The Untold Hotelier Stories – Salesmanship dengan Faktor X
SAYA menulis hal “Sales Personil Hotel Bisa Dibuat, Marketing Harus Dipelajari” pada bulan Maret tahun 2014. Inti maknanya adalah untuk membangun kepercayaan klien, kita harus penuh percaya diri/confident.
Ketika berhadapan dengan orang lain, kita mampu tampil berkepribadian sempurna. Baik itu pada saat berbicara verbal via telepon, pertemuan tatap muka secara pribadi maupun melalui komunikasi tertulis.
Ingatlah bahwa kita —-pada kenyataannya menjual produk–, salesman sebagai bagian dari departemen penjualan suatu perusahaan adalah “wajah” dari produk tersebut. Kita perlu belajar dengan mengamati bahwa setiap perusahaan memanfaatkan departemen penjualan dalam cara berbeda meski tujuan keseluruhan ada kemiripan dalam pola kinerja.
Mari kita perhatikan bagaimana cara orang lain dalam membuat kesepakatan dengan klien sampai mampu mengubah situasi menjadi akrab. Setelah kita melihat proses tersebut dalam tindakan nyata, kita akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana sebaiknya harus bersikap terhadap klien.
Sampai saat ini di era milenium, salesman adalah salah satu profesi paling dicari. Kualifikasi seseorang untuk bisa direkrut menjadi salesman adalah bisa diandalkan untuk menjadi “mesin uang” perusahaan. Menghasilkan revenue menaikkan omzet penjualan dan mengejar target yang dibuat.
Kualifikasi keilmuan praktis dan teoritis untuk salesman hotel (terutama di Bali) yang mencakup daring dan luring antara lain
- Menguasai bahasa asing, minimal Inggris
- Networking, selalu up-date dengan tren bisnis dan pengetahuan umum
- Mempunyai pengetahuan kultur bangsa-bangsa
- Paham geografi, demografi dan GDP / Income per capita penduduk di negara-negara pangsa pasar untuk mengetahui daya beli dan segmentasi.
- Sales attitude dan personality yang win the heart termasuk menguasai etika makan, grooming dan hygiene
- Komunikasi lisan dan tulis
- Analytical mind – mampu menganalisa data
- Presentation / public speaking
- Prospecting
- Understanding customer
- Negotiation technique
- Handling objection
- Offering solution
- Contracting and closing
- Up-selling
- E-Commerce & Social-Commerce
- Dan banyak lagi
COVID-19 2020 vs Perang Teluk 1990
Saya adalah generasi sales & marketing di Bali pada masa Gulf War 1990/91. Saya hadir sebagai undangan pada bulan Maret 1991, saat peresmian 75 hotel bintang 4 dan 5 ditambah industri pendukungnya — termasuk perusahaan water sport. Pada tahun itu kawasan BTDC Nusa Dua baru mulai dioperasikan.
Bisa dibayangkan, destinasi baru dibuka dan tiba-tiba bisnis terpuruk terutama dari Eropa dan Amerika yang transportasinya harus melintasi kawasan Timur Tengah. Strategi penjualan kemudian hanya tergantung dengan tetangga terdekat, yaitu Australia. Untuk bisa win the market, hotel-hotel besar pada jor-jor-an dengan paket Pay Stay misalnya Pay 5 Stay 7 bahkan banyak yang memberlakukan 2 for 1 yaitu paket mulai bayar 5 malam dan menginap 10 malam.
Lalu dalam perjalanan karir saya selama tiga (3) dasawarsa, pada tahun 2020 dunia terimbas dengan pandemi 2019 novel coronavirus (SARS-CoV-2) yang kemudian disebut COVID-19.
Tren jualan di Bali masih dengan pola yang mirip. Menggunakan kata-kata Pay Stay. Tetapi —karena pandemi yang berkepanjangan dan tidak bisa diprediksi tanggal berakhirnya– kali ini negara-negara di seluruh dunia menutup lintas batas mereka tanpa batas waktu.
Di triwulan ke-2 tahun 2020, kita bisa melihat peredaran paket-paket dengan masa tinggal minimum 1 malam, separo harga dengan label Pay Now Stay Later. Will you take this advantage as future travelers?
Untold Stories
Di era milenium, semua orang paham arti kata boost dan organik dalam pengetahuan digital marketing. Sejarah berulang, pada masa COVID-19 ini.
Tahun 2020 terjadi repatriasi besar-besaran. Anak-anak Indonesia yang sedang bersekolah, internship/magang dan bekerja di luar negeri harus pulang ke negaranya. Banyak yang kemudian mendapat kerja di perusahaan-perusahaan besar dan ternama. Kompetisi pencari kerja berkualitas meningkat tajam berbanding dengan ketersediaan lapangan kerja yang kecil.
