Langit yang Tidak Pernah Meminta Payung

“Bahagia tidak selalu berarti berdua. Kadang, kebahagiaan adalah keberanian untuk berdiri teduh dalam hujan—tanpa menunggu siapa pun memayungi.”

“Kadang, orang yang tampak paling kuat bukan karena tak butuh dicintai. Ia hanya terlalu menghargai tenangnya hidup sendiri.”

.

Pagi di Jakarta dimulai dari bunyi yang sama: derit rem TransJakarta, suara peluit satpam yang terpenggal angin, dan ratusan sol sepatu menjejak trotoar Sudirman seperti metronom. Di lantai tiga puluh satu sebuah apartemen menghadap jalur MRT, Langit menyalakan pemutar musik kecil; saxophone lembut dari playlist jazz menyusup pelan ke ubun-ubun. Ia menimbang biji kopi, menggilingnya perlahan, menyiram air panas dari leher kettle yang ramping. Tak ada gula. Tak ada obrolan. Hanya uap yang naik seperti doa yang tahu diri.

Jam di pergelangan tangannya bukan pengusir telat, melainkan penanda napas. Ia menatap jarum detik dengan cara orang menatap garis telapak tangan—bukan untuk meramal, tapi untuk ingat bahwa setiap gurat adalah keputusan. Di meja makan, selembar kertas kecil berisi daftar belanja tertahan peniti: filter kopi, lilin aromaterapi, baterai jam dapur. Apartemennya rapi, namun tidak steril; ada buku yang sengaja dibiarkan terbuka di halaman tengah, ada jaket hujan digantung dekat pintu, ada lukisan abstrak membelah putih dinding seperti percakapan yang belum selesai.

Langit berusia empat puluh satu. Rambutnya selalu dipangkas rapi, janggut tipisnya seperti garis patah pada peta yang ia simpan di kepala: jalan-jalan yang pernah dilewati, persimpangan yang sengaja ia abaikan. Ia tinggal sendiri. Kesendirian itu bukan sisa kecelakaan, bukan bangkai trauma—itu pilihan yang ia tandatangani saban pagi, sesudah teguk pertama kopi. Jika sendiri membuatnya mendengar detak jam lebih jelas, itu bukan karena sepi menonjok telinga; itu karena ia memberi ruang pada yang kerap dilupakan orang ramai: sunyi sebagai indera keenam.

Di balkon, langit Jakarta sedang mendung. Awan berarak seperti piksel kelabu pada gambar beresolusi tinggi. Ia mengangkat cangkir, menyuruk ke kursi rotan, memeriksa pesan masuk: laporan pendapatan triwulan, undangan rapat, satu tautan berita tentang proyek revitalisasi bantaran kali di bagian utara kota. Satu nama di daftar penerima rapat membuat sudut bibirnya terangkat: Aira.

.

Langit bekerja di sebuah perusahaan teknologi yang menjual kecerdasan tempat untuk hidup. Mereka menyebut diri sebagai penyambung data dan manusia—aplikasi pengelola properti, analitik perilaku penghuni, perangkat IoT di lobby-lobby yang lincah menunduk memberi salam. Lima tahun terakhir, divisi pengembangan bisnis dipimpin olehnya. Target selalu disentuh, kadang ditampar keras-keras hingga melampaui. Tim memercayainya. Direksi memberinya ruang seperti seseorang membuka jendela kamar sehabis hujan: lega.

Orang-orang di kantor melihatnya seperti melihat poster film: tampan, terkomposisi, selalu punya warna yang pas. Dari sopir operasional di basement hingga mitra luar negeri yang gemar memakai jas biru tua, semua betah duduk satu meja dengannya. Para karyawan baru pernah bertaruh diam-diam: siapa yang sanggup membuat Langit membuka pintu hatinya? Tak ada yang menang; bukan karena pintu itu disemen, melainkan karena tak ada yang bertanya arah masuknya.

