ada?”
“Bangun jendela,” jawab Kawi, seperti arsitek sore hari. “Atau tanya seseorang yang paham arah matahari.”
“Seperti Kenanga,” gumam Joko.
“Siapa?”
“Kekasih saya. Arsitek.”
“Lihat? Bahkan namanya bunga. Orang kota ini suka lupa menanam, cuma sibuk memanen.”
Joko diam. Di atas, cahaya siang memecah awan. Warung kecil itu terasa seperti ruang jeda—sebuah tempat di mana kata-kata sederhana punya ruang gema.
.
Matahari yang Miring ke Timur
Sore, presentasi berjalan. Tim Joko menawarkan kampanye: “Menjadi sehat adalah menjadi manusia seutuhnya.” Video berdurasi enam puluh detik, piano minimalis, dokter yang mendengarkan pasien bukan sekadar memeriksa. Ruang rapat AC-nya terlalu dingin, karpetnya terlalu empuk. Semua berjalan sesuai script sampai direktur rumah sakit—perempuan elegan bernama Retna—bertanya, “Bagaimana memastikan ini bukan sekadar iklan? Bagaimana ini merembes ke lobi kami, ke ruang tunggu, ke jam kerja perawat?”
Pertanyaan itu seperti paku kecil, terdengar pelan namun menancap. Joko sering lupa menanyakan hal itu pada dirinya sendiri. Setelah rapat, ia mengantarkan Retna ke lift.
“Terima kasih,” kata Retna. “Kamu anak Madura, ya?”
Joko terkejut. “Dari mana Ibu—eh, Mbak—tahu?”
“Logatmu menyimpan pulau,” jawab Retna. “Juga caramu memegang kata.”
Di parkiran, Joko menatap langit timur yang sore itu lebih cerah daripada barat. Ia ingat Kenanga bicara tentang cahaya: “Di kota ini, matahari pagi datang dari timur dengan rendah hati, hanya kita sering menutup gorden terlalu rapat.”
Ia menelepon Kenanga. “Aku mau ke site,” katanya.
“Sudah malam,” jawab Kenanga. “Tapi datanglah. Ada bangunan yang harus kita dengar bersama.”
.
Di Tapak Bangunan
Tapak itu berada di perbatasan kota: bekas lahan industri, tanahnya masih menyimpan bau solar dan sejarah. Kenanga berdiri dengan helm putih, menggambar garis di udara dengan jarinya. “Rumah susun kelas menengah—tapi yang sungguh manusiawi. Ruang publik, pepohonan, sirkulasi udara. Aku ingin orang bisa berjalan kaki tanpa merasa sedang dihukum.”
Joko mendengarkan. Angin membawa sisa dingin dari sungai. Suara cicak dari tembok pabrik tua terdengar seperti jam tua di rumah nenek.
“Kenapa harus manusiawi?” tanya Joko pelan.
“Karena kita, kelas menengah ini,” Kenanga menatapnya, “sering lupa bahwa kita manusia terlebih dahulu, sebelum menjadi konsumen. Kita bekerja mati-matian untuk membeli ruang tinggal, lalu lupa belajar tinggal.”
“Belajar tinggal?”
“Belajar duduk di bawah pohon tanpa merasa bersalah. Belajar menyalakan lampu secukupnya, membuka jendela pada waktunya, menerima gelap tanpa panik. Belajar bahwa matahari tidak perlu selalu kita tangkap—kadang cukup kita sapa.”
Joko merasa ada batu di dadanya yang retak halus. Ia menceritakan warung Kawi. Ia menceritakan pertanyaan Retna. Ia menceritakan diamnya pada ibunya. Kenanga mendengar, seperti arsitek mendengar tanah sebelum menggambar fondasi.
“Aku ingin pulang minggu ini,” kata Joko. “Ke Pamekasan.”
“Pulanglah,” kata Kenanga, “dan ambil sebagian matahari dari timur untuk kembali.”
.
Pulang yang Tidak Rumit
Ia mengendarai mobil dini hari. Tol sepi bagaikan lorong rumah sakit; lampu-lampu berbaris, jarak tempuh dipatok jam. Di bagasi, ada buah tangan sederhana: kerupuk, teh, sari apel untuk tetangga. Ia berhenti salat subuh di rest area, menyalakan ponsel, melihat pesan dari Raja: “Update timeline.” Joko menunda menjawab. Ia menatap timur. Matahari muncul seperti bayi yang menguap, pelan dan tulus.
Di rumah, ibunya menyambut dengan tangan yang sabar menempel di lengan. “Kamu kurusan,” katanya.
