Luka yang Menjadi Jalan
“Tenang adalah keberanian paling sunyi.
Memaafkan adalah kecerdasan yang tak terlihat.
Bekerjalah diam-diam—biarkan hasil yang berbicara.”
.
Kota ini—Jakarta—bernafas pendek. Pagi-pagi sekali, napasnya sudah tersengal di peron Tanah Abang, di bawah lampu kuning yang memantulkan peluh manusia. Dari pengeras suara, suara perempuan mengulang peringatan pintu akan menutup. Di pinggir jalur, Jayeng berdiri dengan ransel hitam, kemeja biru yang menyerap bau kopi, dan mata yang seperti menimbang: bertahan atau pulang.
Di KRL yang merayap, orang-orang menaruh telepon seperti jimat. Iklan apartemen menyela jendela. Di sela tubuh-tubuh yang rapat, Jayeng mengulang formula kecil yang ia tulis di catatan ponsel, semacam mantera yang ia temukan setelah bertahun-tahun digerus kota:
-
Sukseskan dirimu.
-
Tetap tenang, jangan bereaksi.
-
Maafkan, tapi jangan lupakan.
-
Jadikan sakit hati sebagai motivasi.
-
Naikkan kualitas diri.
-
Biarkan karma bekerja.
-
Jangan banyak bicara sebelum hasil terlihat.
Mantera itu lahir dari luka. Luka bernama kantor.
.
Jayeng datang ke Jakarta empat tahun lalu dengan uang tabungan dari Pamekasan yang dibungkus plastik bening di bawah sol sepatu. Ibunya berpesan di beranda rumah: “Ajining diri ana ing lathi—jangan jadikan keluh sebagai bahasa.” Ayahnya telah lama pergi; bukan karena maut, melainkan pelabuhan yang menunda kepulangan. Sejak itu, Jayeng menjadi alamat tempat ibunya menitipkan doa. “Pergilah, Nak,” katanya dulu. “Tapi jangan hilang.”
Ia bekerja di Arunika Hospitality, perusahaan pengelola beberapa hotel menengah di kota-kota satelit. Di sana ada orang-orang yang namanya seperti datang dari hikayat lama tetapi berkantor di gedung kaca: Ning yang menangani talenta; Retna si barista di kafe lobi yang sebaik mata air; Koncar tukang ojek aplikasi yang hafal jalan tikus; Madi rekan satu tim yang tersenyum dengan gigi rapi; dan Maya, manajer yang suaranya lembut namun tajam seperti jarum dokter.
Di bulan-bulan pertama, Jayeng kerap jadi orang terakhir yang menutup komputer. Ia merapikan dokumen presentasi tentang workation package dan program loyalitas. Ia menandai angka okupansi dan laporan pendapatan dengan telaten, seperti petani menghitung musim.
Suatu Senin, ruangan rapat terasa seperti akuarium: dingin, bening, semua mata mengawasi ikan yang sedang bicara. Madi memaparkan presentasi. Di layar, mengalir rencana kampanye “Pure Comfort, No Plus-Plus” untuk pasar keluarga muslim dan pekerja jarak jauh—judul, data, hingga kalimat pengantar sama persis dengan yang dikerjakan Jayeng semalam. Hanya nama file diubah. Semua bertepuk. Maya menoleh pada Jayeng sekilas, pantul lampu di pupilnya membuat wajahnya sulit ditebak.
Sehabis rapat, Jayeng duduk sendirian di tangga darurat. Jemarinya gemetar menahan marah. “Aku yang menulis itu,” ia berkata dalam hati, “kenapa namaku tak disebut?” Teleponnya berdering—pesan dari ibunya: “Yen ati panas, eseni nganggo sabar. Sabar ora ateges menahan, tapi milih menang ing wektu.”
Jayeng menutup mata. Ia meremas catatannya.
.
Tetap tenang, jangan bereaksi.
