Kepak Sayap Tunjungputih
“Pemimpin yang baik bukanlah yang membuat orang lain tunduk padanya, melainkan yang menolong orang lain berdiri dengan kekuatannya sendiri.”
— adaptasi pitutur Jawa
.
Awal Musim: Warisan yang Berat
Di sebuah sudut Jakarta Selatan yang dipenuhi kafe-kafe cantik dan coworking space berhawa dingin, berdirilah Giri Kinasih—bukan padepokan dalam arti lama, melainkan rumah belajar kepemimpinan yang tumbuh dari kelas-kelas kecil, diskusi lintas profesi, dan proyek sosial kota. Di lobi, mural kota bergambar jembatan layang bertumpang tindih dengan grafiti pepatah Madura: “Karaban sakkalena, benna oreng pote mata, pote tolang atembang pote mata”—reminder agar kehormatan tak dikalahkan kenyamanan.
Tunjungputih datang paling pagi, pulang paling akhir. Usianya 27, rapih, sepatu kulit tapi sering berjalan tanpa suara. Ia baru saja kehilangan Jayengpati—ayah yang membangun Giri Kinasih dari garasi rumah kontrakan di Rawamangun. Jayengpati wafat mendadak, jantungnya menyerah ketika sedang membahas kurikulum “ketaatan pada nurani”. Kota seketika serasa mematikan lampu untuk Tunjungputih. Hening yang tiba-tiba panjang.
Kabar kepergian itu menyebar lewat WhatsApp group alumni, LinkedIn, sampai ig story para profesional muda yang pernah merasa “diselamatkan” oleh kelas-kelas singkat Jayengpati. Mereka menulis panjang: tentang bagaimana tugas akhir diselamatkan oleh nasihat sederhana, tentang keberanian negosiasi gaji, tentang cara meminta maaf yang bermutu. Di tengah banjir empati itu, beban yang sesungguhnya menimpa Tunjungputih: semua orang menoleh kepadanya—“kamu kan anaknya.”
Tapi darah tidak otomatis membawa ketrampilan. Nama keluarga tak serta-merta mengalirkan kebijaksanaan.
“Kalau ayahmu dulu…” adalah kalimat yang paling sering ia dengar. Setiap kali, dadanya bergemuruh. Setiap kalimat itu seperti palu kecil yang mengetuk-ngetuk kaca bening kepercayaannya pada diri sendiri.
.
Di Balik Sayap Ayah
Yang paling mengganggu bukan air mata duka, melainkan bayang-bayang reputasi. Jayengpati dihormati karena ketegasannya yang lembut, karena cara ia berbicara kepada tukang parkir sama hangatnya dengan caranya berbicara kepada direktur utama. Di kelas-kelasnya, orang tak merasa diperintah, melainkan diundang bertumbuh.
Suraadipura—teman lama yang kini mengelola operasional, logistik, dan kemitraan—sering mengingatkan, “Ayahmu tidak pernah menyuruhku. Ia membuatku ingin bertindak.”
Tunjungputih mendengarnya seperti orang menatap kaca jendela pada malam hari; melihat pantulan dirinya sendiri yang ragu. “Bagaimana caranya membuat orang ‘ingin’?”
Suraadipura mengangkat bahu. “Kau berhenti jadi pusat segalanya.”
Mudah diucap, sulit dilakoni. Apalagi ini Jakarta: rapat saling tindih, tagihan listrik melonjak, klien korporat mulai bertanya: “Apakah program tetap berkualitas seperti era Jayengpati?”
Tunjungputih mengangguk-angguk pada semua orang, tetapi di dalam kepalanya rasa gentar menumpuk. Ia berjalan lebih cepat, menulis lebih banyak, mengedit modul sendirian sampai malam, mengawasi materi promosi hingga memilih kata-kata di poster. Semuanya ingin ia sentuh. Semuanya ingin ia pastikan “seperti ayah”.
.
Perekrutan yang Salah
Ia membuka lowongan besar-besaran: fasilitator muda dari universitas ternama, analis data program dari perusahaan rintisan, desainer grafis dari agensi digital, bahkan seorang event director yang biasa menata peluncuran gawai di hotel bintang lima. Timnya gemerlap, canggih, berbahasa Inggris rapi. Giri Kinasih tampak naik kelas.
Sampai listrik di gedung mati pada sore menjelang kelas akbar “Resiliensi dalam Organisasi”. Genset tak mau menyala. Grup koordinasi di Slack sunyi. Semua menunggu instruksi. Notifikasi menggelinding: “Menunggu arahan, Tunjung.”
