Langkah yang Terasa
“Yang paling berat dari sebuah langkah bukan telapak yang meninggalkan jejak,
melainkan hati yang harus sanggup merelakan arah.”“Terkadang yang membuat kita berat melangkah bukan karena kita tidak tahu arah, tapi karena hati dan logika tak berjalan seiring.”
.
Pagi itu Jakarta berselimut mendung. Gerimis tipis melukis garis-garis miring di kaca balkon apartemen lantai 23 di Kuningan. Rafael duduk menatap kota yang separuh samar; gedung-gedung berkabut, klakson menyeruakkan jarak, aroma kopi dari cangkir yang mendingin mengetuk kenyataan: sebuah email dengan subjek Offer Letter: International Placement — Geneva menunggu jawaban sebelum pukul dua belas malam.
Alih-alih euforia, ada sesak yang mengambang.
“Kabar baik pun bisa terasa menyakitkan jika membuat kita menjauh dari yang kita cintai.” pikirnya.
Telepon bergetar. Pesan dari Panji—rekan kerja yang selalu menyelamatkan presentasi dadakan—masuk di grup internal: “Guys, jam 11 standup. Rafael, lu pegang pembuka. Ada update pipeline setelah call Zurich.” Rafael mengetik “ok” lalu berhenti. Pikirannya melayang pada satu nama yang membuat semua ini jadi tak sederhana: Retno.
.
Retno—yang pernah menemaninya menunggu kereta di Stasiun MRT Istora saat hujan menggulung; yang diam-diam menaruh roti keju favoritnya di laci kerja; yang tak pernah memintanya bertahan, namun tatapannya selalu seperti mengatakan: “Jangan pergi terlalu jauh.”
Sore sebelumnya mereka duduk di kedai kopi kecil di sudut Kemang; lampu gantung kuning kusam, musik bossa yang pelan, dan dua cangkir yang kehilangan uapnya sejak diskusi mereka menyeberang ke sesuatu yang tidak ingin dinamai.
“Jadi kamu bakal ambil tawaran itu?” tanya Retno, menatap titik kecil di dinding seolah di sana jawaban bisa ditulis ulang.
“Aku belum tahu,” kata Rafael, menimbang suaranya sendiri, takut ia terdengar seperti orang yang berusaha membujuk diri.
“Itu impian kamu sejak dulu.”
“Impian bisa tumbuh, dan kadang menumbangkan.”
Retno tersenyum getir. “Cinta tak pernah melarangmu terbang tinggi. Ia cuma berharap, sesekali kamu menoleh ke arah yang sama.”
Malam menua. Di luar, kemacetan menyerupai kilau ular panjang yang lambat. Rafael tahu, setiap arah punya harga.
.
Di kantor—lantai 18, kaca menghadap Sudirman—Rafael seperti biasa menambal kekosongan dengan ceklis tugas. Ia dan timnya tengah menggarap transformasi digital untuk salah satu BUMN logistik. Rekan-rekannya kompak: Panji dengan humor kering; Anggra—analis baru yang cemerlang dengan rambut lurus sebahu; Joko—pakar data yang nyaris selalu datang paling pagi; dan Saktara, project director yang tegas namun adil.
“Lu baca ulang kontraknya?” Panji duduk di meja Rafael membawa dua gelas kopi sachet.
“Udah. Kompensasi, relokasi, bahasa, semua aman.”
“Trus, apa yang nggak?”
Rafael menatap jendela. Jakarta di jam 3 sore selalu tampak seperti kapal yang menunda berlabuh.
“Yang nggak: aku.”
Panji tertawa pelan. “Lu takut salah?”
“Aku takut nggak jujur.”
“Kejujuran pada diri sendiri adalah kompas di tengah badai keputusan.”—Panji mengulang kalimat yang sering Rafael ucapkan pada anak magang. “Dulu lu yang ngajar kami itu.”
Rafael berusaha tersenyum. Ia ingat sederet presentasi yang pernah ia pimpin; tim tertawa di pantry setiap Jumat; warung padang di belakang kantor yang nasinya selalu terlalu banyak; juga doa yang ia curi dengar—suara lirih Retno di malam paling penat: “Tuhan, jaga dia.”
.
Malamnya, Rafael melakukan panggilan video ke ayahnya di Jember. Wajah lelaki tua itu muncul dengan latar kebun belakang, lampu teras membuat bayangan pada kerut di dahi.
“Pak, kalau aku berangkat, aku ninggalin banyak hal,” Rafael membuka.
“Kalau kamu nggak berangkat?”
“Aku ninggalin diriku yang lain.”