Besoknya, ia datang paling pagi. Ia menyalakan komputer, membuka folder yang diambil alih Madi. Ia mengganti kata “melayani” menjadi “menghadirkan”, menukar “promosi” menjadi “undangan”, memperbaiki angka yang digelapkan. Ia memesan kopi pada Retna yang menaruh secarik kertas di bawah gelas: “Sabar itu bukan diam. Sabar itu bergerak tanpa berisik.”
Di siang hari, Maya memanggilnya ke ruang kecil dengan jendela menyiku ke Bundaran. “Aku tahu slide itu punyamu,” katanya tanpa basa-basi. “Tapi dengar, Jayeng. Di sini, yang bersuara keras lebih sering terdengar. Kau bisa berteriak… atau kau bisa membuat mereka tak bisa mengabaikanmu.”
Jayeng menatap sudut kota yang bergemuruh. “Aku pilih cara kedua,” katanya pelan.
.
Maafkan, tapi jangan lupakan.
Ia memaafkan Madi—setidaknya kepada dirinya sendiri. Tetapi ia tidak lupa. Ia mencatat: tanggal, rapat, perasaan. Luka itu diikat rapi, bukan dibiarkan membusuk.
Malam-malam berikutnya, ia menumpang KRL terakhir. Di kamar kontrakan 3 x 4 di belakang pasar, ia menonton kelas daring tentang analitik pemasaran, menulis ulang proposal dengan struktur yang tak bisa disangkal. Ia belajar membuat dashboard yang menggabungkan data okupansi harian dengan sentiment analysis ulasan tamu. Ia menelpon Koncar untuk mencoba paket uji: menginap dengan harga karyawan di salah satu hotel dan membayar menggunakan dompet digital kerja sama. Koncar pulang pagi dengan mata berbinar: “Kamar bersih, Wi-Fi kadang putus,” lapornya tegas. “Sarapan? Enak. Tapi refill lambat.”
.
Jadikan sakit hati sebagai motivasi.
Di tengah hujan yang merintikkan huruf-huruf di jendela, Jayeng duduk membangun sistem laporan. Setiap kritik tamu ia tandai sebagai peluang pelurusan. Ia tak ingin kampanye hanya menjual kata-kata; ia ingin pengalaman yang menenangkan hati: No Plus-Plus bukan slogan, melainkan janji. Retna, yang kerap menyisakan roti untuknya selepas tutup kafe, memandang Jayeng menatap layar dengan gurat keras. “Kamu seperti orang yang sedang memahat dirinya,” katanya. “Bukan marmernya yang keras, tapi kehendakmu.”
.
Naikkan kualitas diri.
Sementara itu, kantor seperti biasa—rapat yang bercabang, dokumen yang beranak. Madi semakin percaya diri. Ia mulai memanggil Jayeng dengan nada setengah perintah. “Mas, kirimin aku report itu. Biar aku yang presentasi.” Jayeng mengangguk. Dalam hatinya, ia membangun yang lain: ruang yang tidak bisa diambil.
Pada sebuah Kamis mendung, Maya menugaskan tim kecil: Jayeng, Ning, dan Madi mengevaluasi salah satu hotel di pinggir kota yang ulasannya menurun. Di lobi hotel itu, bau disinfektan bercampur pandan. Dari restorannya terdengar lagu lawas. Ning menautkan rambutnya dan mengajak berbincang staf: mengenai housekeeping, check-in time, sampai rotasi sarapan. Jayeng menyelam ke dapur: melihat bagaimana nasi goreng disiapkan, kapan lauk dihangatkan, di mana alur refill tersendat.
Malamnya, mereka bertiga menginap. Jayeng membuka laptop. Ia menyusun peta masalah: Wi-Fi sering drop pada jam padat, linen kurang stok, SOP sarapan tidak memasukkan ancar-ancar ketika tamu rombongan tiba. Ia menggambar diagram alur komunikasi dari FO ke F&B. Ning mengirimkan voice note testimoni tamu yang kecewa karena tisu habis dan butuh tiga puluh menit untuk diantar. Madi duduk di ranjang, scrolling media sosial. “Udah, Mas. Besok saja,” ujarnya. Jayeng tersenyum. “Besok kita punya rapat jam sembilan.” Ia meneruskan.