Di lantai tiga, peserta sudah 90 orang, sebagian manajer muda, sebagian pendiri startup. Kelas dimulai 18.30. Waktu tinggal 50 menit. Tunjungputih berlari. Menelepon vendor. Meminta izin ke gedung sebelah. Memesan lampu darurat. Mengatur ulang kursi. Mengumpulkan panitia. Suaranya tercekat—bukan karena marah, melainkan karena bertemu cermin: betapa ia memelihara ketergantungan tanpa sadar.
Malam itu kelas tetap jalan—pakai lampu portable, dengan instruksi yang Tunjungputih lontarkan satu per satu seperti sutradara di panggung darurat. Peserta terkesan: “Wah improvisasinya keren!” Di Instagram, highlight malam itu tampak heroik. Hanya saja, di balik semua foto indah, ia tahu: semua orang menunggu dirinya. Dan itu bukan kepemimpinan yang ia rindukan.
Puncak kegagalan terjadi pada “Festival Kolaborasi”—hajatan tahunan yang menghubungkan dunia usaha, komunitas, dan mahasiswa untuk proyek sosial kota. Food truck datang terlambat karena surat izin tak terbit. Penampil musik akustik mundur karena pembayarannya belum di-approve. Booth UMKM kebingungan karena alur listrik tidak jelas. Vendor sound system malah absen, beralasan: “Menunggu kepastian anggaran.”
Semua mata menatap Tunjungputih. Ia berdiri di tengah lapangan parkir yang disulap jadi ruang festival; lampu-lampu benderang menyorot wajahnya yang pucat. Udara malam terasa padat, bukan karena kelembaban, melainkan rasa malu yang mengental.
Kota seperti menahan napas.
.
Intervensi Cendhala
Selepas beres-beres yang panjang, seorang pria bersepeda lipat berhenti di depan Giri Kinasih. Rambutnya perak, matanya jernih; kaosnya bergambar peta jalur TransJakarta. Cendhala Geni, sahabat lama Jayengpati, mentor yang dulu mengajar “logika belas kasih”. Namanya disebut-sebut di kelas-kelas awal Giri Kinasih, tetapi jarang muncul belakangan ini.
“Boleh saya numpang duduk?” tanyanya ramah, menaikkan sepedanya ke teras.
“Tentu,” jawab Tunjungputih, lelah.
Cendhala menatap banner yang masih setengah terlipat. “Kau sedang membangun panggung? Atau sedang menumbuhkan pemimpin?”
Pertanyaan itu sederhana, tetapi memotong seperti silet. Tunjungputih menunduk. “Sejujurnya, aku takut… Jika aku mundur, semuanya runtuh.”
Cendhala tertawa kecil. “Kalau semua runtuh ketika kau mundur setapak, berarti selama ini kau tidak membangun rumah. Kau sedang menegakkan tenda di pundakmu sendiri.”
Ia menatap ke arah jembatan layang yang sibuk, seolah ada catatan kaki di udara. “Pede itu bukan aku bisa semuanya, melainkan aku tak perlu mengerjakan semuanya agar semuanya bisa.”
“Maksudnya?”
“Desain sistem, bukan pahlawan. Rekrut bukan untuk diperintah, tapi agar mereka bisa memutuskan sesuatu yang kau lupa tanyakan.”
Kata-kata itu tidak menenangkan; malah menantang. Tunjungputih merasa seperti diundang masuk ke lorong gelap yang ujungnya berangin sejuk. Ia mengangguk pelan, lalu mematikan semua notifikasi. Malam itu, ia pulang lebih awal, untuk pertama kalinya setelah sebulan. Tepat sebelum tidur, ia menulis tiga pertanyaan di buku hitamnya:
-
Apa yang hanya aku yang bisa lakukan?
-
Apa yang bisa dikerjakan orang lain jika aku tidak turut campur?
-
Sistem apa yang mencegah orang menungguku?
.
Reorientasi: Membangun Tim Mandiri
Hari Senin, ia menyapa tim tanpa slide yang rumit. Suaranya mantap, bukan karena yakin, melainkan karena tahu ada yang harus dimulai.
“Kita ubah cara kerja. Setiap Jumat sore, ruang diskusi terbuka, bukan untuk aku memberi perintah, melainkan untuk kalian mengajukan rencana. Formatnya sederhana: ‘Saya melihat… saya pikir… saya akan…’. Jika ada risiko, kalian sebut mitigasinya. Keputusan bisa diambil tanpa saya jika memenuhi tiga kriteria: aman, etis, dan sesuai kompas nilai.”