“Biasa,” jawab Joko. “Kota suka makan orang.”
Ibu tertawa. “Kota tidak lapar, Nak. Kamu yang lupa makan.”
Mereka sarapan nasi jagung. Di dinding, foto almarhum ayah berdiri seperti penjaga angin. Joko mengantar ibu ke pasar, membantu memilih tomat, menawar udang dengan gaya yang sudah ia lupa. Seorang tetangga, Samudra, pemilik kapal kecil, menepuk bahunya. “Kapan nikah?” tanya Samudra. Pertanyaan paling rajin di seluruh Nusantara. Joko hanya tersenyum, menunduk sedikit agar angin tidak membaca pipinya.
Malamnya, Joko duduk di serambi. Ibu bercerita tentang tetangga yang menjual sepeda untuk bayar sekolah anak, tentang puskesmas yang butuh relawan untuk program membaca—membaca, bukan menunggu obat. Joko mendengar. Ia bukan pahlawan; ia hanya seseorang yang telinganya sedang dibersihkan dari bising kota.
Sebelum tidur, ia menulis untuk Kenanga: “Kamu benar, kita lupa belajar tinggal.” Kenanga membalas: “Belajar pelan-pelan saja. Matahari besok tetap terbit.”
.
Luka di Ruang Tunggu
Kembali ke Surabaya, hidup mendadak mempercepat langkah. Ayah Kenanga diperiksa dokter; hasil CT-scan membuka kabar yang tidak mereka minta. Ruang tunggu rumah sakit dingin seperti logam di pagi hari. Kenanga menatap layar ponselnya kosong, seperti menatap jendela yang lupa ia buka. Joko memegang tangannya.
Retna muncul di ujung koridor—berbaju hijau olive, wajah yang biasanya mantap tampak diiris cemas. “Maaf baru tahu,” katanya. “Apapun yang keluarga butuhkan, sampaikan.”
Malam itu Joko mengantar Kenanga pulang. “Aku benci rumah sakit,” kata Kenanga, “bukan karena obat, tapi karena cara kita meletakkan hati di ruang tunggu.”
“Kita bisa ubah ruang tunggu,” kata Joko.
“Dengan apa?”
“Dengan cara menunggu.”
Kata-kata itu terdengar terlalu sederhana. Namun keesokan harinya, Joko mengubah rancang kampanyenya. Ia mengusulkan program “Ruang Menunggu yang Menemani”: bukan lagi deret kursi dingin menghadap tembok, melainkan sudut baca, meja konseling singkat, jam senam pernapasan tiap jam sepuluh, relawan “Pendengar” yang diseleksi dan dilatih. “Jika kita berani mengaku ‘humanis’,” katanya di ruang rapat, “mari kita wujudkan di menit-menit paling rapuh dari manusia: saat menunggu.”
Retna menatapnya lama. “Kamu akan turun ke lapangan?”
“Ya,” kata Joko. “Saya dan tim. Bahkan jika perlu saya ajak teman warung di bawah flyover.”
“Ajah,” bisik Kawi di benaknya, menggunakan logat Madura yang akrab. “Kau ini anak perantau. Perantau selalu mengerti menunggu.”
.
Jika Hujan Memilih Kita
Langit memutuskan menjadi laut minggu itu. Hujan datang seperti kunjungan panjang keluarga besar yang tidak diundang. Sebagian kota berubah menjadi cermin raksasa. Telepon-telepon berdering. Di lobi rumah sakit, listrik sesekali berkedip.
Program “Ruang Menunggu yang Menemani” baru berjalan setengah. Namun justru di hari hujan itu, program itu menemukan bentuk yang paling lugas. Para relawan membacakan cerita untuk anak-anak yang menunggu ibunya selesai kemoterapi. Seorang perawat mengajarkan teknik napas 4-7-8 kepada seorang bapak yang matanya beku oleh takut. Retna memindahkan beberapa kursi mendekati jendela yang menghadap ke timur—ke arah matahari yang sementara bersembunyi.
Kenanga datang membawa gambar—sketsa sederhana jendela-jendela yang bisa dipasang sementara di ruang tunggu, dengan material ringan yang menyalurkan cahaya tanpa silau. “Kita tidak bisa memanggil matahari,” katanya, “tapi kita bisa mempersiapkan tempat duduknya.”
Joko melihat tangan Kenanga bergetar halus. Ia ingin memeluk, tapi ada banyak mata. Ia memegang kertas-kertas itu, merasakan basah hujan menetes dari jaket orang-orang. Di antara riuh itu, ponselnya bergetar: pesan dari Raja. “Klien properti minta konten impresif tentang ‘hidup produktif di tengah kota’.”