Pagi itu, ketika manajer hotel mengeluh “tenaga kurang”, Jayeng tidak menyalahkan. Ia mengeluarkan dashboard yang memperlihatkan korelasi complaint dengan jam kedatangan rombongan. “Solusinya bukan menambah orang, Pak. Tapi menukar tasking tiga jam sebelum jam padat. Linennya disiapkan dua kali lipat pada slot itu, FO menandai kedatangan bus di group note, F&B siapkan refill station tambahan.”
Hening. Lalu kepala manajer mengangguk perlahan. “Saya bisa jalankan itu hari ini.”
Maya tersenyum kecil pada Jayeng, sekelebat saja.
Seminggu kemudian, ulasan hotel itu naik. Ada foto keluarga muda tersenyum di kolam, menulis: “Tenang, bersih, sarapan cepat diisi.” Jayeng menyimpan screenshot itu seperti menyimpan doa.
.
Biarkan karma bekerja.
Hidup berjalan. Tidak ada terompet. Madi yang terlampau sering menagih insentif akhirnya tersandung audit vendor. Tidak ada yang menuduh; angka-angka berbicara. Ia dimutasi. “Hati-hati, Mas,” bisik Koncar suatu malam saat menjemput Jayeng di depan kantor. “Orang yang terbiasa berlari dari tanggung jawab, biasanya akan cepat kehabisan napas.” Jayeng hanya menatap lampu merah yang memantul di helm.
Di tengah semua itu, Jayeng jatuh hati. Bukan jatuh yang gaduh, melainkan jatuh yang hening. Pada Ning—perempuan dengan nada suara datar namun tahu kapan orang harus istirahat. Mereka berbicara di balkon kafe setelah jam kantor: tentang masa kecil di Sumenep, tentang Ayah yang hilang di daftar kapal, tentang rasa takut menjadi “biasa saja”. Ning bercerita tentang cita-citanya membuka program pelatihan kerja untuk anak-anak hotel yang menyerah di tahun pertama. “Bukan karena mereka bodoh,” katanya, “tapi karena kota ini sering buat orang merasa tak cukup.”
Suatu malam, Jakarta diguyur hujan yang menghapus tepi jalan. Mereka berteduh di bawah kanopi. “Kau tidak marah pada Madi?” tanya Ning tiba-tiba.
“Sudah habis,” jawab Jayeng. “Yang tersisa hanya pelajaran.”
“Pelajaran apa?”
“Bahwa menang bukan menonjolkan luka. Menang itu menutup luka dengan karya.”
Ning mengangguk, ada kilat kecil di matanya. “Aku menyukaimu ketika kau berbicara begini—pelan, tapi jelas.”
.
Jangan banyak bicara sebelum hasil terlihat.
Kabar baik jarang datang dengan drum. Sering ia datang seperti notifikasi senyap di layar: Meeting: 08.30—Executive Review. Jayeng masuk ke ruangan kaca dengan telapak tangan dingin. Di ujung meja, Direktur Operasional menatap dashboard yang diolahnya: tren okupansi, korelasi sentimen, root cause masalah. Semua dijejer rapi, bukan untuk memukau, tetapi untuk memudahkan keputusan.
“Siapa yang menyusun ini?” tanya Direktur.
Maya menoleh pada Jayeng. “Jayeng.”
“Baik,” kata Direktur, “Mulai bulan depan, kau tangani unit insight dan perbaikan proses. Bukan sekadar ‘marketing’. Kita butuh orang yang melihat dari hulu ke hilir.”
Jayeng mengangguk. Tidak ada sorak di hatinya. Hanya sebuah pintu yang merasa terbuka.
.
Di sisi lain kota, ada persoalan yang lebih sunyi. Ibunya sakit ringan—tekanan darah naik—dan butuh ditemani kontrol. Jayeng memesan tiket pulang lewat pay later yang bunganya kecil, memindahkan rapat lewat zoom. Di ruang tunggu puskesmas Pamekasan, ia duduk menonton kipas plafon berputar. Ibunya, dengan kebaya yang dijahit sendiri, menggenggam tangannya. “Kau tidak sendiri,” kata ibu. “Ada doa yang membuatmu kalah dari egomu sendiri.”