Ia pernah jatuh cinta. Beberapa kali. Bukan cinta yang malang melintang dalam drama sinetron jam tujuh, melainkan yang rapi, yang lahir dari percakapan panjang tentang puisi, tiket kereta, dan cara memilih semangka. Lalu ketika hubungan itu mulai digiring ke stasiun “serius”—peta rumah, cicilan, undangan keluarga—Langit melangkah mundur seperti orang yang tahu batas garis kuning di peron. Ia bukan lari; ia pamit dengan tenang, teratur, tanpa menuduh siapa pun kurang. Ikatan bukan musuhnya, tapi ia curiga pada kepemilikan: pada cara beberapa orang menukar sayang dengan izin, rindu dengan laporan, kebersamaan dengan password. Pernikahan, baginya, terlalu sering mendesain taman di bawah atap: hijau, indah, tapi sinar mataharinya saringan.

.

Aira datang pada suatu Senin yang basah. Senior analyst, dua bulan bergabung, cepat membaca angka, lebih cepat lagi membaca jeda. Ada sesuatu yang lembut dari sorot matanya; bukan ketertarikan yang berkumandang, melainkan yang menunggu, seperti payung terlipat di sudut ruangan. Ia membawakan Langit kopi hitam sekali waktu, tanpa bertanya bagaimana ia meminumnya. “Kau selalu tanpa gula,” katanya pelan. “Rasa pahit itu jujur.” Langit mengangguk, tidak memberi makna berlebih.

Sehabis presentasi besar, hujan menumpahkan kotanya. Mereka berdua tertahan di pantry; lampu neon memantulkan renik air pada kaca. Aira membuka tote bag, mengeluarkan payung lipat berwarna abu. “Aku antar sampai mobil,” tawarnya. “Biar tidak basah.”

Langit mengarahkan tatapan ke luar. Jalanan mengilap. Helm para pengemudi ojek online berpendar seperti kunang-kunang modern. “Terima kasih,” jawabnya, suaranya datar namun tidak dingin. “Tapi aku lebih suka basah. Aku terbiasa berjalan sendiri, bahkan saat hujan.”

Aira menatapnya lama. “Sendiri tidak selalu lebih gagah,” ucapnya datar, bukan membantah, hanya menaruh kata di meja.

“Dan berdua tidak selalu lebih aman,” kata Langit, tersenyum kecil. Payung tetap terlipat. Mereka menunggu hujan berkurang, lalu berjalan ke lift tanpa shoulder-to-shoulder—dua garis sejajar yang akhirnya bertemu di angka nol.

.

Sejak itu, Langit menjaga jarak. Bukan jarak yang menghukum, melainkan yang sopan: tidak lagi percakapan yang berlarut di ujung hari, tidak lagi menahan tatapan sampai lampu kantor padam sendirinya. Aira bukan perempuan yang buta pertanda. Ia paham. Dan justru karena paham, ia tidak memaksa. Beberapa orang tidak ingin diselamatkan; mereka ingin dimengerti dan dibiarkan menyiapkan cara menyelamatkan diri sendiri.

Pada malam yang senyap, Langit menyalakan lilin aromaterapi; wangi cedarwood menepuk bahu pikirannya. Ia membuka jurnal kulit, menulis kalimat yang mengembun di keningnya sejak lama:

“Kadang aku iri pada mereka yang tidur dengan tangan orang lain menggenggam erat. Tapi aku lebih takut terbangun tanpa mengenali diriku sendiri. Maka aku memilih sendiri, bukan karena takut mencinta, melainkan karena aku sudah duluan mencintai diriku—dan itu, untuk saat ini, cukup.”

Ia meletakkan pena, menata napas. Dari jendela, kereta terakhir melintas, garis lampunya seperti coretan kuning pada kanvas kota. “Aku baik-baik saja,” gumamnya, lebih mirip mantra daripada kabar.

.