Sudah tahu siapa yang akan lolos dalam proses rekrutmen terutama di sales & marketing?
Tentu yang paling siap dengan kualifikasi penguasaan bahasa asing, penampilan personality prima dan meyakinkan, mau digaji seadanya, dan potensi produktif dengan dukungan latar belakang keluarga berada. Sudah bisa dipahami apa booster dalam rekrutmen ini?
Bagaimana generasi sales & marketing pada masa awal 90-an?
Pada tahun 1990, hotel-hotel bintang 5 di Nusa Dua dan Bali pada umumnya, merekrut sebagian besar salesman lulusan sekolah luar negeri. Mengapa?
Ya! Tepat, jawabannya karena modal bahasa asing mereka mantap. Lancar baca, tulis dan bercakap dalam beragam bahasa. Mulai bahasa Inggris, Jepang, Jerman, Perancis dan Belanda. Di masa itu Bahasa Spanyol dan Italia juga unggulan. Tergantung pangsa pasar hotel-hotel jaringan internasional yang beroperasi di zamannya. Paling tidak seorang salesman dan public relations menguasai verbal 2 bahasa asing.
Kemudian satu lagi! Yaitu sales & marketing adalah company image.
Harus sudah punya modal diri, penampilan high-class bukan orang sembarangan. Konsep ini untuk memenangkan penjualan dari the first-impression.
Jadi kalau ada komen rekan-rekan kerja dari departemen lain, —- melihat praktisi sales & marketing— mengatakan hedonis, sebenarnya yang tepat adalah kata mutiara “live in luxury with an empty pocket” adalah fakta.
Persyaratan untuk bisa menemui klien adalah standar kata “good quality”, mengenakan busana, sepatu dan membawa tas berkualitas bagus, “bukan” ber-merek internasional dan terkenal. Pada kenyataannya untuk “dress to impress”, harus eksklusif untuk bisa setara dengan potential buyers dan berkompetisi dengan teman-teman sales & marketing dari hotel-hotel lain. Inilah faktor X itu. Dan gaji yang diterima standar.
Kemudian para rekruter di awal tahun 90-an itu —dengan jabatan personnel manager rata-rata juga jebolan luar negeri.
Pada saat proses rekrutmen salah satu pertanyaan kunci yang harus keluar adalah “tolong sebutkan 10 supporters yang bisnisnya bisa kamu bawa ke tempat kerjamu ini”. Kemudian personnel manager mengecek latar belakang keluarga kandidat. Poin latar belakang keluarga ini menjadi sangat penting untuk kandidat sales dengan modal “booster”.
Mengapa?
Jawabannya adalah perusahaan mempunyai strategi harus mengejar target omzet. Sehingga sebagai back-up untuk sukses yang mutualisme seorang salesman untuk bisa mencapai target, paling tidak keluarganya mampu membeli produk jualan sang salesman.
Jadi … customer perusahaan ada didalam lingkaran yang saling menguntuntungkan. Apakah sudah bisa dipahami sistem “booster’’ ini?
Kompetisi di zaman saya, katebelece sangat berlaku dan diperhitungkan. Lantas, bagaimana dengan salesman yang organik lulusan dalam negeri?
Tentu saja bisa maju dengan sales promise yang sama.
Tetapi jangan konyol dengan mengajukan pertanyaan “Kalau saya diterima bekerja di sini, kemudian akan dikirim jalan-jalan kemana saja?”.
Kalau tipe ini sudah bisa gagal dalam proses rekrutmen. Karena tidak mempunyai orientasi mencapai target penjualan. Tetapi, mencari profesi sebagai salesman untuk naik kelas lifestyle-nya, dan jalan-jalan ke luar negeri dengan dibayari oleh perusahaan.
Which one are you?
Kemudian satu lagi pertimbangan perusahaan untuk mengirim salesman bertugas ke luar negeri. Selain bisa membawa pulang bisnis sesuai misi tugas, ada pertimbangan kemampuan secara finansiil pada individu salesman. Pertanyaannya “mampukah dia membiayai his/her own leisure and recreation activities disana?”. Cadangan dana untuk membayar gaya hidup dan blanja-blanji selama traveling.
Bali, 16 Juli 2021
Jeffrey Wibisono V. @namakubrandku
Hospitality Industry Consultant Indonesia in Bali, Telu Learning Consulting, Copywriter, Jasa Konsultan Hotel
Juga tayang di
Hotelier Stories :Untold Stories Salesmanship dengan Faktor X
[…] https://jeffreywibisono.com/hotelier-stories-untold-stories-salesmanship-dengan-faktor-x/ […]