“Sukseskan dirimu,” batin Jayeng, “agar aku bisa menjaga ibu tanpa berjanji kosong.”
Di kampung, sore lebih panjang. Jayeng naik sepeda melewati ladang tembakau yang menguning. Ia berhenti di tepi balai desa, tempat anak-anak main sepak bola dari plastik ditiup. Di ujung lapangan, seorang pemuda melambaikan tangan. “Mas Jayeng! Tidak lupa, ya?” Itulah Laksana, teman SMA yang kini menjadi staf kelurahan. Tak ada jalan tol untuk ingatan. Mereka duduk di warung rancak: kopi, pisang goreng, angin. Laksana bercerita tentang rencana membuka guest house kecil untuk wisatawan yang ingin belajar budaya keris dan saronen. “Kalau jadi,” katanya, “aku ingin manajemennya mirip hotel. Kau bantu aku, ya.”
Jayeng tersenyum. “Kau yang mengingatkanku mengapa bisnis ini harus dimulai dari manusia, bukan dari angka.”
Malam itu, sebelum tidur, ibunya menepuk punggungnya. “Eling lan waspada, Nang,” katanya. “Jangan mudah hanyut. Orang kota akan menghormatimu ketika kau menghormati dirimu sendiri.” Jayeng menggenggam kalimat itu seperti menggenggam kunci.
.
Kembali ke Jakarta, proyek barunya mulai. Jayeng membentuk tim kecil: Ning di sisi pelatihan dan budaya, Retna mengurusi kualitas guest experience, dua staf muda—Adi dan Sabrang—mengelola data pipeline. Mereka menamai programnya Senyap, singkatan dari Service Nyata Tanpa Pamer. Logo sederhana, warna yang lembut. Bukan untuk pameran, melainkan untuk kerja sehari-hari.
“Target kita bukan viral,” kata Jayeng di kickoff. “Target kita repeat guest naik 12% dalam enam bulan karena pengalaman yang konsisten.” Ia memecah langkah: audit touchpoint, shadowing staf, coaching satu-satu, pengukuran harian.
Ning mengusulkan sesi “Adu Empati”—sehari staf kantor menukar peran dengan staf operasional. Maya menatap daftar itu dengan alis terangkat. “Kau yakin?”
“Kita tidak akan paham sampai keringat mereka menjadi keringat kita,” jawab Jayeng. “Dan dari situ, kita bisa menyusun SOP yang manusiawi.”
Hari “Adu Empati” jadi hari yang panjang. Adi yang biasa duduk di depan laptop memegang check-in di resepsionis dan salah ketik nama tamu dari Sukandar menjadi Sukandar dengan huruf “a” ganda—seisi lobby jadi tertawa, Adi merah padam. Sabrang mengatur refill sarapan dan baru tahu betapa satu baki sosis habisnya lebih cepat daripada satu paragraf caption di Instagram. Di akhir hari, mereka duduk di pantry, kaki pegal, hati lembut.
“Luka terbesar staf kita bukan kekurangan alat,” kata Ning. “Luka terbesar mereka adalah diabaikan.”
Malamnya, Jayeng menulis modul yang menggabungkan checklist dengan pitutur Jawa: alangan mbatalake lakon—rintangan akan menguji lakon, bukan menghentikan. Ia mengutip Jeffrey Wibisono yang pernah ia baca di blog: “Hospitality bukan sekadar servis, tapi penjernihan niat—membuat orang pulang dengan hati lebih tenang.” Kata-kata itu menempel seperti pelekat.
Program Senyap berjalan. Mereka memperbaiki handover, mengubah “Tolong segera!” menjadi “Bolehkah saya minta bantuan Anda untuk…”. Mereka menempatkan QR feedback yang tajam: bukan bintang lima, melainkan tiga pertanyaan sederhana—Apakah Anda merasa tenang? Apa yang paling Anda ingat? Apa yang bisa kami perbaiki besok? Retna mengubah cara menyeduh kopi: dari yang pekat memburu ke yang lembut disapa. “Biar tamu merasa diperhatikan dari cangkir pertama,” katanya.