Namun kota selalu punya cara menguji apa pun yang kau yakini. Rapat berikutnya membahas proyek besar: kolaborasi dengan pengembang untuk mengubah bantaran kali yang kumal menjadi ruang hidup: apartemen menengah, taman publik, kios UMKM. Dalam mock-up presentasi, warna hijau tampak mudah, air mengalir bersih, anak-anak bersepeda. Namun di tabel paling kanan—yang jarang dilirik karena tidak instagrammable—ada kolom kecil: “rekomendasi relokasi warga”.

Langit menatap kolom itu lebih lama daripada normal. Ia tumbuh di kota lain, di gang yang sempit dan mendidik, di rumah dinding papan yang tuntutan perbaikannya sering kalah oleh harga beras. Ia paham betapa kalimat “relokasi sementara” sering berumur lebih panjang daripada “sementara”. Aira duduk di seberangnya, memerhatikan sorot yang tiba-tiba tidak berumah di mata itu.

“Jayeng menunggu di ruang direksi,” kata Aira lirih, menyebut nama rekan lama yang memimpin tim legal. Jayeng bertubuh ringkas, bicara cepat seperti rap rap rap. “Ada klausul baru.”

Nama “Jayeng”—adaptasi dari cerita lama yang mereka selipkan sebagai canda internal—selalu membuat kantor seketika terasa seperti panggung wayang tanpa dalang. Di ruang rapat, Jayeng menggeser berkas. “Kita perlu tanda tangan Langit di sini,” ujarnya. “Keputusan final untuk timeline.”

“Klausul relokasi?” tanya Langit.

“Sudah diakomodasi, sesuai peraturan. Kita siapkan rumah susun sementara, tiga tahun. Setelah itu….” Jayeng menggantungkan kalimat. Ada baiknya beberapa hal tidak disuarakan kalau tak sanggup ditopang.

“Setelah itu, siapa yang menjamin mereka kembali bisa membeli ruang di sini?” Langit bertanya pada udara.

“Pasar menjamin,” jawab Jayeng setengah berseloroh. “Dan kita bukan pemerintah.”

Aira menatap meja. Ia pernah tinggal di rumah susun. Ia tahu aroma semen yang belum sepenuhnya kering, suara pintu logam yang menua sebelum waktunya, suara bayi yang menangis di malam hari karena lampu lorong padam. “Mereka butuh lebih dari pasar,” katanya pelan. “Mereka butuh kalimat yang bisa dipercaya.”

Dari semua alasan Langit memilih sendiri, inilah yang paling rahasia: ia enggan menyandarkan keputusan penting hidupnya pada bahu orang lain. Bahu siapa pun—pasangan, pasar, sistem. Ia lebih sanggup memikul konsekuensi pilihannya ketimbang berunding dengan kompromi yang mungkin menunda kebenaran.

“Berikan aku tiga hari,” ucap Langit. “Kita revisi rencana. Tambah skema kepemilikan bertahap untuk warga lama. Potong margin kita, refokus ke pendapatan jangka panjang dari layanan—bukan dari harga jual perdana.”

Jayeng mengangkat bahu. “Direksi tidak akan suka.”

“Tak apa. Kita bukan sekadar menjual gedung,” kata Langit, suaranya kini bulat. “Kita menjual cara hidup yang lebih layak.”

Aira merasakan sesuatu bergerak di dadanya—bukan jatuh cinta, bukan kagum. Mungkin itu rasa yang dialami orang saat melihat seseorang berdiri di tengah arus, tidak menghardik air, tidak pula pasrah terseret—hanya menata langkah agar tidak menginjak yang rapuh.

.

