Dibiasakan Luka, Didewasakan Waktu

“Waktu tidak pernah menawarkan penghapus,
tetapi ia mengajarkan tangan kita untuk lebih kuat menggenggam pena berikutnya.”

.

Ada luka yang tak serta-merta sembuh hanya dengan menangis. Ada kecewa yang tak cukup diredam dengan kata-kata. Dan ada perpisahan yang tak bisa dikejar meski sepenuh hati ingin bertahan.

Namun ada satu hal yang, meskipun tidak menyembuhkan, selalu bekerja dengan setia: waktu.

Bukan penyihir yang menghilangkan rasa sakit. Tapi guru yang pelan-pelan membuat kita… terbiasa.

Dibiasakan. Terbiasa. Sudah biasa. Dan biasalah.

.

Tahun Sunyi Sang Jayengrana

Namanya Jayengrana. Usianya sudah melewati 32. Ia seorang manajer pemasaran di perusahaan digital yang sedang naik daun, dengan kantor megah di pusat ibu kota. Jika dilihat dari luar, hidupnya seperti papan yang utuh—rapi, mapan, stabil.

Tapi dari dalam, ada retakan yang tak terlihat.

Jayengrana masih menyimpan luka lama. Luka dari seorang perempuan yang pernah ia cintai hampir satu windu—Dewi Retna Manggali.

Cinta mereka tumbuh sejak kampus, bertahan melewati skripsi, pekerjaan pertama, hingga jabatan manajerial. Tapi hubungan mereka karam… bukan karena pengkhianatan, melainkan karena restu yang tak kunjung datang dari keluarga Manggali. Tiga kali lamaran Jayengrana ditunda. Empat kali pertemuan keluarga gagal sepakat.

“Kakang, aku capek. Aku ingin menyerah, bukan karena aku tak cinta. Tapi aku lelah melawan arus sendirian,” ucap Manggali, di sore mendung yang tak pernah bisa dilupakan Jayengrana.

Dan begitu saja, semuanya selesai.

.

Dipaksa Waktu, Diajari Sabar

Hari-hari setelah perpisahan itu seperti babak sunyi dalam pertunjukan. Jayengrana masih berangkat kerja, memimpin rapat, tersenyum pada klien. Tapi saat sendirian, ia mengunci diri dalam diam.

Ia menjauh dari pergaulan, menolak semua ajakan sahabatnya, Kang Murdaningrat, dan hanya berbicara seperlunya.

“Kakang, kadang luka itu tidak butuh dilupakan, tapi dibiarkan berdamai. Jangan tolak rasa sakitmu. Biarkan ia lewat perlahan,” kata Murdaningrat dalam obrolan malam di sudut rooftop kantor mereka.

Jayengrana hanya mengangguk, menatap langit gelap yang tak bertabur bintang. Seolah sepi pun enggan menemani malamnya.

.

Kembalinya Napas Pelan

Bulan-bulan berjalan seperti air yang menetes di dinding—tak kentara tapi pasti. Awalnya semua dipaksa: dipaksa bangun, dipaksa makan, dipaksa mandi, dipaksa hidup.

Tapi waktu memaksa dengan cara lembut. Dan Jayengrana mulai menuruti iramanya.

Ia kembali ke gym yang lama ia tinggalkan. Ia menerima undangan workshop dari kolega senior. Bahkan ia mulai membaca kembali buku-buku filsafat yang dulu dibeli bersama Manggali.

Satu malam, saat sedang merapikan berkas, Jayengrana melihat secarik catatan tangan dari Manggali:
“Hidup tidak harus selalu menang. Kadang cukup kuat untuk bertahan.”

Kali ini, ia tidak menangis. Ia hanya tersenyum samar. Ia mulai terbiasa. Sedikit demi sedikit.

.

Pertemuan yang Membuka Luka

Pagi itu cerah. Jayengrana menghadiri sebuah pameran inovasi teknologi bersama Murdaningrat. Tak disangka, di antara keramaian itu, ia bertemu kembali dengan Dewi Retna Manggali.

Perempuan itu tampak anggun, dengan senyum yang tetap menenangkan. Di sampingnya, berdiri seorang pria bersorban biru laut—Tumenggung Arya Sela Lodra, yang kini menjadi suaminya.

“Kakang Jayengrana… kabar baik?” sapa Manggali pelan.

“Alhamdulillah. Panjenengan sendiri?” balasnya sembari tersenyum, meski hatinya kembali mencelos.

Pertemuan itu hanya berlangsung beberapa menit. Tapi cukup untuk membuka kembali luka yang belum benar-benar kering.

Malamnya, Jayengrana berjalan sendirian menyusuri jembatan layang di dekat rumahnya. Tapi kali ini, langkahnya tidak gemetar. Ia tak ingin kembali tenggelam.

“Aku bukan lagi Jayengrana yang dulu. Aku sudah belajar berdamai dengan kehilangan,” ucapnya dalam hati.

.

Kepergian yang Membuat Tumbuh

Sejak pertemuan itu, Jayengrana mulai menulis jurnal. Ia menulis bukan untuk Manggali, tapi untuk dirinya sendiri.

“Luka tak bisa dihindari. Tapi bisa dipelajari. Bisa diajak bicara, bisa dipeluk sampai ia reda sendiri.”

Ia mulai mengambil kelas online, mengikuti pelatihan kepemimpinan, dan bahkan mengisi seminar motivasi untuk mahasiswa.

Tak jarang, Jayengrana menyisipkan kisahnya sebagai contoh:
“Kadang yang mendewasakan kita bukan usia, tapi luka yang berhasil kita lewati. Yang dibayar dengan air mata, dengan kecewa, tapi juga dengan bangga karena kita tetap hidup.”

Orang-orang menyebut Jayengrana inspiratif. Padahal ia hanya belajar bertahan.

.

Di Tepi Pantai Waktu

Setahun berlalu. Jayengrana ikut perjalanan bersama Murdaningrat dan timnya ke pantai selatan untuk refreshing. Di tepi pasir putih, sambil memandangi laut luas, ia duduk diam.

“Kakang, kenapa diam terus? Kangen Manggali?” goda Murdaningrat.

Jayengrana tersenyum tenang.
“Bukan. Aku cuma bersyukur… ternyata waktu memang nggak nyembuhin. Tapi dia ngajari kita buat biasa aja sama rasa itu.”

Murdaningrat mengangguk.

“Dibiasakan, terbiasa, sudah biasa, dan biasalah…”

Jayengrana tertawa kecil. Lalu berdiri, menatap matahari yang mulai tenggelam.

Untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa bebas. Bukan karena sudah melupakan, tapi karena sudah memaafkan. Termasuk memaafkan dirinya sendiri.

.

Kedewasaan bukan soal seberapa panjang umur kita. Tapi seberapa banyak luka yang berhasil kita pelajari. Bukan untuk dilupakan, tapi untuk diakui sebagai bagian dari perjalanan.

Dan pada akhirnya, waktu memang bukan penyembuh. Tapi waktu adalah guru paling sabar yang terus membisikkan pelajaran:
“Dibiasakan, terbiasa, sudah biasa, dan biasalah…”

.

.

.

Jember, 3 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenInspiratif #Jayengrana #CeritaMenakJawa #SelfHealing #DewasaDenganWaktu #KisahEmosional #MotivasiJawa

Leave a Reply