Tiga bulan berlalu, angka repeat guest mencapai 9%—belum target, tetapi tren menguat. Ulasan negatif menukik; bukan karena disembunyikan, melainkan karena proses berubah. Ada satu ulasan yang dibaca Jayeng berulang-ulang: “Saya sempat marah karena check-in lambat, tapi stafnya menatap saya seperti manusia, bukan sebagai tugas. Itu yang membuat saya kembali.”
Malam itu, di atap gedung parkir, angin memecah suara kota. Jayeng memandangi lampu yang bertumpuk seperti bintang yang jatuh ke aspal. Ning berdiri di sisinya, meletakkan tangan di pagar beton. “Apa kau masih menyimpan marah?” tanyanya.
Jayeng menghela napas. “Yang kupeluk sekarang bukan marah, tapi arah.”
Ning tersenyum. “Kalimat itu seperti judul buku.”
“Suatu saat,” jawab Jayeng.
Esoknya, email datang dari Direktur: Program Senyap akan dipresentasikan ke pemilik jaringan hotel di Surabaya. Rapatnya dua minggu lagi. “Jangan buat presentasi yang memukau,” pesan Maya, “Buat yang membuat orang ingin mengikutimu.”
Jayeng menulis slide di malam-malam sunyi: menggabungkan angka, kisah staf, dan wajah tamu. Ia menyisipkan sebuah halaman yang sederhana: Tujuh Mantera—yang dulu ia tulis di ponsel saat nyaris pecah di tangga darurat. “Itu bukan motivasi ala poster,” kata Jayeng pada tim, “itu kompas agar kita tidak salah menyasar: memanusiakan tamu—dan memanusiakan diri.”
Hari presentasi, ruangan Surabaya terasa seperti siang yang panjang. Pemilik jaringan—orang Madura dengan mata jeli—menyimak tanpa menyela. Jayeng menjelaskan tanpa intonasi meledak-ledak. Di bagian akhir, ia menayangkan video satu menit: pemerintah kota sedang mematikan lampu ondel-ondel di jalan, suara hujan di trotoar, lalu masuk suara testimoni staf yang dulu ingin resign: “Saya bertahan karena suara saya dianggap.” Sunyi menggantung seperti kain.
Pemilik jaringan menutup mapnya. “Saya bukan orang yang gampang kagum,” katanya. “Tapi saya percaya pada proses yang jujur.” Ia menoleh pada Maya. “Program ini kita adopsi. Dan anak muda ini—” telunjuknya arah ke Jayeng, “—kita titipkan memimpin implementasinya selama setahun.”
Jayeng menundukkan kepala. Dalam dirinya, sebuah ruang tiba-tiba terasa lapang.
Selepas rapat, ia berjalan sendirian di tepi sungai Kalimas. Angin mengibaskan aroma gorengan. Ia menelpon ibunya. “Bu, doamu sampai.”
Di seberang sana, ibunya tertawa pelan. “Doa ibu bukan kurir kilat, Nak. Ia seperti hujan. Datang di waktunya.”
.
Kemenangan, di kota ini, sering disalahartikan: dianggap puncak di mana orang berdiri sendiri. Padahal kemenangan yang membuat Jayeng tenang adalah ketika ia tidak berubah menjadi orang yang dulu ia benci. Ia menandatangani surat promosi tanpa mempostingnya. Ia membeli ponsel baru untuk ibunya, bukan jam mewah untuk dirinya. Ia menerima tatapan iri beberapa kolega dan membalas dengan kerja yang lebih rapi.
Suatu malam, Madi—yang kini ditempatkan di unit lain—mengirim pesan: “Maaf.” Hanya satu kata. Lama Jayeng menatap layar. Ia menjawab: “Semoga kamu baik-baik saja. Kalau butuh data lama, kabari.” Ia tahu memaafkan bukan melupakan. Tetapi pada tingkat tertentu, memaafkan adalah membiarkan diri sendiri berjalan.