Tiga hari itu berjalan seperti film dengan tempo lambat yang menolak dipercepat. Langit bangun lebih pagi, meninjau bantaran kali, menyapa pedagang ketoprak yang sudah mengenalnya karena kerap membeli tanpa banyak cakap. Ia duduk di bangku semen memandang anak-anak bermain layangan, mendengar ibu-ibu menawar cabe, mendengar suara toa musala yang memanggil, “Hayya ‘ala sholah.” Ia menulis ulang rencana bisnis: syarat kepemilikan bertahap, proporsi kios untuk warga lama, kemitraan dengan koperasi yang disusun Aira dengan rapi. Di setiap angka, ia menempelkan nama. Di setiap skema, ia membayangkan wajah.

Malam terakhir, ia duduk kembali di kursi rotan, lilin aromaterapi menyala, jurnal kulit terbuka di halaman baru.

“Tidak semua hal harus ditanggung sendiri. Ada hal-hal yang baru menjadi masuk akal ketika ditanggung bersama. Tapi aku berhak memilih, pada hal apa aku hendak bersandar—dan pada hal apa aku tetap tegak. Hujan tidak selalu pertanda butuh payung; kadang, ia hanya mengingatkan untuk berjalan lebih pelan.”

Keesokan paginya, ia menghadap direksi. Presentasinya tidak heroik. Ia tidak menaikkan suara, ia tidak memukul meja. Ia hanya menyusun kalimat seperti menyusun batu bata pertama sebuah rumah: telaten. Tangan-tangan yang biasa mengetuk-ngetuk nervus di rapat berubah melipat, mendengar. Satu dua alis terangkat saat ia menyebut “margin dipotong sementara”. Satu dua napas tertahan saat ia bilang “kita beri pilihan kepemilikan bertahap dengan bunga di bawah bank”.

“Kenapa repot, Langit?” tanya salah seorang direksi sesudah jeda panjang. “Kita bisa mengikuti pola konvensional—cepat, tegas, selesai.”

“Selesai buat siapa?” tanya Langit lembut. “Buat excel, mungkin. Buat kota, belum tentu.”

Rapat berakhir dengan keputusan tidak bulat—tetapi condong. Proyek direvisi. Kalender mundur dua bulan. Investor mengirim pesan sulit-diterka. Namun di bantaran kali, bau semen suatu hari akan bercampur dengan bau tempe mendoan yang digoreng di kios baru. Dan itu, bagi Langit, pantas diperjuangkan.

.

Suatu sore, di bawah langit yang mengambil warna perak, Aira menyusul Langit ke taman kota. Mereka duduk tanpa rencana di bangku yang sama menghadap lintasan joging. Seorang bocah lelaki berumur lima tahun lari terhuyung dan menabrak lutut Langit. Ibunya datang tergopoh, meminta maaf berkali-kali. “Tidak apa-apa,” kata Langit, mengangkat tangan. Ia menepuk bahu bocah itu; bocah itu tersenyum lalu pergi, memegang erat pergelangan ibunya. Ada kilat kecil di mata Langit—bukan iri, bukan luka. Hanya pengakuan.

“Mungkin itu hidup yang tidak kupilih,” katanya akhirnya, tak menatap siapa-siapa.

“Tak memilih pun adalah pilihan,” jawab Aira, suaranya berusaha tidak menjadi nasihat. “Dan setiap pilihan ada harganya.”

“Aku sudah menyiapkan uangnya,” kata Langit setengah bercanda, setengah sungguh. Mereka tertawa pelan—tawa orang dewasa yang tahu bahwa beberapa hal tidak akan pernah sepenuhnya mudah.

Aira membuka tas. Ia mengeluarkan payung kecil, menaruhnya di antara mereka. “Jaga-jaga,” katanya. “Jika suatu hari kau ingin meminjam. Tidak harus hari ini. Tidak harus dariku.”

Langit tidak menyentuh payung itu. Ia memandang awan yang bergerak. “Terima kasih,” ucapnya. “Bukan untuk payungnya, tapi untuk mengizinkan hujan punya reputasinya sendiri.”