Mata beberapa orang melebar, antara antusias dan waswas.
Ia menunjuk Sekarjaya, yang selama ini memegang acara namun terbiasa menunggu tanda tangan. “Kau memimpin Festival Kolaborasi berikutnya. Anggaran blok aku setujui di depan—dengan koridor jelas. Kau berhak memilih vendor tanpa menanyakan mereknya padaku.”
Sekarjaya menegakkan bahu; ada kilau takut di matanya, tetapi juga geliat berani.
“Ranggalawe,” Tunjungputih menoleh pada pemuda seni yang hobi menggambar garis-garis panjang di whiteboard, “kita akan bikin mural kota di lorong utama. Bukan sekadar cantik; isinya peta kebaikan—di mana orang miskin bisa sarapan gratis, di mana pelatihan coding untuk ibu-ibu diadakan, di mana perpustakaan kecil bisa dititipkan di warung.”
Ranggalawe mengangguk, tangan kirinya otomatis mencari spidol.
“Semua layout media sosial,” lanjut Tunjungputih, “tak perlu menunggu copy dariku. Buat pedoman tone: hormat, hangat, informatif. Kalau ragu, gunakan cerita nyata alih-alih jargon.”
Suraadipura, yang mengamati dari balik laptop, menutup layar. “Dan untuk operasional,” katanya menimpali, “aku siapkan SOP darurat tiga langkah. Kalau listrik padam: (1) pindahkan kelas ke ruang A dengan lampu portable, (2) umumkan ke peserta dalam 5 menit pertama, (3) jalankan rencana B tanpa menunggu sign-off.”
Tim mencatat; suasana ruang rapat berubah dari tegang menjadi ramai. Ada tawa kecil ketika Ranggalawe menyelipkan sketsa sepeda Cendhala di pojok whiteboard—easter egg yang disambut tepuk tangan.
Hari-hari berikutnya pelan tapi pasti menulis ulang kebiasaan. Tunjungputih memperkenalkan one-on-one setiap dua minggu, bukan untuk evaluasi dingin melainkan percakapan manusiawi: tujuan hidup, beban rumah, momen bangga yang ingin dirayakan. Ia menetapkan retrospective setiap akhir proyek: “Apa yang berjalan? Apa yang belajar? Apa yang diperbaiki?” Bukan mencari kambing hitam, melainkan pengungkit.
Dan satu keputusan krusial: ia menolak beberapa undangan bicara yang dulu selalu ia terima. “Fokus dulu,” katanya pada dirinya sendiri. “Bangun kemampuan di dalam, sebelum aku tampil ke luar.”
.
Kota sebagai Kelas
Jakarta membantu atau menguji, tergantung cara memandang. Kemacetan menjadi waktu membaca ulang catatan ayahnya. Hujan deras menjelma simulasi krisis; dari situ mereka merumuskan playbook banjir: memindahkan kelas ke platform daring dalam 30 menit dengan nada komunikasi yang empatik. Tempat parkir yang sering penuh membuat mereka bekerjasama dengan mushola di gang sebelah untuk jadi ruang komunitas cadangan. Setiap rintangan kota diubah jadi modul belajar.
Sekarjaya muncul sebagai decision maker yang tak disangka-sangka. Ia memecah Festival Kolaborasi jadi tiga zona: Peluang, Solusi, dan Refleksi. Di zona Peluang, peserta bisa bertemu bank mikro yang memberikan pembiayaan etis. Di zona Solusi, UMKM demo proses produksi yang bertanggung jawab. Di zona Refleksi, ada listening booth tempat warga menceritakan masalah lokasinya—dari jembatan patah sampai lampu jalan mati—lalu tim data memetakan di layar besar.
Ranggalawe memimpin mural gotong-royong. Ia mengajak tujuh seniman muda, dua di antaranya penyandang disabilitas. Dalam sebulan, lorong Giri Kinasih tak lagi dingin; dindingnya hidup oleh alur kisah: tangan-tangan yang saling mengangkat, mata air yang dibersihkan bersama, huruf-huruf yang menari di atas peta kota.
Sementara itu, Suraadipura menegosiasikan kemitraan dengan perusahaan transportasi, menukar program pembinaan kepemimpinan dengan voucher perjalanan aman bagi relawan yang pulang larut. Semua keputusan terjadi tanpa Tunjungputih harus menandatangani setiap kertas. Ia hadir di rapat-rapat besar sebagai fasilitator—bertanya, bukan menjawab.