Di kafe lobi, Retna menyiapkan kopi tubruk tanpa gula. “Untuk pemimpin yang paham rasa,” katanya bergurau. “Kepemimpinan itu kayak kopi—kalau terlalu manis, orang lupa pahitnya. Kalau terlalu pahit, orang tak sanggup menelan.”
Jayeng mengangkat cangkir. “Yang penting, hangatnya sampai ke perut.”
Program Senyap berpindah dari satu hotel ke hotel lain. Ada malam-malam ketika Jayeng pulang lewat tol kosong, radio memutar berita jam dua, dan lampu rest area seperti bintang yang kelelahan. Ada pagi-pagi ketika ia mendapati pesan Ning: “Jangan lupa makan.” Relasi mereka tumbuh tidak tergesa, seperti pohon yang enggan dipaksa berbunga. Mereka berbicara tentang kemungkinan membuka pelatihan di Pamekasan suatu hari nanti. “Kita bawa pulang yang kita pelajari,” kata Ning. “Biar anak-anak desa tidak merasa kota adalah satu-satunya jawaban.”
Pada sebuah Sabtu, di aula kecil hotel, Jayeng menutup sesi pelatihan dengan kalimat yang ia bawa dari rumah:
“Ajining diri dumunung ing lathi. Kalau kita melihat tamu sebagai manusia, kita juga akan terlihat sebagai manusia. Tenang bukan lemah. Diam bukan kalah. Dan hasil akan menemukan suaranya sendiri.”
Ruang pelatihan hening. Lalu tepuk tangan yang tidak keras, tetapi panjang—yang tidak sekadar mengagumi, melainkan menyetujui. Di pojok ruangan, Maya memotret dari kejauhan. Ia mengirimkan file itu pada Jayeng dengan catatan pendek: “Kau menua ke arah yang benar.”
.
Suatu malam akhir tahun, hujan turun seperti jarum, menusuk lampu jalan satu per satu. Jayeng dan Ning duduk di halte sepi. Jalanan memantulkan kota seperti kaca yang diseka. “Kalau suatu saat kita lelah?” tanya Ning.
“Kita pulang,” kata Jayeng. “Bukan untuk menyerah, tapi untuk ingat dari mana kita berangkat.”
Ning mengangguk. “Dan kalau luka datang lagi?”
“Kita buatkan tempat duduk,” jawab Jayeng. “Ajak ia minum kopi, dengarkan sebentar, lalu antarkan ia ke pintu.”
Mereka tertawa. Di kejauhan, sirene ambulans melintas, lalu hilang. Kota kembali pada ritmenya.
Jayeng menyalakan ponsel, membuka catatan lama. Ia baca pelan, seperti menyapa diri yang pernah hampir meledak di tangga darurat:
— Sukseskan dirimu.
— Tetap tenang, jangan bereaksi.
— Maafkan, tapi jangan lupakan.
— Jadikan sakit hati sebagai motivasi.
— Naikkan kualitas diri.
— Biarkan karma bekerja.
— Jangan banyak bicara sebelum hasil terlihat.
Ia menutup catatan itu. Malam terasa lebih ringan. Kota masih gaduh, tetapi di dalamnya ada ruang senyap yang ia bangun sendiri—ruang yang cukup luas untuk menampung harap, takut, rencana, dan doa.
Dan di ruang itu, Jayeng memilih berdiri.
.
“Kemenangan sejati bukan ketika orang lain jatuh, melainkan ketika kita berdiri lebih tinggi tanpa menendang siapa pun.”
“Sakit hati bisa menghancurkanmu, atau membangunkanmu. Pilihlah bangun.”
“Yang paling berisik sering terdengar; yang paling konsisten yang akan diingat.”
.
.
.
Jember, 4 September 2025
.
.
#CerpenSastra #KompasMinggu #KisahKota #SukseskanDirimu #MotivasiHidup #Hospitality #JakartaStories #LukaHatiJadiMotivasi #ElingLanWaspada