Bapak tertawa kecil. “Nak, hidup ini jarang tentang benar-salah. Lebih sering tentang berani atau tidak. Kalau kamu tidak berani meninggalkan, kamu mungkin takkan sampai; tapi kalau kamu tidak jujur pada hati, kamu hanya akan sampai di tempat yang hampa.”
“Kalau nanti menyesal?”
“Menyesal itu seperti hujan. Ia datang dan reda. Yang penting, kamu punya atap: alasan yang jernih.”
Rafael mengangguk. Kata-kata itu seperti menahan arus deras yang sejak tadi menggempur dadanya.
.
Tenggat penandatanganan kontrak tinggal 48 jam. Rafael mengajak Retno makan malam di tempat yang sederhana—warung sate di tepi jalan Tebet yang pernah mereka datangi saat awal bertemu. Di sana, asap mengepul, bau bumbu kacang menampar kenangan.
“Kamu inget,” Retno menunjuk botol kecap yang dulu pernah setengah tumpah di meja mereka.
“Aku inget semua hal kecil, sayangnya.”
“Hal kecil yang bikin bertahan.”
“Juga yang bikin patah.”
Setelah piring kosong dan suara televisi di warung memutar sinetron yang tak mereka ikuti, mereka berjalan menyusuri trotoar. Hujan reda. Jaket denim Retno menyimpan sisa dingin.
“Aku ambil tawaran itu,” kata Rafael akhirnya.
Retno menunduk. Tidak menangis. Tidak juga menguatkan. Hening berdiri di antara mereka seperti halte yang tak menurunkan siapa-siapa.
“Tapi aku nggak mau pergi dalam abu-abu,” sambung Rafael. “Aku sayang kamu. Dan aku juga harus jujur pada mimpi yang aku bawa sejak lama.”
Retno mengangkat wajah. “Aku tahu. Dari awal aku tahu. Cinta sejati tidak mengikat, ia mengikhlaskan.”
Di ujung jalan, suara adzan Isya dari musala kecil muncul seperti garis bawah. Mereka berhenti. Retno merapikan rambutnya yang basah. “Kalau nanti kamu pulang dan kita masih orang yang sama,” katanya, “barangkali semesta sudah menyiapkan cara.”
.
Dua hari berlalu dalam daftar perpisahan yang tak pernah diajarkan: mengajarkan Anggra logika pricing; menyerahkan folder “lessons learned” kepada Joko; email terima kasih untuk Saktara; makan siang terakhir di warung padang belakang kantor; foto tim dengan latar gedung jingga senja.
“Lu tahu kenapa gua respect lu?” tanya Panji seusai sesi foto.
“Karena gua lucu?”
“Karena lu nggak pernah jual mimpi lu dengan menjelekkan mimpi orang lain. Lu pergi tanpa merendahkan yang lu tinggalkan.”
Rafael menepuk bahu Panji. “Kalau nanti lu capek, pergi ke Jember. Ada rumah Bapak. Cuma perlu bilang nama ‘Rafael’ di depan pagar, beliau akan keluar dengan teh panas.”
Malamnya, Rafael berdiri di balkon apartemen. Lampu-lampu kota seperti rasi bintang yang dibalik. Ia membuka notes ponsel dan menulis:
Catatan untuk Masa Depan
-
Jangan lupa cara menyeduh kopi di pagi beruap.
-
Simpan cara Retno tertawa—seperti gelas kaca menyentuh meja kayu.
-
Ingat bahwa Geneva bukan pelarian, melainkan persinggahan yang dimuliakan kerja keras.
-
Luka karena kepergian bukan tanda kelemahan. Itu bukti kita sungguh-sungguh pernah hidup dan mencinta.
Ia menekan save. Lalu mematikan lampu.
.
Bandara Soekarno-Hatta. Subuh yang biru-pucat. Pengumuman boarding memantul di langit-langit, koper-koper berderit, dan langkah-langkah menggulung seperti arus.
Rafael duduk di dekat gate, menatap papan digital yang menulis “Doha—Zurich—Geneva.” Ia mengetik pesan:
“Terima kasih sudah jadi rumah, walau aku memilih berlayar. Kalau suatu saat semesta membawa kita bertemu lagi, biarkan itu menjadi takdir yang manis.”
Ia kirim ke Retno, lalu mematikan ponsel. Saat berdiri, langkahnya terasa berat bukan karena ragu, melainkan karena ia tahu—setiap keputusan besar selalu menyisakan sebentuk nyeri yang akan ditempa waktu.
Di lorong boarding, seorang anak menangis minta digendong. Ibunya—dengan mata sembab—tersenyum juga. Rafael berpikir: mungkin begini rupa keberangkatan yang benar; menampung sedih tanpa menafikan harap.