.
Ujian Sejati
Pada suatu pagi di bulan Juni, undangan datang dari lembaga pelatihan internasional di Kathmandu: “Program Leadership by Empowerment.” Selama tiga minggu, peserta diminta tinggal di desa pegunungan, minim sinyal, banyak kerja lapangan. Syaratnya: menghilang dari gawai.
Tunjungputih bimbang. Pergi, berarti mempercayai sistem yang baru seumur jagung. Tidak pergi, berarti tetap mengikat tenda di pundaknya sendiri. Ia menimbang, lalu mengirim pesan singkat: “Saya berangkat.”
Sebelum pergi, ia menulis sebuah surat pendek yang ditempel di pintu ruang rapat: “Kalau ada yang genting, tanyakan tiga hal—apakah aman, apakah etis, apakah sesuai nilai. Jika ya, lanjutkan. Aku percaya pada kalian.”
Di Nepal, ia belajar memperlambat napas. Pegunungan bukan panggung hasil, melainkan laboratorium proses. Di sana, ia menanam bibit kentang, mengajak anak-anak lokal menggambar peta mimpi, belajar cara orang-orang di desa mengambil keputusan bersama tanpa rapat yang melelahkan. Ia menemukan kalimat yang membebaskannya: “Keberanian bukan ‘berani tampil’, melainkan ‘berani memberi ruang’.”
Ketika ia kembali, Jakarta menyambut dengan hujan yang wangi. Giri Kinasih riuh, tetapi bukan karut; lebih seperti orkestra yang menemukan ritmenya. Festival Kolaborasi telah usai sehari sebelumnya—tanpa dirinya. Tunjungputih berjalan menelusuri lorong mural: di sana terpampang foto-foto perubahan—parit yang dibersihkan anak-anak SMP bersama pekerja kantoran, trotoar pendek yang dicat ulang bersama warga, perpustakaan kecil dari lemari bekas di bawah eskalator mal yang sepi.
“Siapa yang mengusulkan semua ini?” tanyanya pada Suraadipura.
“Sekarjaya menahkodai. Ranggalawe yang menyulam narasi. Yang lain-lain… bertumbuh.” Suraadipura tersenyum dengan mata yang sulit menyembunyikan bangga. “Kau betul waktu pergi.”
Tunjungputih mengangguk. Di balik kacamatanya, matanya berair—bukan sedih, melainkan lega yang mengembang seperti payung dibuka di tengah gerimis.
Malam itu, ia naik ke rooftop. Kota terbentang seperti sirkuit cahaya. Angin membawa aroma tanah dari taman tetangga. Ia memejam, lalu berbisik kepada kegelapan yang ramah: “Aku tak ingin jadi bayanganmu, Ayah. Aku ingin jadi cahaya baru—cahaya yang menyalakan yang lain.”
Langit tak menjawab, tetapi lampu-lampu di kejauhan berkerlip seperti tanda setuju.
.
Warisan Sejati
Dua tahun kemudian, Giri Kinasih tidak lebih besar secara fisik, tetapi lebih dalam akarnya. Banyak alumni membuka “ruang belajar kota” di berbagai sudut: Depok, Bekasi, Tangerang, Jember. Mereka mengadopsi format yang sama: Jumat Wicara, retrospective manusiawi, dan mural peta kebaikan. Di beberapa tempat, pemerintah daerah meniru model Festival Kolaborasi untuk merancang rencana kota bersama komunitas.
Tunjungputih jarang tampil di panggung besar. Ia memilih berjalan dari meja ke meja, mendengar orang bercerita, menyambung nama-nama yang seharusnya bertemu. Ia menulis sebuah buku tipis, Warisan Giri Kinasih, yang isinya bukan teori muluk, melainkan sketsa-sketsa percakapan, catatan kesalahan, serta panduan praktis: bagaimana menulis SOP darurat tiga langkah, bagaimana menerjemahkan nilai menjadi keputusan di kasir, bagaimana mengukur dampak yang tak tertangkap kamera.
Di halaman pertama ia menyalin kalimat yang sudah lama menuntunnya:
“Kepemimpinan bukan tentang berapa banyak orang yang menatapmu, melainkan tentang berapa banyak orang yang berani berdiri tanpa menatapmu.”
Buku itu beredar liar melalui file PDF yang tak pernah ia kejar. Di direct message, orang-orang bercerita: tentang keberanian menolak lembur tak manusiawi, tentang ketegasan meminta kontrak adil, tentang tim kecil yang diberdayakan hingga bisa mengambil alih ketika bos sakit. Ada juga pengakuan getir: “Aku dulu pemimpin yang gemar memerintah. Sekarang aku belajar duduk dan mendengar.”