Mereka duduk lebih lama dari yang seharusnya. Lampu-lampu taman menyala satu-satu. Orang-orang pulang, trotoar menipis. Ada kebisuan yang tidak canggung—kebisuan yang bertugas menjaga yang rapuh.

Ketika akhirnya Aira berdiri, ia berkata, “Kau tidak perlu menjadi matahari. Menjadi langit pun cukup. Tempat orang berharap, tempat orang membaca tanda. Bahkan tanpa memeluk siapa-siapa, kau bisa tetap hangat.”

“Hangat itu sering berutang kepada jarak,” jawab Langit. “Terlalu dekat, kita terbakar. Terlalu jauh, kita beku. Aku sedang belajar jarak.”

“Belajar itu juga butuh teman,” kata Aira.

Langit mengangguk. “Dan kota ini sudah menawarkan banyak teman: suara kereta, tukang bubur, pedagang bunga di jembatan, orang-orang yang menolak menyerah bahkan ketika diminta pindah. Mungkin, untuk saat ini, itu cukup.”

Aira tak menambahi. Ia melambai, berjalan pergi. Payung tetap di bangku—bukan janji, bukan jebakan; hanya tanda bahwa suatu hari, jika awan menggulung kelewat pekat, ada benda kecil yang boleh dipinjam tanpa syarat.

.

Minggu berikutnya, skema baru proyek dibahas bersama perwakilan warga. Aula kelurahan penuh. Ada suara yang tinggi, ada yang pecah, ada yang takut berakhir tanpa berita. Langit berdiri di depan, tidak memakai mikrofon saat menjawab pertanyaan pertama dari seorang lelaki tua bernama Kelana—nama yang sering jadi tokoh utama di cerita-cerita lama.

“Kalau saya ikut program ini,” tanya Kelana, “apa saya akan kembali tinggal di sini? Atau hanya menunggu di cerita anak cucu?”

“Kami menyiapkan kepemilikan bertahap,” jawab Langit. “Kios untuk yang selama ini berjualan di sini, diurut berdasarkan lama tinggal. Ada kuota khusus untuk yang ber-KTP RW setempat. Kami tidak minta kepercayaan secara gratis. Kami akan menulisnya, hitam di atas putih, dan menandatangani di hadapan semua orang.”

“Kalau gagal?” seru seorang ibu dari belakang—Muning, katanya, penjual lontong sayur yang mangkal di tikungan.

“Kalau gagal,” kata Langit, “kalian berhak marah. Kalian berhak menegur kami di depan wartawan. Kalian berhak menolak proyek ini diteruskan.”

Tawa pendek terdengar. Bahkan marah pun terdengar seperti harapan ketika diberi tempat. Aira mengamati dari samping, mencatat, sesekali memotret spanduk yang sudah lebih bersih daripada biasanya. Ia melihat cara Langit menukar bahasa excel ke bahasa manusia—bunga menjadi kesempatan, proyek menjadi rumah, risiko menjadi pilihan.

Sepulang dari pertemuan itu, hujan turun lagi. Langit tidak membawa payung. Ia melangkah pelan, membiarkan air menandai lengan bajunya. Bukan adegan heroik—hanya seseorang yang merasa bahwa basah tidak selalu perlu dielakkan. Di bawah pohon ketapang, ia berhenti, memejamkan mata sejenak, meminta kota menempelkan dinginnya ke dahi. Ia menoleh ke bangku taman tempat Aira pernah meninggalkan payung. Kosong. Ia tersenyum—tidak kecewa. Payung tidak hilang; mungkin dipinjam orang lain yang sedang sakit, sedih, atau sekadar lupa menjemur bajunya.

.

Semua orang ingin menjadi Langit, kata rumor kecil yang berjalan di antara pantry dan lift. Ia punya karier, reputasi, tubuh yang sehat, alamat yang aman, paspor dengan cap yang memalukan untuk dihitung. Namun sedikit yang siap membayar tagihannya: kebersamaan yang tak sesering itu, ruang tamu yang jarang penuh, malam-malam ketika televisi sengaja tidak dinyalakan agar kepala tidak bising. Tapi Langit tidak menyesal. Ia hanya berjalan lebih pelan ketika trotoar licin, dan lebih cepat ketika lampu penyeberangan berkedip.