.
Geneva menyambut dengan angin dingin yang tidak membentak. Hari-hari Rafael di kantor baru dipenuhi lengan-lengan jam yang terukur, rapat lintas zona, wangi roti di kedai dekat danau yang memantulkan langit seperti kaca. Ia belajar bahasa Prancis dasar; menempelkan catatan kecil di kulkas: bonjour — bonsoir — merci beaucoup. Di akhir pekan ia berjalan di tepi Lac Léman, memandangi perahu-perahu kecil yang menua dengan anggun.
Namun ada malam-malam yang memanjang; semesta terasa penuh celah-celah kecil tempat kenangan menyusup. Rafael akan membuka ponsel, menatap foto: Jakarta bergerimis dari balik kaca, Retno dengan jaket denim, Panji berpose konyol, Anggra melambai memegang whiteboard marker, Joko tertawa sambil menyinyalir outlier di layar.
Ia menulis email untuk ayahnya, mengabarkan kabar-kabar ringan. Balasan bapaknya selalu pendek, namun hangat: “Jaga makan. Ingat salat. Kalau hati mulai sepi, bacalah buku dan pulanglah lewat cerita.”
Rafael lalu membaca arsip blog seorang penulis Indonesia yang selalu ia ikuti—tentang menjadi manusia yang tidak selesai oleh perpisahan. Kalimat-kalimatnya menolong malam melewati sisi yang tajam.
.
Di bulan ketiga, perusahaan mengirimnya ke Zurich untuk presentasi. Di ruang konferensi kaca, slide demi slide mengalir runtut; Rafael menemukan suaranya sendiri lagi. Seusai sesi, seorang senior-eksekutif—perempuan Swiss bernama Eliana—mengajak makan siang.
“Kau terlihat seperti orang yang baru saja menepati janji pada dirinya sendiri,” kata Eliana.
“Kadang begitu rasanya,” sahut Rafael. “Kadang… seperti orang yang meninggalkan separuhnya di kota lain.”
Eliana menatapnya sebentar. “Kau tahu, ada dua jenis pulang: yang membawa kita kembali ke alamat, dan yang membawa kita kembali ke diri.”
Rafael mengangguk. Di kepala, ia mendengar langkah-langkah lama di trotoar Tebet.
.
Satu malam, hujan salju turun tipis. Rafael melakukan panggilan video dengan Panji yang sedang di kantor Jakarta, begadang menyelesaikan go-live. Anggra melambai dari belakang, Joko mengacungkan jempol. Saktara bahkan melempar candaan dingin—sejenis hadiah yang langka.
“Bro,” kata Panji setelah obrolan mencair, “lu tau nggak, anak-anak masih suka cerita soal lu. Tentang latihan presentasi jam 10 malam, tentang ‘jangan ngejual jargon, jual manfaat’—itu udah jadi poster di pantry.”
Rafael tertawa. Lalu hening datang seperti teman yang diminta duduk lebih lama.
“Apa kabar Retno?” tanyanya, akhirnya.
Panji saling pandang dengan Anggra. “Dia… baik. Dia ikut proyek baru. Kayaknya… lebih berani dari kita semua.”
Rafael merasa sesuatu menjalar dari dada ke tenggorokan. “Titip salam, ya. Tanpa apa-apa.”
Malam itu, sebelum tidur, Rafael menulis lagi:
Catatan untuk Masa Depan
5. Jangan memaksa semesta mengikat apa yang diciptakan untuk bebas.
6. Percayalah, pilihan yang dibuat dengan jujur akan membawa kita ke tempat yang tepat—walau awalnya pahit, waktu meramunya jadi manis.
.
Musim berganti. Rafael bertumbuh di pekerjaannya: memimpin tim lintas negara, mengajari junior yang mengingatkannya pada Anggra, mendekat pada kepercayaan diri yang lebih tenang. Suatu sore Sabtu di pasar bunga Plainpalais, Rafael menemukan mawar warna teh yang mengingatkannya pada seikat bunga plastik di warung sate dulu—miring, sederhana, jujur. Ia tertawa sendiri. Lalu menulis pesan pada ayahnya: “Pak, aku sedang belajar tertawa pada hal-hal yang dulu takut aku hadapi.” Jawaban ayahnya datang cepat: “Itu tandanya kamu sudah menemukan caramu pulang.”
.
Setahun kemudian, Rafael mendapat jatah cuti panjang. Ia memutuskan pulang. Jakarta menyambut dengan panas yang ia rindukan diam-diam. Jalan layang baru, angkot yang tidak pernah kehabisan alasan, dan langit sore yang masih pandai memerah.