Joko menatap ruang tunggu. Di sana, hidup sedang produktif dalam cara yang tak pernah masuk katalog apartemen: orang-orang belajar sabar, belajar meminta tolong, belajar menurunkan volume suara. Ia menulis balasan ke Raja: “Akan saya kirim konsep. Bukan impresif. Tapi berdaya.”
8. Patah Suara
Suatu malam, ketika semua orang kelelahan, kabar buruk datang seperti piring jatuh. Ayah Kenanga harus menjalani operasi mendesak. Kenanga menangis tanpa suara. Joko mengajaknya berjalan ke tangga darurat—tempat kota terdengar paling jujur, tanpa musik latar.
“Kau tahu, Joko,” katanya, “aku sering menggambar jendela. Tapi hari ini aku sadar: tak semua jendela perlu tembus pandang. Ada jendela yang hanya perlu mengizinkan udara masuk.”
“Kita akan duduk di sampingnya,” kata Joko, “hingga udara itu belajar memeluk.”
Operasi berlangsung delapan jam. Di jam ketujuh, Kawi muncul membawa dua termos kecil. “Saya bawa kopi pahit,” katanya. “Saya juga bawa gula, untuk yang butuh alasan supaya lidahnya bertahan.”
Joko menatap pria tua itu seperti menatap cermin yang tidak memantulkan wajah, melainkan sabar. Mereka duduk bertiga: arsitek yang kelelahan, konsultan yang kantong matanya larut, dan mantan akuntan yang sekarang menjadi barista di bawah flyover.
Pagi jatuh perlahan. Kabar datang: operasi berhasil, jalan pemulihan panjang. Kenanga menatap Joko dan Kawi bergantian. “Terima kasih,” katanya. “Kalian tempat dudukku sebelum matahari.”
.
“Premium” yang Lain
Program di rumah sakit menjadi bahan pembicaraan. Media lokal meliput tanpa gimmick. Tidak ada drone shot; hanya tatapan mata yang tidak lagi takut sendiri. Retna mengundang para pemilik bisnis yang menjadi klien Joko: sekolah internasional, perumahan mewah, coworking high-end. “Mari belajar dari ruang tunggu,” katanya. “Sebab pelanggan terbaik adalah manusia yang sungguh diakui kemanusiaannya.”
Di sebuah forum itu, Joko diminta bicara. Ia bukan motivator. Ia tidak ingin suara yang memantul lama-lama di ruang hotel. Namun ia menyusun kalimat perlahan, seperti menata meja:
“Kita, kelas menengah ke atas di kota-kota ini, terbiasa membeli kata premium—kopi premium, pendidikan premium, hunian premium. Tapi premium macam apa yang tak memberi tempat untuk rapuh? Premium macam apa yang lupa menaruh bangku di bawah pohon? Bila kita tak bisa langsung mengubah kota, mari kita ubah cara kita memandangnya: dari tempat berlari menjadi tempat belajar tinggal.”
Ruang itu hening sejenak. Lalu tepuk tangan. Tepuk tangan yang tidak terlalu keras, tetapi tulus—seperti ketika seseorang menyadari dompetnya tidak hilang, hanya tertutup di kantong dalam.
.
Surat dari Pamekasan
Suatu pagi di apartemen, Joko menemukan sepucuk surat. Tulisan tangan ibunya: miring, warna tinta biru.
“Nak, jangan lupa makan. Kau tidak perlu jadi matahari. Cukup buka jendela dan izinkan matahari masuk. Ibumu.”
Joko menatap jendela. Tirai itu memang kerap ia biarkan tertutup. Ia berdiri, menariknya ke samping. Kota yang biasanya ribut mendadak seperti menahan napas. Cahaya datang tanpa permisi, menyentuh meja kerja, menyalami mug kopi, mengelus foto kecil di sudut yang menampilkan ayahnya memancing di pantai.
Ia mengirim foto jendela itu pada Kenanga. Kenanga membalas dengan foto halaman rumah sakit: sinar pagi mencium kursi-kursi yang semalam mereka geser. “Matahari ternyata suka kursi bundar,” tulis Kenanga, “katanya, bentuk itu menolak hirarki.”
.
Perubahan yang Tidak Dramatis
Tidak ada patah langit. Tidak ada musik yang meledak di akhir. Yang ada: ritme baru yang tumbuh. Joko masih menunggu di ruang tunggu, masih menolak beberapa proyek yang hanya ingin “impresif” tanpa akar, masih menerima beberapa yang benar-benar ingin bertumbuh. Ia dan Kenanga perlahan menandai kalender untuk hal-hal kecil: menanam pohon di balkon, mengunjungi Kawi tiap Jumat, menelepon ibu sebelum rapat besar.