Suatu pagi Minggu, ia kembali ke taman. Bocah kecil berlari, menabrak lututnya, ibu tergopoh meminta maaf. Adegan yang mirip, tetapi hati manusia tidak pernah merasa benar-benar sama pada pertemuan kedua. Ia duduk di bangku. Mengamati langit—yang bukan dirinya, tetapi selalu mengingatkannya pada alasan kenapa ia diberi nama begitu oleh ibunya: agar ia ingat, luas tidak berarti hampa. Dan sendiri tidak berarti sendirian.

“Aku bukan setengah yang menunggu disempurnakan,” ia menggumam, tidak untuk siapa-siapa. “Aku adalah Langit—utuh meski tanpa siapa-siapa. Damai, meski tak ada yang memeluk. Bahagia, meski hanya ditemani langkah sendiri.”

Seorang penjual koran tua—Wira, begitu tulisan di topi lusuhnya—menawarkan edisi Minggu. Langit membeli tanpa menawar. Ia membaca pelan rubrik esai, berita kota, rubrik kecil tentang tanaman hias. Ada foto bantaran kali—kini ada pagar aman, ada garis sepeda, ada kios baru. Bukan keajaiban, bukan utopia. Hanya kemajuan yang cukup untuk membuat orang-orang percaya bahwa sesuatu, akhirnya, bergerak ke arah yang benar.

Langit menutup koran. Di saku jaketnya, ponsel bergetar—pesan dari Aira: “Rapat warga tahap kedua berjalan. Muning titip lontong sayur buatmu. Katanya, ‘terima kasih sudah tidak menertawakan air mata orang kecil’.”

Langit membalas: “Sampaikan terima kasihku. Dan tolong bilang, aku tidak melakukan apa-apa seorang diri.”

Titik-titik hujan baru jatuh. Ia menengadah. Tidak ada payung. Tidak ada juga kebutuhan mendesak untuk mencarinya. Ia berjalan tenang, membiarkan basah menjadi aksen pada baju yang tadi pagi disetrikanya sendiri. Di bawah naungan pepohonan, ia merasa yang selama ini ingin diajarkannya pada diri sendiri akhirnya menemukan kalimatnya: menjadi sendiri bukan menolak dunia; itu hanya cara berbeda untuk menyapa.

Hujan memudar. Langit menyeberang di zebra cross, menunggu lampu hijau kecil berbentuk orang menyala. Ia melambai pada satpam yang mengenalnya karena kebiasaan membagi roti sisa sarapan pada kucing stray di dekat pos. Ia mengangguk pada pasangan muda yang menuntun stroller baru. Ia tidak iri, tidak menepuk dada. Ia hanya menjadi manusia yang cukup—yang tahu kapan berhenti, kapan maju, kapan menolak payung, dan kapan meminjamnya.

Kota, pada akhirnya, adalah kelas besar yang tidak pernah libur. Dan Langit, yang tidak pernah meminta payung, lulus hari itu bukan karena basahnya, tetapi karena ia tahu: suatu saat, ketika hujan berubah menjadi badai, ia tetap boleh mengetuk pintu siapa pun—dan itu tidak akan membuatnya kurang utuh.

.

“Kesendirian yang dipilih bukan benteng menolak cinta; ia adalah taman untuk merawatnya agar, bila ia datang, kita menyambut tanpa kehilangan diri.”

.

.

.

Jember, 4 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMinggu #KotaDanKita #PilihanHidup #KesendirianSadar #CintaDewasa #Jakarta #Hujan #Payung #NarasiFilmis #JeffreyWibisonoStyle

Leave a Reply