Ia mengirim pesan pada Panji untuk bertemu di warung padang belakang kantor. Mereka tertawa, menukar kabar, memelihara sisa-sisa bahasa yang hanya dipahami seseorang yang pernah berbagi tekanan tenggat.
“Lu mau ketemu Retno?” tanya Panji, datar, seolah itu pertanyaan yang bisa diajukan tanpa membelah dada siapa pun.
Rafael menatap piringnya. “Kalau semesta izinkan. Kalau tidak, melihat kota ini dengan tenang saja sudah cukup.”
Sore itu juga, sebuah pesan masuk—nama pengirim yang tak butuh dikenalkan: Retno.
“Kamu pulang? Aku dengar dari Panji. Kalau kamu sempat, mari kita minum kopi seperti dulu. Bukan untuk mengulang, cuma untuk menutup pintu yang lama dengan baik.”
Rafael menatap layar lama-lama.
“Kapan dan di mana?”
“Besok, jam 7 malam, kedai kecil di Kemang—yang lampunya kuning dan musiknya pelan.”
.
Kedai itu seperti tidak pernah berganti. Hanya baristanya yang baru. Retno duduk di sudut, jaket denimnya masih sama—atau mungkin sama modelnya—dan senyumnya lebih dewasa.
Mereka bicara tentang hal-hal ringan dulu: kerjaan, perjalanan, harga sewa apartemen yang melonjak, MRT yang kini lebih ramai di jam tertentu. Lalu percakapan berbelok ke hal-hal yang dulu ditahan.
“Aku kira aku akan marah,” kata Retno. “Tapi ternyata yang tersisa cuma lega. Kamu memilih dengan jujur. Aku juga akhirnya memilih: bertahan di sini, membangun sesuatu yang sederhana tapi penuh.”
“Bagus.” Rafael mengangguk. “Aku juga belajar: Bukan tempat yang membuat kita nyaman, melainkan kenangan yang tinggal di sana. Dan ternyata, kenangan bisa duduk manis tanpa harus memaksamu tinggal.”
Retno memutar cangkirnya. “Ada seseorang dalam hidupku sekarang,” katanya, ragu-ragu namun tidak meminta maaf. “Ia bukan kamu, bukan versi kamu. Ia dirinya sendiri. Dan aku… bahagia.”
Rafael tersenyum. Di dadanya ada yang perih, ada pula yang tenang. “Aku senang kamu bahagia.”
Mereka tertawa bukan untuk menyembunyikan luka, melainkan untuk merayakan kedewasaan yang mereka perjuangkan sendirian di kota berbeda. Ketika malam menjelma pulang, mereka berdiri.
“Terima kasih sudah jadi rumah,” kata Rafael perlahan.
“Terima kasih sudah berlayar dengan berani,” jawab Retno.
Di depan pintu kedai, mereka berjabat tangan. Tidak ada pelukan. Tidak ada janji-janji baru yang meminjam bahasa langit. Hanya dua orang yang pernah saling menjaga, kini saling melepaskan dengan tatapan yang tidak lagi menahan.
Rafael melangkah ke trotoar yang basah. Langkahnya terasa… ringan. Bukan karena tak lagi ada rindu, melainkan karena rindu sudah belajar letak duduknya.
Malam itu, Jakarta berkilau. Di antara gedung-gedung, Rafael merasa hatinya seperti kota: riuh, capek, penuh jalan buntu dan jalan tembus, namun dalam segala lurus-belengkoknya, ia tetap bernyala.
Ia menulis kalimat terakhir di catatan ponsel:
“Kita tidak selalu bisa pulang ke orang yang sama, tapi kita selalu bisa pulang kepada diri yang lebih jujur.”
Dan langkahnya, akhirnya, terasa.
.
.
.
Jember, 23 Juni 2025
.
.
#Cerpen #SastraIndonesia #KompasMingguStyle #Jakarta #PilihanHidup #Kejujuran #Ikhlas #Perpisahan #UrbanStory #NamakuBrandku
.
Kutipan Kunci dari Cerpen
-
“Kejujuran pada diri sendiri adalah kompas di tengah badai keputusan.”
-
“Cinta sejati tidak mengikat, ia mengikhlaskan.”
-
“Bukan tempat yang membuat kita nyaman, melainkan kenangan yang tinggal di sana.”
-
“Luka karena kepergian bukan tanda kelemahan. Itu bukti kita sungguh-sungguh pernah hidup dan mencinta.”
-
“Percayalah, pilihan yang dibuat dengan jujur akan membawa kita ke tempat yang tepat—walau awalnya pahit, waktu meramunya jadi manis.”