Di warung bawah flyover, Kawi mengganti tulisan di dinding: “Kalau kau tak bisa mengubah keadaan, ubahlah cara pandangmu. Lalu, ubahlah hal kecil di sekitarmu agar cara pandangmu tak sendirian.”
“Kenapa diganti?” tanya Joko.
“Supaya tidak berhenti di kepala,” jawab Kawi. “Kepala terlalu pandai. Tangan perlu dilatih.”
.
Menikah tanpa Menunggu Kota Sempurna
Sore itu, mereka berjalan di trotoar baru yang masih bau semen. Pohon tabebuya meminjamkan kuningnya ke hati orang-orang. Kenanga memegang buket kecil krisan—dari seorang pasien anak yang sudah pulang.
“Kau mau menaruhnya di mana?” tanya Joko.
“Di meja kerja,” jawab Kenanga. “Biar ingat bahwa hal yang bersih tidak lahir dari ruang steril, tapi dari tangan yang bersedia kotor.”
Joko berhenti. Kota di belakang mereka menyalakan lampu-lampu. “Aku ingin bertanya sesuatu,” katanya.
“Apa?”
“Kau mau menikah denganku, tanpa menunggu semua rapi?”
Kenanga menatap wajah Joko. Di kepalanya, jendela-jendela terbuka: serambi rumah ibu, warung Kawi, ruang tunggu dengan kursi bundar, site plan yang menolak pagar tinggi. “Kita akan belajar tinggal,” katanya. “Di mana pun.”
Mereka tidak merencanakan pesta besar. Mereka menanam dua pohon mangga di halaman rumah sakit—sumbangan yang kelak rantingnya bertengger burung-burung. Mereka pergi ke Pamekasan, minta doa ibu. Samudra mengadakan kenduri kecil—ikan bakar yang diceritakan seolah tarian di atas arang.
Raja mengirim pesan: “Selamat. Kalau libur sudah selesai, kita susun tahun depan.” Joko tertawa. Hidup memang selalu punya catatan rapat.
.
Matahari dari Timur
Di sebuah seminar, Joko diminta menutup sesi. Ia mengutip kalimat yang ia simpan lama:
“Kadang bukan hidup yang menyakitimu, tapi cara pandangmu yang terlalu sempit untuk memahami maknanya.”
Ia menatap ke arah timur—bukan simbol, hanya kebiasaan baru.
“Karena itu,” lanjutnya, “belajarlah membuka jendela—pagi, siang, dan terutama ketika hujan. Bila tak bisa mengubah keadaan, ubah cara memandang; lalu ubah hal kecil di dekatmu. Kursi di ruang tunggu. Warung di bawah flyover. Pohon di halaman. Telepon pada ibu. Dan bila semua itu terasa remeh, percayalah: remeh-remeh seperti itulah yang diam-diam menyusun kekuatan.”
Tepuk tangan mengalun. Tidak gegap. Cukup. Sebab beberapa hal tidak perlu terlalu keras agar bisa sampai.
Malamnya, di balkon apartemen, Joko dan Kenanga duduk menatap kota. Lampu-lampu bukan lagi peluru; mereka adalah kunang-kunang yang bekerja lembur. Angin membelai daun mangga kecil di pot. Dari jauh, suara azan menyelinap seperti benang yang merajut pecahan hari.
“Besok matahari dari mana?” tanya Kenanga setengah bercanda.
“Dari timur,” jawab Joko. “Tapi yang terpenting, dari dalam.”
Mereka diam. Diam yang tidak kosong. Diam yang penuh kursi bundar, jendela yang dibuka, kopi pahit yang jujur, dan kelas menengah ke atas yang pelan-pelan belajar menjadi manusia—sebelum menjadi segalanya.
.
.
.
Jember, 2 Juli 2025
.
.
#MatahariDariTimur #CerpenKota #KelasMenengah #MenakMadura #RefleksiHidup #ArsitekturManusiawi #RuangTunggu #UbahCaraPandang #CerpenMinggu #UrbanIndonesia
.
Quotes pendukung cerita
-
“Bukan matahari yang terlambat terbit—kadang hanya jendela kita yang lupa dibuka.”
-
“Kalau kau tak bisa mengubah keadaan, ubahlah cara pandangmu; lalu ubahlah hal kecil di dekatmu agar cara pandangmu tak sendirian.”
-
“Bangunan yang baik tahu cara menyapa matahari; hidup yang baik tahu cara menyapa rapuh.”