Suatu malam, seorang perempuan datang ke Giri Kinasih. Namanya Sekarjaya, tetapi di mata Tunjungputih ia selalu terlihat baru. Ia membawa prototype program: Kelas Keberpihakan—yang mengajarkan manajer muda mengukur keberhasilan bukan semata dari laba, melainkan dari keberanian memihak yang lemah ketika ada konflik kepentingan.
“Kenapa ini penting?” tanya Tunjungputih.
“Karena kota bertumbuh bukan saat semua orang naik cepat, melainkan saat yang tertinggal diajak lari dengan cara mereka.”
Tunjungputih tertawa kecil, lega. “Dulu ayah pernah berkata begitu—dengan kalimat yang lain.”
Sekarjaya menggeleng. “Bisa jadi, tapi aku mendengarnya dari ruang Jumat kita. Dari caramu bertanya.”
Di layar TV ruang rapat, grafik dampak berjalan naik pelan. Bukan garis tajam yang memuaskan investor, melainkan lengkung sabar yang menjamin generasi.
.
Patah yang Menguatkan
Tidak semua berjalan mulus. Ada fasilitator yang kabur membawa perangkat; ada sponsor yang membatalkan dukungan karena mereka menolak headline yang menurut mereka “kurang seksi.” Ada alumni yang menuntut karena merasa metode mereka “ditiru.” Ada proyek kebersihan kali yang ditolak warga karena curiga: “Ini buat konten ya?”
Di setiap patah, Tunjungputih mengembalikan tim pada tiga kompas: aman, etis, sesuai nilai. Jika jawabannya tidak, berhenti dan minta maaf. Jika ya, lanjut dengan rendah hati. Di satu town hall, ia berdiri dan mempraktikkan hari itu juga: meminta maaf kepada vendor yang tersinggung, memperbaiki kontrak agar tidak berat sebelah, dan mengumumkan ombudsman internal—tiga orang lintas bagian yang bisa menampung keluhan tanpa takut balasan. Bukan gagah, tapi tulus. Kota mengajarkan, reputasi bukan berasal dari foto heroik, melainkan dari cara kita memperbaiki kesalahan.
.
Kepak Sayap
Pada penghujung tahun, Giri Kinasih menutup program dengan sebuah ritual kecil. Di halaman, mereka menumpuk kertas-kertas post-it yang berisi hal-hal yang ingin dilepas: “kebutuhan tampil paling tahu,” “ketakutan menjadikan orang lain lebih bersinar,” “kebiasaan menunda minta maaf.”
Tunjungputih berdiri di tepi, tak memegang mikrofon. Ia menatap satu-satu wajah yang dulu menunggu arahan kini sibuk mengarahkan dirinya sendiri. Sekarjaya menyusun alur acara tanpa memanggilnya. Ranggalawe menggambar sayap di dinding, lalu mengajak semua menempelkan telapak tangan di sana—sebuah mural yang hanya indah ketika banyak tangan turut serta.
“Kenapa sayap?” tanya seseorang.
“Supaya kita ingat,” jawab Ranggalawe, “bahwa tugas pemimpin bukan menggendong, tapi menumbuhkan sayap—dan memberi angin.”
Tunjungputih memejam sebentar, mendengar bunyi kota—sirene jauh, deru hujan yang merintik, tawa yang tak seragam. Ia mengingat malam-malam awal ketika ia ingin menjadi ayahnya. Kini ia tahu, warisan bukan untuk disalin, melainkan untuk disebarkan. Seperti cahaya lilin: dinyalakan bukan agar orang memuja nyalanya, melainkan agar ruangan bisa melihat satu sama lain.
Ia menuliskan kalimat penutup di papan:
“Kita tidak sedang mencari pengikut. Kita sedang menumbuhkan pemimpin.”
Kota mengangguk dalam caranya sendiri: lampu-lampu apartemen menyala berjenjang, ojek melintas memercikkan air, suara hujan berubah rapat. Dan di dinding Giri Kinasih, sayap itu—sayap yang ditempeli ratusan jejak telapak tangan—tampak bergerak pelan, seperti hendak mengepak.
.
.
.
Jember, 2 Juli 2025
.
.
#Kepemimpinan #Empowerment #UrbanStory #KotaBelajar #MenakMadura #GiriKinasih #KompasMingguStyle #Leadership #CommunityBuilding #NarasiKota